Bahasa Lampung, adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh Suku Bangsa Lampung yang berada di Provinsi Lampung, selatan Sumatera Selatan, selatan Bengkulu dan pantai barat Banten. Berdasarkan pemetaan bahasa. Bahasa Lampung memiliki Dua Sub-Dialek yaitu Sub-Dialek A dan Sub-Dialek O yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
Sub-Dialek A (api) dipertuturkan oleh beberapa Marga di Lampung antara lain: Sekala Brak, Bandar Enom Semaka, Bandar Lima Way Lima, Melinting Tiyuh Pitu, Saibatin Marga Ulu Krui, Saibatin Marga Way Sindi, Marga Tenumbang, Marga Pugung Tampak, Marga Pugung Malaya, Marga Pidada, Marga Pasakh Krui, Marga Ngakhas, Marga Ngambukh, Marga La'ai, Marga Bengkunat, Marga Belimbing, Marga Bandakh, Marga Pulau Pisang, Pembesar Adat Jamma Balak Saibatin Suku Marga Kabupaten Tanggamus, Pembesar Adat Jamma Balak Saibatin Suku Marga Kabupaten Pringsewu, Pesumbaian 17 Pesawaran, Saibatin Marga Way Handak Lampung Selatan, Marga Balak, Marga Lunik, Marga Bumi Waras, Marga Lima Way Handak, Enom Belas Marga Krui, Pitu Kepuhyangan Komering, Telu Marga Ranau, Cikoneng Pak Pekon, Pubian Telu Suku, Buway Lima Way Kanan dan Bunga Mayang Sungkay
Sementara Sub-Dialek O (nyow) dipertuturkan oleh beberapa Marga di Lampung antara lain : Abung Siwo Mego dan Mego Pak Tulangbawang Marga melinting peminggir, Marga teluk peminggir, Marga pemanggilan peminggir, Marga rebang semendo.
Bahasa Lampung (cawa Lampung) atau rumpun bahasa Lampungik adalah sebuah bahasa atau kelompok dialek Austronesia dengan jumlah penutur jati sekitar 1,5 juta, terutama dari kalangan suku Lampung beserta rumpunnya di selatan Sumatra, Indonesia. Terdapat dua atau tiga ragam bahasa Lampung, yaitu: Lampung Api (juga disebut Pesisir atau dialek A), Lampung Nyo (juga disebut Abung atau dialek O), dan Komering. Ragam terakhir terkadang dianggap sebagai bagian dari Lampung Api, tetapi terkadang juga dianggap sebagai bahasa yang berdiri sendiri terpisah dari bahasa Lampung. Orang Komering umumnya menganggap bahwa suku mereka berbeda dari orang Lampung, walaupun masih berkerabat dekat.
Meski bahasa Lampung memiliki jumlah penutur yang lumayan besar, bahasa ini merupakan bahasa minoritas di Provinsi Lampung sendiri. Kekhawatiran akan kebertahanan bahasa Lampung telah membuat pemerintah daerah setempat mengimplementasikan kebijakan pengajaran bahasa dan aksara Lampung bagi sekolah-sekolah pada tingkat dasar dan menengah di provinsi tersebut.
Bahasa Lampung merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia dari cabang Melayu-Polinesia, walaupun posisi tepatnya dalam Melayu-Polinesia sulit ditentukan. Kontak bahasa selama berabad-abad telah mengaburkan batas antara bahasa Lampung dan bahasa Melayu, sehingga keduanya sempat digolongkan ke dalam subkelompok yang sama dalam kajian-kajian lama, seperti misalnya dalam klasifikasi linguis Isidore Dyen pada 1965, yang menempatkan bahasa Lampung ke dalam "Malayic Hesion" bersama bahasa-bahasa Malayan (mencakup bahasa Melayu, Minangkabau, dan Kerinci), Aceh dan Madura.
Linguis Berndt Nothofer (1985) memisahkan bahasa Lampung dari kelompok "Malayic" versi Dyen, tetapi masih memasukkannya ke dalam "Javo-Sumatra Hesion" bersama bahasa-bahasa Melayik, Sunda, Madura, dan, dengan tingkat kekerabatan yang lebih jauh, bahasa Jawa. Malcolm Ross (1995) menempatkan Lampung ke dalam kelompoknya independen yang tidak terkait bahasa manapun dalam Melayu-Polinesia. Penggolongan ini diikuti oleh Karl Adelaar (2005), yang tidak memasukkan bahasa Lampung ke dalam kelompok Melayu-Sumbawa yang ia usulkan—kelompok ini meliputi bahasa Sunda, Madura, dan cabang Malayo-Chamik-BSS (mencakup Melayik, Chamik, dan Bali-Sasak-Sumbawa)
Di antara bahasa-bahasa Javo-Sumatra, Nothofer menganggap bahwa bahasa Sunda kemungkinan merupakan kerabat terdekat bahasa Lampung, karena keduanya sama-sama mengubah bunyi *R dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia (PMP) menjadi y dan mengalami metatesis atau pertukaran bunyi antara konsonan pertengahan dan akhir pada kata *lapaR dari bahasa Proto-Austronesia. Kata ini diturunkan menjadi palay yang berarti 'ingin' atau 'lelah' dalam bahasa Sunda dan 'rasa perih akibat kaki yang letih' dalam bahasa Lampung. Walaupun pengelompokan Javo-Sumatra/Malayo-Javanic secara keseluruhan telah dikritik atau bahkan ditolak oleh berbagai ahli bahasa, hubungan kekerabatan antara bahasa Lampung dan Sunda secara khusus didukung oleh linguis Karl Anderbeck (2007), sebab menurutnya kedua bahasa ini berbagi lebih banyak inovasi fonologis satu sama lain dibandingkan dengan kelompok Malayo-Chamik-BSS usulan Adelaar.
Alexander Smith (2017) menunjukkan bahwa bunyi *j dan *d dari PMP mengalami merger ke d dalam bahasa Lampung. Perubahan ini merupakan salah satu ciri yang ia usulkan sebagai bukti bagi hipotesis Indonesia Barat yang dikembangkannya dari usulan linguis Austronesia senior Robert Blust. Walaupun begitu, bukti-bukti leksikal yang diajukan bagi kelompok Indonesia Barat hampir tidak dapat ditemui dalam bahasa Lampung. Smith mampu mengidentifikasi beberapa inovasi leksikal Indonesia Barat dalam bahasa Lampung, tetapi ia tidak dapat memastikan apakah kata-kata ini merupakan turunan langsung dari Proto-Indonesia Barat atau merupakan pinjaman dari bahasa Melayu. Walaupun Smith mendukung penempatan bahasa Lampung ke dalam subkelompok Indonesia Barat, ia menyatakan bahwa hal ini masih dapat diperdebatkan.
Dialek-dialek bahasa Lampung umumnya digolongkan berdasarkan realisasi pengucapan bunyi *a dari Proto-Lampungik dalam posisi akhir. Bunyi ini dipertahankan sebagai [a] dalam beberapa ragam, tetapi direalisasikan sebagai [o] dalam ragam lainnya. Perbedaan pengucapan antara dua kelompok dialek inilah yang melahirkan istilah "dialek A" dan "dialek O". Walker (1975) menggunakan istilah "Pesisir" atau "Paminggir" untuk dialek A dan "Abung" untuk dialek O, tetapi Matanggui (1984) berpendapat bahwa istilah-istilah ini merupakan misnomer, karena istilah-istilah tersebut lebih sering dikaitkan dengan subsuku tertentu alih-alih untuk menandakan kelompok dialek secara linguistik. Di sisi lain, Anderbeck dan Hanawalt menggunakan nama "Api" untuk Pesisir dan "Nyo" untuk Abung; kedua kata ini bermakna "apa" dalam masing-masing dialek. Terdapat beberapa perbedaan leksikal antara dialek-dialek ini, tetapi keduanya identik dalam hal morfologi dan sintaksis.
Walker (1976) membagi Abung lebih lanjut ke dalam dua subdialek: Abung dan Menggala, serta memecah kelompok Pesisir ke dalam empat subdialek: Komering, Krui, Pubian, and Selatan. Aliana (1986) memberi klasifikasi yang berbeda; menurutnya bahasa Lampung secara keseluruhan memiliki 13 dialek dari kedua kelompok.Melalui analisis leksikostatistik, Aliana menemukan bahwa subdialek Talang Padang dari kelompok Pesisir memiliki kesamaan paling banyak dengan semua ragam yang disurvei; dengan kata lain, subdialek tersebut merupakan yang paling rendah tingkat divergensinya di antara ragam-ragam bahasa Lampung. Sementara, subdialek Jabung dari kelompok Abung merupakan yang paling divergen. Meski begitu, survei Aliana tidak mencakup ragam-ragam Komering, karena beberapa kalangan tidak menganggap ragam-ragam Komering sebagai bagian dari bahasa Lampung.
Klasifikasi dialek yang dilakukan oleh Hanawalt (2007) sebagian besarnya bersesuaian dengan versi Walker. Hanya saja, Hanawalt menggolongkan Nyo, Api, dan Komering sebagai tiga bahasa terpisah alih-alih dialek dari satu bahasa yang sama, berdasarkan kriteria sosiologis dan linguistik.Ia mencatat bahwa perbedaan terbesar antara ragam-ragam Lampungik adalah antara kelompok timur (Nyo) dan barat (Api dan Komering). Kelompok barat membentuk kesinambungan dialek yang luas, terbentang mulai dari ujung selatan Sumatra, terus ke utara hingga ke wilayah hilir Sungai Komering. Sebagian dari kelompok penutur Lampungik (seperti orang Komering dan Kayu Agung) menolak label "Lampung", walaupun pada dasarnya mereka mengakui bahwa kelompok ini "berkaitan secara etnis dengan suku Lampung di Provinsi Lampung".Walaupun kebanyakan peneliti menggolongkan ragam Komering sebagai bagian dari Lampung Api, Hanawalt berpendapat bahwa keduanya memiliki perbedaan linguistik dan sosiologis yang cukup besar, sehingga ia memecahkan kelompok barat dan menetapkan Komering sebagai kelompok dialek mandiri, terpisah dari Lampung Api
Aksara lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tetapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu dan Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks. Sehingga dilakukan penyempurnaan sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.
Aksara Lampung, juga dikenal sebagai tulisan Basaja atau had Lampung, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di selatan pulau Sumatra. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis rumpun bahasa Lampung, namun dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis bahasa daerah lainnya seperti bahasa Melayu. Aksara Lampung merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Rejang. Aksara Lampung aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Lampung sejak pertengahan abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di Provinsi Lampung sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
Aksara Lampung adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari empat macam unsur, yaitu kelabai surat (20 aksara dasar), benah surat (12 diakritik), angka, dan tanda baca. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /o/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lampung adalah kiri ke kanan. Bersama-sama dengan aksara Rejang dan Kerinci, aksara Lampung membentuk rumpun aksara kaganga di Sumatra. Rumpun aksara ini memiliki ciri khas, yaitu bentuknya berupa goretan patah-patah dan lebih sederhana ketimbang keturunan aksara Kawi lainnya (seperti Jawa dan Bali)
Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Lampung merupakan salah satu turunan aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi, berdasarkan studi perbandingan bentuk aksara-aksara Nusantara yang pertama kali dijabarkan oleh Holle dan Kern. Namun begitu, sejarah evolusi aksara Lampung tidak dapat dirunut dengan pasti karena aksara Lampung sejauh ini hanya ditemukan pada materi yang umumnya tidak berumur lebih dari 400 tahun. Aksara Lampung lazim ditulis pada media yang rentan rusak di iklim tropis, dan tidak ada prasasti atau peninggalan tua lainnya yang disetujui sebagai purwarupa langsung aksara Lampung.
Kerabat paling dekat dari aksara Lampung adalah aksara-aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dan aksara Rencong. Baik rumpun surat Batak maupun aksara-aksara Sumatra Selatan berkembang di wilayah pedalaman Sumatra yang relatif lambat menerima pengaruh luar. Karena itulah, ketika Sumatra menerima pengaruh Islam yang signifikan sejak abad ke-14, kedua wilayah tersebut mempertahankan penggunaan aksara turunan Indik selagi wilayah pesisir mengadopsi penggunaan abjad Arab dan Jawi. Diperkirakan aksara Lampung pertama kali berkembang di daerah aliran Sungai Komering hingga perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung tempat mayoritas penutur bahasa Komering bermukim. Hal ini nampak dari kemiripan antara bentuk aksara Lampung dengan aksara Rejang. Dari Komering, aksara Lampung menyebar ke arah selatan dan timur hingga menyentuh pesisir Selat Sunda.
Salah satu deskripsi dan tabel aksara Lampung paling awal oleh penulis asing dapat ditemukan dalam buku History of Sumatra oleh William Marsden yang dicetak pada 1784. Namun selain itu, tidak banyak yang diketahui mengenai bahasa, sastra dan aksara Lampung di luar masyarakat Lampung sendiri hingga pertengahan abad ke-19. Pada 25 Agustus 1868, atas dukungan dan izin dari Lembaga Penginjil Belanda, ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk tiba di Pelabuhan Telukbetung untuk mempelajari bahasa dan aksara Lampung dengan tujuan menghasilkan kamus dan materi tata bahasa Lampung. Tiga bulan setelahnya, ia tiba di pesisir Way Seputih dan akhirnya tinggal di Desa Lehan. Ia rutin menjelajahi pedalaman ranah Lampung dari 1868 hingga kepergiannya dari Lampung pada 1869. Berdasarkan studi dan pengalamannya dengan masyarakat Lampung, Van der Tuuk menghasilkan materi komprehensif mengenai tradisi lisan dan tulis Lampung yang hingga kini masih masih menjadi rujukan dasar dalam berbagai studi Lampung.
Aksara Lampung secara tradisional ditulis di sejumlah media, di antaranya yang paling lumrah adalah bambu, kulit kayu, tanduk binatang, rotan, dan kertas. Naskah dengan media-media tersebut dapat ditemukan dalam ukuran dan tingkat kerajinan yang bervariasi. Tulisan sehari-hari umum digurat pada permukaan bambu, rotan, atau tanduk dengan pisau kecil (lading lancip). Tergantung dari warna dasar media, guratan ini kemudian dilumuri untuk meningkatkan keterbacaan. Bila warna dasar media adalah putih, maka guratan akan dilumuri kemiri bakar. Bila warna dasar media adalah coklat/hitam, maka guratan akan dilumuri kapur sirih (hapul). Kebanyakan naskah Lampung Kuno yang ditemukan pada abad ke-18 dan 19 menggunakan kulit kayu sebagai media. Salah satunya adalah naskah milik Jo. Trefusis yang diserahkan kepada Perpustakaan Bodleian di Oxford pada 1630. Naskah ini diyakini sebagai naskah beraksara Lampung Kuno tertua yang pernah ditemukan.[1] Cara pembuatan naskah dengan media ini serupa dengan pembuatan pustaha di Sumatra Utara. Untuk membuatnya, kulit dalam pohon gaharu (Aquilaria malaccensis) dipotong sesuai keinginan. Setelah itu, dijemur beberapa saat dan kemudian diamplas dengan daun yang keras supaya halus. Terakhir. kedua permukaan (depan dan belakang) kulit dalam itu dilumuri dengan air beras. Berbeda dengan naskah bambu, rotan, dan tanduk, naskah kulit kayu ditulis dengan tinta menggunakan pena dari rusuk daun aren (Arenga pinnata) yang disebut kemasi. Tinta kemasi terbuat dari campuran buah deduruk (Melastoma malabathricum L.), arang, dan getah kayu kuyung (Shorea eximia).
Kertas baru umum digunakan pada abad ke-19. Kebanyakan kertas yang dipakai saat itu merupakan kertas Eropa yang ditoreh menggunakan pena biasa. Walau begitu, bambu, tanduk, rotan, dan kulit kayu terus digunakan sebagai media utama penulisan aksara Lampung hingga abad ke-20 ketika tradisi tulis aksara Lampung mulai menghilang.
Jauh sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat suku Lampung telah fasih membaca dan menulis aksara Lampung. Banyak diantaranya yang bahkan menguasai banyak variasi aksara Lampung. Mereka menggunakan aksara Lampung untuk berbagai hal, mulai dari sarana komunikasi, sarana pergaulan, hingga penulisan surat-surat penting. Oleh karena itu, tingkat melek huruf suku Lampung sangat tinggi di masa itu.
Aksara Lampung utamanya digunakan sebagai sarana komunikasi sesama penutur rumpun bahasa Lampung. Bahkan saat itu, orang Lampung akan merasa sangat malu bila tidak fasih membaca dan menulis aksara Lampung.
Selain sebagai sarana komunikasi, aksara Lampung juga digunakan sebagai sarana pergaulan muda-mudi Lampung. Pemuda dan pemudi Lampung tidak bisa bergaul secara bebas karena pertemuan mereka diatur secara adat. Adat yang mengatur pertemuan mereka disebut manjau muli. Dalam aturan adat ini, ada sebuah acara di mana muda-mudi Lampung bisa bersua ria di tempat orang yang sedang mengadakan upacara adat. Acara ini dinamakan miyos damau. Acara ini biasa diikuti secara beramai-ramai oleh muda-mudi Lampung. Dalam acara ini, para bujang dan gadis dapat saling bercakap-cakap, sindir menyindir, dan bersurat-suratan. Tidak jarang pula acara ini menjadi arena untuk saling menguji kepandaian bersastra, baik secara lisan maupun secara tertulis. Acara ini menjadi sangat menarik ketika mereka saling adu kepandaian menulis dan membaca aksara Lampung. Bahkan ada beberapa cara menulis aksara Lampung yang harus dikuasai para bujang dan gadis agar tidak menanggung malu dalam acara istimewa tersebut.
Dalam dunia kesastraan Lampung, aksara Lampung juga digunakan untuk menulis mantra, memang, hukum adat, dan surat-surat penting seperti surat jual beli dan surat perjanjian.
Pada zaman penjajahan Belanda, aksara Lampung digunakan untuk menulis surat-surat resmi, seperti Surat Keputusan Pengangkatan Kepala Kampung, surat keterangan kelahiran dan kematian, serta surat-surat resmi lainnya. Hal ini tidak terlepas dari tingginya angka melek huruf suku Lampung.
Penggunaan aksara Lampung mengalami kemunduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang (1942–1945). Pada saat itu, pemerintah pendudukan mewajibkan penggunaan aksara Latin untuk menulis bahasa daerah. Kebijakan ini diikuti dengan pelarangan penggunaan aksara Lampung di muka umum.Akibatnya, penggunaan aksara Lampung terus menyusut. Keadaan ini tidak kunjung membaik bahkan di masa pascakemerdekaan.
Pascakemerdekaan, tepatnya pada 1970, pembakuan aksara Lampung dimulai. DPR-GR Provinsi Lampung dalam sidang pleno I memutuskan agar aksara Lampung diajarkan di sekolah-sekolah dasar di Provinsi Lampung. Dengan adanya keputusan ini, maka pada 1 Januari 1971, Gubernur Lampung, Zainal Abidin Pagaralam melalui Surat Keputusan Nomor Des/012/BVI/HK/1971 membentuk Panitia Pengkajian dan Penyusunan Buku Pelajaran Membaca dan Menulis Aksara Lampung yang diketuai oleh H. Moehammad Noeh.
Hasil kerja panitia tersebut kemudian dibawa ke Musyawarah Pembakuan Aksara Lampung yang digelar pada 22–23 Februari 1985. Musyawarah tersebut menghasilkan Surat Keputusan Nomor 001/PAL/1985 tentang Pembakuan Aksara Lampung yang berisi:
Aksara Lampung berlaku seragam dan tunggal untuk seluruh rumpun bahasa Lampung, sesuai dengan Buku Pelajaran Membaca dan Menulis Aksara Lampung karya H. Moehammad Noeh dkk;
Mengesahkan tanda baca baru;
Aksara Lampung hasil pembakuan supaya diajarkan di semua sekolah di Provinsi Lampung;
Pemerintah daerah beserta dinas pendidikan di Provinsi Lampung supaya bekerjasama melestarikan aksara Lampung;
Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung bersama Universitas Lampung supaya segera membentuk lembaga pembinaan bahasa, sastra, dan budaya Lampung.
Dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut, maka variasi bentuk aksara Lampung tidak lagi ditoleransi. Kini aksara Lampung bisa dijumpai pada lambang kabupaten/kota/provinsi, plang nama jalan, plat nomor rumah, dekorasi rumah, surat undangan pesta adat, hingga usaha ekonomi kreatif seperti jam tangan. Pasanggiri menulis dan membaca aksara Lampung mulai rutin digelar, baik oleh pihak pemerintah daerah maupun swasta.[23][24][25][26] Semua sekolah di Provinsi Lampung diwajibkan mengajarkan muatan lokal Bahasa dan Aksara Lampung. Kedepannya, aksara Lampung diharapkan bisa digunakan di media elektronik seperti ponsel cerdas dan komputer jinjing/meja.
Aksara dasar (kelabai surat) dalam aksara Lampung merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /o/. Terdapat 20 aksara dasar dalam aksara Lampung, sebagaimana berikut:
Diakritik (benah surat) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan dan/atau menutup suatu suku kata dengan konsonan. Terdapat 12 diakritik dalam aksara Lampung, sebagaimana berikut:
Angka-angka berikut adalah angka yang dimuat dalam Kamus umum bahasa Lampung-Indonesia cetakan Universitas Lampung tahun 1979.Aksara dan Angka Lampung ini kemudian dipahat pada prasasti batu dan disahkan oleh Gubernur Lampung Yasir Hadibroto pada Desember 1985. Prasasti tersebut kini dismpan di Museum Lampung.
Tanda baca pada bagian ini merupakan salah satu hasil dari Musyawarah Pembakuan Aksara Lampung 36 tahun lalu. Terdapat 5 tanda baca yang disahkan dalam musyawarah tersebut, sebagaimana berikut:
Unit Kegiatan Belajar Mandiri (UKBM) Tema Pembelajaran Asal Usul Bahasa dan Aksara Lampung