Umrah bukan sekadar perjalanan fisik ke Baitullah, melainkan perjalanan ruhani untuk memenuhi panggilan langit. Siapa yang datang ke tanah suci, bukan karena ia mampu, tapi karena Allah memilihnya sebagai tamu.
"Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh."
(QS. Al-Hajj: 27)
Ayat ini tidak hanya tentang haji, tapi seruan ilahiyah untuk setiap hati yang masih hidup — termasuk mereka yang dipanggil untuk umrah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Orang yang berhaji dan berumrah adalah tamu Allah, jika mereka berdoa maka Allah kabulkan, jika mereka meminta ampun maka Allah ampuni."
(HR. Ibnu Majah)
Bayangkan, seorang hamba yang biasa saja, jika ia memenuhi panggilan umrah, maka ia bukan lagi sekadar manusia, tapi tamu pribadi Allah.
Dalam ilmu tasawuf, ini disebut sebagai maqam al-mahbubin (kedudukan yang dicintai), karena hanya yang dicintai akan diundang secara khusus ke rumah Tuhannya.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini ditujukan kepada Nabi Ibrahim 'alaihis salam, tetapi seruannya dijawab oleh ruh-ruh keturunan beliau — termasuk umat Muhammad ﷺ.
Para ulama mengatakan:
"Seruan itu sampai ke ruh manusia bahkan sebelum ia lahir. Maka siapa yang berangkat ke tanah suci, sesungguhnya ia sedang menjawab panggilan yang pernah ia dengar dalam alam ruh."
Ini menjelaskan mengapa rasa rindu ke Ka'bah kadang muncul tanpa sebab logis — karena jiwa telah terpanggil sebelum raga mampu bergerak.
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Lakukanlah haji dan umrah secara berulang, karena keduanya menghapuskan dosa dan kefakiran sebagaimana api membakar karat pada besi."
(HR. Ahmad, Tirmidzi)
Umrah adalah wujud syiar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan cinta itu dibuktikan dengan kehadiran, bukan sekadar ucapan.
Dalam tasawuf, cinta (mahabbah) yang benar akan mendorong seseorang untuk menempuh jarak, meninggalkan dunia, dan mencari hadirat Allah dengan sepenuh jiwa.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Bersegeralah menunaikan haji dan umrah, karena tidak ada yang tahu apa yang akan menghalanginya: sakit, kemiskinan, atau urusan dunia lainnya."
(HR. Ahmad)
Menunda umrah bisa berarti menolak undangan Allah, karena:
Kita tidak tahu apakah panggilan itu akan datang lagi.
Kesempatan bisa tertutup oleh uzur duniawi.
Jiwa yang menunda akan mulai beku dari rasa cinta Ilahi.
Banyak yang berkata:
“Nanti kalau sudah pensiun saya akan berangkat.”
Padahal, panggilan Allah datang bukan karena usia atau saldo rekening, tapi karena kesiapan hati dan ketulusan jiwa. Rezeki Allah Maha Luas. Bukankah Dia telah berjanji:
"Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka."
(QS. Ath-Thalaq: 2–3)
Jika kamu merasakan getaran dalam dada saat mendengar “umrah”, itu tandanya jiwamu sedang dipanggil.
Jawablah dengan langkah iman, bukan alasan. Jawablah dengan taat, bukan tunda.
Tanur Muthmainnah siap menjadi perantara perjalanan hatimu.
Jangan tunda.
Berangkatlah.....!!!!