Tahukah kamu bahwa fakta sejarah “Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun” selama ini keliru? Bahkan bisa dibilang hoaks juga lho, itu. KLIK untuk meneruskkan membaca
Selama 350 tahun, Bangsa Indonesia telah dijajah Belanda. Sebuah kredo yang jadi kebenaran umum di mana-mana bagi masyarakat Indonesia, kredo yang bahkan sudah diajarkan dari generasi ke generasi lebih dari setengah abad.
Pada umumnya, ungkapan “350 tahun dijajah Belanda” lazim digunakan untuk menunjukkan besarnya penderitaan yang dialami leluhur-leluhur kita zaman dulu. Selain itu, durasi ini juga untuk menunjukkan superioritas negeri mungil di Eropa tersebut, yang mana bisa memiliki daerah koloni terbesar di Asia Tenggara.
Sadar tidak sadar, ungkapan “350 tahun dijajah Belanda” sebenarnya menunjukkan betapa piawai orang-orang Belanda (terutama dari tahun 1600-an sampai paro pertama 1900-an) dalam penguasaan teknologi serta taktik-strategi.
a, betul. Selain soal teknologi persenjataan mesiu seperti senapan, pistol, granat, meriam, hingga dinamit; atau soal teknologi perkapalan, pelayaran, serta pembuatan peta; kemudian soal sistem komunikasi serta administrasi kekuasaan; Belanda juga menguasai—tentu saja—jurus devide et impera.
***
Kredo “350 tahun dijajah Belanda” pun kini sudah akrabi Generasi Z maupun Generasi Alfa. Anak-anak muda generasi sekarang dapat menemukannya dalam aneka produk data dan informasi, baik dalam format tulisan, grafis, maupun audio-visual.
Selain itu, generasi yang lebih sepuh juga dapat menemukan data yang menguatkan kredo tersebut dari beragam jenis pembicaraan sehari-hari. Baik yang santai-santai saja sampai yang menyangkut urusan dan forum resmi. Pun dengan pendidikan sekolah formal yang turut serta mereproduksinya.
Eksisnya kredo “350 tahun dijajah Belanda” di kalangan generasi sekarang, harus diakui, tidak lepas dari tingginya populernya ungkapan tersebut pada generasi-generasi sebelumnya. Para kakek-nenek kita maupun kakek buyut-nenek buyut kita (yang termasuk Angkatan ‘45 hingga Angkatan ’66) negeri ini, sudah terlalu akrab dengan kredo “350 tahun dijajah Belanda”. Mereka sudah diajari di sekolah-sekolah untuk percaya itu semua dan seolah sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa yang mandarah daging.
Tidak genap 350 Tahun
Di balik populernya kredo “350 tahun dijajah Belanda”, hal ini seolah menunjukkan betapa lemah orang-orang Indonesia soal pengetahuan sejarah dan pengetahuan dasar matematika. Setidaknya, itu bisa dibuktikan dengan tak banyak perbaikan signifikan dalam beberapa dekade terakhir soal fakta keliru tersebut. Sampai sekarang masih banyak orang yang percaya, bahwa kita pernah dijajah Belanda selama 350 tahun.
Padahal seharusnya, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama soal pengetahuan dasar matematika, kita sudah dapat melihat bahwa ada yang janggal dengan ungkapan sejarah yang menyebut bahwa kita selama 350 tahun dijajah Belanda.
Pengetahuan mendasar tentang sejarah nasional Indonesia, khususnya periode kedatangan Belanda ke Nusantara, sejatinya akan dengan cepat menunjukkan bahwa koloni-koloni pertama “Para Londo” di Nusantara itu hanyalah Ambon dan Batavia.
Ambon direbut VOC dari Portugis pada 1609. Batavia yang sekarang menjadi Jakarta dibentuk VOC sebagai koloni pada 1619 setelah merebut kota bandar kekuasaan Pangeran Jayakarta.
Belanda sendiri terdepak dari koloni luasnya di Asia Tenggara—yang sempat lama dinamai Hindia Belanda—pada 1942 karena invasi Tentara Kekaisaran Jepang.
Seusai Perang Dunia II, Belanda akan mencoba kembali menguasai Eks Teritorial Hindia Belanda pada 1945-1949. Namun wilayah eks jajahan mereka telah kadung diproklamasikan sebagai negara merdeka oleh Sukarno-Hatta.
Alhasil pada 1949, setelah gagal memenangkan perang untuk menguasai kembali Hindia Belanda selama empat tahun lantas, Belanda akhirnya dipaksa mengakui wilayah koloninya ini sebagai negara merdeka dengan nama Indonesia.
Nah, dengan bermodal kemampuan berhitung sederhana, kita bisa tahu bahwa rentang masa penjajahan Belanda atas koloni pertamanya di Asia Tenggara, Ambon, tidak akan sampai 350 tahun.
Kalau dihitung dengan cermat, kekuasaan Belanda atas Ambon 1609-1942 itu durasinya “hanya” 321 tahun. Bahkan kalau mau dihitung sampai 1949 (tahun pengakuan Belanda atas Kedaulatan Indonesia) atau 1950 (tahun ekspedisi militer menumpas pemberontakan RMS), panjang kekuasaan Belanda atas kota itu ya 325 atau 326 tahun, bukan 350 tahun.
Oh iya, angka-angka itu tadi perhitungannya juga sudah memperhitungkan tahun-tahun ketika Ambon dikuasai Inggris selama 12 tahun pada akhir 1700-an dan awal 1800-an.
Tak beda jauh dengan lama kekuasaan Belanda atas Batavia yang “cuma” terjadi sekitar 318 atau 322 tahun saja. Ya, lagi-lagi tidak genap 350 tahun. Angka 318 atau 322 tahun itu pun telah dikurangi jeda masa kekuasaan Inggris selama lima tahun pada 1811-1816.
Selain kekeliruan perhitungan matematika sederhana itu, kekuasaan Belanda atas dua koloni tertua tadi pada kenyataannya tidak bisa menjadi dasar bahwa Belanda telah menguasai seluruh kepulauan di Nusantara.
Belanda nyatanya mengumpulkan sekeping demi sekeping wilayah Nusantara dalam tempo sangat lama. Dari awal 1600-an hingga awal 1900-an. Itu pun kadang-kadang ada pemberontakan di wilayah-wilayah yang tadinya sudah dikuasai. Artinya, penguasaan Belanda ke seluruh bagian Nusantara sebenarnya tidak pernah terjadi sampai 3,5 abad lamanya.
Jawa baru sepenuhnya dikuasai pada sejak antara 1749-1830. Sumatera Barat pun baru dikuasai pada akhir 1830-an. Daerah-daerah terakhir yang direbut Belanda adalah Aceh pada 1904 serta Klungkung di Bali pada 1908.
Visualisasi bahwa penguasaan Nusantara oleh Belanda sebenarnya begitu bertahap selama 300 tahun dapat dibaca melalui peta-peta di Historical Atlas of South-East Asia karya JM Pluvier. Lebih afdol lagi jika dibarengi baca buku Bukan 350 Tahun Dijajah karya GJ Resink.
Jadi, kalau memakai fakta-fakta sejarah itu, hanya sekitar 30-40-an tahun sajalah usia Koloni Hindia Belanda yang nantinya menjadi embrio kelahiran Republik Indonesia. Oleh sebab itu, bisa disimpulkan bahwa hanya kurang dari 10 persen sajalah klaim sejarah bahwa kita (sebagai Bangsa Indonesia) pernah dijajah Belanda selama 350 tahun.
Nah, pertanyaan besarnya sekarang, dari mana kredo 350 tahun dijajah Belanda itu muncul dan jadi hoaks yang diyakini kita semua selama ini?
Ini semua muncul gara-gara overgeneralisasi ucapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk periode 1931-1936, BC de Jonge.
Demi mengerdilkan Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia yang sudah mulai bermunculan pada masa-masa itu. Si Gubernur waktu itu berkata, “Kita sudah di sini selama 300 tahun dan tetap ada di sini 300 tahun lagi.”
Problemnya, kata-kata tersebut malah dipakai sebagai dasar playing victim oleh para aktivis Pergerakan Nasional dan Pejuang Kemerdekaan para intelektual bumiputra Hindia Indonesia.
Kata-kata BC de Jonge ini, pada akhirnya menjadi bahan baku propaganda yang sempurna. Kata-katanya dikreasi sedemikian rupa oleh pendahulu-pendahulu kita untuk memprovokasi semangat juang para bumiputra agar mau merdeka.
Propaganda yang belakangan kita tahu malah kebablasan sampai dianggap sebagai sebuah fakta sejarah—bahkan sampai sekarang.
Penulis: Yosef Kelik
Editor: Ahmad Khadafi
Gambar hanya ilustrasi semata
Desa Sumub Lor terletak di Kecamatan Sragi. Dahulu, di wilayah ini sebelum diberi nama, warganya memiliki kegemaran adu jago sambil judi" Mereka tidak peduli bahwa berjudi sangat dilarang dalam agama Islam yang mulai masuk ke wilayah tersebut. Bagi warga yang terpenting mereka bisa menang dalam judi dan dapur di rumah mereka bisa mengepul.
Setiap menjelang Maghrib, mereka berkumpul di dekat sebuah sumur tua untuk menarungkan ayam miliknya. Sebagian lainnya datang sekadar untuk bertaruh. Mereka menikmati pertunjukan persabungan dengan gembira.
Sumur tempat mereka adu jago tersebut bukan sembarang sumur. Sumur tersebut merupakan satu-satunya sumur yang ada di sana. Airnya dimanfaatkan seluruh warga desa untuk banyak hal, termasuk untuk minum. Air sumur itu tidak pernah surut walau musim kemarau. Pernah ketika terjadi musim kemarau sangat lama sungai di desa tersebut menjadi kering. Namun ternyata, air di sumur tersebut masih banyak dan digunakan warga sebagai sumber air saat musim kemarau datang.
Kegemaran menyabung ayam itu lama kelamaan semakin melampaui batas. Bukan sekadar untuk bersenang senang, namun sudah menjurus pada pertikaian antar warga. Hal itu menyebabkan ulama desa yang bernama Kyai Jimad murka. Semula Kyai Jimad berusaha memendam amarahnya. Namun melihat warganya semakin tak terkendali, Kyai Jimad akhirnya bertindak
Suatu sore ketika berlangsung adu jago, Kyai Jimad datang dan menasehati orang-orang itu. "Berhentilah kalian mengadu jago, jika kalian tidak ingin desa kita terkena musibah."
"Musibah apa, Kyai? Kyai ini mengada-ada saja," ucap salah seorang warga
"Iya, Kyai. Sudah lama kita melakukan adu jago, tapi tidak apa-apa,"timpal warga lain
Kyai Jimad mengelus dada mendengar jawaban dari warga. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kyai Jimad meninggalkan arena adu jago. Warga melanjutkan kesenangan mereka tanpa mengkhawatirkan ucapan Kyai Jimad.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Kyai Jimad hanyamenunduk. Hatinya terus berdoa. Demikian dilakukannya sampai selesai mendirikan sholat Maghrib. Beliau meminta petunjuk pada Allah SWT agar warganya insaf.
Suatu sore, warga telah berkumpul di dekat sumur tua. Ayam jago berbadan tegap dengan kepala bulat pinang dan bulu warna-warni telah siap ditarungkan. Sang empunya telah melatih ayam jago tersebut berbulan-bulan lamanya. Pemilik ayam jago itu tidak mau rugi. Jika menang, banyak uang yang akan mereka dapatkan. Jika tidak memiliki jago, tinggal ikut saja memasang taruhan, memilih jago mana yang akan menang.
Waktu itu sedang berlangsung pertandingan jago yang merupakan juara bertahan, yaitu jago milik Pardi dan jago milik Kusjoyo. Banyak warga yang memilih jago milik Pardi, karena sudah terkenal kehebatannya seantero desa.
Namun belum sempat adu jago selesai, tiba-tiba sebuah peristiwa aneh terjadi. Terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Semakin lama suara gemuruh tersebut semakin terdengar keras. Warga kebingunga dan mencari-cari sumber suara. Ternyata suara gemuruh itu berasal dari sumur tua. Para penyabung ayam dan pengunjung lainnya bergegas menjauhi sumur. Tiba-tiba, mereka melihat sumur tua menyemburkan air yang mendidih.
Air mendidih menyembur hingga keluar sumur. Warga yang menyaksikan peristiwa aneh tersebut berlarian, ada yang saling bertabrakan. Ayam jago yang sedang diadu pun ikut ketakutan. Semburan air semakin meluas ke area sekitar sumur tua. Orang-orang berlarian ke arah selatan untuk melarikan diri. Sementara ayam-ayam jago berlari ke arah berlawanan.
Air yang mendidih (umub dalam bahasa Jawa) dan larinya sang jago ke arah utara merupakan cikal bakal lahirnya nama Desa Sumub Lor Jika dipenggal terdiri dari dua kata Sumub dan Lor. Sumub berasal dari air yang mendidih (umub) dan larinya sang jago ke arah utaralah yang membuat desa tersebut diberi embel-embel Lor
Setelah kejadian itu, penduduk mulai segan pada Kyai Jimad Mereka menganggap bahwa meluapnya air mendidih dari dalam sumur tua merupakan bukti bahwa kata-kata Kyai Jimad benar adanya. Akhimya, Kyai Jimad dianggap sebagai sesepuh Desa Sumub Lor oleh warga. Jika ada sesuatu yang terjadi pada Desa Sumub Lor, masyarakat mengadu pada Kyai Jimad.
Sumber:"Mendongeng Pekalongan" Karya Taufik Hidayat & Akar Atya
Biografi Umar bin Khattab, Sahabat Nabi Muhammad SAW yang Menjadi Khalifah
Umar bin Khattab adalah seorang khalifah yang sangat terkenal, perjalanan hidupnya adalah teladan yang diikuti, dan kepemimpinannya adalah sesuatu yang diimpikan. Banyak orang saat ini memimpikan, kiranya Umar hidup di zaman ini dan memipin umat yang tengah kehilangan jati diri.
Ketika Nabi Muhammad S.A.W. menyebarkan Islam secara terbuka di Mekkah, Umar bereaksi sangat antipati terhadapnya, beberapa catatan mengatakan bahwa kaum Muslim saat itu mengakui bahwa Umar adalah lawan yang paling mereka perhitungkan, hal ini dikarenakan Umar yang memang sudah mempunyai reputasi yang sangat baik sebagai ahli strategi perang dan seorang prajurit yang sangat tangguh pada setiap peperangan yang ia lalui. Umar juga dicatat sebagai orang yang paling banyak dan paling sering menggunakan kekuatannya untuk menyiksa pengikut Nabi Muhammad S.A.W.
Masuk Islam
Pada puncak kebenciannya terhadap ajaran Nabi Muhammad S.A.W., Umar memutuskan untuk mencoba membunuh Nabi Muhammad S.A.W., namun saat dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Nabi Muhammad S.A.W. bernama Nu'aim bin Abdullah yang kemudian memberinya kabar bahwa saudara perempuan Umar telah memeluk Islam, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. yang ingin dibunuhnya saat itu. Karena berita itu, Umar terkejut dan pulang ke rumahnya dengan dengan maksud untuk menghukum adiknya, diriwayatkan bahwa Umar menjumpai saudarinya itu sedang membaca Al Qur'an surat Thoha ayat 1-8, ia semakin marah akan hal tersebut dan memukul saudarinya.
Ketika melihat saudarinya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat, diriwayatkan Umar menjadi terguncang oleh apa yang ia baca tersebut, beberapa waktu setelah kejadian itu Umar menyatakan memeluk Islam, tentu saja hal ini membuat hampir seisi Mekkah terkejut karena seseorang yang terkenal paling keras menentang dan paling kejam dalam menyiksa para pengikut Nabi Muhammad S.A.W. kemudian memeluk Islam.
Menjadi Khalifah
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk salat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk salat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia salat.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah danMasjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Wafatnya
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.
Benarkah Pendiri Muhammadiyah dan NU Bersaudara?
Seperti yang kita tahu, Muhammadiyah didirikan oleh Kyiai Haji Ahmad Dahlan pada 18 Nopember 1912, sedangkan NU didirikan oleh Kyiai Hasyim Asyari 14 tahun sesudahnya, 31 Januari 1926. Keduanya pernah menimba ilmu dengan guru yang sama, Kyiai Khalil Bangkalan. Setelah menimba ilmu mereka berdua melanjutkan untuk menimba ilmu di Kyiai Sholeh Darat Semarang. Keduanya sangat cerdas.
Setelah menimba ilmu di Semarang, keduanya melanjutkan menimba ilmu di Arab Saudi dalam waktu bersamaan. Mereka laksana adik dan kakak dalam menimba ilmu. Seringkali KH Hasyim memanggil Ahmad Dahlan dengan sebutan Kangmas.
Kangmas yang berarti adalah kakak seperguruan atau kakak dalam arti lahiriah. Lahiriah? Kenapa bisa? Apakah keduanya bersaudara? Ini menarik disimak. Founding Father dari 2 Organisasi Keagamaan terbesar di Nusantara ini memiliki hubungan darah?
Kedua tokoh ini bertemu dalam satu nasab yang sama. Maulana Ishaq, leluhur kedua tokoh ini. Yang jika diteruskan sanadnya akan sampai ke Rasulullah. Subhanallah, mungkin banyak orang yang belum tahu soal garis keturunan Rasulullah mengalir di kedua Tokoh ini.
Tak heran mereka merupakan Founding Father kebangkitan Agama di negeri ini. Tak heran pula, sang Kyiai Hasyim sering memanggil Kyiai Ahmad Dahlan dengan sebutan Kakang karena hubungan nasab ini sampai ke leluhur mereka.
Keduanya memiliki kesamaan dalam guru, menimba ilmu, namun berbeda dalam menempuh jalan dakwah. namun bersatu dalam tujuan. Demi Nusantara yang lebih baik lagi. Jika demikian, pantas kah kita yang ada di lapisan masyarakat harus terus menerus berselisih soal pandangan Ushul Fiqih?
Ahmad Dahlan merupakan pendakwah yang bergerak di bidang pendidikan dan suka praktek amaliah Qur'an. Hal ini tentu menjadi dasar perjuangan organisasi Muhammadiyah. Dimana Pendidikan adalah tujuan utama dari persyarikatan Muhammadiyah.
NU berbeda cerita, Hasyim Asyari yang telah menerbitkan 19 buku sepanjang hidupnya merasa bahwa Pemikiran Ulama dipandang penting dalam membangkitkan dan meneruskan perjuangan umat. Ulama akan senantiasa menjadi garda depan perjuangan Bangsa. Keduanya bahu membahu membangun pondasi yang kokoh bagi agama Islam di negeri ini.
Masihkah kita bertentangan untuk membenarkan ego masing-masing? Jikalau kebenaran masing-masing itu hanya menyebabkan perselisihan, kenapa kita tidak mengambil hikmahnya untuk menjadikan perbedaan ini kebaikan? Semoga menjadikan petikan hikmah buat kita di Bulan Ramadhan ini.
dikutip dari: https://thr.kompasiana.com/arjunoresowiredjo/5cf5676ec01a4c2f9839a247/pendiri-muhammadiyah-dan-nu-bersaudara-benarkah