SEJARAH DESA BALUN
SEJARAH DESA BALUN
Desa Balun merupakan salah satu desa tua yang syarat dengan berbagai nilai sejarah, termasuk tentang penyebaran Islam oleh para santri murid Wali songo dan masih terkait dengan sejarah hari jadi Kota Lamongan. Kata Balun berasal dari nama “Mbah Alun” seorang tokoh yang mengabdi dan berperan besar terhadap terbentuknya desa Balun sejak tahun 1600-an. Mbah Alun yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau Mbah Sin Arih konon adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I yang lahir di Lumajang tahun 1574. Dia merupakan anak dari Minak Lumpat yang menurut buku babat sembar adalah keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya).
Mbah Alun yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau Mbah Sin Arih konon adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I yang lahir di Lumajang tahun 1574. Mbah Alun belajar mengaji di bawah asuhan Sunan Giri IV (Sunan Prapen).
Selama pemerintahannya (tahun 1633-1639) Blambangan mendapatkan serangan dari Mataram dan Belanda hingga kedaton Blambangan hancur. Saat itu Sunan tawang Alun melarikan diri ke arah barat menuju Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya yaitu Ki Lanang Dhangiran (Sunan Brondong), lalu diberi tempat di desa kuno bernama Candipari (kini menjadi desa Balun). Disinilah pada tahun 1600-an Sunan Tawang Alun I menyiarkan ajaran Islam dan berperan besar terhadap terbentuknya desa Balun sampai beliau wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah. Desa tempat makam Mbah Alun ini kemudian disebut Desa Balun. Pasca G 30S PKI tepatnya tahun 1967 Kristen dan Hindu mulai masuk dan berkembang di Desa Balun. Agama Hindu maupun kristen ini pun tidak membawa gejolak pada masyarakat umumnya.
MENGENAL MAKAM MBAH ALUN
Desa Balun di Kecamatan Turi adalah berasala dari kata "Mbah Alun", menurut Legenda bahwa Mbah Alun adalah Raden Alun, yaitu seorang Ulama' yang datang dari Bozem ( Bonorowo ) sekitar desa berkendaraan ombak atau datang naik perahu yang disapu ombak. (Ombak = Alun) . Pada waktu itu air laut bercampur air tawar menjadi payau, masuk ke bengawan-jero lewat Ujung Pangkah, karena tanah rawa-rawa di Kecamatan Turi, Karanggeneng, Karangbinangun adalah rata-rata dibawah permukaan air laut antara1,00 - 1,96 meter. Maklumlah, karena tangkis kali Solo dan DAM pengatur air di KURO belum dibangun saat itu.
Pelayaran sungai dan pelayaran bengawan-jero saat itu lazim memakai perahu, sedimentasi tidak merata dalam meander kali Solo sehingga pelayaranuntuk perekonomian rakyat saat itu melalui jalan air dimusim atau kemaraun dapat berjalan lancar seperti di Kalimantan Selatan.
Selama ini hampir tidak dapat menjawab apabila orang ditanya siapakah Mbah Alun itu? Mereka menjawab adalah Raden Alun atau Mbah Sin Arih. Dari mana, siapa dia, tidak ada yang menjawab benar.
Berdasarkan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan oleh penulis yang telah berhasil menyusun sejarah Lamongan, maka telah dapat dipaparkan siapa sebenarnya Raden Alun itu.
Sultan Agung yang anti Belanda tercatat memerintah kerajaan Mataram tahun 1613-1645 M, menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628 dan 1629 M. namun mengalami kegagalan. Guna mengembangkan kerajaan Mataram kearah timur, maka Mataram menurunkan pasukannya untuk menaklukkan Blambangan di Panarukan.
Dalam buku babat Blambangan, tulisan Wanarsih Partaningrat Arifin tahun 1995 diberitakan bahwa di Kerajaan Blambangan terdapat pemerintan sebagi berikut ;
Tahun 1624 yang menjadi Raja Lumajang - Kedawung adalah Tawang Alun I.
Tahun 1632 Tawang Alun I menjadi Adipati Singosari.
Tahun 1633-1639 Tawang Alun I menjadi Raja Blambangan.
Semula Tawang Alun I ini beragama Hindu, dengan nama aslinya SIN ARIH dan bergelar BEDANDE Sakte Bawean Sin Arih, setelah masuk Islam, beliau berhasil menjadi mubaligh (Ulama') dengan sebutan SUNAN TAWANG ALUN. Dengan jabatan tersebut diatas, sebagai Raja Blambangan dengan panggilan Sunan Tawang Alun.
I. Anak Sunan Tawang Alun I ini ada 4 (empat) orang, yaitu ;
Gedhe Buyut : sebagai penguasa Sedayu Lawas Brondong.
Mas Widarba ; Tidak ada keterangan.
Lanang Dhangiran (Ki Brondong) : penguasa Brondong sejak tahun 1639 M.
Mas Kembar : Raja Blambangan tahun 1665 - 1691 M.
Ketika kerajaan Blambangan diserang Mataram yang ingin mengusai Blambangan dibawah daulat kerajaan Mataram, maka tahun 1639 M, Blambangan dapat dikalahkan. Anak Sunan Tawang Alun I yang bernama Mas Kembar, berhasil ditawan oleh Pasukan Mataram karena menyerah dan ditahan selama 6 (enam) tahun di Mataram.
Sunan Tawang Alun I bersama keluarga lainnya melarikan diri kearah barat dan bersembunyi di desa KURO bernama Desa Candipari yang kelak menjadi Desa Mbah Alun (Mbahlun).
Sunan Tawang Alun I menjadi Raja Tumenggung Blambangan, anak-anaknya juga berhasil menjadi orang besar sebagai penguasa pesisiran. Gedhe Buyut , anak tertuanya mendapat kedudukan sebagai penguasa Syah Bandar di Pelabuhan Sedayu Lawas Brondong, sehingga setelah wafat makamnya berada di Brondong. Dikenal makam Ki Buyut sebagai cikal bakal orang Brondong.
Gedhe Buyut ini digantikan adiknya Lanang Dhangiran sebagai Syah Bandar Sedayu Lawas sejak tahun 1639 M dengan panggilan Ki Brondong. Nama Ki Brondong dikenal orang dan mempunyai keturunan yang menyebar di seluruh Jawa Timur. Selama menetap di Brondong anaknya yang bernama ANGGAWANGSA menjadi Adipati Surabaya .
Setelah Mas Kembar mendekam di penjara Mataram selama 6 tahun, sampai tahun 1645. Sultan Agung wafat dan digantikan oleh anaknya bergelar Amangkurat I (1645-1677), saat itulah Mas Kembar ditugaskan oleh Amangkurat I.
Mas Kembar setia kepada Amangkurat I yang berpihak kepada Belanda, maka Mas Kembar akhirnya diperkenankan memimpin kembali kerajaan Blambangan (1645-1691 M) dan bergelar Tawang Alun II.
Jika Sultan Agung Raja Mataram dan Sultan Tawang Alun I raja Blambangan keduannya anti Belanda, sebaliknya karena kelicikan Belanda, akhirnya kedua anak raja tersebut bersahabat dengan Belanda.
Sunan Tawang Alun I dengan sepengetahuan anaknya Ki Brondong dan atas izin dari Adipati Lamongan Raden Panji Keling, beliau diperkenankan bersembunyi dan menenangkan diri menetap di Desa Candipari sampai wafat pada masa Pemerintahan Tumenggung Lamongan Raden Panji Poespo Koesoemo.
Makam Sunan Tawang Alun I, kini banyak diziarahi keturunannya pada hari Jum'at Kliwon dengan nama Makam "MBAH ALUN (Mbalun)" sehingga merubah nama Candipari menjadi Desa Mbalun, dan nama Candipari sendiri kini menjadi nama dusun di desa Tambakploso.