Hallo pembaca
Ketika raganya hilang ditelan masa,
Nama dan karyanya tetap bercerita.
Chairil Anwar
Aku (Maret 1943)
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
````````
Tak Sepadan (Februari 1943)
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
````````
Rumahku (April 1943)
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
```````
Ebet G. Ade
UNTUK KITA RENUNGKAN
Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat
Anugerah dan bencana adalah kehendakNya
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cambuk kecil agar kita sadar
Adalah Dia di atas segalanya 2x
Anak menjerit-jerit, asap panas membakar
Lahar dan badai menyapu bersih
Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah
Memang, bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan, masih banyak tangan
Yang tega berbuat nista... oh
Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang telah kita perbuat
Kemanakah lagi kita kan sembunyi
Hanya kepadaNya kita kembali
Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari, hanya runduk sujud padaNya
Kita mesti berjuang memerangi diri
Bercermin dan banyaklah bercermin
Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini
Berusahalah agar Dia tersenyum... oh
Berubahlah agar Dia tersenyum
`````````
MENJARING MATAHARI
Kabut, sengajakah engkau mewakili pikiranku
pekat, katamu peralat menyelimuti matahari
aku dan semua yang ada di sekelilingku
merangkak menggapai dalam kelam
mendung, benarkah pertanda akan segera turun hujan
deras, agar semua basah yang ada di muka bumi
siramilah juga jiwa kami semua
yang tengah dirundung kehalauan
roda jaman menggilas kita
terseret tertatih-tatih
sungguh hidup sangat diburu
berpacu dengan waktu
tak ada yang dapat menolong
selain yang di sana
tak ada yang dapat membantu
selain yang di sana
dialah Tuhan
dialah Tuhan
oh, oh, oh Tuhan
hmm, hmm, hmm Tuhan
````````
AYAH AKU MOHON MAAF
Dan pohon kemuning akan segera kutanam
Satu saat kelak dapat jadi peneduh
Meskipun hanya jasad bersemayam di sini
Biarkan aku tafakkur bila rindu kepadamu
Walau tak terucap aku sangat kehilangan
Sebahagian semangatku ada dalam doamu
Warisan yang kau tinggal petuah sederhana
Aku catat dalam jiwa dan coba kujalankan
Meskipun aku tak dapat menungguimu saat terakhir
Namun aku tak kecewa mendengar engkau berangkat
Dengan senyum dan ikhlas aku yakin kau cukup bawa bekal
Dan aku bangga jadi anakmu
Ayah aku berjanji akan aku kirimkan
Doa yang pernah engkau ajarkan kepadaku
Setiap sujud sembahyang engkau hadir terbayang
Tolong bimbinglah aku meskipun kau dari sana
Sesungguhnya aku menangis sangat lama
Namun aku pendam agar engkau berangkat dengan tenang
Sesungguhnyalah aku merasa belum cukup berbakti
Namun aku yakin engkau telah memaafkanku
Air hujan mengguyur sekujur kebumi
Kami yang ditinggalkan tabah dan tawakkal
Ayah aku mohon maaf atas keluputanku
Yang aku sengaja maupun tak kusengaja
Tolong padangi kami dengan sinarnya sorga
Teriring doa selamat jalan buatmu ayah tercinta
````````
ERAUT WAJAH
Wajah yang selalu dilumuri senyum
legam tersengat terik matahari
Keperkasaannya tak memudar
terbaca dari garis-garis di dagu
Waktu telah menggilas semuanya
Ia tinggal punya jiwa
Pengorbanan yang tak sia-sia
untuk negeri yang dicintai, dikasihi
Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah
Wajah yang tak pernah mengeluh
Tegar dalam sikap sempurna,
pantang menyerah
Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah
Merah merdeka, putih merdeka, warna merdeka
````````
Taufiq Ismail
Kembalikan Indonesia Padaku (Paris, 1971)
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
Sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
Yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
Dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
Karena seratus juta penduduknya.
```````
Dengan Puisi, Aku… (1966)
Dengan puisi aku bernyanyi,
Sampai senja umurku nanti,
Dengan puisi aku bercinta,
Berbatas cakrawala…
Dengan puisi aku mengenang,
Keabadian Yang Akan Datang,
Dengan puisi aku menangis,
Jarum waktu bila kejam mengiris…
Dengan puisi aku mengutuk,
Nafas zaman yang busuk,
Dengan puisi aku berdoa,
Perkenankanlah kiranya…
``````
Doa (1966)
Tuhan kami,
Telah nista kami dalam dosa bersama,
Bertahun membangun kultus ini,
Dalam pikiran yang ganda…
Dan menutupi hati nurani,
Ampunilah kami,
Ampunilah,
Amin…
Tuhan kami,
Telah terlalu mudah kami,
Menggunakan asmamu,
Bertahun di negeri ini,
Semoga…
Kau rela menerima kembali,
Kami dalam barisanmu,
Ampunilah kami,
Ampunilah,
Amin…
``````
Sarpadi Djoko Damono
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakan rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan di bulan Juni
Dihapuskan jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkan yang tak terucapkan
Diserap akan pohon bunga itu
``````
Yang Fana adalah Waktu
Yang fana adalah waktu.
Kita abadi:
Memungut detik demi detik, merangkainya
seperti bunga sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa
"Tapi, Yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.
Kita abadi.
``````
Aku Ingin
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
``````
Sitor Situmorang
Di hari Minggu di hari iseng
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota
Di hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas
Di hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan
Di hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima
``````
Terbakar lumat-lumat
Menggapai juga lidah ingin
Api di pediangan
Terkapar sonder surat
Mati juga malam dingin
Lahirnya hari keisengan
Mari, cabikkan malam Amoy
Jika terlalu – ingin malam ini
Besok ada mentari sonder hati
Belum apa-apa hampa begini
Jauh dalam terowongan nadi
Berperang bumi dan sepi
```````
Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta?
- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini
Tapi jangan sampai terbakar sekali
Akankah kita utamakan percakapan begini?
- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi
Bukankah dada hamparkan warna
Di pelaminan musim silih berganti
Padamu jua kelupaan dan janji
Akan kepermainan rahasia
Permainan cumbu-dendam silih berganti
Kemasygulan tangkap dan lari
```````
muthia Syafina
HARAPAN DAN KENANGAN
Mimpi terus bertambah
Sedangkan jalan kian bercabang
Tersisa jejak yang tak terbersih
Karena dunia sudah bersebrang
Kubiarkan tubuh tertipu dan bahagia.
Dengan cerita yang bermacam ria
Mengukir kenangan di para insan
Menuju esok tanpa perpisahan
Tahun lalu adalah memori
Sudah terlambat bagiku melarikan diri
Tahun ini adalah misteri
Tempatku kembali melangkahkan kaki.
Aku tak menyesal untuk masa lalu yang telah pergi
Mari bertemu dan kembali lagi
Dengan doa hingga kelangit yang menjulang tinggi
Ku buka lembaran baru yang mulai di isi
Tanpamu tahun lalu
Aku akan berusaha bersinar di setiap mata
Semua kini sudah berlalu
Meski kekhawatiranku tetap ada
BINORASI
Muthia syafina, lahir di kota Medan, 28 juni 2001. Pemilik motto hidup “man jadda wajada” ini juga meluncurkan karya tulis berupa e-novel berjudul me and them yang terbit di play store. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial media Instagramnya muthia_syafina.