Di balik riuhnya roda putar gerabah dan debu halus tanah liat yang menari di udara Rendeng, tersimpan kisah yang jarang didengar tapi hidup di ingatan warga. Kisah ini bukan sekadar dongeng atau legenda tua—ia adalah bagian dari identitas.
Dulu, sebelum nama “Desa Rendeng” ditulis di peta, wilayah ini hanyalah hamparan tanah datar yang tenang, dikelilingi bukit kecil dan aliran sungai musiman. Warga menyebut satu bagian wilayahnya sebagai “Karuk”—sebuah nama yang secara turun-temurun dipercaya berasal dari dua kata: mekar dan uruk. Karuk dipercaya sebagai lambang dari harapan untuk “mekar” atau tumbuh dan berkembang, namun selalu diiringi takdir untuk “diuruk” atau tertimbun oleh tantangan.
Nama Karuk bukan hanya nama dusun, tapi juga cermin dari siklus hidup warga. Setiap kali para pengrajin mulai menata usaha, datang musim hujan, tanah liat ditutup lumpur, atau tambang bahan baku tertutup air dan tanah. Seolah-olah alam menguji tekad mereka setiap kali mekar, lalu menguruknya kembali. Namun mereka bangkit, membersihkan, menambang, dan mencetak kembali gerabah demi gerabah. Karuk bukan nama biasa, ia adalah semangat yang tertanam.
Sementara itu, nama “Rendeng”—yang kini menjadi nama resmi desa—berakar dari musim rendeng, sebutan lokal untuk musim penghujan. Sebuah nama yang sangat pas, karena desa ini memang sangat dipengaruhi oleh musim. Tanah liat terbaik yang jadi bahan baku gerabah hanya bisa diolah dalam waktu tertentu, tergantung dari kering atau basahnya bumi.
Ada pula kisah turun-temurun yang menyebut, di musim rendeng pertama saat warga menetap dan mulai membuat gerabah, muncullah hasil cetakan yang luar biasa kuat dan halus. Sejak itu, musim rendeng dianggap sebagai “ibu dari kerajinan”, dan nama itulah yang akhirnya digunakan sebagai nama desa: Rendeng.
Karuk dan Rendeng bukan hanya soal lokasi. Mereka adalah filosofi—tentang mekar yang tertimbun, tentang hujan yang mendewasakan, dan tentang tanah liat yang mengajarkan kekuatan dari kesabaran.