Tentang WEG Rendeng
WEG Rendeng adalah singkatan dari Wisata Edukasi Gerabah Rendeng — sebuah inisiatif warga Desa Rendeng, Kecamatan Malo, Bojonegoro, untuk melestarikan tradisi gerabah sambil membuka ruang edukatif dan pengalaman langsung bagi pengunjung.
Lebih dari sekadar tempat wisata, WEG adalah wujud hidup dari warisan turun-temurun: tanah yang dibentuk dengan tangan, cerita yang dilestarikan lewat karya, dan semangat kolektif yang menjadikan Rendeng sebagai pusat gerabah khas dengan nilai budaya tinggi.
Misi Kami
Menjadikan Desa Rendeng sebagai pusat edukasi budaya dan kerajinan tanah liat yang hidup, berkelanjutan, dan menyatu dengan kearifan lokal.
WEG hadir untuk:
Melestarikan tradisi gerabah khas Rendeng
Memberdayakan pengrajin rumahan lintas generasi
Menyediakan ruang belajar langsung bagi siapa pun yang ingin merasakan warisan budaya dari sumbernya
Nilai-Nilai yang Kami Pegang
Gotong Royong
Setiap karya adalah hasil dari kolaborasi warga, bukan kerja satu tangan.
Ketelatenan & Kesabaran
Dari memilih tanah hingga membakar gerabah, semuanya memerlukan waktu dan hati.
Warisan Bernyawa
Kami percaya bahwa budaya tidak hanya dijaga, tapi dihidupkan kembali dalam praktik sehari-hari.
Terbuka untuk Belajar
Siapa pun, dari mana pun, bisa datang dan belajar langsung dari pengrajin kami.
Berakar, Tapi Bergerak
Kami menjaga akar tradisi sambil menyesuaikan diri dengan zaman.
Tradisi membuat gerabah di Desa Rendeng diyakini sudah ada sejak sebelum wilayah ini resmi dikenal sebagai “desa”. Tidak ada catatan tertulis yang menyebutkan kapan tepatnya praktik ini dimulai. Yang jelas, warga yang lahir di tahun 1970-an sudah tumbuh di tengah aktivitas harian membuat gerabah — bukan sebagai hiasan, tapi sebagai alat kebutuhan rumah tangga. Dalam hal ini, gerabah sudah menyatu dengan identitas warga.
Produk-produk utama yang menjadi ciri khas kala itu antara lain:
Prapen, wadah pembakaran dupa atau kemenyan
Kendi maling, kendi unik yang hanya bisa diisi dari bawah
Kendi dan alat rumah tangga konvensional lainnya untuk kebutuhan rumah tangga
Gerabah Rendeng dulu dikirim sesuai musim dan wilayah: ke Solo saat Maulid, ke Ponorogo menjelang Ramadan, dan ke Kudus atau Semarang saat menjelang Lebaran. Ini menunjukkan betapa luasnya jaringan distribusi mereka—semua dilakukan dari rumah-rumah warga.
Bahan baku gerabah di Rendeng berasal dari dua jenis tanah:
Tanah gunung — ditambang dari gunung kecil ±3 km dari desa.
Ini adalah bahan utama yang digunakan sejak dahulu kala. Proses pengolahannya sangat telaten: diayak dengan karung goni, hingga halus seperti tepung. Hasilnya: gerabah padat tanpa pori-pori.
Tanah sungai — baru digunakan sekitar tahun 2000-an.
Pengrajin dari latar belakang berbeda (sebagian eks penambang emas sungai) mulai masuk ke dunia gerabah dengan bahan ini. Tanah sungai dinilai lebih stabil ketika dibakar, cocok untuk kendi dan perabot. Sebaliknya, tanah gunung kini lebih sering digunakan untuk patung dan aksesoris karena pori-porinya lebih besar.
Saat ini, pengrajin tanah gunung tersebar di RT 1 hingga RT 4, sedangkan pengguna tanah sungai berada di bagian lain desa. Meski berbeda bahan, semua masih menjadi satu komunitas: Gerabah Rendeng Malo.
Nama “Karuk” (sebuah dusun) berasal dari kata mekar — sebuah harapan untuk tumbuh. Namun, setiap kali desa ini ingin berkembang, ia seolah diurug lagi, tertutup oleh tantangan — baik secara alami seperti musim hujan (rendeng), maupun sosial seperti pandemi.
Legenda ini — atau bisa disebut cocokologi lokal — muncul dari kenyataan yang berulang: tambang bahan baku yang sempat terkubur dan kemudian digali ulang, atau krisis yang menghentikan kunjungan wisata, seperti saat COVID-19. Namun seperti tanah yang selalu bisa dibentuk kembali, Rendeng selalu bangkit dan melanjutkan warisannya.
Ingin tahu kisah lengkap kendi maling dan petani yang dikejar macan?
Di balik setiap gerabah yang dihasilkan di Desa Rendeng, ada tangan-tangan terampil dari warga lokal yang telah berkarya lintas generasi. Komunitas pengrajin ini tidak hanya mempertahankan warisan budaya, tapi juga terus berinovasi, menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan identitasnya.
Saat ini, pengrajin di Rendeng tersebar di berbagai RT dan terbagi ke dalam beberapa kelompok kecil berdasarkan bahan baku dan gaya produksi—mulai dari pengrajin tanah gunung yang melestarikan metode tradisional, hingga kelompok pengrajin tanah sungai yang menghadirkan bentuk dan fungsi baru dari kerajinan sehari-hari.
Hubungan antar pengrajin bersifat kolaboratif, bukan kompetitif. Setiap kelompok memiliki ciri khas, namun tetap saling mendukung dalam kegiatan pelatihan, pameran, dan wisata edukatif yang dikelola bersama oleh WEG. Di sinilah nilai gotong-royong menjadi fondasi pengembangan industri kreatif lokal.
Ingin tahu lebih dekat siapa saja pengrajin di balik WEG Rendeng?
Selama bertahun-tahun, para pengrajin di Desa Rendeng hidup dari hasil gerabah guna yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Namun seiring waktu, tantangan demi tantangan datang menghantam — dari perubahan selera pasar, persaingan produk modern, hingga pandemi COVID-19 yang membuat wisata sepi dan pesanan terhenti total.
Salah satu dampak besar dari pandemi adalah hilangnya kunjungan wisata dan pembatalan kerja sama edukatif. Sentra kerajinan sempat nyaris lumpuh, dan banyak warga yang terpaksa mencari pekerjaan lain demi bertahan hidup.
Tapi WEG tidak tinggal diam. Warga mulai bergandengan tangan untuk mencari cara bertahan: menjual produk secara daring, memperluas jaringan komunitas, dan memikirkan ulang konsep wisata edukatif agar lebih relevan. Dukungan dari masyarakat, kemauan untuk berinovasi, dan semangat menjaga warisan budaya mendorong kebangkitan secara perlahan. Kini, WEG hadir tidak hanya sebagai tempat belajar, tapi juga simbol ketangguhan desa dan kreativitas kolektif.
Perjalanan kami bukanlah kisah satu dua orang—ini adalah cerita kolektif dari warga Desa Rendeng yang selama berpuluh-puluh tahun menjaga warisan gerabah dengan sepenuh hati. Dari generasi ke generasi, dari tanah liat menjadi bentuk yang bermakna, semua itu terjadi karena adanya semangat untuk berbagi dan bertahan.
Kini, kami membuka ruang bagi siapa pun untuk ikut berjalan bersama kami. Melalui kunjungan, kolaborasi, pembelajaran, atau sekadar dukungan terhadap karya-karya lokal, Anda turut serta menjaga denyut hidup warisan yang terus kami rawat.
Kami percaya bahwa pelestarian budaya akan lebih kuat jika dikerjakan bersama. Maka dari itu, kami mengajak Anda untuk tidak hanya menjadi pengunjung—tapi juga bagian dari perjalanan ini. Mari datang, belajar, dan menjadi bagian dari kisah Desa Rendeng.