Pada akhir tahun 1980, program transmigrasi digalakkan secara masif oleh pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya pemerataan penduduk dan pembangunan wilayah luar Jawa. Salah satu wilayah yang menjadi tujuan program tersebut adalah Satuan Kawasan Pemukiman C (SKP-C), sebuah kawasan yang dibuka dan dikembangkan khusus untuk menampung para transmigran dari berbagai daerah. Di kawasan ini, pemerintah membentuk struktur pemerintahan lokal yang bertugas mengelola kehidupan masyarakat baru tersebut. Pucuk pimpinan administratif dipegang oleh seorang Kepala Satuan Pemukiman Transmigrasi (KSPT) yang bertanggung jawab penuh terhadap penyelenggaraan pemerintahan, ketertiban, serta pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat transmigran.
SKP-C dirancang dengan pembagian wilayah yang terstruktur. Kawasan ini terdiri dari satu Desa Utama (DU) sebagai pusat kegiatan administratif dan sosial, serta empat Desa Kecil (DK) yang tersebar di sekelilingnya, yaitu DK 1, DK 2, DK 3, dan DK 4. Setiap desa dihuni oleh keluarga-keluarga transmigran yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan daerah, menciptakan keberagaman yang menjadi ciri khas kawasan tersebut.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, kebutuhan akan fasilitas dasar pun mulai meningkat. Salah satu kebutuhan paling mendesak pada saat itu adalah pendidikan. Banyak anak-anak usia sekolah yang sebelumnya telah mengenyam pendidikan di daerah asal mereka, kini harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang belum memiliki fasilitas pendidikan formal. Menyadari pentingnya pendidikan bagi masa depan generasi muda di wilayah transmigrasi ini, masyarakat bersama pemerintah setempat segera merespons kebutuhan tersebut.
Pada tahun 1981, didirikanlah Sekolah Dasar Perintis, yang menjadi tonggak awal penyelenggaraan pendidikan dasar di kawasan SKP-C. Pendirian sekolah ini menjadi simbol semangat baru dalam membangun sumber daya manusia di daerah transmigrasi. Karena keterbatasan sarana dan prasarana, kegiatan belajar-mengajar pada masa awal memanfaatkan salah satu rumah warga yang disekat menjadi dua ruang kelas sederhana. Meskipun dengan segala keterbatasannya, para siswa tetap belajar dengan penuh semangat dan antusias.
Kepala sekolah pertama yang memimpin SD Perintis adalah Bapak BudiVarianto, seorang tokoh pendidikan yang dikenal berdedikasi tinggi. Dengan penuh inisiatif, beliau mendata anak-anak usia sekolah di seluruh wilayah SKP-C, termasuk mereka yang sebelumnya sudah sempat mengenyam pendidikan di daerah asal. Hasil pendataan menunjukkan bahwa jumlah siswa yang bisa segera mengikuti proses belajar mencapai sekitar 100 orang.
Sistem pembelajaran pun diatur secara fleksibel sesuai dengan keterbatasan ruang dan fasilitas. Kelas dibagi menjadi dua gelombang, pagi dan siang, agar semua siswa tetap bisa belajar. Para guru yang mengajar pada waktu itu, sebagian besar adalah para transmigran yang memiliki latar belakang pendidikan, dan bersedia mengabdikan diri sebagai pendidik secara sukarela. Meski sarana sangat sederhana—tanpa meja belajar
yang layak, papan tulis seadanya, serta buku pelajaran yang terbatas—semangat untuk belajar dan mengajar tidak pernah surut.
Pendirian SD Perintis tidak hanya menjadi awal mula pendidikan formal di SKP-C, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam membangun komunitas yang lebih berpendidikan dan mandiri. Sekolah ini menjadi pusat kegiatan sosial dan pendidikan, tempat berkumpulnya harapan dan impian anak-anak transmigran untuk masa depan yang lebih baik.
Sistem belajar di SD Perintis pada masa awal pelaksanaan pendidikan disesuaikan dengan keterbatasan ruang dan jumlah kelas yang tersedia. Pembelajaran dibagi ke dalam tiga sesi utama berdasarkan jenjang kelas. Kelas 1 dan 2 melaksanakan kegiatan belajar pada pukul 08.00 hingga 10.00 pagi, dilanjutkan oleh Kelas 3 dan 4 yang masuk pukul 11.00 hingga 13.00 siang. Sesi terakhir diisi oleh Kelas 5 dan 6 yang belajar pada pukul 13.00 hingga 15.00. Pengaturan ini memungkinkan semua siswa memperoleh kesempatan belajar meskipun ruang kelas sangat terbatas. Sistem bergilir ini juga menuntut guru-guru untuk bekerja dalam tiga sesi sehari, menunjukkan semangat dan dedikasi luar biasa dalam membina generasi muda transmigran.
Pada tahun 1982, SD Perintis mengalami perubahan besar. Sekolah ini resmi bertransformasi menjadi Sekolah Dasar Negeri (SDN) 049 Rambah, menandai pengakuan formal dari pemerintah terhadap keberadaan dan peran penting lembaga pendidikan ini. Pimpinan sekolah juga berganti, dari Bapak Budi Varianto kepada Bapak Muslim. Selain perubahan nama dan kepemimpinan, lokasi sekolah pun dipindahkan ke tempat yang lebih strategis, yaitu di sekitar aula desa atau kantor desa lama, yang sekarang dikenal sebagai wilayah RW 06. Lokasi baru ini memberikan ruang yang lebih luas dan akses yang lebih mudah bagi masyarakat sekitar.
Setahun kemudian, pada 1983, SDN 049 Rambah akhirnya memiliki gedung semi permanen sebagai fasilitas belajar yang lebih layak. Gedung ini dibangun di lokasi yang saat ini dikenal sebagai SDN 007 Bangun Purba. Pembangunan gedung ini menjadi tonggak sejarah penting dalam perkembangan pendidikan di kawasan transmigrasi, karena untuk pertama kalinya para siswa dapat belajar dalam ruang kelas yang benar-benar difungsikan sebagai sekolah, bukan lagi rumah warga yang disulap.
Tahun 1986, seiring dengan semakin mantapnya struktur permukiman transmigrasi dan pembentukan identitas wilayah, nama desa tempat sekolah ini berada secara resmi diubah menjadi Desa Pasir Intan. Perubahan nama desa ini membawa semangat baru bagi seluruh warga, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
Perjalanan kepemimpinan sekolah terus berlanjut. Pada tahun 1994 hingga 2000, kepemimpinan SDN 049 Rambah dipegang oleh Bapak Suparman. Di bawah kepemimpinan beliau, berbagai pengembangan sarana dan prasarana terus dilakukan, baik melalui dukungan pemerintah maupun swadaya masyarakat. Fasilitas sekolah mulai bertambah secara bertahap, termasuk penambahan ruang kelas, perbaikan atap, dan pengadaan meja serta kursi belajar yang lebih layak. Masa kepemimpinan Bapak Suparman menjadi salah satu masa penting dalam menata fondasi sekolah yang lebih kuat dan siap menghadapi perkembangan zaman.
Memasuki tahun 2000, terjadi pemekaran wilayah yang berdampak pada administrasi pendidikan. SDN 049 Rambah secara administratif berubah nama menjadi SDN 034 Rambah Hilir. Meskipun nama berubah, kepala sekolah tetap dijabat oleh Bapak Suparman. Sekolah terus berkembang dan tetap menjadi pusat pendidikan utama bagi anak-anak dari wilayah sekitar.
Perubahan besar kembali terjadi pada tahun 2002, saat terbentuknya Kecamatan Bangun Purba sebagai bagian dari pemekaran wilayah Kabupaten Rokan Hulu. Dengan terbentuknya kecamatan baru ini, nama sekolah kembali disesuaikan, dan menjadi SDN 007 Bangun Purba, yang tetap berlokasi di tempat yang sama. Bersamaan dengan perubahan ini, jabatan kepala sekolah beralih ke Bapak Sunarto, yang kemudian memimpin sekolah selama beberapa tahun ke depan. Di bawah kepemimpinan beliau, sekolah semakin mengukuhkan diri sebagai lembaga pendidikan yang berperan aktif dalam mencerdaskan anak bangsa di daerah perbatasan kecamatan baru.
Pada tahun 2016, tongkat estafet kepemimpinan sekolah diteruskan kepada Bapak Hermis Harianja. Di masa kepemimpinan beliau, sekolah mulai mengalami modernisasi dalam tata kelola dan pengelolaan program pendidikan. Perhatian terhadap mutu pengajaran, manajemen sekolah, serta hubungan dengan orang tua dan masyarakat mulai ditingkatkan. Sekolah juga mulai menjalin kemitraan yang lebih luas dengan berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah maupun organisasi masyarakat.
Kemudian, terhitung tanggal 01 Agustus 2023, kepemimpinan sekolah dilanjutkan oleh Bapak Tukiman, S.S. Di bawah arahan beliau, SDN 007 Bangun Purba terus menapaki kemajuan, baik dari sisi akademik maupun pengembangan karakter siswa. Berbagai inovasi mulai diperkenalkan, termasuk peningkatan penggunaan teknologi dalam pembelajaran dan perbaikan fasilitas fisik sekolah. Perhatian terhadap pengembangan guru juga semakin ditingkatkan melalui pelatihan dan pendampingan rutin.
Hingga hari ini, SDN 007 Bangun Purba tetap berdiri teguh sebagai simbol perjuangan pendidikan di daerah transmigrasi. Dari sebuah rumah warga yang disekat menjadi ruang kelas, kini sekolah ini telah tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang mandiri dan berdaya saing. Sejarah panjang dan penuh perjuangan ini menjadi bukti nyata bahwa dengan semangat kebersamaan, dedikasi, dan visi yang jelas, pendidikan mampu menjadi fondasi kuat dalam membangun masa depan masyarakat.