Pancasila bukan sekadar dihafal dan dipahami, tetapi juga harus dipraktikkan dalam kehidupan keseharian kamu. Beragam persoalan dan krisis, seperti kekerasan, tawuran, narkoba, intoleransi, bullying, dan lain sebagainya terjadi karena minimnya pengamalan nilai-nilai dan ajaran Pancasila dalam kehidupan berPancasila. Pancasila merupakan Weltanschauung atau pandangan dunia. Artinya, Pancasila merupakan tata nilai yang berfungsi seperti halnya budaya atau norma yang telah hidup turun-temurun di tengah-tengah masyarakat. Pancasila menjadi pedoman hidup segenap bangsa Indonesia dalam kehidupan keseharian, termasuk kamu. Untuk itu, Pancasila tidak cukup hanya dihafal dan dipahami, melainkan harus dipraktikkan dalam kehidupan seharihari, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun dalam konteks yang lebih luas. Pada kesempatan ini, kita akan mempelajari lebih jauh tentang pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian.
Untuk mengawali bab ini, baca dan resapilah pernyataan Bapak Proklamator kita, Ir. Sukarno, sebagaimana yang tertulis dalam biografi yang diceritakan Sukarno kepada Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, berikut ini.
“Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.” (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Apa yang kamu pikirkan ketika membaca pernyataan Presiden Pertama, Ir. Sukarno di atas? Pernyataan Sukarno ini menjelaskan bahwa nilai-nilai Panca sila sudah dipraktikkan oleh nenek moyang kita, telah menjadi tradisi yang turun-temurun. Kemudian, Sukarno dan para pendiri bangsa mengkaji tradisi-tradisi bangsa Indonesia, merumuskannya menjadi lima sila yang disebutnya sebagai Pancasila. Lalu, perilaku dan tradisi seperti apa yang ditemukan oleh mereka?
Sukarno menemukan bahwa bangsa kita, sejak dulu, sudah terbiasa bergotong royong. Untuk bercocok tanam, misalnya, mereka saling membantu dan bergantian menggarap tanah, mencangkul, menanam benih, mengatur saluran air, memberikan pupuk, memanen. Demikian juga ketika hendak membangun rumah, bangsa kita sejak dulu sudah terbiasa bergotong royong.
Bahkan, kegiatan bergotong royong itu sampai sekarang masih terawat dalam beberapa tradisi. Di Jawa, ada sinoman yang lazim dilakukan pada acara pernikahan di mana ibu-ibu dan bapak-bapak sekitar penyelenggara akan ikut membantu, mulai dari memasak, mendirikan tenda, menerima tamu, dan lain-lain. Di Bangka, ada tradisi nganggung yang dilakukan dengan membawa dulang berisi makanan ke masjid saat menyambut hari besar keagamaan dan kedatangan tamu besar. Demikian juga di tempat lain seperti marsialapari di Mandailing, Rambu Solo’ di Toraja, ngayah di Bali, dan lain sebagainya.
Perhatikanlah lingkunganmu. Tradisi dan praktik apa yang menggambarkan gotong royong? Apakah tradisi tersebut masih tetap berjalan atau sudah mulai punah? Galilah lebih mendalam, bagaimana tradisi yang menggambarkan gotong royong di lingkungan kamu. Di dalam gotong royong, selain ada kerja sama dan kolaborasi antarindividu, juga harus disertai kepedulian satu sama lain. Dengan demikian, gotong royong tidak berasaskan kepentingan individu, melainkan kepentingan kolektif.
Para pendiri bangsa juga menemukan tradisi musyawarah untuk memutuskan segala suatu. Coba kamu ingat, apakah ada tradisi musyawarah dalam keluarga dan lingkungan sekitarmu? Biasanya, kapan dilakukan? Siapa yang menginisiasi dan terlibat dalam musyawarah tersebut? Apakah kamu pernah terlibat dalam musyawarah?
Dalam musyawarah, setiap orang memiliki kedudukan yang setara, samasama memiliki hak menyampaikan pendapat, tidak boleh memaksakan kehendak atau pendapatnya. Ketika musyawarah menghasilkan sebuah keputusan, setiap orang harus mematuhinya. Dengan demikian, prinsip utama dalam musyawarah ialah kesetaraan, respek, patuh terhadap keputusan musyawarah.