MEMOTRET TOKOH DAN MODEL

Salah satu obyek yang paling sering dipotret adalah manusia. Ketika berwisata

bersama keluarga, sekedar kumpul bareng teman, atau ketika lulus kuliah, kamera

menjadi alat utama untuk mengabadikan saat-saat kenangan. Di dinding rumah pun

bisa jadi foto manusia yang banyak dipajang, dalam bentuk foto keluarga di studio

atau reuni teman-teman sekampus, sebagai misal.

Dalam data pribadi kerap kali dijumpai hobi difoto, untuk menyebut hobi-hobi

lain seperti membaca, jalan-jalan, dan nonton film. Bisa jadi yang sebenarnya

menjadi hobi adalah hobi melihat foto diri sendiri ketimbang difoto. Karena untuk

difoto sebenarnya tidak selalu semenyenangkan duduk sambil ngemil di depan TV

atau membaca di kursi malas. Difoto, dalam arti serius, berarti wanita harus menyiapkan

rias wajah dan rambut, sementara pria harus tampil rapi dengan pakaian necis.

Semakin serius sebuah pemotretan, berarti semakin serius pula persiapannya. Sebuah

pemotretan model gaya ABG di studio-studio foto tentu tak seberat sesi pemotretan

model untuk iklan produk. Lebih serius lagi jikalau model yang di-casting adalah

model terkenal yang dibayar mahal. Bisa jadi sangat serius jika model foto adalah

pejabat tinggi negara atau pengusaha kaya yang hendak ditampilkan anggun, gagah,

berwibawa, chic dan mewah. Di luar itu semua, unsur fun tetap lebih banyak dan

lebih dinikmati ketimbang peluh yang bercucuran untuk menyiapkan kostum dan setting

tempat. Terlebih lagi jika seluruh kru pemotretan dan model bisa berkomunikasi

dengan akrab.

Segi Teknis PentingTentu saja, unsur-unsur teknis tetap tak bisa disepelekan. Karena sedap tidaknya sebuah foto dipandang tetap dibangun oleh unsur-unsur teori dasar fotografi. Tak perlu rumit-rumit, cukup dengan bermain-main dengan komposisi dan pencahayaan maka sebuah foto model bisa dibuat dengan benar. Selebihnya, tinggal bagaimana cara fotografer mengarahkan pose dan ekspresi sang model. Misalnya saja pada foto close up Rahma Azhari. Dalam foto tersebut bisa dilihat penempatan titik Point of Interest (POI) sesuai dengan komposisi sepertiga (Rule of Third). Pencahayaan dibuat frontal menggunakan reflektor, karena kondisi pemotretan aslinya adalah outdoor pada saat cahaya matahari pada posisi top lighting. Sementara pada foto “Rahma in Blue” komposisi masih dibuat sesuai komposisi sepertiga tapi dalam format horisontal.Masih dalam kaitan unsur teknis dasar fotografi, komposisi sepertiga juga diterapkan pada foto “Main Air”. POI diletakkan pada sepertiga bagian sebelah kanan dengan pose menghadap ke kiri untuk “mengisi” bagian kiri foto. Di sini ada unsur teknis lain yang terlibat, yakni pemilihan ruang tajam (depth of field) yang sempit sehingga mem-blur-kan

latar depan dan latar belakang. Ruang tajam yang sempit (shallow depth of field)

membantu fotografer mengarahkan perhatian pemirsa foto hanya pada model yang menjadi

POI, tanpa harus teralihkan perhatiannya dengan bebatuan di sekitar model. Teknik

dasar lain yang digunakan adalah freezing (membekukan gerak), dengan cara memakai

kecepatan rana tinggi, untuk merekam butir-butir air secara tajam. Elemen-elemen

yang ada di lokasi pemotretan, terutama pemotretan di luar ruangan, akan sangat

berguna jika dimanfaatkan secara cerdik.

Pose dan EkspresiKemampuan model berpose dan berekspresi tetap menjadi unsur yang tak terpisahkan dari keberhasilan sebuah foto model. Mengarahkan model yang bukan profesional lebih menantang daripada model profesional. Tapi, bisa jadi lebih menarik dan menantang jika memotret tokoh dalam pose-pose yang lain dari biasanya. Istilah gampangnya, tampil unik tapi menarik, nyeleneh tapi jenaka, pose tak biasa tapi tetap sedap dipandang. Pose-pose tersebut membutuhkan kemampuan non-fotografis yang kental, seperti pendalaman pribadi, kedekatan emosional dan kemampuan berkomunikasi. Resep utamanya adalah menggali hal unik yang menjadi pencerminan khas tokoh dan model yang hendak difoto.Ketika memotret Sheila on 7 (SO7), yang notabene kerap bertemu muka di sebuah radio di Yogyakarta, tetap menjadi tantangan tersendiri. Komunikasi yang dibangun kerap kali menjadi bercanda yang kebablasan bercanda terus, atau malah sebaliknya serius yang bablas menjadi kaku. Ketika itu sekitar tahun 1998, SO7 baru menyelesaikan album pertama dan dipotret untuk kepentingan materi iklan sebuah perusahaan t-shirt. Hari berikutnya, mereka ingin difoto untuk kepentingan manajemen mereka dan koleksi pribadi. Jadilah, pose-pose yang nyeleneh, jenaka, dan unik yang tak terencanakan sebelumnya. Foto “Sheila on 7’s Free Style” akhirnya dihasilkan bermodal komunikasi akrab. Ketika itu, kamera medium format fokus manual memaksa tangan terus menerus melekat di gelang fokus lensa dan tombol pelepas rana agar momen ekspresi yang muncul hanya untuk beberapa detik tak luput dari rekaman.Lain halnya dengan pose-pose yang tidak terlalu dinamis bergerak atau berekspresi.

Fotografer bisa dengan perlahan mengeset kamera dan pencahayaan serta berhati-hati

memilih angle. Misalnya saja pada foto “Terkulai” yang dibuat pada set indoor

dengan pencahayaan artifisial dan sentuhan akhir di komputer untuk memberi pewarnaan

berkesankesan lembut dan hangat.

Perlu Pendekatan Personal

Keberhasilan merekam pose-pose menarik memang tak berhubungan langsung dengan

segi teknis fotografi. Tapi, keberhasilan secara teknis fotografi tak ada artinya

dalam kancah memotret model dan tokoh tanpa pose yang sedap dipandang mata. Terlebih

lagi jika ingin mengekplorasi seorang tokoh dalam pose-pose yang unik dan ekspresif.

Bisa jadi pose-pose tersebut adalah pose-pose “apa adanya“ meski sebenarnya diarahkan

oleh fotografer.

Ketika memotret seorang aktor teater dan seniman serba bisa Butet Kertarejasa,

misalnya. Tak ada pembicaraan khusus sebelumnya, selain berbincang ringan di ruang

tunggu bandara pada suatu pagi. Lantas, niat untuk membuat suatu sesi foto kemudian

muncul yang dilanjutkan dengan beberapa perencanaan sederhana, seperti soal lokasi

dan kostum. Memang, adalah penting untuk membuat tokoh sebagai model tetap nyaman

berpose di depan kamera dan berbagai perlengkapan pencahayaan. Dan memutuskan

kediaman pribadi tokoh itu sendiri sebagai lokasi pemotretan tentu bukanlah suatu

syarat yang sulit.

Perencanaan yang cerdik dibutuhkan untuk berhasil membuat foto-foto bagus. Mengenali

diri seorang tokoh, berikut keseharian dan karir tokoh tersebut sama pentingnya

dengan merencanakan kostum yang hendak dikenakan. Pemanfaatan properti pun jangan

disepelekan demi menciptakan suasana yang mencerminkan pribadi sang tokoh. Seperti

dalam foto “Oom Pasikom Style”, sudah diketahui terlebih dahulu bahwa Butet melakoni

tokoh bernama sama dengan judul foto dalam sebuah sinetron di stasiun TV swasta.

Maka, kostumnya pun menjadi saling dukung-mendukung dengan pose, plus imbuhan

properti mobil kuno koleksi pribadi Butet.

Lokasi dan Properti

Masih dalam mobil kunonya, Butet terlihat merasa sangat bebas dan nyaman, didukung

suasana penuh canda dan komunikasi yang berlangsung akrab. Jadilah pose jenaka

pada foto “Butet in Expression” tercipta. Ini adalah pose yang tak muncul dalam benak saya sebagai fotografer

ketika merencanakan pemotretan Butet. Bisa dibilang, pose ini adalah improvisasi

yang berhasil.

Kebutuhan akan properti tak perlu berlebihan, dengan cara memanfaatkan properti

yang sudah ada di lokasi. Kebetulan Butet pernah menulis di Kompas perihal koleksi

kotak rokoknya. Maka, adalah pose yang wajar jika Butet kemudian difoto sambil

merokok di depan koleksi kotak-kotak rokoknya, seperti pada foto “Butet dan Koleksi

Kotak Rokoknya”. Lantas, ada pula faktor keberuntungan dan kebetulan yang bisa

menghasilkan foto candid. Ketika dalam pose merokok di depan lemari koleksi kotak

rokoknya, kebetulan ponsel Butet berdering dan saya persilakan untuk menjawabnya.

Tentu bukan tanpa alasan dan sama sekali tidak mengganggu sesi pemotretan, karena

pada saat itulah salah satu kesempatan emas muncul untuk merekam ekspresi Butet

yang paling tak dibuat-buat. Maka, terciptalah foto “Halo, Butet di Sini...”.

Mengukur Keberhasilan

Membuat foto model dan foto tokoh bisa disebut berhasil jika fotografer berhasil

mengkomunikasikan ide di benaknya kepada para pemirsa foto. Jika pemirsa foto

mengernyitkan dahi pertanda bingung atau memicingkan mata pertanda tak nyaman

memandang, maka bisa dibilang pemotretan belum berhasil sepenuhnya. Lain halnya

jika pemirsa foto mengangguk-angguk pertanda paham atau diam untuk merenung lantaran

berhasil meresapi makna dan rasa dari foto yang dilihatnya. Keberhasilan itu menjadi

lebih berguna lagi tatkala muncul inspirasi-inspirasi baru di benak pemirsa foto

setelah melihat karya-karya seorang fotografer.***