Namaku Elsa Fajriah. Aku berasal dari Kota Bogor. Menurutku kuliah adalah jalan untuk meretas kebodohan. Kuliah adalah jalan untuk membuka wawasan. Kuliah adalah jalan meraih impian. Dengan berkuliah kita lebih mudah berkontribusi untuk Indonesia tercinta. Awalnya terasa tidak mungkin bagiku karena aku bukan lahir dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Selain itu keadaan ekonomi keluargaku pun terbilang kurang baik, terkadang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi entah mengapa aku selalu yakin bahwa suatu saat aku dapat berkuliah dan menjadi bagian dari orang-orang hebat. Entah mengapa rasa yakin itu hadir, apalagi dari sorot mata ibuku yang menyiratkan bahwa, “anakku harus mendapat pendidikan yang terbaik, anakku harus bisa menjadi orang hebat”, terlepas dari bagaimana caranya dan bagaimana membiayainya. Sebagaimana kita tahu, pendidikan di Indonesia masih terbilang sulit dijangkau apalagi dengan kondisi keluarga sepertiku.
Perjuangan untuk berkuliah bagiku adalah suatu momen yang sulit dilupakan. Sejak awal masuk MAN 2 Kota Bogor, aku sudah dihadapkan pada masalah biaya. Orang tuaku tidak memegang uang lebih untuk melanjutkan sekolah. Tapi qodarullah pihak SMPku memberi uang beasiswa sebesar satu juta rupiah. Aku sangat bersyukur. Aku bisa lanjut sekolah! Perjuangan masih berlanjut. Saat ulangan tengah semester aku ditagih uang SPP. Tapi karena keluargaku tidak mampu untuk membayarnya, akhirnya pihak sekolah memberikan BSM kepadaku. Aku terbebas dari biaya sekolah.
Sebagai siswa madrasah aku punya jam pelajaran yang lebih padat dari siswa SMA. Aku bersekolah hingga hari Sabtu. Belum lagi ada kegiatan ekstrakulikuler dan kegiatan rutin di rumah. Semua itu kujalani dengan harap kelak masa ini akan terlewati dan menjadi sebuah kenangan indah menempuh perjuangan dan bisa menjadi sebuah inspirasi sederhana untuk terus memberikan yang terbaik.
Hari demi hari kulewati. Terbesitlah dalam pikiran bahwa, “aku akan menjadi apa di masa depan?” Dari beberapa seminar motivasi yang pernah aku ikuti untuk menentukan menjadi apa diri kita dimulai dari hal-hal kecil, yaitu bermimpi dan menuliskan mimpi-mimpi itu. Kuberanikan diri menulis mimpi-mimpi yang ternyata setelah dibaca kembali mengerucut pada beberapa bidang keilmuan, yaitu mengenai kesehatan, pendidikan, dan sosial. Selanjutnya untuk memperjelas mimpi-mimpi itu muncullah sebuah pertanyaan lagi, “langkah apa yang harus kuambil untuk meraih impian itu?” setelah kupikirkan matang-matang ternyata aku harus berkuliah untuk memperluas wawasanku dan mencari target untuk menyalurkan kemampuanku. Karena menurutku hidup bukan sekadar hidup, tapi paling tidak dapat memberi manfaat kepada sesama. Itulah kuncinya mengapa aku ingin sekali berkuliah.
Setelah mencari tahu tentang kampus dan jurusan-jurusannya, aku tertarik pada jurusan ilmu gizi, kesehatan masyarakat, serta psikologi klinis. Setelah mencari tahu lebih jauh lagi pilihanku jatuh pada jurusan ilmu gizi IPB. Mengapa? IPB adalah salah satu kampus terbaik di Indonesia dan menurutku punya lingkungan yang baik terutama terkait dengan keagamaan. Mulailah kususun mimpi-mimpi itu dengan lebih jelas. Mulailah langkah-langkah untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu aku runtut sedetail mungkin. Kini aku punya tujuan. Aku ingin berkuliah di IPB dengan jurusan ilmu gizi.
Aku belajar dengan sungguh-sungguh agar mendapat hasil yang terbaik. Pergi ke sekolah pukul setengah enam pagi dan kembali ke rumah pukul lima sore. Lokasi sekolah yang cukup jauh mengharuskan aku datang lebih awal agar tidak terkena macet dan pulang lebih lambat. Setelah magrib aku harus berangkat untuk mengajar ngaji anak-anak di sebuah majlis ta’lim. Setelah isya aku belajar mengaji al-Qur’an dan mengkaji beberapa kitab fikih, hadits, tauhid, akhlak maupun tata bahasa arab secara terjadwal. Jam sepuluh malam aku baru pulang mengaji dan biasanya mengerjakan PR hingga pukul sebelas malam. Keesokan harinya aku harus bangun jam 4 untuk persiapan sholat dan sekolah. Begitu seterusnya kecuali hari Minggu aku biasa mengajar les seorang anak kelas 4 SD. Selain kegiatan-kegiatan tersebut, disela-sela waktu aku biasa membantu pekerjaan ibu di rumah. Sedangkan ibu dan ayah harus bekerja banting tulang untuk membiayai aku dan adikku. Ayahku bekerja sebagai buruh sepatu, sedangkan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga tapi untuk menambah uang jajanku dan adikku ibu biasa membantu tetangga menyelesaikan pekerjaannya di sebuah bengkel sepatu dekat rumah. Melihat bahwa tidak mudah untuk menyelesaikan masa SMA aku semakin termotivasi untuk berkuliah. Aku terus berusaha yang terbaik. Perjuanganku membuahkan hasil, aku berhasil mendapat juara umum di tahun pertama. Di tahun kedua prestasiku sedikit menurun, tapi nilainya tetap naik.
Saat aku berada di kelas dua belas, semua perjuangan itu terasa semakin berat. Aku harus bertahan dan menjadi lebih kuat. Aku sadar bahwa untuk berkuliah di PTN tidak semudah membalikkan telapak tangan. Maka kususun rencana dan strategi agar tembus PTN. Kutambah waktu belajar bahkan disaat liburan. Aku mulai mengumpulkan sumber-sumber pelajaran terutama untuk persiapan SBMPTN. Karena jalur undangan atau SNMPTN adalah sebuah bonus dan perjuangannya hampir selesai, maka yang harus aku persiapkan sekarang adalah SBMPTN. Aku mulai belajar sedikit demi sedikit meski terasa sangat sulit. Bahan ajar yang aku punya pun tidak terlalu memadai. Pernah suatu ketika ada sebuah lembaga belajar online sedang promosi di kelasku, saat menayangkan video perjuangan seseorang dalam SBMPTN aku menangis. Aku menangis karena aku ingin sekali seperti teman-teman yang bisa mengikuti bimbingan belajar, atau paling tidak bimbingan belajar online. Tapi aku tidak bisa karena terbentur biaya. Tapi kesedihan tidak boleh berlarut, toh aku masih jauh lebih beruntung dari mereka yang tidak mendapat pendidikan. Dari sana pula muncul minatku dalam bidang pendidikan dan sosial, karena aku tidak mau ada orang lagi yang merasa sepertiku, kesusahan walau hanya sekedar mengecap pendidikan.
Hari ini teknologi berkembang pesat, sehingga informasi mudah tersampaikan, termasuk masalah beasiswa pendidikan. Aku mencari informasi tentang beasiswa kuliah, bahkan persiapan untuk kuliah. Aku menemukan dua jalan untuk mempermudah belajar. Pertama Bimbingan Belajar Gratis (BETIS) yang diadakan oleh mahasiswa Fasilkom UI. Kedua Beasiswa Learning Camp yang diselenggarakan oleh lembaga Mandiri Amal Insani (MAI) Fondation. Aku coba mendaftarkan diri kedua beasiswa tersebut, aku ikuti semua tahap-tahapnya dan akhirnya aku diterima oleh dua beasiswa tersebut. Kegiatan BETIS diadakan setiap hari Sabtu dan Minggu. Mulai saat itu setiap hari aku full belajar. Lelah sudah aku hiraukan. Malas coba kubuang. Kantuk mulai kuhadang. Harapan-harapan bermunculan, kucoba untuk wujudkan. Do’a-do’a aku panjatkan di setiap sujud panjang.
Salah satu cara memotivasi diri yang menarik dariku adalah aku membuat sebuat buku catatan perjuangan untuk berkuliah dengan cover logo FEMA IPB. Setiap hari aku pandangi buku tersebut dengan tidak lupa membacakannya sholawat nabi. Kegiatan itu terus kulakukan bahkan saat bepergian aku selalu membawa buku catatan tersebut. Aku sangat senang memandanginya dengan harap suatu saat aku bisa menimba ilmu disana. Kegiatan ini dianggap menarik oleh teman-temanku, yang akhirnya mereka melakukan apa yang aku lakukan.
Tiba di awal tahun 2019, aku dihadapkan pada masalah yang tidak henti-hentinya menghampiri. Mulai dari masalah rumah yang dijual sehingga aku harus pindah tempat tinggal sampai dua kali. Saat itu fokusku mulai terpecah belah. Belajar mulai tak karuan. Saat pindah di sebuah kontrakan barulah aku bisa belajar sedikit lebih baik. Tak lama setelah itu aku mendaftar SNMPTN. Awalnya aku sangat bersemangat untuk bisa berkuliah di IPB jurusan ilmu gizi. Tapi melihat daya saing yang sangat tinggi aku sempat ragu. Aku berdiskusi dengan orang tuaku untuk memilih. Aku hampir memutuskan untuk mendaftar ke Unpad. Tapi orang tuaku terutama ibu terlihat sangat berat melepas anaknya walau masih satu provinsi. Aku bingung. Aku mendirikan sholat istikhoroh agar Allah memberikan pilihan yang terbaik. Akhirnya aku menjatuhkan pilihan 1 ilmu gizi IPB dan pilihan 2 biologi IPB. Biarlah aku ikuti kata orang tuaku, yang mana itu adalah impianku juga. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik. Semuanya telah ku pasrahkan pada Allah, apapun yang terjadi nanti aku berdo'a agar Allah kuatkan aku dalam menjalani takdir-Nya. Perjuangan SNMPTN sudah selesai, aku hanya perlu perkuat do'a.
Menjelang UAMBN-BK tiba-tiba ibuku sakit. Pembuluh darahnya yang terletak di otak pecah sehingga mengganggu kesadarannya. Fokusku terpecah. Air mata tumpah ruah. Aku sibuk mengurusi ibuku. Saat itu keluargaku belum memiliki BPJS. Pulang-pergi dari rumah ke rumah sakit untuk mengurusi BPJS. Obat yang harus dibelli pun sangat mahal. Jika tidak diberi obat saat itu juga tensi darah ibu langsung naik dan membahayakan keselamatannya. Aku dan ayah pontang-panting mencari biaya untuk pengobatan ibu.
Saat itu ujian sudah tak lagi terpikirkan. Tapi karena ujian ini berbasis komputer dan akan sulit jika ujian susulan, aku tetap mengikuti ujian dengan pikiran yang bercabang-cabang. Aku sudah tidak fokus, mengerjakan ujian pun sebatas mengerjakan tanpa dipikir panjang. Aku terus memikirkan keadaan ibu. Rumahku seperti sudah pindah ke rumah sakit. Berangkat sekolah dari rumah sakit, pulang ke rumah sakit dan belajar pun di rumah sakit. Sampai dokter dan perawat kenal aku dan mendo’akanku agar lulus ujian dan mendapatkan apa yang dicita-citakan. Selain itu aku harus bolak-balik ke rumah untuk mengambil seragam dan buku-buku.
Satu minggu lamanya ibuku di rawat di rumah sakit namun tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Pada hari Selasa kondisi ibu semakin menurun. Nafasnya sudah tersengal-sengal. Pada malam hari kondisi sudah sangat parah. Semua perawat sudah berjaga atas kemungkinan terburuk. Malam itu aku masih menggunakan seragam sekolah. Di tengah keadaan seperti ini, saat aku memegang buku matematika, kutumpahkan semua perasaanku saat itu dalam sebuah puisi. Kemudian aku tertidur. Jam satu malam aku dibangunkan, aku diminta mengaji. Selepas mengaji aku terus membacakan kalimat “laa ilaha illallah muhammadurrosulullah” ke telinga ibuku. Kemudian aku turun ke bawah tepatnya ke mushollah untuk melaksanakan sholat tahajud. Disana aku menangis sambil meminta yang terbaik untuk ibuku. Kemudian aku kembali ke atas untuk membisikkan kalimat tahlil dan syahadat itu lagi. Meskipun ibuku dalam kondisi tidak sadar tapi aku yakin beliau akan mendengar kalimat itu. Aku berharap ibu bisa mengikutinya meski di dalam hati. Saat kondisinya sangat buruk semua dokter dan perawat berkumpul untuk mengambil tindakan. Aku tetap berada di samping ibu sambil terus membaca kalimat itu sambil menangis dan memejamkan mata karena aku tak kuat melihat tindakan yang diambil dokter terhadap ibuku. Ingin rasanya aku berteriak, “cukup, biar ibuku pergi dengan tenang tanpa merasakan sakit lagi, aku sudah ikhlas bila ini memang jalan yang terbaik untuk ibuku”. Air mata terus mengalir hingga saatnya ibuku telah pergi untuk selama-lamanya. Aku membisikkan kepada ibuku, “terimakasih ibu, telah menjadi ibu yang sangat luar biasa untukku, maafkan aku belum bisa menjadi anak yang baik untukmu”.
Sejak saat itu aku mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap adik dan ayahku. Sebagai anak pertama aku harus terlihat lebih tegar, meski sebenarnya hati hancur. Aku menyadari bahwa kekuatan terbesarku telah tiada, maka kini aku harus bersikap lebih dewasa.
Selang dua hari dari kematian ibuku, tibalah pengumuman SNMPTN. Selepas sholat tahajud, aku menyempatkan membuka HP. Temanku mengabarkan bahwa pengumuman SNMPTN sudah ada. Alangkah terkejutnya aku ketika warna hijau terlihat di layar. MasyaAllah, rasa haru memenuhi dada. Gemetar tubuhku. Sujud syukur saat itu juga. Bulir air mata mengalir begitu saja. “Yaa Allah, betapa indah skenario-Mu, Kau tak biarkan aku berlarut dalam kesedihan”. Mungkin inilah janji-Nya yang disembunyikan dibalik cobaan yang tak henti menghampiri. Mungkin ini juga adalah buah dari do’a-do’a ibuku yang tidak henti dilangitkan. Do’a seorang ibu yang sangat luar biasa. Dan mungkin ini adalah alasan mengapa ibuku sangat berat melepas anakknya ke kota orang. Aku diminta menjaga adik dan ayahku.
Dari ceritaku, aku memahami bahwa untuk mencapai sebuah impian dibutuhkan sebuah perjuangan dan pengorbanan. Bukan hanya omongan tapi berupa tindakan. Kekuatan do’a juga merupakan sebuah senjata yang tajam, mempercepat keinginan dikabulkan. Dan di balik semua kejadian, pasti ada hikmah yang tertuang. Jangan takut melihat ke depan, jangan takut punya mimpi yang “keterlaluan”. Ikhtiar maksimalkan, do’a dikencangkan, dan pasrahkan semuanya pada Tuhan. Biar Allah yang mengatur jalan. Selain itu aku juga merasakan dahsyatnya pengaruh sholawat nabi, sesuatu yang terlihat tidak mungkin dapat saja terjadi tentu dengan seizin-Nya.
Harapanku ke depan adalah menjadi mahasiswi teladan. Memupuk ilmu dan wawasan serta menularkan kebaikan. Menebar kebermanfaatan kepada sesama sebagai wujud rasa syukur atas apa-apa yang telah dianugerahkan. Tetap sederhana dan menginspirasi menjadi mutiara peradaban.
Apa yang terbesit dipikiranmu ketika mendengar kata “wanita tangguh”?
Menurutku wanita tangguh adalah wanita yang bermental kuat. Hatinya tak mudah goyah, keyakinannya penuh, tekadnya kuat, dan juga mandiri. Ia tidak mudah mengeluh, cenderung tenang, dan biasanya orang-orang mudah sayang kepadanya. Apa yang ia ucapkan, lakukan, selalu sejuk dirasakan.
Menjadi wanita tangguh itu tak mudah. Tetapi bukan berarti tak bisa. Setiap orang punya lain cerita, maka ia pun bisa menjadi wanita tangguh sesuai dengan jalan ceritanya.
Jalan ceritaku, kurasa menjadi wanita tangguh itu dimulai ketika ada tekad dalam hatiku untuk bisa meneruskan pendidikan minimal di tinggal sarjana. Tekadku yang satu itu muncul sejak awal memasuki sekolah dasar. Yang kedua, saat aku harus memasuki usia remaja, saat pertumbuhan pikiran yang pesat itu, harus dibenturkan dengan kondisi yang kurang suportif. Belajar merupakan kebutuhan, tetapi ada saja hambatan yang datang. Membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ketiga adalah finansial. Bisa dibilang aku kurang beruntung dalam hal finansial. Tetapi aku bersyukur karena selalu saja ada jalan yang diberikan atas permasalahan finansial walau membutuhkan effort lebih besar daripada yang lain. Yang keempat adalah saat ibuku wafat. Siapa pula yang tidak terguncang saat ibu yang paling dicintainya berpulang ke rahmatullah. Aku merasa telah kehilangan kekuatan besar. Selain itu, sebagai kakak tentu punya tanggung jawab yang lebih besar. Aku merasa sudah seperti ibu rumah tangga yang harus mengurus rumah. Tetapi karena aku masih mahasiswa, semua itu terasa sangat berat. Tidak ada pundak yang bersedia menopang, tidak ada peluk hangat yang datang ketika aku merasa kesepian, tidak ada tempat bagiku untuk mencurahkan segala yang dirasakan tanpa beban. Ayah? Ayahku sangat baik, tetapi, kau pasti tahu kan bedanya ayah sama ibu? Atau seorang pasangan.
Menikah? Kurasa bukan jawaban yang tepat di waktu sekarang. Beruntung jika mendapatkan seseorang yang pengertian, tetapi jika tidak? Malah akan semakin berantakan. Meski berat dirasakan, tetapi aku yakin, semua akan indah pada waktunya.
Mungkin sepatah cerita itu adalah jalan untukku untuk menjadi seorang wanita tangguh. Bagaimana dengan ceritamu?
Hujan deras selalu mengguyur di kota ini. Pantas saja kota ini mendapat julukan kota hujan. Hujan memiliki arti tersendiri bagiku, remaja SMA yang cerdas dan bisa dibilang pendiam. Hujan yang turun seakan memberikan aroma khas. Pikiranku melayang ke suatu waktu yang membuat perubahan dalam diriku.
Tarikan nafas panjang kurengkuh dan kuhembuskan perlahan dengan pandangan mata terpejam, menikmati percikan hujan membasahi wajahku yang kusut selepas ulangan matematika. Ah matematika?
“Hai!” Teriak seseorang tepat di telingaku. Sontak aku membalikkan badan ke sumber suara itu. “ah kamu Fi, selalu buatku jantungan. Untung jantungku ga copot” cerocosku dengan raut sebal.
“Abis kamu tuh yaa melamuuun saja, mikirin apa siii?” Tanya Fia sahabatku yang berjilbab rapi tapi bawel minta ampun. Fia adalah teman terbaikku, perempuan periang yang sangat suka ber-story telling tentang apapun. Tubuhnya yang semampai membuatku harus mengangkat kepala jika berbicara dengannya. “ahh aku tauu.. pasti kamu lagi mikirin dia yaa.. ayo ngaku” terka Fia setengah menggodaku.
“Duh, apaan si Fii... dia siapaa Fia...” jawabku sekenanya sembari mencubit pipinya yang tidak terlalu tembem itu. Sebenarnya aku balas dendam saja, abis Fia itu hobi banget cubit pipiku yang dia bilang ‘mbil sangat’. Ah, aku jadi teringat perkataan itu, yang pernah menyebutku dengan panggilan itu. Awalnya aku risih, tapi tak bisa kusembunyikan lagi rona merah yang menjangkit pipiku kala ia memanggil dengan sebutan itu.
“Halah, gausah ngelak deh Arum...manis buah mangga, hihihi”. Celetuk Fia sambil tertawa puas.
“Ehh sembarangan ganti-ganti nama orang. Namaku itu Arumi Zahra Althafunnisa” Jelasku sambil merutuki ucapan Fia.
“Haduh iya iya deh mba terserah lah. Mending kita pulang yu, hujan udah mau reda nih” Benar saja, hujan mulai reda. Baiknya aku pulang sebelum langit berubah pikiran untuk menangis lagi.
“Okay” Jawabku sambil mengangkat dua jempol.
Kami berlari kecil ketika melewati lapangan. Hujan memang mulai reda, tapi tak sepenuhnya. Gemercik gerimis masih memohon untuk mengekspresikan kesedihannya. Namun perlahan gemercik itu segera berganti rona jingga. Ah jingga? Temannya senja itu?
Penggalan peristiwa itu ternyata masih tertanggal dalam otakku. Padahal ku kira aku sudah melupakannya. Ah sudahlah, ia pun pasti sudah melupakannya jauh sebelum diriku tertatih melupakannya. Aku merutuki diriku sendiri, yang masih tinggal dalam bayangan itu. Bayangan yang nyata, bayangan yang membuatku terpesona.
***
Aku menengok ke arah jendela, berharap gemintang muncul untuk menghiburku. Namun sayang, malam ini gemintang tidak muncul. Ia bersembunyi dibalik gelapnya langit. Mungkin ia sungkan untuk datang karena dijegat oleh gerimis sore tadi yang nggan berhenti menumpahkan kesedihannya. “Ini giliranku,” pekiknya.
Tapi malam ini purnama bersinar sempurna. Membelah kesunyian malam dengan cahaya samarnya. Gawat, diriku mengingatnya lagi, sepenggal puisi yang pernah kuberikan pada seseorang. Tiba-tiba kata-kata itu mengalir begitu saja dari bibirku.
Seutas kata
Inginku sampaikan jua
Meski ku tak seindah bulan purnama
Bersinar terang bak lentera bola
Samar-samar tapi indah jua
Bahkan keruh sering jumpa dan menyapa
Sehingga jauh dari kata sempurna
Ingin sanubari bercerita semua
Kepada kau wahai sang pemelihara
Aku...
Aku langsung tersadar dari lamunanku. “ah, apa-apaan sih? Mengapa harus puisi itu lagi? Gumamku kesal pada diri sendiri.
Aku meninggalkan jendela menuju meja belajarku yang sedari tadi menunggu kusentuh, belum lagi buku-buku itu yang merengek ingin dibaca. Sebuah buku matematika kubuka. Mengingat tadi siang sepertinya ulanganku tak lebih baik dari sebelumnya. Aku memang suka matematika, tapi ntah akhir-akhir ini aku merasa bosan dengannya.
Tak lama aku tenggelam dalam angka-angka itu. Menikmati semua sajian soal-soal yang hangat. Tanpa kusadari, aku terlelap dengan buku-buku yang masih terbuka, pensil di genggaman, dan lampu yang masih bersinar terang. Hampir setiap malam keadaan ku seperti ini, terlelap di meja belajar.
Selain matematika, aku sangat menyukai ilmu kesehatan. Aku sering membaca buku-buku kesehatan yang ada di perpustakaan. Oh iya, aku pun senang berpuisi, karena dengan berpuisi aku dapat mengekspresikan diriku tanpa ada yang ditutup-tutupi namun tidak diketahui maknanya oleh orang lain secara gamblang.
***
Oh jingga,
Jangan tinggalkan senja
Yang telah memilihmu menyempurnakan indah senja
Goresan jingga diwaktu senja telah menenggelamkanku dalam imajinasiku. Sentuhannya selalu memikatku dan membangkitkan semangatku. Aku telah jatuh cinta pada warna jingga yang telah menyempurnakan indahnya senja.
Kring...kring...kringg... bunyi bel pulang berdering. Hari ini hujan turun cukup deras. Beberapa siswa terpaksa menerobos hujan. Aku memilih berdiam di dalam kelas, sambil sejenak melepas penat.
“Rum,belum pulang?” ucap Fia teman sekelasku.
“Belum fi, masih hujan. Oh ya fi, kamu udah beli buku hadits arba’in?” tanyaku pada Fia.
“Udah Rum, kemarin sewaktu pulang sekolah berdua dengan Bilqis”. Jawab Fia
“Yaah...padahal aku juga mau beli Fi...” Ucapku dengan nada kecewa.
“Abis kemarin kamu aku cari gaada Rum, yaudah aku jalan berdua sama Bilqis”.
“Yaudah deh fi” jawabku kecewa.”Yaah gimana dong ini? Males banget kalo jalan sendirian” gumamku sambil berpangku tangan. “Oh iya! Minta tolong kak Arfan aja kali yaa? Kan dia suka beli kitab-kitab gitu” tanyaku pada diri sendiri.
Aku memutuskan menghubungi kak Arfan. Berniat meminta tolong untuk menitip membeli buku. Kak Arfan menyanggupinya, bahkan bersedia mengantarkanku.
Keesokan harinya, kak Arfan menjemputku ke sekolah. Setahu aku sikap dia itu dingin banget sama perempuan, tapi ko mau yaa jemput aku? Kak Arfan mengajakku ke toko Al-Insan. Katanya disana banyak koleksi buku islami.
“Mau beli yang mana Rum? Mau yang ada terjemahannya aja atau sama yang ada penjelasannya? Mau yang penjelasannya pendek atau yang panjaaaang kaya kereta?” tanya kak Arfan panjang lebar seperti pelayan toko.
“Emm...yang penting ada terjemahannya aja deh kak” jawabku singkat.
“Oh yang ini?”tanya kak Arfan sambil menunjukkan buku kepadaku.
“Iyaa”
“Yaudah kakak bayar dulu yaa”
“Ini kak uangnya”
“Udaah, biar kakak aja yang bayar”
“Eh jangan kak”
“Udah ga apa apa rum, uangnya kamu tabung aja”
“Yaudah deh kak, makasih yaa” jawabku sambil tersenyum
“Iya, sama-sama ruum”
“Oh iya, abis ini kamu ada acara ga?”
“gaada kak, kenapa?”
“Kita ke taman dulu yu!” ajak kak Arfan.
“Ayo, mumpung udah sore juga nih, aku suka loh liat senja disana”.
“ Oh ya? Bagus dong kalo gitu”
Aku dan kak Arfan bergegas pergi ke taman. Kita duduk di sebuah bangku. Kita bercerita apa saja yang terlintas di pikiran saat itu. Mulai dari cerita yang menyenangkan, menegangkan, sedih, bahkan lucu. Kita bertukar pengalaman dengan sangat antusias dan menyenangkan. Kita sempurna larut dalam keindahan jingga yang memancarkan goresan-goresan keindahan diwaktu senja. Membuat cakrawala terlihat begitu indah, begitu menawan dan sempurna.
Goresan-goresan itu, membuatku tersadar bahwa sesuatu membutuhkan sesuatu yang lainnya agar ia dapat berpedar dengan sempurna, dengan sangat indah. Dan saat ini¸aku seperti menemukan penyempurna diriku, yang membuatku tertawa lepas¸ membuatku merasa nyaman dan amat sempurna.
“Rum, kenapa sih Arum suka warna jingga? “ tanya kak Arfan penasaran di sela-sela perbincangan kita.
“Aku suka warna jingga karena jingga membuat senja sempurna keindahannya” jawabku sambil memandang langit senja. “Lihatlah cakrawala itu¸begitu menawan bukan?”
“Wah, benar juga sih. Senja tak akan sempurna tanpa jingga. Good...good...pintar kamu Rum”. Ulang kak Arfan sambil memujiku
“Iya dong kak, Arum gitu loh!” jawabku menyombongkan diri.
“Eh iya Rum, udah mau magrib nih, kamu mau disini terus? Ayo kita pulang”.
“Yeah, kakak aja kali yang disini, Arum mah mau pulang”
Aku dan kak Arfan pulang ditemani senja yang perlahan redup, menuju malam, menuju keheningan. Tak lama, kumandang azan terdengar. Aku telah sampai di depan rumah.
“Makasih yaa kak” ucapku sambil tersenyum.
“Iya sama-sama Rum, kakak pulang dulu yaa, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” jawabku sambil tersenyum.
Peristiwa hari ini telah membuatku tersenyum-senyum sendiri. Aku tak menyangka bisa sedekat ini dengan kak Arfan. Biarpun ia baik pada semua orang, tapi kali ini aku rasa ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada maksud tersembunyi.
Hari ini usiaku genap 16 tahun. Tiba-tiba datang sebuah kiriman. Aku terheran, “ini punya siapa?” tanpa pikir panjang aku langsung membukanya. Isinya adalah sebuah kerudung dan sebuah surat.
Jingga
itu warna yang indah
Tapi akan lebih indah
Jika senja menjadi pasangannya
Senja
Adalah alasan jingga muncul
Senja
Adalah alasan jingga harus bersinar
Tanpa senja
Cakrawala tidak akan indah walau ada jingga
Jangankan tidak ada
Senja tertutup mendung pun
Jingga tidak berarti
*maaf ya rum puisinya jelek, maklum kakak baru buat puisi hehe. Rum, ketahuilah kakak menyayangimu.
Aku terkejut, aku tak menyangka kak Arfan dapat seperti ini. Aku terus bertanya-tanya pada diri sendiri, ”apakah Kak Arfan menyukaiku?”.
Sepertinya aku telah jatuh hati pada kak Arfan. Memang, sedari awal aku mengenalnya aku sangat mengaguminya, tapi aku hanya diam, menyimpan rasa ini rapa-rapat sampai akhirnya Kak Arfan mengajakku ke sebuah taman itu. Aku tak sanggup menahan harapan-harapan yang kian tumbuh subur.
Semenjak itu, aku dan Kak Arfan saling terbuka satu sama lain mengenai perasaan kita. Beberapa kali Kak Arfan menjemputku ke sekolah. Kita juga pernah periksa mata bersama, tertawa bersama dengan candaan-candaan riang. Aku dan Kak Arfan semakin dekat.
Namun, beberapa lama waktu berlalu, aku mulai khawatir dengan kedekatanku dengan Kak Arfan. Memang kita selalu jaga jarak setiap kali bertemu, tetapi tetap saja hati ini tidak tenang. Aku merasa bersalah. Aku memutuskan untuk bercerita kepada Kak Arfan tentang kekhawatiranku. Kak Arfan menyerahkan keputusannya padaku. Tapi aku bingung. Akhirnya kekhawatiranku berlalu begitu saja.
Tak berselang lama, Kak Arfan mulai susah untuk dihubungi. Sampai suatu hari ada seseorang yang tiba-tiba menghubungiku. Aku sangat terkejut, ternyata dia adalah Ana, mantan kekasih kak Arfan. Terlebih Kak Ana memasang foto berdua bersama dengan Kak Arfan.
Aku sangat kecewa, sangat kecewa.
“Kak, kakak kenal Ana?” tanyaku pada Kak Arfan.
“Iya kenal Rum, kenapa?” jawab Kak Arfan kaget.
“Dia mantan kekasih kakak?”
“Iya Rum, kamu tahu dari mana?” tanya Kak Arfan penasaran.
“Dia ngechat aku Ka! Dia bilang dia mau balikan sama kakak. Apa benar ka?”
Kak Arfan tak membalas.
“Kak jawab kak!”
Setelah beberapa kali aku bertanya namun tidak dihiraukannya. Aku kecewa, bahkan sangat kecewa. Aku pergi ke taman. Ditengah gemerlap cahaya jingga, aku termenung. Segelintir kata mengalir begitu saja.
Disuatu tempat nun bersahaja
Rintihan kelabu menerpa tiba-tiba
Memaksa nurani memahami secarik peristiwa
Setitik cahaya mentari berlalu melalui celah kebingungan
Mengintip dibalik awan
Hendak mencari secuil kedamaian
“Aku kira Kak Arfan itu berbeda. Ia paham agama, ia pintar, ia sangat menyukai anak-anak, ia baik pada semua orang. Tapi nyatanya? Ia membuatku terluka. Mengapa? Mengapa?” aku menangis, rintikan hujan berjatuhan seiring dengan air mataku. Untuk hari ini, cahaya jingga membuatku bersedih. Senada senja yang redup terhalang hujan.
Aku berusaha menenangkan jiwaku. Mencoba memahami apa yang baru saja aku alami. Tiba-tiba Kak Ana mengirim pesan padaku.
“Teruntukmu Arum, aku hanya ingin menjelaskan, bahwa aku tak ingin lagi bersama Arfan. Walau Arfan memintaku bersamanya lagi, tapi aku tahu, ada kau Arum dihatinya. Kau telah menggantikanku dihatinya.”
Aku menangis lagi, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sangat kecewa, aku sangat sedih.
Sementara itu Kak Arfan malah menghilang entah kemana, meninggalkan luka bagiku. Aku, seorang remaja yang terlanjur menyayangi seorang lelaki bernama Arfan.
Ditengah kesedihanku, aku mencoba bangkit. Aku sadar, masih banyak hal yang harus aku capai. “Aku harus Bangkit! Aku harus sukses! Biar kutunjukan bahwa aku adalah wanita kuat! Aku pasti bisa!” ucapku menyemangati diri sendiri.
Aku berhasil menjadi siswa berprestasi di sekolah. Walau terkadang aku mengingat perihal Kak Arfan. Aku belum benar-benar melupakan Kak Arfan. Ia terlalu sempurna bagiku sehingga harapan itu belum juga padam. Tapi semua itu aku pendam. Aku fokus pada mengejar cita-citaku. Aku belajar siang-malam, memaksimalkan waktu untuk belajar, sambil sesekali mengasah kemampuan berorganisasiku. Aku di terima di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Aku lebih semangat lagi belajar. Hanya belajar, belajar, dan belajar.
Empat tahun kemudian aku lulus dari Fakultas Kesehatan Masyarakat di UI dengan predikat cumlaude. Aku senang, sangat senang. Kerja kerasku berbuah manis.
“Alhamdulillah, aku akhirnya lulus. Terimakasih yaa Allah. Dahulu kau berikan luka itu agar aku mampu lebih semangat lagi dalam belajar sehingga aku bisa seperti ini.” ucapku penuh syukur.
Di penghujung senja dihari wisudaku, sambil menatap indahnya jingga yang memancar di tengah senja. Tiba-tiba suara itu...suara itu sepertinya aku kenal.
“Assalamua’laikum ukhty” Ucap seseorang tiba-tiba menghampiriku
“Wa...wa’alaikum..salam..”. Jawabku terbata-bata karena kaget.
“Apa kabar Arum?”
“Baik kak baik. Kakak apa kabar?”
“Kakak baik juga ko. Selamat yaa Rum, kamu memang pintar.” pujinya
“I..ya kak makasih” jawabku gugup karena masih kaget.
Ternyata dia adalah Kak Arfan. Setelah sekian lama menghilang, ia muncul. Persis di hadapanku. Tentu aku sangat terkejut.
“Rum, maafin kakak, kakak meninggalkanmu begitu saja. Kakak pergi menyantren Rum.”
“Kenapa kakak tidak bilang?”tanyaku penasaran namun tegas.
“Kakak tidak ingin kau cemas rum, dari kata-kata kekhawatiranmu itu kakak mengerti, kalau kamu seharusnya memang belajar terlebih dulu, mengejar cita-citamu. Kakak tidak ingin menjadi penghalang kamu dalam menggapai cita-citamu.”
“Lalu bagaimana dengan Kak Ana?”
“Kak Ana? Ya, memang awalnya kakak berfikir untuk balikan dengan Ana, tapi kakak berfikir lagi, sebaiknya kakak sama kamu aja deh...boleh ga?”
“Ga. Kakak udah ninggalin aku!”
“Eh ko galak amat nih Arum”
“Biarin.” jawabku ketus.
“Rum percayalah, kakak sangat menyayangimu.”
“Kak, Arum tidak butuh kata-kata itu. Jika kakak benar-benar menyayangi Arum, datanglah secara baik-baik ke rumah Arum.” Jawabku sambil meninggalkan kak Arfan sendirian.
“Baiklaah...” Teriak kak Arfan diterpa semilir angin yang mengiringi senja pulang keperaduannya.
Tamat
Ahad¸ 7 januari 2018 M/20 Rabiul Akhir 1439 H
Sepucuk perjalanan yan baru saja dimulai. Berkumpul bersama dengan para calon ibu peradaban, katanya. Ya, kami hanyalah sekumpulan manusia terpilih yang disatukan dalam satu rumah. Kedatangan kami disini, bukan hanya ingin menumpang. Kami menyiapkan jiwa dan raga untuk ditempa. Agar kuat menopang beban sebagai pembangun peradaban cemerlang.
Bukan sekedar kata yang hanya jadi pemanis saja. Niat itu memang ada bahkan mengakar sebelum dikumpulkan bersama-sama. Aku mengerti, hari-hari ke depan akan ada banyak rintangan dan tantangan. Kami disini berkumpul untuk saling menguatkan dan bersama-sama menggapai tujuan.
Selamat berjuang, para calon ibu peradaban. semoga kelak semua tempaan akan berdampak bagi kemajuan bangsa, negara, dan tentunya agama
Bu, andaikan engkau masih ada disisiku, bukankah engkau akan sangat senang, anakmu telah meraih cita-citanya, cita-citamu. Berkuliah itu hal yang sangat mahal bagi kita, bukankah begitu Bu? Dulu, kita sering bercerita, lebih tepatnya aku, yang mempunyai angan bisa berkuliah dengan beasiswa. Aku tidak berharap bahwa dengan kuliah aku bisa bisa jadi orang kaya. Tetapi dengan kuliah, dengan menjadi orang yang terpelajar, aku berharap bisa menjadi orang yang lebih bijak menghadapi kehidupan. Bu, bukankah engkau akan tersenyum ceria, dibalik wajah yang menahan sakit itu? Bu, bukankah engkau akan sangat bahagia saat anakmu bisa mengantarkanmu dengan iringan ayat-ayat al-Quran dan bisa mengantarkan bait-bait doa setelah kau tiada? kuharap begitu, Bu. Karena tiada lagi yang bisa aku beri selain bait doa yang melangit tiap kali aku ingat padamu, tiap kali aku rindu padamu, bahkan, tiap nafasku rasanya rindu ini selalu melekat, aku tak kuat, aku sangat rindu padamu Bu. Aku bukan ingin terlihat lemah, tapi aku memang rindu, bahkan teramat rindu. Bu, ridhoi aku sebagai anakmu. Bu, semoga aku termasuk anak yang berbakti kepadamu. Karena bagaimana pun, syurga di telapak kaki ibu.
Dear 2020, terimakasih telah memberikan kesempatan kepadaku untuk belajar banyak hal, terutama tentang kesabaran dan belajar menerima apa yang telah Allah takdirkan untukku.
Aku begitu semangat menyambutmu di awal tahun. Tiga bulan pertama berjalan cukup berat, bangun lebih awal, berangkat kuliah pagi2, pulang sore, mesti rapat sana sini, ikut seminar, dan tugas-tugas yang datang tanpa ampun. Aku capek. Tapi aku menikmatinya. Hanya saja perlu perbaikan dalam memanage waktu.
Aku kerahkan semua kemampuanku, mencoba menyibukkan diri sampai agak overload sih. Tapi aku puas. Hingga tibalah si Corona menghebohkan semua, menggagalkan rencana, menghapus kebersamaan-kebersamaan yg telah maupun akan dilakukan. Pertama, kita disuruh angkat kaki dari asrama secara tiba-tiba. Lagi ujian loh. Aku gak ngerti. Aku gak terima. Tapi akhirnya pulanglah juga diriku. Sampai di rumah. Rumah bagiku adalah cobaan. Ya, bagaimana tidak, di rumah ramai, aku susah fokus. Aku gak punya laptop sedangkan itu sangat dibutuhkan. Aku hanya punya hp android yang memorinya seringkali penuh. Instal app A, berarti hapus app B. Download A, hapus B. Gitu aja terus. Mana tugas bikin video mulu , laporan, dan yaa yang semacam itu. Stress lah aku di rumah. Sampai-sampai di pagi hari aku cerita ke ayah, Sampek nangis. Gak lama rumahku jd sepi. Sebagian orangnya pindah. Entahlah. Ada masalah kecil dibesar-besarin jadi gitu. Cobaan lagi nih buatku. Aku yg harusnya keluar dari rumah ini bersama ayah dan adiku. Aku merasa mampu untuk mengurus rumah sendiri dibandingkan mengurus rumah orang lain. Tapi tidak begitu kenyataannya. Malah aku yg harus menemani nenekku di rumah. Yah, yasudahlah. Aku mempertimbangkan untuk kuliah sambil mondok. Tapi kesian kalo nenekku ditinggal sendirian. Nah dibalik itu, aku coba apply beasiswa bright. Agak setengah hati soalnya aku pengen banget mondok dari dulu tp belum kesampean. Tapi aku jg perlu beasiswa ini. Yowess daftarkan aku beasiswa ini. Ehh tau-tau aku keterima! Alhamdulillah... Tapi aku galau lagi. Berarti doaku untuk "keluar" dari rumah terkabul dan harus merelakan nenekku sendirian kalo siang di rumah. Ah, cem mana ini. Yasudah, karena aku udh TTD kontrak harus asrama, yowess aku berangkat.
Nah, di asrama, Wow. Alhamdulillah, aku bersyukur banget. Mendapatkan kembali "semangat yg sempat hilang bbrp bulan ini". Sangat supportif, membiasakan ibadah dan hal-hal baik, Alhamdulillah...
Dan satu cerita yang ga kalah menarik di akhir tahun ini adalah kembalinya seseorang yang susah payah aku lupakan 3-4 tahun terakhir. Ah, mungkin niat dia hanya menyambung tali silaturahim, akunya aja yg ke-GR-an. Aku sangka aku akan bisa bersikap biasa. Tidak terbawa lagi rona-rona merah jambu yang pernah bersemi itu. Tapi imanku terlalu lemah. Aku tidak bisa mengelak. Harapan itu muncul lagi. Sedangkan yang diharapkan masih meragukan orang yang sudah tak lagi meragukannya. Melamun. Itu kerjaanku akhir-akhir ini wkwk. Bukannya belajar buat UAS. Kan, kukata imanku terlalu lemah. Aku belum siap menghadapi yang seperti ini lagi. Okelah kalo orang lain yang datang aku masih bisa tahan. Tapi ini dia yang datang? Astagfirullah. Lucunya, kalo aku sadar "aku lagi melamun", aku istigfar dong. Kan aneh yaa kalo diliat orang tiba-tiba istigfar mulu😂. Akhirnya, aku memutuskan untuk melepaskan lagi (yaa walaupun inimah bisa-bisanya aku aja, da dia mah biasa aja). Sudah. Clear. Aman. Tinggal effort aku untuk kembali menutup buku tentangnya dan siap membuka buku 2021 untuk Elsa yang lebih baik. Oia, harapan untuknya takkan pernah terputus. Menurutku ia sangatlah spesial (bukan martabak 2 telor loh). Aku saja yg harus lebih bijak mengelola rasa yang ada.
Itulah cerita 2020 yang banyak frustasinya tapi bener-bener membekas rasa sabarnya. Aku merasa 2020 menempaku dengan baik dalam hal kesabaran. Alhamdulillah, terimakasih Allah
Sekian, pemirsa 😁
Bismillahirrahmanirrahiim...
Covid, bagiku, kamu adalah pengacau, awalnya. Dari pertama kau datang, kau berhasil porakporandakan aku, rencanaku, semangatku, kehidupanku. Ah lo lebay sa. Ya mungkin lo ngerasa gue lebay, tapi itu faktanya menurut gue. Seorang Elsa yang lagi semangat-semangatnya ikut kegiatan ini itu meski beban kuliahnya sudah bertambah, 23 sks di semester kedua, dengan praktikum yang cukup mengagetkan untukku saat itu. Saat itu, aku masih menjadi bagian dari program Outsco, program yang mempersiapkan calon-calon mahasiswa berprestasi. Ya, aku ingin jadi mapres. Maba yang ambis, biasalah, baru ngerasa masuk kuliah, baru ngerasa bisa menggapai satu impiannya, kuliah di IPB jurusan ilmu gizi. Banyak sekali mimpi dan rencana-rencana di kepalaku. Yang pasti, aku sangat senang menjalaninya walaupun berat dirasakan.
Lagi, covid sempat meruntuhkan itu. Mematah cabang yang mulai tumbuh. Satu tahun berlalu, badai itu berlalu. Badai itu terpaksa aku terobos demi terus melanjutkan perjalan ini. Banyak energi yang kuhabiskan hanya untuk mempertahankan diri agar tidak hanyut terbawa arus. Alhasil diriku masih bisa bertahan, namun tak membawa buah tangan alias dengan tangan kosong. Oke baiklah, semuanya sudah berlalu, kataku. Terimakasih aku, sudah mau berjuang dan bertahan.
Saat dahan-dahan baru coba aku tumbuhkan, si covid mematahkannya lagi. Kali ini ia langsung menyerangku. Alhasil aku sempat tumbang dan menyebabkan pohon lain di sekitarku juga tumbang. Aku menghela nafas sejenak, berusaha mengumpulkan energi lagi untuk bangkit. Aku harus kuat, pikirku. Siapa lagi yang akan membantu jika bukan dirimu sendiri atas kehendak Allah? Ah iya, Allah! Aku punya Allah. Seketika diriku ingat, aku masih punya Allah. Aku punya Allah yang maha pemberi. Aku punya Allah yang maha menyembuhkan. Saat itu, aku teringat kembali, betapa awal untuk menumbuhkan pohon ini, aku selalu yakin Allah akan membantuku. Aku tidak takut gagal karena aku minta pada Allah. Tentunya Allah pasti dan akan selalu memberikan takdir yang terbaik kepadaku dan kepada semua hamba-Nya. begitupun dengan menumbuhkan cabang-cabang ini sebagai persiapan untuk berbuah dan memberikan manfaat kepada orang lain. Minta kepada Allah. Itu cara ampuhnya. Tanpa itu, semua akan terlihat lebih sulit karena tidak ada tempat bergantung, tidak ada tempat berpulang ketika fisik dan hati mulai lelah.
Sepertinya, aku sudah temukan hikmahnya. Si covid yang sempat membuatku gundah, akhirnya sirna dari tubuhku dengan meninggalkan pelajaran berharga bagiku. Yang pertama, yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja karena ada Allah. Yang kedua, minta sama Allah. Apapun yang kita inginkan minta sama Allah. Allah tidak akan merasa risih terus kita minta, justru Allah senang. Tinggal disempurnakan dengan ikhtiar. InsyaAllah, apapun yang dihasilkan nantinya pasti akan terasa manis. Percayalah, dan cobalaah!
Senja tak lagi butuhkan jingga
Gemintang tak lagi menemani malam
Semua itu karena hujan, datang tanpa aba-aba
Mengukung dalam kesunyian, tanpa keindahan, tanpa kehangatan
Darinya aku mengerti, maka biarkan aku sendiri
4 Kata kunci :
Senja
Menurutku, senja adalah sempurna, selalu memesona, membuat merona. Waktu yang singkat menjadi indah sedemikian rupa hanya karena perpaduan senja dan jingga. Namun sayang, semakin menuju keindahan justru ia akan pergi berganti malam. Tapi aku yakin, malam tak hanya tentang kesunyian
Gemintang
Malam yang gelap, tiba-tiba gemintang muncul. Semangatnya menyinari malam yang menginspirasiku. Meski kerlapnya kadang benderang, atau sesekali melebur bersama malam
Hujan
Dengan hujan semua itu hilang, baik senja maupun gemintang pasti terhalang. Membasahi diri dengan keabuan. Namun dibalik itu semua, ia menjadi sumber penghidupan bagi makhluk-makhluk Allah yang lain. Sungguh tak terbilang manfaat hujan. Menyibak dedauan, mengalirkan kesejukkan. Arti tersembuunyi yang benar-benar menakjubkan. Nuranimu pun pasti berpendapat demikian. Maka tak kuingkari lagi adanya hujan, justru bersyukur membangunkan nurani yang mulai menghitam
Sendiri
Dari ketiga itu membangunkanku dari lamunan. Segera bergerak menuju keistiqomahan. Bukan tak ingin berteman, hanya saja janganlah berlebihan karena ada sesuatu yang harus dijaga. Dan aku, tak ingin ada yang kecewa
Selasa, 7/8/2018