SEKETIKA SUNYI
Karya: Aida Mardiah
Suara yang kehilangkan bunyi
Mata yang kehilangan sosok
Dan jalan yang tinggal kenangan
Rumah ternyamanku sudah hilang
Akankah titik kehilangan ini akan bertemu?
Rekam wajah masih teringat jelas
Kenangan yang dulu kita lalui
Hari-hariku hanya terisi tentangmu
Rumah yang dulunya penuh canda tawa
Kini hilang di telan bumi
Akankah aku harus mencarimu bagaikan jarum di atas tumpukan jerami?
Isak tangisku menggelegar membelah angkasa
Dunia seakan tiba-tiba runtuh
Saat aku denger berita kehilnganmu selamanya
Berita yang tidak pernah terpikir olehku
Ayah
Kini aku tumbuh dewasa tanpa sosok dirimu
Tanpa bimbingan darimu
Lihatlah anakmu ini diam terbungkam
Menjalani hidupnya yang sunyi tanpa sandaran bahumu
Ayah
Akankah semestasa mempertemukan kita lagi?
Karya: Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Cinta Sejati
Ketika kita
Bukan cuman saling memandang
Tapi juga saling mengerti
Ketika kita
Bukan cuman saling memuja
Tapi juga saling menjaga
Ketika kita
Bukan cuman berusaha menang
Tapi juga berusaha mengalah
Karena cinta yang sejati
Ditunjukkan dengan perbuatan
Bukan dengan kata-kata hiasan
Aku
Karya: Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Hujan Bulan Juni
Karya:Sapardi Djoko Darmono
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Sajak Widuri Untuk Joki Tobing
Karya: W.S Rendra
Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir.
Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.
Orang-orang miskin menentang kemelaratan.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu,
kerna wajahmu muncul dalam mimpiku.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu
karena terlibat aku di dalam napasmu.
Dari bis kota ke bis kota
kamu memburuku.
Kita duduk bersandingan,
menyaksikan hidup yang kumal.
Dan perlahan tersirap darah kita,
melihat sekuntum bunga telah mekar,
dari puingan masa yang putus asa.
Dalam Kemah
Karya: Goenawan Mohamad
Sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori: cinta adalah potongan- potongan pendek interupsi-lima menit, tujuh menit, empat....
Dan aku akan menatapmu dalam tidur.
Apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan?
Mungkin sebenarnya kita terlena oleh suara hujan di terpal kemah.
Di ruang yang melindungi kita untuk sementara ini aku,
optimis, selalu menyangka grimis sebenarnya ingin menghibur, hanya nyala tak ada lagi:
kini petromaks seakan-akan terbenam.
Jam jadi terasa kecil.
Dan ketika hujan berhenti,
malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi.
Kemudian kau mimpi.
Kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asap nafasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan ke arah hutan. Aku tak bisa memanggilnya.
Aku dekap kamu.
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita.
Ibu
Karya: Chairil Anwar
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu...
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu...
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun...
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu...
Ibu...
Aku sayang padamu...
Tuhanku....
Aku bermohon pada-Mu
Sejahterahkanlah dia
Selamanya...
Hatiku Selembar Daun
Karya: Sapardi Djoko Darmono
Hatiku selembar daun
Melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
Biarkan aku sejenak terbaring di sini
Ada yang masih ingin kupandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
Sajak Matahari
Karya: W.S. Rendra
Matahari bangkit dari sanubariku
Menyentuh permukaan samodra raya
Matahari keluar dari mulutku
Menjadi pelangi di cakrawala
Wajahmu keluar dari jidatku
Wahai kamu, wanita miskin!
kakimu terbenam di dalam lumpur
Kamu harapkan beras seperempat gantang
Dan di tengah sawah tuan tanah menanammu!
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari
Mata mereka menyala
Tubuh mereka menjadi bara
Dan mereka membakar dunia
Matahari adalah cakra jingga
Yang dilepas tangan Sang Krishna
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu
Ya, umat manusia!
Dia dan Aku
Karya: Sitor Situmorang
Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta?
- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini
Tapi jangan sampai terbakar sekali
Akankah kita utamakan percakapan begini?
- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi
Bukankah dada hamparkan warna
Di pelaminan musim silih berganti
Padamu jua kelupaan dan janji
Akan kepermainan rahasia
Permainan cumbu-dendam silih berganti
Kemasygulan tangkap dan lari
Lukisan Berwarna
Karya: Joko Pinurbo
untuk Andreas dan Dorothea
Hujan beratus warna
tumpah di hamparan kanvas senja.
Pohon-pohon bersorak gembira
sebab dari ranting-rantingnya yang sakit
kuncup jua daun-daun beratus warna.
Burung-burung bernyanyi riang,
terbang riuh dari dahan ke dahan
dengan sayap beratus warna.
Dua malaikat kecil menganyam cahaya,
membentangkan bianglala
di bawah langit beratus warna.
Airmata beratus warna kautumpahkan
ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.
Taman Di Tengah Pulau Karang
Karya: Taufik Ismail
Di tengah Manhattan menjelang musim gugur
Dalam kepungan rimba baja, pucuknya dalam awan
Engkau terlalu bersendiri dengan danau kecilmu
Dan perlahan melepas hijau daunan
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang lelaki tua duduk menyebar
Remah roti. Sementara itu berkelepak
Burung-burung merpati
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Merpati pun kaget beterbangan
Suara mekanik dan racun rimba baja
Menjajarkan pohon-pohon duka
Musim panas terengah melepas napas
Pepohonan meratapinya dengan geletar ranting
Orang tua itu berkemas dan tersaruk pergi
Badai pun memutar daunan dalam kerucut
Makin meninggi
Sendiri
Karya: Chairil Anwar
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Sia-Sia
Karya: Chairil Anwar
Penghabisan kali itu kau datang
Membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Penghidupan
Karya: Chairil Anwar
Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
Nisan
Karya: Chairil Anwar
Untuk nenekanda,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.
Ajakan
Karya: Chairil Anwar
Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahagia
Tak acuh apa-apa
Gembira girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
Hukum
Karya: Chairil Anwar
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul.
Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
Rumahku
Karya: Chairil Anwar
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
Kenangan
Karya: Chairil Anwar
Untuk Karinah Moordjono,
Kadang
Di antara jeriji itu itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! Tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu itu saja
Jiwa bertanya; Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia.