Catatan Perjalanan di Islamic Book Fair 2024
Sofia Latifa Diyarsyah_Kelas 9F
Catatan Perjalanan di Islamic Book Fair 2024
Sofia Latifa Diyarsyah_Kelas 9F
Dalam sebuah narasi yang penuh semangat, mari kita bawa pembaca menyelami pengalaman menarik dari Islamic Book Fair 2024, atau yang lebih dikenal dengan IBF 2024. Ini adalah momen bersejarah bagi perpustakaan MTs Pembangunan, karena pertama kalinya hadir dengan membawa anggota Book Club yang penuh antusias.
Ketua Book Club, Duta Perpustakaan, dan tujuh anggota Book Club berkomitmen untuk berpartisipasi dalam pameran yang sangat dinanti. Keberanian dan semangat mereka untuk berbagi pengetahuan dan wawasan melalui buku sangatlah menginspirasi.
Namun, tak semua anggota Book Club dapat hadir dalam pameran kali ini. Mereka yang belum berkesempatan kali ini akan diikutsertakan dalam pameran mendatang, pada bulan September di tempat yang sama, sehingga semua dapat merasakan pengalaman berharga ini. Rencana akomodasi yang matang telah disusun, memastikan bahwa Duta Perpustakaan dan Ketua Book Club dapat menghadiri kedua pameran, memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjalin lebih banyak hubungan dan belajar dari sesama penggiat literasi.
Dengan harapan yang tinggi dan semangat membara, perjalanan ini menjadi langkah awal yang penting dalam memperkenalkan dunia literasi kepada lebih banyak orang.
Dalam sebuah perjalanan yang penuh makna, terdapat sekumpulan siswa yang berasal dari berbagai kelas. Dari kelas sembilan ada empat orang yang berpartisipasi, termasuk diriku sendiri, Dhiya, Fathma, dan Amanda. Sementara itu, dari kelas delapan ada dua orang, Najwa dan Aqila, yang turut serta. Tidak ketinggalan, dari kelas tujuh ada tiga orang yang penuh semangat yaitu Nadine, Khayra, dan Talita, juga ikut dalam perjalanan ini. Dengan keberagaman ini, kami berharap dapat menciptakan kenangan yang tak terlupakan bersama.
Pada pagi yang cerah di hari Rabu, kami telah menetapkan pukul 09.00 sebagai waktu keberangkatan. Hari itu memiliki makna khusus karena diperingati sebagai Hari Pramuka. Kami pun melaksanakan upacara yang berlangsung selama sekitar 30 menit, di mana semangat kebersamaan dan cinta tanah air terasa begitu kental. Setelah upacara, aku bersama Fathma dan Amanda memutuskan untuk berkumpul di perpustakaan.
Di sana, kami menemukan Dhiya yang tampak tidak berpartisipasi dalam upacara. Namun, setelah kami ketahui, Dhiya sedang tidak enak badan, jadi kami memakluminya. Sambil menunggu anggota lainnya, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol, membaca komik Detective Conan, dan menikmati bakso aci yang lezat.
Setelah kurang lebih 30 menit, semua anggota akhirnya berkumpul di perpustakaan. Menariknya, kami melihat bahwa siswa kelas 7 dan 8 sudah masuk kelas untuk mengikuti pelajaran pertama dan kedua. Salut untuk mereka! Justru kami, kelas 9, yang tampak malas untuk melanjutkan ke kelas. Momen ini menjadi pengingat akan pentingnya disiplin dan tanggung jawab dalam menjalani pendidikan.
Di tengah kesibukan yang melanda, aku dan teman-teman kelas 9 hampir saja tertinggal, hanya karena kami naik ke lantai 4 lebih dulu untuk mengambil mukena dan seblak. Namun, keberuntungan berpihak pada kami, dan akhirnya kami berhasil mengamankan empat kursi di bagian belakang. Fathma, dengan senyum ceria yang tak pernah pudar, tampak sangat bersemangat, mungkin karena baru saja mendapatkan tambahan uang jajan sebesar dua puluh ribu sebelum keberangkatan. Di sisi kami, ada Pak Sandy, Pak Jae, dan Pak Fajar yang setia mendampingi. Pak Fajar mengambil alih tugas Bu Fitri yang seharusnya hadir, namun terpaksa absen karena masalah kesehatan.
Sejujurnya, belakangan ini kami, anak-anak kelas 9, seringkali berjuang melawan rasa kantuk. Sebagai anggota OSIS, kami dibanjiri dengan berbagai tugas dan program kerja yang harus diselesaikan dalam beberapa minggu terakhir. Akibatnya, dua pertiga dari perjalanan kami dihabiskan dengan tidur. Saking lelahnya, kami bisa terlelap meski di sekitar kami ada teman-teman yang sedang asyik mengobrol. Namun, ada satu hal yang membuatku merasa senang, yaitu kehadiran anggota baru yang dipenuhi energi dan antusiasme. Mereka seolah menjadi penyemangat baru di tengah rutinitas yang melelahkan ini.
Pada pagi yang cerah, tepatnya pukul 10.00, kami melangkah memasuki Jakarta Convention Centre yang terletak di Senayan. Dengan rasa syukur, kami merasakan perjalanan yang cukup lancar, meskipun ada sedikit kendala di beberapa titik. Mengingat kondisi lalu lintas di Jakarta yang terkenal padat, satu jam perjalanan bisa dibilang waktu yang ideal untuk sampai ke tujuan.
Ini adalah pengalaman pertamaku memasuki JCC. Dalam benakku, aku sudah mempersiapkan diri menghadapi antrian yang panjang, udara panas yang menyengat, dan aroma keringat yang biasanya menyelimuti suasana acara besar. Namun, kenyataannya sungguh berbeda. Antrian kami bahkan tidak lebih dari sepuluh menit, dan ketika kami melangkah masuk, udara di dalam ruangan terasa sejuk dan nyaman, tanpa ada bau yang mengganggu. Suasana ini seolah memberikan sambutan hangat yang membuat kami merasa betah.
Dalam sebuah petualangan yang penuh warna, kami membagi diri menjadi tiga kelompok. Di antara kami, ada aku, Fathma, Amanda, dan Pak Sandy yang berkelana bersama. Sementara itu, Dhiya ditemani Najwa, Aqila, dan Pak Aje, sedangkan Khayra, Nadine, dan Talita bernaung di bawah bimbingan Pak Fajar. Setiap kelompok membawa selembar kertas yang berisi daftar buku-buku yang harus kami beli, seolah-olah itu adalah peta menuju harta karun pengetahuan.
Saat kami menyusuri area pameran dengan penuh semangat, tiba-tiba seorang sales dari salah satu booth menghampiri kami. Dengan suara yang menggugah, ia menawarkan buku-buku dengan harga yang melambung tinggi. "Dari 90.000 jadi 5.000!" serunya dengan berapi-api. Namun, di dalam hati, keraguan mulai menggelayuti pikiranku. Apakah buku-buku ini benar-benar asli? Rasa skeptis ini membuatku merasa perlu untuk berbagi pendapat dengan Amanda dan Fathma, yang juga tampak ragu.
Tak lama setelah kami meninggalkan booth tersebut, Pak Sandy pun mengungkapkan pandangannya. "Kita harus menjaga orisinalitas buku di perpustakaan MTs," ujarnya tegas. Kata-kata pak Sandy menjadi pengingat bagi kami bahwa dalam setiap transaksi, integritas dan kualitas adalah hal yang tak bisa ditawar. Dalam perjalanan ini, kami belajar bahwa memilih buku bukan hanya sekedar membeli, tetapi juga menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.