Tahukah kamu bahwa fakta sejarah “Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun” selama ini keliru? Bahkan bisa dibilang hoaks juga lho, itu. KLIK untuk meneruskkan membaca
Selama 350 tahun, Bangsa Indonesia telah dijajah Belanda. Sebuah kredo yang jadi kebenaran umum di mana-mana bagi masyarakat Indonesia, kredo yang bahkan sudah diajarkan dari generasi ke generasi lebih dari setengah abad.
Pada umumnya, ungkapan “350 tahun dijajah Belanda” lazim digunakan untuk menunjukkan besarnya penderitaan yang dialami leluhur-leluhur kita zaman dulu. Selain itu, durasi ini juga untuk menunjukkan superioritas negeri mungil di Eropa tersebut, yang mana bisa memiliki daerah koloni terbesar di Asia Tenggara.
Sadar tidak sadar, ungkapan “350 tahun dijajah Belanda” sebenarnya menunjukkan betapa piawai orang-orang Belanda (terutama dari tahun 1600-an sampai paro pertama 1900-an) dalam penguasaan teknologi serta taktik-strategi.
a, betul. Selain soal teknologi persenjataan mesiu seperti senapan, pistol, granat, meriam, hingga dinamit; atau soal teknologi perkapalan, pelayaran, serta pembuatan peta; kemudian soal sistem komunikasi serta administrasi kekuasaan; Belanda juga menguasai—tentu saja—jurus devide et impera.
***
Kredo “350 tahun dijajah Belanda” pun kini sudah akrabi Generasi Z maupun Generasi Alfa. Anak-anak muda generasi sekarang dapat menemukannya dalam aneka produk data dan informasi, baik dalam format tulisan, grafis, maupun audio-visual.
Selain itu, generasi yang lebih sepuh juga dapat menemukan data yang menguatkan kredo tersebut dari beragam jenis pembicaraan sehari-hari. Baik yang santai-santai saja sampai yang menyangkut urusan dan forum resmi. Pun dengan pendidikan sekolah formal yang turut serta mereproduksinya.
Eksisnya kredo “350 tahun dijajah Belanda” di kalangan generasi sekarang, harus diakui, tidak lepas dari tingginya populernya ungkapan tersebut pada generasi-generasi sebelumnya. Para kakek-nenek kita maupun kakek buyut-nenek buyut kita (yang termasuk Angkatan ‘45 hingga Angkatan ’66) negeri ini, sudah terlalu akrab dengan kredo “350 tahun dijajah Belanda”. Mereka sudah diajari di sekolah-sekolah untuk percaya itu semua dan seolah sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa yang mandarah daging.
Tidak genap 350 Tahun
Di balik populernya kredo “350 tahun dijajah Belanda”, hal ini seolah menunjukkan betapa lemah orang-orang Indonesia soal pengetahuan sejarah dan pengetahuan dasar matematika. Setidaknya, itu bisa dibuktikan dengan tak banyak perbaikan signifikan dalam beberapa dekade terakhir soal fakta keliru tersebut. Sampai sekarang masih banyak orang yang percaya, bahwa kita pernah dijajah Belanda selama 350 tahun.
Padahal seharusnya, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama soal pengetahuan dasar matematika, kita sudah dapat melihat bahwa ada yang janggal dengan ungkapan sejarah yang menyebut bahwa kita selama 350 tahun dijajah Belanda.
Pengetahuan mendasar tentang sejarah nasional Indonesia, khususnya periode kedatangan Belanda ke Nusantara, sejatinya akan dengan cepat menunjukkan bahwa koloni-koloni pertama “Para Londo” di Nusantara itu hanyalah Ambon dan Batavia.
Ambon direbut VOC dari Portugis pada 1609. Batavia yang sekarang menjadi Jakarta dibentuk VOC sebagai koloni pada 1619 setelah merebut kota bandar kekuasaan Pangeran Jayakarta.
Belanda sendiri terdepak dari koloni luasnya di Asia Tenggara—yang sempat lama dinamai Hindia Belanda—pada 1942 karena invasi Tentara Kekaisaran Jepang.
Seusai Perang Dunia II, Belanda akan mencoba kembali menguasai Eks Teritorial Hindia Belanda pada 1945-1949. Namun wilayah eks jajahan mereka telah kadung diproklamasikan sebagai negara merdeka oleh Sukarno-Hatta.
Alhasil pada 1949, setelah gagal memenangkan perang untuk menguasai kembali Hindia Belanda selama empat tahun lantas, Belanda akhirnya dipaksa mengakui wilayah koloninya ini sebagai negara merdeka dengan nama Indonesia.
Nah, dengan bermodal kemampuan berhitung sederhana, kita bisa tahu bahwa rentang masa penjajahan Belanda atas koloni pertamanya di Asia Tenggara, Ambon, tidak akan sampai 350 tahun.
Kalau dihitung dengan cermat, kekuasaan Belanda atas Ambon 1609-1942 itu durasinya “hanya” 321 tahun. Bahkan kalau mau dihitung sampai 1949 (tahun pengakuan Belanda atas Kedaulatan Indonesia) atau 1950 (tahun ekspedisi militer menumpas pemberontakan RMS), panjang kekuasaan Belanda atas kota itu ya 325 atau 326 tahun, bukan 350 tahun.
Oh iya, angka-angka itu tadi perhitungannya juga sudah memperhitungkan tahun-tahun ketika Ambon dikuasai Inggris selama 12 tahun pada akhir 1700-an dan awal 1800-an.
Tak beda jauh dengan lama kekuasaan Belanda atas Batavia yang “cuma” terjadi sekitar 318 atau 322 tahun saja. Ya, lagi-lagi tidak genap 350 tahun. Angka 318 atau 322 tahun itu pun telah dikurangi jeda masa kekuasaan Inggris selama lima tahun pada 1811-1816.
Selain kekeliruan perhitungan matematika sederhana itu, kekuasaan Belanda atas dua koloni tertua tadi pada kenyataannya tidak bisa menjadi dasar bahwa Belanda telah menguasai seluruh kepulauan di Nusantara.
Belanda nyatanya mengumpulkan sekeping demi sekeping wilayah Nusantara dalam tempo sangat lama. Dari awal 1600-an hingga awal 1900-an. Itu pun kadang-kadang ada pemberontakan di wilayah-wilayah yang tadinya sudah dikuasai. Artinya, penguasaan Belanda ke seluruh bagian Nusantara sebenarnya tidak pernah terjadi sampai 3,5 abad lamanya.
Jawa baru sepenuhnya dikuasai pada sejak antara 1749-1830. Sumatera Barat pun baru dikuasai pada akhir 1830-an. Daerah-daerah terakhir yang direbut Belanda adalah Aceh pada 1904 serta Klungkung di Bali pada 1908.
Visualisasi bahwa penguasaan Nusantara oleh Belanda sebenarnya begitu bertahap selama 300 tahun dapat dibaca melalui peta-peta di Historical Atlas of South-East Asia karya JM Pluvier. Lebih afdol lagi jika dibarengi baca buku Bukan 350 Tahun Dijajah karya GJ Resink.
Jadi, kalau memakai fakta-fakta sejarah itu, hanya sekitar 30-40-an tahun sajalah usia Koloni Hindia Belanda yang nantinya menjadi embrio kelahiran Republik Indonesia. Oleh sebab itu, bisa disimpulkan bahwa hanya kurang dari 10 persen sajalah klaim sejarah bahwa kita (sebagai Bangsa Indonesia) pernah dijajah Belanda selama 350 tahun.
Nah, pertanyaan besarnya sekarang, dari mana kredo 350 tahun dijajah Belanda itu muncul dan jadi hoaks yang diyakini kita semua selama ini?
Ini semua muncul gara-gara overgeneralisasi ucapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk periode 1931-1936, BC de Jonge.
Demi mengerdilkan Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia yang sudah mulai bermunculan pada masa-masa itu. Si Gubernur waktu itu berkata, “Kita sudah di sini selama 300 tahun dan tetap ada di sini 300 tahun lagi.”
Problemnya, kata-kata tersebut malah dipakai sebagai dasar playing victim oleh para aktivis Pergerakan Nasional dan Pejuang Kemerdekaan para intelektual bumiputra Hindia Indonesia.
Kata-kata BC de Jonge ini, pada akhirnya menjadi bahan baku propaganda yang sempurna. Kata-katanya dikreasi sedemikian rupa oleh pendahulu-pendahulu kita untuk memprovokasi semangat juang para bumiputra agar mau merdeka.
Propaganda yang belakangan kita tahu malah kebablasan sampai dianggap sebagai sebuah fakta sejarah—bahkan sampai sekarang.
Penulis: Yosef Kelik
Editor: Ahmad Khadafi
Gambar hanya ilustrasi semata
Desa Sumub Lor terletak di Kecamatan Sragi. Dahulu, di wilayah ini sebelum diberi nama, warganya memiliki kegemaran adu jago sambil judi" Mereka tidak peduli bahwa berjudi sangat dilarang dalam agama Islam yang mulai masuk ke wilayah tersebut. Bagi warga yang terpenting mereka bisa menang dalam judi dan dapur di rumah mereka bisa mengepul.
Setiap menjelang Maghrib, mereka berkumpul di dekat sebuah sumur tua untuk menarungkan ayam miliknya. Sebagian lainnya datang sekadar untuk bertaruh. Mereka menikmati pertunjukan persabungan dengan gembira.
Sumur tempat mereka adu jago tersebut bukan sembarang sumur. Sumur tersebut merupakan satu-satunya sumur yang ada di sana. Airnya dimanfaatkan seluruh warga desa untuk banyak hal, termasuk untuk minum. Air sumur itu tidak pernah surut walau musim kemarau. Pernah ketika terjadi musim kemarau sangat lama sungai di desa tersebut menjadi kering. Namun ternyata, air di sumur tersebut masih banyak dan digunakan warga sebagai sumber air saat musim kemarau datang.
Kegemaran menyabung ayam itu lama kelamaan semakin melampaui batas. Bukan sekadar untuk bersenang senang, namun sudah menjurus pada pertikaian antar warga. Hal itu menyebabkan ulama desa yang bernama Kyai Jimad murka. Semula Kyai Jimad berusaha memendam amarahnya. Namun melihat warganya semakin tak terkendali, Kyai Jimad akhirnya bertindak
Suatu sore ketika berlangsung adu jago, Kyai Jimad datang dan menasehati orang-orang itu. "Berhentilah kalian mengadu jago, jika kalian tidak ingin desa kita terkena musibah."
"Musibah apa, Kyai? Kyai ini mengada-ada saja," ucap salah seorang warga
"Iya, Kyai. Sudah lama kita melakukan adu jago, tapi tidak apa-apa,"timpal warga lain
Kyai Jimad mengelus dada mendengar jawaban dari warga. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kyai Jimad meninggalkan arena adu jago. Warga melanjutkan kesenangan mereka tanpa mengkhawatirkan ucapan Kyai Jimad.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Kyai Jimad hanyamenunduk. Hatinya terus berdoa. Demikian dilakukannya sampai selesai mendirikan sholat Maghrib. Beliau meminta petunjuk pada Allah SWT agar warganya insaf.
Suatu sore, warga telah berkumpul di dekat sumur tua. Ayam jago berbadan tegap dengan kepala bulat pinang dan bulu warna-warni telah siap ditarungkan. Sang empunya telah melatih ayam jago tersebut berbulan-bulan lamanya. Pemilik ayam jago itu tidak mau rugi. Jika menang, banyak uang yang akan mereka dapatkan. Jika tidak memiliki jago, tinggal ikut saja memasang taruhan, memilih jago mana yang akan menang.
Waktu itu sedang berlangsung pertandingan jago yang merupakan juara bertahan, yaitu jago milik Pardi dan jago milik Kusjoyo. Banyak warga yang memilih jago milik Pardi, karena sudah terkenal kehebatannya seantero desa.
Namun belum sempat adu jago selesai, tiba-tiba sebuah peristiwa aneh terjadi. Terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Semakin lama suara gemuruh tersebut semakin terdengar keras. Warga kebingunga dan mencari-cari sumber suara. Ternyata suara gemuruh itu berasal dari sumur tua. Para penyabung ayam dan pengunjung lainnya bergegas menjauhi sumur. Tiba-tiba, mereka melihat sumur tua menyemburkan air yang mendidih.
Air mendidih menyembur hingga keluar sumur. Warga yang menyaksikan peristiwa aneh tersebut berlarian, ada yang saling bertabrakan. Ayam jago yang sedang diadu pun ikut ketakutan. Semburan air semakin meluas ke area sekitar sumur tua. Orang-orang berlarian ke arah selatan untuk melarikan diri. Sementara ayam-ayam jago berlari ke arah berlawanan.
Air yang mendidih (umub dalam bahasa Jawa) dan larinya sang jago ke arah utara merupakan cikal bakal lahirnya nama Desa Sumub Lor Jika dipenggal terdiri dari dua kata Sumub dan Lor. Sumub berasal dari air yang mendidih (umub) dan larinya sang jago ke arah utaralah yang membuat desa tersebut diberi embel-embel Lor
Setelah kejadian itu, penduduk mulai segan pada Kyai Jimad Mereka menganggap bahwa meluapnya air mendidih dari dalam sumur tua merupakan bukti bahwa kata-kata Kyai Jimad benar adanya. Akhimya, Kyai Jimad dianggap sebagai sesepuh Desa Sumub Lor oleh warga. Jika ada sesuatu yang terjadi pada Desa Sumub Lor, masyarakat mengadu pada Kyai Jimad.
Sumber:"Mendongeng Pekalongan" Karya Taufik Hidayat & Akar Atya
Umar bin Khattab adalah seorang khalifah yang sangat terkenal, perjalanan hidupnya adalah teladan yang diikuti, dan kepemimpinannya adalah sesuatu yang diimpikan. Banyak orang saat ini memimpikan, kiranya Umar hidup di zaman ini dan memipin umat yang tengah kehilangan jati diri.
Masuk Islam
Pada puncak kebenciannya terhadap ajaran Nabi Muhammad S.A.W., Umar memutuskan untuk mencoba membunuh Nabi Muhammad S.A.W., namun saat dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Nabi Muhammad S.A.W. bernama Nu'aim bin Abdullah yang kemudian memberinya kabar bahwa saudara perempuan Umar telah memeluk Islam, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. yang ingin dibunuhnya saat itu. Karena berita itu, Umar terkejut dan pulang ke rumahnya dengan dengan maksud untuk menghukum adiknya, diriwayatkan bahwa Umar menjumpai saudarinya itu sedang membaca Al Qur'an surat Thoha ayat 1-8, ia semakin marah akan hal tersebut dan memukul saudarinya.
Ketika melihat saudarinya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat, diriwayatkan Umar menjadi terguncang oleh apa yang ia baca tersebut, beberapa waktu setelah kejadian itu Umar menyatakan memeluk Islam, tentu saja hal ini membuat hampir seisi Mekkah terkejut karena seseorang yang terkenal paling keras menentang dan paling kejam dalam menyiksa para pengikut Nabi Muhammad S.A.W. kemudian memeluk Islam.
Menjadi Khalifah
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk salat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk salat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia salat.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah danMasjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Wafatnya
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.
Benarkah Pendiri Muhammadiyah dan NU Bersudara?
Seperti yang kita tahu, Muhammadiyah didirikan oleh Kyiai Haji Ahmad Dahlan pada 18 Nopember 1912, sedangkan NU didirikan oleh Kyiai Hasyim Asyari 14 tahun sesudahnya, 31 Januari 1926. Keduanya pernah menimba ilmu dengan guru yang sama, Kyiai Khalil Bangkalan. Setelah menimba ilmu mereka berdua melanjutkan untuk menimba ilmu di Kyiai Sholeh Darat Semarang. Keduanya sangat cerdas.
Setelah menimba ilmu di Semarang, keduanya melanjutkan menimba ilmu di Arab Saudi dalam waktu bersamaan. Mereka laksana adik dan kakak dalam menimba ilmu. Seringkali KH Hasyim memanggil Ahmad Dahlan dengan sebutan Kangmas.
Kangmas yang berarti adalah kakak seperguruan atau kakak dalam arti lahiriah. Lahiriah? Kenapa bisa? Apakah keduanya bersaudara? Ini menarik disimak. Founding Father dari 2 Organisasi Keagamaan terbesar di Nusantara ini memiliki hubungan darah?
Kedua tokoh ini bertemu dalam satu nasab yang sama. Maulana Ishaq, leluhur kedua tokoh ini. Yang jika diteruskan sanadnya akan sampai ke Rasulullah. Subhanallah, mungkin banyak orang yang belum tahu soal garis keturunan Rasulullah mengalir di kedua Tokoh ini.
Tak heran mereka merupakan Founding Father kebangkitan Agama di negeri ini. Tak heran pula, sang Kyiai Hasyim sering memanggil Kyiai Ahmad Dahlan dengan sebutan Kakang karena hubungan nasab ini sampai ke leluhur mereka.
Keduanya memiliki kesamaan dalam guru, menimba ilmu, namun berbeda dalam menempuh jalan dakwah. namun bersatu dalam tujuan. Demi Nusantara yang lebih baik lagi. Jika demikian, pantas kah kita yang ada di lapisan masyarakat harus terus menerus berselisih soal pandangan Ushul Fiqih?
Ahmad Dahlan merupakan pendakwah yang bergerak di bidang pendidikan dan suka praktek amaliah Qur'an. Hal ini tentu menjadi dasar perjuangan organisasi Muhammadiyah. Dimana Pendidikan adalah tujuan utama dari persyarikatan Muhammadiyah.
NU berbeda cerita, Hasyim Asyari yang telah menerbitkan 19 buku sepanjang hidupnya merasa bahwa Pemikiran Ulama dipandang penting dalam membangkitkan dan meneruskan perjuangan umat. Ulama akan senantiasa menjadi garda depan perjuangan Bangsa. Keduanya bahu membahu membangun pondasi yang kokoh bagi agama Islam di negeri ini.
Masihkah kita bertentangan untuk membenarkan ego masing-masing? Jikalau kebenaran masing-masing itu hanya menyebabkan perselisihan, kenapa kita tidak mengambil hikmahnya untuk menjadikan perbedaan ini kebaikan? Semoga menjadikan petikan hikmah buat kita di Bulan Ramadhan ini.
dikutip dari: https://thr.kompasiana.com/arjunoresowiredjo/5cf5676ec01a4c2f9839a247/pendiri-muhammadiyah-dan-nu-bersaudara-benarkah
Hari Kartini diperingati pada 21 April 2022. Penetapan Hari Kartini dilakukan saat pemerintahan Presiden 1 RI Sukarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Keppres tersebut menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yaitu Hari Kartini.
Kartini adalah salah satu pejuang emansipasi wanita di Indonesia, terutama dalam hal pendidikan. Pemikiran Kartini soal emansipasi wanita berkembang karena korespondensinya dengan teman-teman di Belanda.
Ia juga mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang diketahui lewat surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca. Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan di Indonesia. Dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah. Ia juga membaca berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda. Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta. Surat-surat yang Kartini tulis berisi kondisi wanita di Indonesia. Ia menuliskan penderitaan perempuan Jawa seperti harus menjalani pingit, tak bisa bebas berpendapat dan menempuh pendidikan. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle “Stella” Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A Kartini. Sejarah Singkat Kartini Nama lengkap Kartini adalah Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Ia berasal dari Jepara, Jawa Tengah dan lahir pada 21 April 1879. Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan jawa. Ayah Kartini adalah seoarang Bupati Jepara berama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Ibu Kartini bernama M.A. Ngasirah, merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Ngasirah bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa. Sebagai anak bangsawan, Kartini mampu menempuh pendidikan di ELS (Europese Lagere School) selama 12 tahun. Ia banyak belajar di sana, termasuk bahasa Belanda. Pada 1903 saat Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri. Meskipun begitu, suami R.A Kartini ykni K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat memahami apa yang menjadi keinginan istrinya itu. Sehingga ia kemudian diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama. Sekolah itu berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka.
Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Singkat Kartini dan Peringatannya pada 21 April 2022", https://tirto.id/grn2
MULUT
Oleh: KH A Mustofa Bisri
Di mukamu ada sebuah rongga
Ada giginya ada lidahnya
Lewat rongga itu semua bisa
kau masukkan ke dalam perutmu
Lewat rongga itu semua bisa kau tumpahkan
Lewat rongga itu air liurmu bisa
meluncur sendiri
Dari rongga itu
Orang bisa mencium bau apa saja
Dari wangi anggur hingga tai kuda
Dari rongga itu
Mutiara atau sampah bisa masuk bisa keluar
Membuat langit cerah atau terbakar
Dari rongga itu
mata air jernih bisa kau alirkan
Membawa kesejukan kemana-mana
Dari rongga itu
Kau bisa menjulurkan lidah api
Membakar apa saja
Dari rongga itu
Bisa kau perdengarkan merdu burung berkicau
Bisa kau perdengarkan suara bebek meracau
Dari rongga itu
Madu lebah bisa mengucur
Bisa ular bisa menyembur
Dari rongga itu
Laknat bisa kau tembakkan
pujian bisa kau hamburkan
Dari rongga itu
Perang bisa kau canangkan
Perdamaian bisa kau ciptakan
Dari rongga itu
Orang bisa sangat jelas melihat dirimu
Rongga itu milikmu
Terserah
kau.
NEGERIKU
Oleh: KH A Mustofa Bisri
mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya didunia
dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perak perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku
mana ada negeri sekaya negeriku?
majikan-majikan bangsaku
memiliki buruh-buruh mancanegara
brankas-brankas ternama di mana-mana
menyimpan harta-hartaku
negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat
rata-rata pemimpin negeriku
dan handai taulannya
terkaya di dunia
mana ada negeri semakmur negeriku
penganggur-penganggur diberi perumahan
gaji dan pensiun setiap bulan
rakyat-rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan
rampok-rampok dibri rekomendasi
dengan kop sakti instansi
maling-maling diberi konsesi
tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi
NEGERI HAHA HIHIH
Oleh: KH A Mustofa Bisri
Bukan karena banyaknya grup lawak,
maka negriku selalu kocak
Justru grup – grup lawak hanya mengganggu
dan banyak yang bikin muak
Negeriku lucu, dan para pemimpinnya suka mengocok perut
Banyak yang terus pamer kebodohan
dengan keangkuhan yang menggelikan
Banyak yang terur pamer keberanian
dengan kebodohan yang mengharukan
Banyak yang terus pamer kekerdilan
dengan teriakan yang memilukan
Banyak yang terus pamer kepengecutan
dengan lagak yang memuakkan. Ha ha ...
Penegak keadilan jalannya miring
Penuntut keadilan kepalanya pusing
Hakim main mata dengan maling
Wakil rakyat baunya pesing. Hi hi ...
Kalian jual janji – janji
untuk menebus kepentingan sendiri
Kalian hafal pepatah-petitih
untuk mengelabui mereka yang tertindih
Pepatah petitih, ha ha ...
Anjing menggonggong kafilah berlalu,
Sambil menggonggong kalian terus berlalu
Ha ha, hi hi ...
Ada udang dibalik batu,
Otaknya udang kepalanya batu
Ha ha, hi hi
Sekali dayung dua pulau terlampaui
Sekali untung dua pulau terbeli
Ha ha, hi hi
Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
kalian mati meninggalkan hutang
Ha ha, hi hi
Hujan emas dinegeri orang, hujan batu dinegri sendiri,
Lebih baik yuk hujan – hujanan caci maki.
Ha ha, hi hi
LELAKI YANG MENDERITA KETIKA DIPUJI
Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang bila dipuji. Tetapi akhir-akhir ini dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, ”Ini Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang.” Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, ”Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar. Berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar.”
Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, ”Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri.” Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. ”Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya.”
Mardanu tidak mengerti mengapa hanya karena uang pensiun yang utuh, badan yang sehat, anak yang mapan, bahkan burung piaraan membuat orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yang semua orang bisa melakukannya bila mau? Bagi Mardanu, pujian hanya pantas diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari sejak muda sampai menjadi kakek-kakek dia belum berbuat jasa apa pun. Ini yang membuatnya menderita karena pujian itu seperti menyindir-nyindirnya.
Enam puluh tahun yang lalu ketika bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para pahlawan. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Mardanu juga tahu dari cerita orang-orang, pamannya sendiri adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita tentang sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan; seorang pejuang muda dengan bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dengan gagah menyerang musuh, lalu roboh ke tanah dan gugur sambil memeluk bumi pertiwi.
Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Maka Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. Ijazahnya hanya SMP, dan dia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap ketika dia terpilih dan mendapat tugas sebagai penembak artileri pertahanan udara. Dia berdebar-debar dan melelehkan air mata ketika untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dalam waktu satu detik. ”Pesawat musuh pasti akan meledak kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yang hebat ini,” selalu demikian yang dibayangkan Mardanu.
Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dalam tidurnya Mardanu mendapat perintah siaga tempur. Persiapan hanya setengah menit. Pesawat musuh akan datang dari utara. Mardanu melompat dan meraih senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya menatap tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yang segera muncul sambil menabur tentara payung. Mardanu menarik tuas pelatuk dan ratusan peluru menghambur ke angkasa dalam hitungan detik. Ya Tuhan, pesawat musuh itu mendadak oleng dan mengeluarkan api. Terbakar. Menukik dan terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dari perut pesawat dan Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana.
Ya Tuhan, tiga parasut yang sudah mengembang mendadak kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka pasti akan luluh-lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak namun tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yang kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yang meledak hanya tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu dan jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal.
Ketika tersadar Mardanu kecewa berat; mengapa pertempuran hebat itu hanya ada dalam mimpi. Andaikata itu peristiwa nyata, maka dia telah melakukan pekerjaan besar dan luar biasa. Bila demikian Mardanu mau dipuji, mau juga menerima penghargaan. Meski demikian, Mardanu selalu mengenang dan mengawetkan mimpi itu dalam ingatannya. Apalagi sampai Mardanu dipindahtugaskan ke bidang administrasi teritorial lima tahun kemudian, perang dan serangan udara musuh tidak pernah terjadi.
Pekerjaan administrasi adalah hal biasa yang begitu datar dan tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan tugas itu, lalu tanpa terasa masa persiapan pensiun datang. Mardanu mendapat tugas baru menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa tempat dia tinggal, Mardanu juga bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani tugas teritorial ini pun Mardanu tidak pernah menemukan kesempatan melakukan sesuatu yang penting dan bermakna sampai dia pada umur lima puluh tahun.
Pagi ini Mardanu berada di becak langganannya yang sedang meluncur ke kantor pos. Dia mau ambil uang pensiun. Kosim si abang becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak napasnya terdengar megap-megap. Namun seperti biasa dia mengajak Mardanu bercakap-cakap.
”Pak Mardanu mah senang ya, tiap bulan tinggal ambil uang banyak di kantor pos,” kata Si Kosim di antara tarikan napasnya yang berat. Ini juga pujian yang terasa membawa beban. Dia jadi ingat selama hidup belum pernah melakukan apa-apa; selama jadi tentara belum pernah terlibat perang, bahkan belum juga pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah beruntung bila sehari mendapat lima belas ribu rupiah. Beruntung, karena dia sering mengalami dalam sehari tidak mendapatkan serupiah pun.
Masih bersama Kosim, pulang dari kantor pos Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya. Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yang membuat tukang becak itu tertawa. Kemudian terdengar kicau kutilang di kurungan yang tergantung di kaso emper rumah. Burung itu selalu bertingkah bila didekati majikannya. Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di sisi kurungan. Dia ingin lebih lama menikmati tingkah burungnya; mencecet, mengibaskan sayap dan merentang ekor sambil melompat-lompat. Mata Mardanu tidak berkedip menatap piaraannya. Namun mendadak dia harus menengok ke bawah karena ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. Itu tangan Manik, cucu perempuan yang masih duduk di Taman Kanak-kanak.
”Itu burung apa, Kek?” tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yang sejati.
”Namanya burung kutilang. Bagus, kan?”
Manik diam. Dia tetap menengadah, matanya terus menatap ke dalam kurungan.
”O, jadi itu burung kutilang, Kek? Aku sudah lama tahu burungnya, tapi baru sekarang tahu namanya. Kek, aku bisa nyanyi. Nyanyi burung kutilang.”
”Wah, itu bagus. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar.”
Manik berdiri diam. Barangkali anak TK itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.
Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi… Manik menyanyi sambil menari dan bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu dan menggemaskan. Citra dunia anak-anak yang amat menawan. Mardanu terpesona, dan terpesona. Nyanyian cucu terasa merasuk dan mengendap dalam hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari dan menyanyi.
Selesai menari dan menyanyi, Mardanu merengkuh Manik, dipeluk dan direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, lalu diantar ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dari sana Mardanu duduk di bangku agak di bawah kurungan kutilangnya. Dia lama terdiam. Berkali-kali ditatapnya kutilang dalam kurungan dengan mata redup. Mardanu gelisah. Bangun dan duduk lagi. Bangun, masuk ke rumah dan keluar lagi. Dalam telinga terulang-ulang suara cucunya; Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi….
Wajah Mardanu menegang, kemudian mengendur lagi. Lalu perlahan-lahan dia berdiri mendekati kurungan kutilang. Dengan tangan masih gemetar dia membuka pintunya. Kutilang itu seperti biasa, bertingkah elok bila didekati oleh pemeliharanya. Tetapi setelah Mardanu pergi, kutilang itu menjulurkan kepala keluar pintu kurungan yang sudah menganga. Dia seperti bingung berhadapan dengan udara bebas, tetapi akhirnya burung itu terbang ke arah pepohonan.
Ketika Manik datang lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, dia menemukan kurungan itu sudah kosong.
”Kek, di mana burung kutilang itu?” tanya Manik dengan mata membulat.
”Sudah kakek lepas. Mungkin sekarang kutilang itu sedang bersama temannya di pepohonan.”
”Kek, kenapa kutilang itu dilepas?” Mata Manik masih membulat.
”Yah, supaya kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka, seperti nyanyianmu.”
Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak, namun belum ada satu kata pun yang keluar.
”Biar kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu luar biasa. Kakek hebat, hebat banget. Aku suka Kakek.” Manik melompat-lompat gembira.
Mardanu terkesima oleh pujian cucunya. Itu pujian pertama yang paling enak didengar dan tidak membuatnya menderita.
Manik kembali berlenggang-lenggok dan bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yang mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dengan tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong.
_____________
Ahmad Tohari, lahir di Banyumas, 13 Juni 1948. Sekarang menetap di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah. Karyanya yang paling populer novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Kumpulan cerpennya, Senyum Karyamin, Nyanyian Malam, dan Mata yang Enak Dipandang. Buku-buku lainnya berupa novel: Kubah (1982), Di Kaki Bukit Cibalak (1977), Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Belantik (2001), dan Orang-orang Proyek (2002).