Kisah Ibu dari 11 Anak Penghafal Al Quran

Post date: Mar 5, 2011 8:42:40 AM

Kesibukan bukan penghalang bagi Wiwi memberikan pendidikan maksimal. Ia bangga, 11 anaknya kini menjadi penghafal Al Quran.

Entah sudah berapa banyak orang terhenyak mendengar pengakuan Wiwi. Dalam kesederhanaan ia bertutur, terungkap kisah sukses seorang ibu mendidik anak-anaknya.

"Saya mengutamakan pengajaran anak-anak sendiri. Karena, prinsip saya dua pertiga keberhasilan pendidikan itu ada di rumah, bukan di sekolah," ujar Wiwi.

Namun, Wiwi bukan perempuan 'rumahan'. Ia aktivis dengan segudang kegiatan. Kini, selain menjadi Staf Departemen Kaderisasi DPP PKS dan Ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, ia juga Ketua Umum PP Salimah yang tersebar di 28 profinsi dan lebih 150 daerah seluruh Indonesia.

--- Hafal 30 Juz Al Quran ---

Tiga anak Wiwi yang paling besar, sudah hafal Al Quran di usia yang masih belia. Afza, 21, hafal 30 juz di usia 13 tahun. Faris, 20, hafal Al Quran di usia 10 tahun. Dan Maryam, 18, hafal di usia 16 tahun.

Dan yang membuat Wiwi kian bersyukur pada Allah, anaknya yang kedelapan, Muhammad Saihul, 11 tahun, sudah hafal 25 juz. Bocah cilik ini punya keinginan lulus SD sudah hafal 30 juz.

Enam anak Wiwi lainnya rata-rata sudah hafal Al Quran antara 2 juz hingga 10 juz. Sementara si bungsu, Hasna, meninggal bulan Juli 2006, di usia 3 tahun.

Tentang kesuksesannya, Wiwi tersenyum. Tegas ia berkata, suaminya, Mutammimul 'Ula –anggota legislatif DPR RI- punya peran penting dalam pembentukan karakter anak-anaknya.

"Suami punya kebiasaan i'tikaf di masjid di bulan Ramadhan selalu membawa anaknya bersama-sama, " ujar Wanita kelahiran Jakarta 11 September 1962.

Disanalah justru titik awal suaminya terisnpirasi mendidik anak untuk menghafal Al Quran. Karena, disebuah kesempatan ia mendengar seorang hafifiz Al Quran yang memperdengarkan hafalannya.

Suami Wiwi lantas berkeliling Jawa dan Madura dan singgah di pesantren tahfiz anak-anak di Kudus. Ia sampaikan visi tersebut pada Wiwi agar kelak anak-anaknya bisa menjadi hafidz Al Quran.

"Setelah anak saya yang kedua lahir, setiap hari saya perdengarkan bacaan Al Quran murattal. Satu kali tiba-tiba saja waktu kita main sama-sama, saya mendengar ia mengucapkan, 'wa utuu bihi mutasyaabihaa. .' (potongan surat Al Baqarah). Subhanallah, ternyata anak ini merekam apa yang ia dengar," kenang Wiwi tentang Faris yang saat itu baru balita.

--- Anak Ke Delapan Beli Televisi ---

"Saya tidak mungkin bisa mendidik anak-anak saya sebelas orang, kecuali karunia Allah melalui seorang suami yang memahami tentang pendidikan anak," tegas Wiwi.

Suami, kata Wiwi, yang memiliki visi pendidikan, dan ia bertugas mengisi kerangkanya. Kerjasama yang kompak ini –Wiwi menyebut suami sebagai mitra- telah berlangsung hingga 23 tahun pernikahan.

Di rumahnya, terdapat dua perpustakaan, untuk dirinya dan suami, dan untuk anak-anaknya. Ada 4000 buku disana. Wiwi menyebutnya kekayaan keluarga.

"Sebulan sekali suami mengeluarkan infaq dengan anak-anak untuk beli buku. Mereka dibiarkan dulu mencari apa yang mereka mau, nanti baru di arahkan. Mereka semua gila membaca, sampai dibawa tidur," ujar Wiwi.

Untuk memagari anak dari pengaruh negatif, Wiwi dan suami punya kiat sendiri. Mereka baru membeli TV setelah memiliki 8 anak. Itupun, Wiwi menerapkan aturan yang jelas lengkap dengan hukuman bila dilanggar.

Begitupun dengan.dua waktu yang tidak boleh diganggu gugat, yaitu sesudah subuh dan sesudah maghrib, sebagai waktu untuk interaksi dengan Al Quran.

--- Pola Penanggung Jawab ---

Wiwi sadar dirinya punya kesibukan di luar rumah.

"Makanya saya menerapkan pembagian tugas berupa penanggung jawab (PJ) pada masing-masing anak," katanya.

Pola ini, kata Wiwi, untuk menyambung kedekatan persaudaraan.

"Anak nomor satu bertanggung jawab pada tingkat kesulitan tertinggi. Ketika saya melahirkan anak kedelapan, dia (masih usia 6 tahun) bertanggung jawab pada adik-adiknya termasuk yang baru belajar jalan. Yang nomor dua di Kudus. Jadi yang nomor tiga yang pegang bayi, salah satuny bikin bobo bayi," terang Wiwi.

Anak nomor empat bertanggung jawab pada adik yang masih kecil, membuatkan susu dan mengurus makan.

"Sekarang mereka suka saling ingatkan bagaimana dahulu dirawat dan diasuh oleh kakaknya. Dan itu membuat mereka semakin dekat satu dan yang lainnya," ujar Wiwi.

Wiwi sangat dekat dengan anak-anaknya. Ia mengutip perkataan Imam Ali ra, tentang tiga fase interaksi dengan anak.

"Tujuh tahun pertama perlakukan ia seperti raja. Tujuh tahun kedua perlakukan ia seperti tawanan perang dalam kedisiplinan. Tujuh tahun ketiga dan seterusnya, perlakukan ia seperti sahabt dan teman," kata Wiwi.

Ia juga selalu diingatkan nasihat suaminya, "Bu, kita harus berbeda dengan orang lain dalam hal berbuat kebaikan. Orang lain duduk, kita harus sudah berjalan. Orang jalan, kita harus sudah berlari. Orang lari kita tidur. Orang tidur, kita sudah bangun."

--- Berdakwah Lewat Majelis ---

Wiwi sadar betul pentingnya sebuah keluarga dalam membangun karakter anak.

"Saya ingin sekali menulis buku membangun peradaban dari rumah. Karena memang semua itu dimulai dari rumah. Pendidikan bermula dari rumah. Dasar penentuan karakter ada di rumah. Ibu yang berperan sangat penting sampai anak usia 13 tahun. Kalau ibu tahu tugas-tugas ini, maka akan dihasilkan anak-anak yang berkualitas, " kata Wiwi.

Bersama teman-temannya di PP Salimah (Persaudaraan Muslimah), Wiwi menyentuh akar kekuatan keluarga itu melalui Majelis Ta'lim. Kini ada 4000 lebih Majelis Ta'lim seluruh Indonesia yang berada dalam pengawasan PP Salimah.

"Kekuatan ada di Majelis Ta'lim. Kita melihat ini sangat potensial dan strategis untuk memulai perubahan. Karena di majelis itu kumpul simpul-2 perubahan yaitu ibu-ibu. Dan Majelis Ta'lim dari banyak lapisan masyarakat, dari yang bawah hingga yang atas," ujar Wiwi.

"Logikanya ibu di Majelis Ta'lim dapat pencerahan. Pulang, ia menjadi Ibu. Nah ini sebenarnya sekolah non formal. Jadi, seminggu sekali mereka datang untuk dapat 'pendidikan' ini," Kata Wiwi.

Wiwi berharap, melalui Mejalis Ta'lim, para ibu bisa membentengi keluarganya juga anak-anaknya dari pengaru-pengaruh negatif yang kian marak.

(Aien / Tabloid Wanita Indonesia)