Paul Heru Wibowo lahir di Bogor tahun 1974 dari keluarga pendidik. Berkuliah S-1 di Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Melanjutkan studi S-2 di Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Mencintai dunia pendidikan, seni, sastra, dan filsafat. Telah menulis sejumlah buku yang berbicara mengenai analisis budaya seperti Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture (2012), Si Jampang Jago Betawi : Kajian Tokoh dalam Komik Ganes TH (2015), dan Atas Nama Dendam! Wajah Narasi Film Laga Indonesia (2019). Sampai sekarang telah menulis 19 buku nonfiksi. Menjadi guru di tingkat SMP dan SMA sejak tahun 1997. Pernah mengajar sebagai dosen di Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie dan Fakultas Liberal Arts Universitas Pelita Harapan, Karawaci. Sekarang mengajar di Program Studi Film Fakultas Seni dan Desain, Universitas Multimedia Nusantara. Surel : pahewikur@gmail.com.
Paulus Heru Wibowo Kurniawan
Prolog : Bram Stoker dan Warisannya
Novel Dracula yang ditulis oleh Bram Stoker diterbitkan pada tahun 1897. Novel karya sastrawan Irlandia itu hadir ketika masyarakat Eropa sedang terpesona dengan berbagai mesin industri yang menggantikan kerja tangan dan tenaga manusia. Pada tahun yang sama, Rudolf Christian Karl Diesel, seorang insinyur mesin dari Institut Politeknik Muenchen, misalnya, memperkenalkan mesin pemicu kompresi, yang kemudian dikenal sebagai mesin diesel di Augsburg. Keterpesonaan itu tidak hanya menggerakkan laju berbagai penemuan ilmiah yang mendukung dunia industri, tetapi juga menghancurkan takhayul, mitos, dan fiksi yang melekat di dalam dongeng, karya-karya sastra, dan juga agama. Namun, siapa sangka, dalam kondisi demikian, novel Dracula menjadi bacaan yang sangat popular di tengah masyarakat Eropa pada masa. Novel yang seharusnya menjadi sebuah anomali itu justru menghadirkan sebuah mitos kuno dari Rumania tentang iblis penghisap darah manusia ke dalam konteks masyarakat Eropa pada masa revolusi industri.
Popularitas yang diemban oleh novel karya Bram Stoker itu menggelitik berbagai pihak untuk memeriksa dan menafsirkan keberadaannya sebagai epistolary novel yang tersusun dari berbagai dokumen seperti surat, jurnal harian, dan artikel berita. Ada pengamat yang menyatakan bahwa berbagai dokumen yang menyusun narasi novel tersebut menunjukkan bahwa tokoh Drakula bukanlah sekadar tokoh rekaan yang tidak pernah ada. Ada pula pengamat yang menyatakan bahwa tokoh Dracula yang dihadirkan oleh Bram Stoker sebagai tokoh antagonis dalam novel itu berkaitan erat dengan simbolisasi dari sebuah zaman yang menakutkan. Kehadiran mesin-mesin industri menjadi representasi dari penguasa-penguasa baru yang haus darah karena telah merenggut banyak kaum pariah yang tidak memiliki modal. Namun, ada pula yang menafsirkan dengan berani bahwa tokoh drakula dan kekejaman yang dilakukannya itu berkaitan erat dengan hasrat homoerotika yang dipendam oleh Bram Stoker yang menyukai laki-laki secara seksual.
Pemeriksaan dan penafsiran itu mungkin masih terus berkembang sampai saat ini karena novel Dracula memiliki peran yang cukup signifikan dalam sejarah perkembangan kesusasteraan Inggris. Setidaknya, novel itu menjadi penanda bahwa masa Victorian yang dikenal sebagai Golden Age of English Literature itu juga mampu melahirkan novel-novel bergenre Gothic yang tidak hanya berkaitan erat dengan keberadaan ruang-ruang publik yang begitu kelam dan misterius di London dan sekitarnya, tetapi juga menguak sisi-sisi gelap, liar, dan menakutkan dalam kehidupan manusia. Mungkin karena itulah, novel Dracula menjadi begitu menarik karena dari sana pembacanya dapat memahami bahwa kehadiran mesin-mesin industri dalam kehidupan mereka tidak dengan serta-merta membawa mereka pada sebuah zaman yang lebih beradab. Di tengah kemajuan itu, hasrat horror menyelinap dan beranak-pinak di gorong-gorong kemiskinan yang disebarkan oleh imajinasi akan kesejahteraan dan kekayaan.
Nosferatu dari Pegunungan Carpathian
Cerita-cerita gelap dan liar dari gorong-gorong kemiskinan masyarakat Inggris itu ternyata juga menarik perhatian masyarakat Jerman yang dikenal sebagai masyarakat rasional sejak Immanuel Kant membawa filsafat Barat ke tingkat yang lebih membumi. Namun, kerinduan masyarakat Jerman akan dongeng dan mitos yang pernah dikumpulkan oleh Grimm Bersaudara secara diam-diam menggerakkan sejumlah sineas ekspresionis untuk menghadirkan sensasi-sensi horror ke dalam teknologi gambar bergerak yang mereka kembangkan sejak pertengahan abad ke-19. Novel Dracula karya Bram Stoker pun tidak luput dari perhatian F.W, Murnau, seorang sineas ekspresionis. Ia mencoba untuk mengalihwahanakan gagasan yang terdapat dalam novel Dracula itu ke dalam media gambar bergerak dengan beberapa penyesuaian. Hasilnya adalah sebuah film yang diberinya judul Nosferatu, eine Symphonie des Grauens atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nosferatu: A Symphony of Horror.
Sebagai film, Nosferatu nyaris tidak dapat diluncurkan ke hadapan publik karena proses adaptasi novel Dracula karya Bram Stoker yang dilakukan Murnau itu dianggap tidak legal. Namun, situasi itu pada akhirnya dapat diatasi sehingga Nosferatu tidak hanya dapat disaksikan sebagai salah satu film monumental yang pernah diproduksi oleh sineas ekspresionis Jerman, melainkan juga sebagai salah satu film bergenre horror yang sangat menakutkan pada masa itu. Dalam film itu, tokoh yang bernama Count Orlok menggantikan figur Dracula yang dikisahkan dalam novel Bram Stoker. Count Orlok ditampilkan sebagai vampire berusia ratusan tahun yang menghuni sebuah kastil besar di pegunungan Carpathian. Tubuhnya begitu kurus dan tinggi. Gerak-geriknya begitu kaku. Wajahnya pucat dan mengerikan, mirip seekor tikus. Meski kastilnya memiliki begitu banyak kamar, Count Orlok tidur di dalam sebuah peti mati. Dikisahkan pula bahwa Count Orlok telah menjadi legenda yang sangat menakutkan bagi seluruh warga yang berdiam di sekitar pegunungan Carpathian.
Sosok Count Orlok yang begitu menakutkan itu baru terkuak ketika Hutter, seorang pegawai property di kota Wisborg, ditugaskan majikannya yang bernama Knock untuk menawarkan rumah kepada Count Orlok. Sebelumnya, Knock memperoleh surat dari Count Orlok yang berencana untuk membeli rumah di wilayah Wisborg. Tugas ini sangat menarik bagi Hutter karena Knock menjanjikan keuntungan finansial dari proses jual-beli itu. Hutter yang baru saja menikah dengan seorang wanita cantik yang bernama Ellen itu memang membutuhkan penghasilan yang lebih baik agar ia dan isterinya dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka sebagai pasangan muda. Meski harus meninggalkan Ellen untuk sementara waktu, Hutter dengan bersemangat pergi ke tempat tinggal Count Orlok. Setibanya di wilayah dekat pegunungan Carpathian, Hutter bertemu dengan beberapa warga yang mengingatkannya untuk tidak datang ke kastil Count Orlok. Namun, Hutter tetap bergeming. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh peringatan yang disampaikan warga. Bahkan ketika para sais kereta kuda yang ditumpanginya menolak untuk mengantarkannya, Hutter tetap bersikeras untuk berjalan kaki menuju kastil tersebut sendiri.
Singkat kata, di sebuah kastil tua yang begitu megah, Hutter berjumpa dengan Count Orlok yang menyambutnya secara dingin. Pada awalnya, Hutter tidak mengetahui bahwa Count Orlok adalah vampire yang telah hidup selama ratusan tahun. Ia juga tidak mengetahui bahwa setiap vampire selalu membutuhkan darah manusia untuk dikonsumsi sebagai sarana untuk mempertahankan kehidupannya. Namun, setelah perjanjian jual-beli rumah telah ditandatangani, Hutter mulai merasa curiga dengan tingkah laku Count Orlok yang sangat misterius. Kecurigaan Hutter menjadi-jadi setelah Count Orlok begitu tertarik melihat foto Ellen. Kecurigaan itu semakin terbukti ketika Hutter mengetahui bahwa peti mati menjadi tempat Count Orlok beristirahat. Hutter pun merasa sangat ketakutan. Count Orlok yang mengetahui bahwa Hutter telah mengetahui identitasnya itu pun menguncinya di sebuah kamar di tingkat atas kastil. Pada saat bersamaan, Count Orlok pun berencana untuk pergi ke Wisborg. Ia tidak hanya ingin menginginkan sebuah rumah baru. Ia juga menginginkan Ellen.
Count Orlok memanfaatkan sebuah kapal yang hendak berlayar menuju Jerman. Dengan peti matinya, ia juga membawa begitu banyak tikus yang secara gaib mengisi peti-peti mati lainnya. Peti-peti mati itu diletakkan di bagian geladak dasar yang terletak di bawah kapal. Kehadiran Count Orlock dan tikus-tikus gaibnya itu ternyata membawa bencana bagi semua awak kapal. Mereka menyebarkan wabah yang sangat menakutkan. Satu demi satu awak kapal mati dengan gejala-gejala yang sangat misterius. Laut menjadi lahan perkuburan bagi mereka. Mendekati akhir pelayaran, Count Orlok membunuh sang mualim kapal yang menjadi satu-satunya awak kapal yang bertahan hidup. Leher mualim itu digigitnya dan darah yang mengalir dari leher itu pun dihisapnya sampai kering! Setibanya di Wisborg, sang vampire dari pegunungan Carpathian itu pun menebarkan wabah dan terror kepada penduduk. Satu demi satu penduduk meninggal tanpa sebab yang jelas. Semua penduduk wilayah Wisborg sangat panik dan ketakutan, kecuali Knock yang ternyata begitu memuja Count Orlok. Ia begitu gembira karena junjungannya itu pada akhirnya dapat tiba di Wisborg sesuai dengan rencana yang telah diaturnya.
Akhir film Nosferatu sebenarnya dapat dengan mudah ditebak. Count Orlok menemui Ellen, isteri Hutter. Sejak melihat foto Ellen, Count Orlok memang berkehendak untuk menjadikan Ellen sebagai salah satu korbannya. Kendati begitu, Ellen tidak ingin menjadi korban yang sia-sia. Dari Hutter, suaminya, Ellen telah mengetahui bahwa Count Orlok adalah vampire yang haus darah. Tanpa sepengetahuan Hutter, Ellen menjadikan dirinya sebagai umpan bagi Count Orlok agar vampire itu terjebak dan binasa. Count Orlok yang telah didera oleh hasrat untuk memangsa mulai menghampiri Ellen yang telah merancang sebuah strategi yang cukup berbahaya bagi dirinya. Tanpa perhitungan panjang, Count Orlok segera menghisap darah Ellen dengan buas. Ia tidak mengetahui bahwa darah yang dihisapnya adalah darah seorang perawan yang mampu melumpuhkan kekuatannya. Fajar pun tiba. Kokok ayam yang saling bersahutan membangunkan Sang Surya yang hadir dengan sinarnya yang sangat terang. Count Orlok kelabakan. Ia tidak dapat melarikan diri dari kamar Ellen yang telah terbujur kaku. Badan vampire itu mulai terbakar oleh sinar matahari yang masuk ke dalam kamar itu. Dalam sekejap, Count Orlok menjadi debu yang bertebaran.
Kendati Nosferatu dianggap sebagai salah satu film bisu (silent movie) yang berhasil menampilkan suasana horror yang mencekam, film karya F.W. Murnau itu mungkin menjadi sebuah anomali dalam film-film yang menampilkan sosok Count Dracula sebagai vampire atau nosferatu yang haus darah. Dalam film tersebut, Count Orlok tidak ditampilkan sebagai sosok laki-laki yang tampan, dingin, dan kharismatis sebagaimana ditampilkan film-film bertema Dracula. Misalnya, dalam film Dracula (1931), tokoh Dracula yang diperankan oleh Bela Lugosi ditampilkan sebagai sesosok laki-laki rupawan yang memiliki kewibawaan aristokrat. Dengan penampilan seperti itu, dibandingkan dengan tokoh Count Orlok yang berwajah seperti tikus, tokoh Dracula tentu saja tidak kesulitan untuk mendekati dan mendapatkan korban-korbannya. Lalu, jika demikian, hal apakah yang mampu membuat film Nosferatu ini menarik untuk dibicarakan pada saat ini?
Wabah sebagai Kutukan dan Aksi Balas Dendam
Hal menarik yang dapat dibicarakan dalam film Nosferatu adalah mengenai wabah yang muncul seiring dengan perjalanan Count Orlok dari Transylvania ke Wisborg Jerman. Wabah ini tidak hanya menyerang semua awak kapal, tetapi juga membunuh sejumlah warga Wisborg. Bila dicermati dengan teliti, kemunculan wabah tersebut berkaitan erat dengan keberadaan Count Orlok. Wabah itu menjadi semacam penanda dari kutukan yang ditebar oleh sang nosferatu. Kutukan itu berbuah kematian yang tidak wajar, kematian yang disebabkan oleh adanya kekuatan jahat. Kekuatan tersebut tidak hanya meneror dan mengancam keselamatan jiwa banyak orang, tetapi juga berpotensi untuk menghancurkan kehidupan.
Tidak dapat dimungkiri bahwa wabah yang dihadirkan nosferatu dapat dipahami sebagai bagian dari aksi yang bersifat antagonistik. Disebut demikian karena wabah itu bersumber dan berasal dari sesuatu yang jahat serta mengancam kehidupan tokoh-tokoh cerita yang lain. Hal demikian sebenarnya bukanlah hal yang baru. Wabah sebagai bagian dari aksi antagonistik telah menjadi leitmotif atau tema yang selalu berulang dalam berbagai cerita rakyat dan karya sastra modern. Dalam konteks cerita rakyat yang berkembang di Nusantara, misalnya, pembicaraan mengenai wabah dapat ditemukan dalam kisah Calon Arang. Kisah ini berkaitan erat dengan masa pemerintahan Raja Airlangga di Daha Kediri. Dikisahkan bahwa Calon Arang dikenal sebagai salah seorang penyembah Durga yang memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Ia dan para muridnya sering melakukan ritual yang meresahkan masyarakat. Karena itu, Calon Arang pun diasingkan dan dianggap sebagai orang jahat. Labelisasi yang dilakukan masyarakat itu pun berdampak pada puterinya yang bernama Ratna Manggali. Kendati Ratna Manggali berparas cantik dan memesona, tidak ada satu laki-laki pun yang berani mendekati dan melamarnya. Hal demikian membuat Calon Arang murka. Sebagai seorang ibu yang sangat mencintai puterinya, Calon Arang merasa tersinggung dengan sikap masyarakat yang memandang puterinya dengan sebelah mata. Atas hal itu, Calon Arang pun menurunkan kutukan berupa wabah penyakit yang mematikan kepada masyarakat. Korban pun berjatuhan dengan sangat cepat. Situasi Daha menjadi sangat mencekam.
Kutukan wabah yang diturunkan Calon Arang bersumber dari kemarahannya kepada masyarakat yang bersikap diskriminatif. Wabah tidak hanya menjadi semacam unjuk kesaktian yang dimilikinya, tetapi juga menjadi hukuman dan semacam konsekuensi bagi masyarakat yang telah memusuhinya. Dalam hal ini, kehadiran wabah yang dihadirkan Nosferatu dan Calon Arang tampak begitu berbeda secara signifikan, kendati keduanya dapat dipahami sebagai aksi antagonistik yang berasal dari kekuatan jahat yang mereka miliki. Memang tidak dapat dimungkiri jika baik Nosferatu maupun Calon Arang menghadirkan wabah sebagai unjuk kekuatan atau kesaktian. Wabah yang mereka hadirkan menjadi sebuah pernyataan bahwa kehadiran mereka perlu diperhitungkan di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, Nosferatu tidak menghadirkan wabah sebagai aksi balas dendam terhadap masyarakat Wisborg sebagaimana dilakukan oleh Calon Arang yang memang ingin menghukum masyarakat Daha yang telah mengucilkan keluarganya.
Wabah sebagai Fenomena Medis dan Fenomena Etis
Wabah telah dipahami dalam berbagai kebudayaan di dunia sebagai kutukan yang berasal dari kekuatan jahat. Kematian yang disebabkan oleh wabah tidak hanya dipersepsi sebagai hukuman dan konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia yang tidak bersikap adil, melainkan juga sebagai unjuk kekuatan dari kejahatan. Pandemi yang terjadi lebih dari 1,5 tahun ini kerap juga dipandang secara peyoratif sebagai aksi antagonistik yang dilakukan oleh sebuah konspirasi rahasia. Ada semacam asumsi yang pernah didengung-dengungkan bahwa virus Covid-19 merupakan bagian dari uji coba senjata biologis yang mampu memusnahkan manusia secara massal. Namun, sampai hari ini asumsi-asumsi tersebut belum juga dapat dibuktikan kebenarannya secara rasional. Kendati demikian, penafsiran terhadap wabah atau pandemi sebagai musuh bersama kemanusiaan pada saat ini terlanjur disepakati. Sejumlah kepala pemerintahan dari berbagai negara bahkan secara eksplisit menginstruksikan rakyatnya untuk melakukan perang terhadap virus Covid-19 dengan upaya lockdown, PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), isolasi, vaksinasi, dan berbagai protokol kesehatan yang ketat. Celakanya, instruksi-instruksi tersebut kerap tidak diikuti dengan implikasi etis yang seharusnya dapat diselipkan di dalam berbagai propaganda atau iklan kemasyarakatan. Namun, dalam kenyataannya, instruksi-instruksi tersebut justru seringkali terlepas dari konteksnya dan menyasar pada sikap untuk menolak kehadiran mereka yang terpapar Covid-19. Sejumlah berita yang beredar menunjukkan bahwa mereka justru ditolak di tempat mereka tinggal. Mereka disingkirkan dan diasingkan masyarakat dan dianggap sebagai pembawa bencana. Mereka diperlakukan sebagai penjahat dan iblis serupa Calon Arang dan mungkin juga Count Orlok.
Dalam situasi seperti itu, pembacaan terhadap wabah yang terjadi di tengah kehidupan manusia menjadi semacam langkah untuk menggali kembali sejauh mana pemikiran rasional mampu mengantar manusia untuk menemukan kebaikan di dalam dirinya. Kehadiran wabah memang menawarkan penafsiran dan juga penghakiman yang kadang dilakukan secara terburu-buru. Memahami wabah sebagai sebuah fenomena medis memang sangat diperlukan agar sejumlah langkah yang rasional dan obyektif dapat diambil oleh para saintis untuk menemukan formula-formula antidote. Namun, memahami wabah sebagai sebuah fenomena etis juga harus menjadi hal yang tidak dapat dinafikan. Dengan memahami wabah sebagai sebuah fenomena etis, masyarakat ditunjukkan bahwa hal yang diperangi adalah penyakitnya, bukan penderitanya. Dengan begitu, leitmotif wabah sebagai penanda kejahatan dan antagonisme yang telah terlanjur tertanam di dalam budaya masyarakat dapat ditebus sehingga wabah dapat diartikulasi sebagai penanda menipisnya keadilan sosial di dalam sebuah komunitas atau masyarakat. Dengan begitu, untuk mengatasi menipisnya keadilan sosial itu, aksi solidaritas mutlak diperlukan sebagai antidote yang bersifat etis yang dapat dijalankan dalam komunitas atau masyarakat tersebut.
Epilog
Leitmotif mengenai wabah yang terdapat dalam film Nosferatu yang diproduksi pada tahun 1922 menghadirkan sebuah refleksi kemanusiaan yang masih relevan dengan kondisi pandemi yang terjadi pada tahun 2021. Namun, untuk mendapatkan pembacaan yang lebih segar pada teks film tersebut, leitmotif wabah ini tidak hanya ditempatkan sebagai fenomena kultural yang terlanjur dipahami masyarakat dari masa ke masa, tetapi juga perlu ditempatkan sebagai fenomena medis dan fenomena etis yang berlangsung pada saat ini. Sebagai fenomena kultural, leitmotif mengenai wabah menyingkapkan adanya peran kejahatan sebagai sumber utama. Hal demikian terbentuk dari sejumlah prasangka yang tidak mampu menjelaskan hubungan sebab dan akibat dalam sebuah kerangka pikir yang bersifat rasional. Leitmotif wabah hanya merepresentasikan anomali medis yang pada masa prasejarah tidak dapat diterangkan secara sistematis, tetapi hanya dinyatakan secara sederhana sebagai sebuah peristiwa supranatural yang berhubungan dengan tokoh-tokoh antagonis yang sakti. Maka wabah pun begitu identik dengan tindakan si jahat.
Akan tetapi, merumuskan wabah semata-mata sebagai sebuah aksi kejahatan justru memberikan efek yang buruk dalam kehidupan sosial. Mereka yang terpapar wabah justru dianggap sebagai orang-orang yang terkutuk. Jarak sosial antara mereka yang tidak terpapar dengan mereka yang menjadi korban wabah semakin mengangga. Pada akhirnya, wabah yang dianggap sebagai buah dari kekuatan jahat itu justru menciptakan dan menghadirkan prasangka dan perpecahan di dalam komunitas dan masyarakat. Saling mencurigai satu sama lain menjadi hal yang tidak terelakkan. Wabah pun tidak dapat teratasi dan secara perlahan-lahan di dalam masyarakat terjadi hubungan yang bersifat antagonistik.
Karena itu, tidak ada jalan lain yang lebih baik, kecuali membaca leitmotif wabah ini sebagai fenomena medis dalam terang peradaban manusia yang selalu mencari kebenaran. Sebagai fenomena medis, wabah tidak lagi dipersepsi atau ditafsirkan sebagai hal yang berkaitan dengan kejahatan atau kekuatan jahat, tetapi berhubungan erat dengan sejumlah anomali yang bersifat fisik dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Karena itu, wabah tersebut diteliti, diukur, diujicoba, dan diatasi berdasarkan metode-metode pengujian saintifik yang bersifat rasional, obyektif, dan terukur. Namun, penanganan seperti ini tidaklah cukup karena wabah memiliki berbagai dimensi yang cukup kompleks.
Salah satu pembacaan lain yang dapat dilakukan untuk melengkapi pembahasan wabah sebagai fenomena medis adalah membaca wabah sebagai fenomena etis. Pembacaan ini mengandaikan bahwa pemahaman mengenai wabah sebagai fenomena kultural sering berubah menjadi stereotipisasi dan aksi penghakiman terhadap manusia yang terpapar wabah. Alih-alih menyadari bahwa wabah merupakan musuh bersama yang harus diperangi, pemahaman wabah sebagai fenomena kultural justru menjadi ruang alienasi atau pengasingan bagi para korban. Melalui kacamata etis, kehadiran wabah dapat ditebus sebagai penanda atas menipisnya keadilan sosial dalam kehidupan bersama. Wabah memang merupakan penanda dari kejahatan, namun kejahatan itu berasal dari sikap loba dan maruk sejumlah orang yang ingin memiliki kekuasaan (power) yang lebih besar.
Film Nosferatu memang tidak berbicara mengenai wabah seperti pandemi Covid-19. Akan tetapi, film ini menyediakan ruang reflektif yang memampukan penonton dapat melakukan pembacaan kembali atas wabah sebagai leitmotif yang berkaitan erat dengan penggunaan kekuasaan dalam kehidupan bersama. Wabah tidak lagi dipahami sebagai buah dari kekuatan jahat yang bersifat supernatural, melainkan sebagai akibat langsung yang disebabkan oleh sikap loba dan maruk sejumlah orang yang memiliki hasrat kuasa. Sikap loba dan maruk itu menyebabkan tatanan alam semesta dan kehidupan bersama berada dalam kondisi kacau, chaotic! Berdasarkan pembacaan tersebut dapat ditemukan penafsiran yang bersifat lebih kontekstual bahwa wabah yang disebabkan oleh sikap maruk sejumlah orang yang memiliki hasrat kuasa merupakan horror yang sesungguhnya bagi ekologi dan kemanusiaan. Merekalah nosferatu yang sesungguhnya!
Daftar Pustaka
Dieckmann, E., & Grau, A.(Producers), & Murnau, F.W. (Director). (1922). Nosferatu (Motion Picture). Jofa-Atelier Berlin-Johannisthal; Prana-Film GmbH.
Janßen, J.H. (2019). Wismar Markt Nosferatu. (Image). Wikimedia Commons. https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Wismar_Markt_Nosferatu_01.jpg
Paulus Heru Wibowo Kurniawan
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana beberapa cerita pendek yang dikarang oleh Agus Noor dan Indra Tranggono dapat merepresentasikan strategi kultural dalam menghadapi persoalan kebangsaan seperti krisis keberagaman. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Agus Noor dan Indra Tranggono menggunakan tragedi dan komedi dalam cerita pendek sebagai strategi kultural dalam menghadapi krisis keberagaman. Kedua strategi kultural itu tidak terlepas dari peran Yogyakarta sebagai learning society, ruang yang memungkinkan kedua pengarang itu untuk mengembangkan pemikiran cerita pendek sebagai strategi kultural dan sarana edukatif yang efektif bagi masyarakat. Baik tragedi maupun komedi yang terdapat dalam sejumlah cerita pendek karya kedua pengarang itu bertujuan untuk merevisi krisis keberagaman yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai katharsis.
Kata kunci : Komedi, Krisis Keberagaman, Strategi Kultural, Tragedi, Yogyakarta
1.Pendahuluan
Kebangsaan Indonesia bukanlah sebuah gagasan yang secara tiba-tiba hadir. Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, gagasan itu bahkan telah muncul. Gagasan mengenai kebangsaaan itu tidak dapat dipisahkan dari kesadaran bernegara yang menjadi diskursus penting di kalangan para pemuda dari berbagai etnik sejak awal abad ke-20. Kesadaran tersebut dimulai dari sebuah upaya yang dirintis oleh Budi Utomo, sebuah perkumpulan yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Sutomo dan beberapa mahasiswa STOVIA yang masih sangat belia. Perkumpulan itu dibentuk untuk mengangkat nasib rakyat yang berada di bawah tekanan kolonialisme melalui bidang pendidikan. Bidang itu dianggap penting oleh Sutomo dan kawan-kawannya sebagai jalan masuk yang mampu melepaskan rakyat dari kebodohan yang diciptakan kolonialisme. Perhatian Budi Utomo terhadap bidang pendidikan sejalan dengan cita-cita Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter yang berupaya untuk menghimpun beasiswa (studiefonds) agar para pemuda Jawa dapat menuntut pelajaran di perguruan tinggi (Ricklefs, 1998:249). Dalam perkembangannya, Budi Utomo tidak hanya memusatkan diri untuk memajukan pendidikan dan pengajaran, tetapi juga menunjukkan bahwa bidang-bidang lainnya seperti pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kesenian, dan pengetahuan dalam kehidupan rakyat perlu mendapatkan perhatian pula. Bagi Budi Utomo, bidang-bidang tersebut mutlak dimajukan sebagai syarat untuk mencapai kemerdekaan (Muljana, 1986:17-18).
Kendati pada awalnya tidak dideklarasikan sebagai organisasi politik, Budi Utomo ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan gerakan politik di Nusantara pada awal tahun 1900-an. Sebagai sebuah perkumpulan yang tidak berafiliasi pada agama tertentu, Budi Utomo menjadi inspirasi untuk menghadirkan kesadaran bernegara bagi seluruh rakyat dalam bentuk yang sederhana. Ricklefs (1998: 254) menyatakan bahwa sejak tahun 1909 banyak bermunculan organisasi kepemudaan yang sebagian besar berdasarkan identitas kesukuan seperti Jong Java, Sarekat Ambon, Pasundan, Sarekat Sumatera, Jong Minahasa, Kaum Betawi, atau Pakempalan Politik Katolik Jawa. Kehadiran organisasi tersebut tidak hanya mencerminkan kuatnya identitas kesukuan, tetapi juga mencerminkan adanya semangat untuk berorganisasi. Akan tetapi, pembicaraan mengenai identitas kesukuan itu lambat laun mulai pudar sejak gagasan mengenai nasionalisme yang tidak terikat kepada agama dan kelompok etnik tertentu disuarakan oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, atau Sukarno dan Algemeene Studieclub melalui sejumlah artikel yang mereka tulis (Ricklefs, 1998: 276-277).
Tidak dapat dimungkiri bahwa pada awalnya gagasan mengenai nasionalisme dipahami sebagai alat untuk mempertahankan dominasi suku yang paling potensial atau dominasi agama mayoritas terhadap kaum minoritas (Ricklefs, 1998:277). Akan tetapi, seruan akan nasionalisme semakin lama semakin gencar seiring dengan keinginan banyak kaum terpelajar Indonesia untuk merdeka dari bangsa penjajah. Disadari atau tidak, di dalam keinginan itu terbersit pula kesadaran akan kebangsaan yang sama. Beberapa organisasi kepemudaan yang berorientasi pada identitas kesukuan pun mulai bersekutu untuk merumuskan konsepsi identitas nasional yang tidak berafiliasi dengan keagamaan atau kedaerahan tertentu. Pada bulan Oktober 1928 konsepsi tersebut berhasil dirumuskan dalam Kongres Pemuda yang berlangsung di Batavia. Kongres itu melahirkan tiga pengakuan yang disepakati sebagai langkah awal untuk menghadirkan identitas kebangsaan, yaitu satu tanah air, Indonesia; satu bangsa, bangsa Indonesia, dan satu bahasa, bahasa persatuan Bahasa Indonesia (Ricklefs, 1998: 282). Pada momen itulah, sebagaimana dinyatakan Onghokham, seorang sejarawan Indonesia, masyarakat Indonesia baru terlahir sebagai satu bangsa (Suseno, 2008: 5).
Kendati begitu, bila diamati lebih dalam, apa yang dicapai dalam Kongres Pemuda itu bukanlah semata-mata sebuah keputusan bersama untuk menjadi satu bangsa, tetapi juga merupakan bentuk penghargaan terhadap keberagaman yang ada di Nusantara dan penghormatan terhadap yang lain. Hal demikian, misalnya, tercermin pada sikap yang ditunjukkan para pemuda yang berasal dari etnik Jawa. Kendati etnik Jawa adalah etnik terbesar di Nusantara, mereka tidak berusaha untuk memaksakan bahasa Jawa yang mereka pergunakan sebagai dasar bahasa Indonesia (Suseno, 2008:5). Mereka memahami bahwa kesadaran bernegara dan cita-cita kebangsaan tidak akan pernah terwujud apabila mereka bersikukuh untuk mempertahankan unsur-unsur primordial. Idealisme inilah yang menggerakkan para pemuda yang berasal dari pelbagai agama dan etnik di seluruh Nusantara untuk memperjuangkan kemerdekaan dalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia.
Penghargaan terhadap keberagaman sebenarnya telah menjadi keutamaan yang dihidupi oleh masyarakat Nusantara sejak dahulu kala. Keutamaan itu sebenarnya merupakan buah dari pertemuan antara pelbagai budaya yang secara niscaya terjadi dalam masyarakat, baik disebabkan oleh perhubungan antardaerah, perdagangan, maupun penyebaran agama. Dalam Kakawin Sutasoma, kitab yang digubah oleh Empu Tantular, misalnya, keutamaan itu bahkan termaktub secara jelas dalam pernyataan bhinnéka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua) sebagaimana tertulis dalam pupuh 139 bait ke-5. Dalam konteks cerita yang terdapat dalam kitab itu, pernyataan tersebut ingin menjelaskan tentang keberadaan penganut agama Budha dan agama Siwa yang dapat hidup rukun pada masa keemasan Majapahit. Kedua agama itu memang berbeda, tetapi keduanya ternyata memiliki kebenaran yang sama dan tunggal. Kondisi yang harmonis itu sebenarnya juga telah disampaikan dalam kitab Nagarakretagama yang digubah oleh Prapanca. Kitab yang dipahami sebagai kisah pembangunan negara itu menguraikan kebesaran kerajaan Singasari dan keagungan negara Majapahit dalam bidang administrasi, hukum, filsafat, dan agama (Muljana, 2006: 317, 330). Dalam Nagarakretagama pupuh ke-56 bait ke-1 dan ke-2, misalnya, diperlihatkan bagaimana agama Budha dan agama Siwa telah hidup berdampingan secara rukun sejak raja-raja Singasari memerintah, terutama pada masa Raja Kertanegara (Muljana, 2006: 376-377).
Adanya candi makam tersebut sudah sejak zaman dahulu
Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang baginda raja
Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan
Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Budha
Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Budha, sangat tinggi
Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai
Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara
Namun telah hilang; memang sudah layak, tempatnya di Nirwana
Setelah kemerdekaan diproklamasikan, penghargaan terhadap keberagaman etnik dan agama itu tetap dipandang sebagai unsur penting yang harus ditegakkan dalam tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini tidak dapat diingkari bagaimana sikap toleransi yang ditunjukkan para pendiri negara yang mayoritas beragama Islam menjadi kunci penting terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Sikap toleransi yang dimaksud dikukuhkan secara formal ke dalam Pembukaan UUD 1945, terutama alinea-4 yang mendasari terbentuknya ideologi Pancasila. Sebagai ideologi bangsa dan negara, Pancasila tidak hanya dipahami sebagai arah dan tujuan bagi perikehidupan negara, tetapi lebih dimaknai sebagai dasar negara yang mampu mempersatukan keberagaman yang dimiliki rakyat Indonesia. Pancasila menjadi sumber etika yang ultimat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, dalam perkembangannya, pemahaman tersebut seringkali lebih bersifat teoretis daripada praktis. Pada masa Orde Baru, keutamaan dan nilai mulia yang terkandung di dalam Pancasila kerap diselewengkan. Hal itu terjadi karena Pancasila dipergunakan sebagai sarana sekaligus tujuan dari kekuasaan politik. Setelah pemerintah Orde Baru ditumbangkan oleh gerakan Reformasi pada tahun 1998, pembicaraan tentang Pancasila dan keutamaan yang terdapat di dalamnya ditinggalkan serta dilupakan.
Bersamaan dengan surutnya pemaknaan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, hadirlah berbagai pemikiran berbeda dalam memandang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran yang berbasis ideologi agama mulai dihadirkan kembali sebagai wacana alternatif dalam kehidupan masyarakat. Cita-cita teo-politik dan komunalisme Islam mulai dibangkitkan lagi. Bangkitnya konservatisme dan radikalisme Islam ini ditandai dengan munculnya politik massa atau populisme yang menginginkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berbaju syariah. Sejak tahun 2001 keinginan itu semakin lama semakin teridentifikasi dengan menguatnya aspirasi pentingnya memperjuangkan formalisasi syariah melalui legislasi negara di berbagai tempat seperti Sulawesi Selatan, Banten, Riau, Cianjur, Mataram, Pamekasan, dan daerah lainnya sebagaimana pernah dilaporkan hasil survai yang dilakukan Universitas Islam Negeri Jakarta (Abdurrahman, 2007: 10). Sampai saat ini aspirasi politik tersebut bahkan tertampakkan secara eksplisit dalam momen pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah.
Tidak dapat dinafikan bahwa dalam sejumlah peristwa politik seperti pemilihan kepala daerah isu agama pun kerap dipergunakan sebagai senjata politik untuk memperoleh simpati dan suara terbanyak. Isu itu bahkan termanifestasikan secara peyoratif dalam ujaran kebencian (hate speech) yang disuarakan kedua pihak yang berseberangan pendapat baik secara visual maupun audio-visual melalui media sosial. Ujaran kebencian jelas memiliki konsekuensi etis yang cukup serius, yaitu bahwa ujaran tersebut menjadikan orang-orang dengan latar etnik dan agama berbeda sebagai liyan (the others), termasuk dalam hal ini kepada orang-orang dengan latar etnik dan agama yang sama yang berusaha membela paham kebangsaan dan memilih sistem demokrasi sebagai pilihan hidup bersama dengan orang lain (Abdurrahman, 2007: 11). Selain ujaran kebencian, hal yang lebih memprihatinkan adalah terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama di sejumlah daerah. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, misalnya, mencatat bahwa selama tahun 2011-2015 telah terjadi 13 kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh kelompok intoleran di Yogyakarta (Kompas, 24 Maret 2016).
Sejumlah kasus intoleransi yang terjadi di wilayah Yogyakarta beberapa waktu lalu itu terdengar begitu ironis. Pasalnya, sampai saat ini Yogyakarta dikenal sebagai kota perjuangan, kota pelajar, dan kota budaya. Sulit untuk dikatakan bahwa Yogyakarta hanya menjadi milik mereka yang dilahirkan di kota ini. Sebagai kota perjuangan, Yogyakarta memiliki sumbangsih yang tidak dapat diabaikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebagai kota pelajar, Yogyakarta telah menjadi kawah pendidikan bagi begitu banyak pemuda dan pemudi dari latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda-beda. Bahkan menurut G. Budi Subanar (2007: 8), dalam pengertian yang lebih mutakhir, Yogyakarta tidak hanya menjadi tempat terbentuknya komunitas pendidikan (learning community), melainkan juga masyarakat pendidikan (learning society). Sebagai kota seni dan budaya, Yogyakarta tidak hanya memiliki kekayaan tradisi dan peninggalan budaya yang beragam yang sangat dikagumi dunia internasional, tetapi juga menghasilkan para seniman dan pemikir kebudayaan yang mumpuni. Dengan ketiga predikat itu, Yogyakarta seharusnya hadir sebagai kota yang toleran dan pluralis. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa krisis keberagaman di negara ini menjadi salah satu persoalan yang tampaknya perlu diperhatikan secara serius oleh semua kalangan di wilayah Nusantara, termasuk para sastrawan seperti Agus Noor dan Indra Tranggono.
Sebagai sastrawan dan pengamat seni dan budaya yang berdomisili di Yogyakarta, Agus Noor dan Indra Tranggono berusaha untuk menafsirkan kembali peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat berdasarkan perspektif komunikasi kreatif. Sejak tahun 1989 mereka berdua telah bekerja sama untuk menulis naskah monolog dan drama yang bernada kritik sosial bersama para seniman Yogyakarta seperti Butet Kertaredjasa dan Teater Gandrik. Kritik sosial yang mereka suguhkan dalam naskah-naskah itu terbungkus secara estetis dalam bentuk tragedi dan komedi yang berciri simbolis dan surealistik. Proses kreatif yang mereka lakukan itu pun tidak terlepas dari posisi Yogyakarta sebagai sebuah learning society yang sesungguhnya bertumpu pada pemahaman akan pendidikan hidup bersama (learning to live together) (Subanar, 2007:9). Dalam hal ini, Yogyakarta tidak sekadar dipandang sebagai jendela untuk mengontemplasikan sejumlah peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia, tetapi juga untuk memahami peta hidup bersama dalam penghormatan terhadap sesama yang lain (the others).
Lalu, bagaimanakah Agus Noor dan Indra Tranggono merespon krisis keberagaman yang sedang terjadi di negara ini dalam karya sastra yang mereka tulis? Strategi kultural apakah yang mereka pergunakan di dalam karya sastra itu? Apakah karya sastra yang mereka hasilkan sekadar menjadi karya yang berorientasi mimetik, sebuah cermin dari kehidupan masyarakat? Ataukah karya sastra itu memang diarahkan sebagai sarana katharsis atau penyucian diri bagi masyarakat?
2. Metode Penelitian
Karya sastra tidak dilahirkan dalam kekosongan budaya. Kondisi ini membuat karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sejumlah konteks yang melingkupinya, termasuk masyarakat. Meski karya sastra merupakan karya seni yang mendasarkan diri pada imajinasi, apa yang terjadi di dalam masyarakat kerap pula dipergunakan sebagai sumber inspirasi munculnya karya sastra. Dalam ilmu sastra Barat karya sastra yang mendasarkan diri pada imajinasi tidak dapat dipisahkan dari prinsip creatio yang digaungkan oleh Aristoteles. Prinsip creatio menekankan bahwa karya sastra merupakan ciptaan yang baru dan asli. Pengarang atau penyair sama sekali tidak meniru kenyataan karena karya sastra tidak mementaskan manusia yang nyata atau peristiwa sebagaimana adanya (Teeuw, 2015: 170). Pandangan itu jelas berbeda dengan konsep mimesis yang ditelurkan oleh Plato. Menurut Plato, mimesis merupakan pembayangan, peniruan, atau pencerminan dari kenyataan (Teeuw, 2015:169). Maka berdasarkan konsep itu, karya sastra dipandang sebagai cermin dari kehidupan masyarakat. Akan tetapi, cermin itu sebenarnya hanya merupakan pembayangan akan hal-hal yang ada di dalam kenyataan yang tampak. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya sastra (Teeuw, 2015:169). Artinya, apa yang ditampilkan dalam karya sastra pun tidak selalu merepresentasikan kenyataan yang sesungguhnya. Karya sastra sekadar merupakan interpretasi terhadap kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat sehingga daya imajinasi yang terdapat di dalamnya masih dapat dikembangkan.
Dalam perspektif sosiologi sastra hubungan antara karya sastra dengan masyarakat setidaknya terlihat dalam lima hal penting (Ratna, 2004: 332-333). Hal pertama adalah bahwa karya sastra ditulis, diceritakan, atau disalin oleh anggota masyarakat. Hal kedua adalah bahwa karya sastra hidup dalam masyarakat dan menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ketiga adalah bahwa dalam karya sastra telah terkandung masalah-masalah kemasyarakatan. Hal keempat adalah bahwa dalam karya sastra terdapat sejumlah elemen estetika, etika, dan logika yang berguna bagi masyarakat. Hal kelima adalah bahwa karya sastra dapat dipergunakan sebagai sarana bagi masyarakat untuk menemukan citra dirinya secara bertanggung jawab.
Dalam hubungan itu karya sastra sebagai karya interpretatif bisa hadir sebagai teks yang menyampaikan kritik atau sebagai teks yang menyampaikan afirmasi terhadap situasi kemasyarakatan yang ditafsirkan pengarangnya. Hal demikian, disadari atau tidak, menempatkan karya sastra sebagai strategi kultural yang dapat membawa pembacanya semakin memahami dirinya dan masyarakatnya secara dinamis. Mengutip pernyataan seorang ahli kebudayaan, van Peursen, karya sastra sebagai strategi kultural dapat memberikan orientasi bagaimana manusia dapat memberikan jawaban tepat mengenai sejumlah pertanyaan besar yang menyangkut tujuan hidupnya, makna kehidupan, norma-norma yang mengatur kontak antarmanusia, dan perkembangan masyarakat secara tepat (van Peursen, 1993:19).
Dalam tradisi sastra barat awal strategi kultural dimanifestasikan oleh tragedi dan komedi. Pada zaman Yunani kuno keduanya dirancang sebagai sarana pemenuhan kebutuhan ritual kosmologis dan penyadaran akan aspek religiositas dalam diri manusia. Akan tetapi, dalam perkembangannya pemahaman akan tragedi dan komedi tidak lagi berorientasi kepada persoalan metafisik, tetapi ditempatkan ke dalam persoalan kemanusiaan sehari-hari sebagai ranah estetis sekaligus ranah etis yang tidak dapat diabaikan. Baik tragedi maupun komedi sebagai kisah-kisah pergulatan manusia dalam memaknai takdirnya dipandang mampu untuk menyingkap memori dan emosi yang kerap disembunyikan manusia di alam bawah sadarnya. Penyingkapan yang disebut sebagai katharsis itu berfungsi memurnikan kembali memori dan emosi sehingga manusia dapat menjadi makhluk budiman karena mampu membebaskan dirinya dari nafsu yang rendah (Teeuw, 2015:170). Meski dilakukan dengan cara kreatif, strategi kultural itu tetap diarahkan kepada pemaknaan atas konflik yang dihadapi manusia baik dalam lingkup individu maupun dalam lingkup komunitas. Dalam hal ini peristiwa sosial sehari-hari memang dipergunakan sebagai bahan baku dan sumber inspirasi cerita. Akan tetapi di dalam cerita peristiwa sosial yang dimaksud tidak lagi ditampilkan kembali sebagai peristiwa alamiah. Peristiwa itu telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga terlahir sebagai entitas yang berbeda dalam sebuah dunia kata-kata yang imajinatif. Dalam proses itu tidak dapat dinafikan bahwa peran imajinasi sebagai daya manusia untuk menciptakan suatu dunia nilai dan kebenaran yang orisinal sungguh perlu digarisbawahi (Tedjoworo, 2001:45).
Dalam penelitian ini dipergunakan tiga teks cerita pendek karya Agus Noor seperti Requiem Kunang-kunang (2011), Hari Baik untuk Penipu (2014), dan Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri (2016) serta tiga teks cerita pendek karya Indra Tranggono, seperti Pesan Pendek dari Sahabat Lama (2009), Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu (2016), dan Hukuman untuk Pencipta Bahasa (2017). Pada dasarnya pemilihan terhadap sejumlah teks itu dilakukan secara acak dengan mempertimbangkan tahun publikasi yang berjarak. Diharapkan dengan proses pemilihan itu, sejumlah teks cerita pendek yang baru dipublikasi masih terbuka untuk ditafsirkan secara bernas sesuai dengan konteks penelitian.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik dilakukan untuk mencari arti berdasarkan konvensi kebahasaan, sedangkan pembacaan hermeneutik dilakukan untuk mencari makna berdasarkan konvensi kesastraan. Pembacaan heuristik dimulai dengan langkah pembacaan setiap teks cerita pendek secara cermat. Pembacaan ini dilakukan untuk mengidentifikasi arti yang ditemukan dalam setiap paragraf, kalimat, dan dialog sebagai lapis pertama dalam upaya penafsiran. Pengidentifikasian arti dalam lapis pertama ini diharapkan dapat menghasilkan sejumlah pola yang dapat dimaknai dalam lapis kedua. Dalam lapis itu, pembacaan hermeneutik dilakukan untuk mencari makna yang terdapat di balik sejumlah pola yang berulang dalam beberapa teks cerita pendek dengan mempertimbangkan beberapa konteks yang terkait dengan persoalan utama dalam penelitian ini. Agar pembacaan hermeneutik ini dapat menghasilkan pemaknaan yang utuh terhadap sejumlah cerita pendek yang ditulis Agus Noor dan Indra Tranggono, peneliti menghadirkan persoalan krisis keberagaman sebagai konteks yang perlu dicermati di setiap teks cerita pendek.
3. Hasil dan Pembahasan
Dalam ketiga cerita pendek yang ditulisnya, Agus Noor menampilkan persoalan yang berbeda-beda.Dalam Requiem Kunang-kunang, Agus Noor menceritakan pengalaman tokoh Aku, seorang manusia yang telah menjelma sebagai kunang-kunang, di sebuah kota sunyi menjelang perayaan Natal. Perubahan wujud yang dialami tokoh Aku terjadi setelah sejumlah orang bertopeng berhasil menyergap, menikam jantungnya, dan mencungkil matanya. Akibatnya, roh Aku keluar dari tubuh dan Aku pun menjelma sebagai kunang-kunang. Sebagai satu-satunya kunang-kunang yang hadir sebagai penyintas di kota itu, tokoh Aku menyaksikan bagaimana kota dan seluruh isinya hancur setelah perang saudara yang kejam terjadi selama bertahun-tahun. Penduduknya telah pergi meninggalkan kota itu. Namun hampir sebagian besar penduduknya telah mati dan rohnya menjelma sebagai gerombolan kunang-kunang yang terbang di antara sudut-sudut kota pada malam hari. Namun, ribuan kunang-kunang tersebut tidak datang sebagai penerang. Kehadiran mereka seperti roh yang bangkit dan ingin membebaskan diri dari cengkeram kutukan masa silam yang kelam.
Di dalam cerita pendek ini, Agus Noor menampilkan sebuah gambaran surealistik tentang sejumlah akibat yang disebabkan oleh perang saudara. Kota sebagai tempat bertumbuhnya kebudayaan dan peradaban telah berubah menjadi ruang perkelahian, permusuhan, dan pembantaian. Eksistensi manusia tidak lagi merepresentasikan citra Allah yang mulia. Sebaliknya, perang menjadikan manusia sebagai pemangsa. Manusia tidak lagi hidup dalam kebahagiaan dan pengharapan. Semua sendi kehidupannya telah direnggut oleh teror yang menggila setiap waktu. Ia bahkan harus mati secara nista sebagai kunang-kunang. Tentu saja apa yang ditampilkan dalam cerpen itu merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang cukup menyesakkan. Di akhir cerita Agus Noor menceritakan bahwa tokoh Aku pun harus musnah setelah sebuah bom meledak dalam sebuh gereja saat misa malam Natal dilaksanakan.
Dalam Hari Baik untuk Penipu, Agus Noor menceritakan pengalaman tokoh Ia, seorang penipu ulung yang bertransformasi sebagai presiden karena ketekunannya dalam menipu dan memanfaatkan kesempatan. Dikisahkan bahwa sejak kecil, tokoh Ia sudah memiliki kecenderungan untuk menipu ibunya meski sang ibu selalu menanamkan kejujuran melalui dongeng-dongeng yang diceritakan. Namun, tokoh Ia sama sekali tidak pernah jera untuk menghentikan aksinya. Dalam perkembangannya sejumlah pengalaman yang tokoh Ia alami justru memberikan pijakan kuat baginya untuk terus menipu. Dari dongeng tokoh Ia belajar bahwa penipu yang baik tak akan pernah membiarkan orang lain menyadari bahwa mereka telah tertipu. Dari keluarga, tokoh Ia belajar bahwa berbohong kadang-kadang harus dilakukan untuk menyelamatkan keadaan. Dari perjumpaan dengan pengurus panti asuhan, tokoh Ia belajar bahwa menipu lebih meyakinkan bila membawa agama dan Tuhan. Dari masalah hukum yang dihadapi, tokoh Ia belajar bahwa setiap orang hendaknya jangan pernah jujur saat berurusan dengan hukum. Melalui sejumlah pengalaman itu tokoh Ia semakin memahami bahwa penipu sungguh membutuhkan martabat dan nama baik sehingga ia harus mengetahui kapan saat terbaik untuk menipu.
Di dalam cerita pendek ini, Agus Noor menampilkan bagaimana aksi tipu-menipu yang dilakukan tokoh Ia mengalami sejumlah tahap evolutif. Persoalan aksi tipu-menipu yang dikisahkan dalam cerita pendek itu secara mimetik tidak dapat dilepaskan dari kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Disadari atau tidak, aksi itu kerap dipandang sebagai hal yang wajar karena siapapun bisa menjadi penipu bagi yang lain. Akan tetapi, dalam cerita pendek ini, Agus Noor tampaknya tidak bermaksud untuk menampilkan persoalan aksi tipu-menipu sebagai sebuah realitas vulgar, realitas sebagaimana adanya. Pasalnya, jika aksi tipu-menipu itu hanya dibicarakan sebagai sebuah cermin dari kenyataan, proses penyelesaian cerita tidak akan berujung pada penyingkapan katharsis, sebuah kondisi yang mampu melahirkan introspeksi batin. Karena itu, dalam cerita pendek ini Agus Noor menunjukkan dengan tepat bahwa persoalan yang kadang dianggap sepele itu ternyata dapat menjadi faktor penting lahirnya tragedi besar dalam sebuah bangsa. Apa yang akan terjadi jika suatu negara dipimpin oleh seorang penipu yang telah terlatih sejak kecil? Bukankah kondisi tersebut akan menjadi hal yang sangat memalukan? Bukankah kondisi itu menghadirkan sebuah tragedi?
Dalam Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri, Agus Noor bercerita tentang nasib seekor anjing yang dipelihara Pak Kor, seorang hartawan yang kaya raya. Sebelum dipelihara Pak Kor, anjing itu hanyalah seekor binatang malang yang dipenuhi dengan borok, kutu, dan darah di sekujur tubuhnya. Dari tangan seorang pemulung yang bernama Sebleh, anjing itu dibeli oleh Pak Kor dengan harga 500 ribu. Namun, setelah empat bulan berselang, anjing tersebut menjelma sebagai anjing yang begitu bersih, sehat, dan ceria. Pak Kor, sang pemilik anjing itu, pun tampak terlihat lebih gembira. Anjing itu ternyata dirawat Pak Kor dengan biaya yang sangat besar. Hal ini membuat Sebleh dan masyarakat sekitar merasa iri terhadap perlakuan yang diberikan Pak Kor terhadap anjing itu. Mereka merasa bahwa anjing itu memperoleh semua kemewahan hidup yang tidak mungkin dinikmati oleh mereka. Akibatnya, masyarakat di lingkungan Sebleh sering membanding-bandingkan hidup mereka dengan nasib baik anjing milik Pak Kor. Sayangnya, mereka tidak dapat mengungkapkan rasa kecewa kepada Pak Kor yang ternyata dianggap sebagian besar masyarakat sebagai dermawan. Namun, pada suatu pagi terjadilah hal yang mencengangkan. Anjing milik Pak Kor yang disebut masyarakat sebagai anjing yang paling berbahagia di dunia itu mati bunuh diri. Anjing itu menggantung dirinya setelah Pak Kor tertangkap tangan dan ditahan karena kasus korupsi.
Di dalam cerita pendek ini, Agus Noor menampilkan sebuah gambaran yang menarik mengenai dua kelas sosial yang berbeda, yaitu kelas sosial atas yang diwakili oleh Pak Kor dan kelas sosial bawah yang diwakili oleh Sebleh. Perbedaan kelas sosial itu tidak hanya terlihat melalui status harta dan kepemilikan, tetapi secara diam-diam tercermin pula dalam cara pandang terhadap sebuah permasalahan. Di tangan Sebleh, seekor anjing yang sekarat hanya dipandang sebagai benda ekonomi yang dapat ia jual kepada penjual daging anjing. Untuk itu, ia berusaha menjemur anjing itu di tengah terik matahari agar harga jualnya dapat naik. Sebaliknya, di tangan Pak Kor anjing itu justru menjadi sarana klangenan yang mampu menghibur hatinya. Anjing yang sekarat itu dirawatnya sedemikian rupa kendati diperlukan biaya perawatan yang cukup besar. Dari persoalan tersebut, Agus Noor tampaknya ingin memberikan pemahaman bahwa perbedaan cara pandang kerap menjadi pangkal terjadinya iri hati dan kesalahpahaman. Sebleh dan teman-temannya mengira bahwa Pak Kor sedang mengolok-olok mereka. Usaha Pak Kor untuk menolong anjing itu dianggap mereka sebagai sebuah cara untuk pamer kekayaan. Namun, faktanya, Sebleh dan teman-temannya itu tidak mengetahui bahwa harta kekayaan yang dimiliki Pak Kor diperoleh melalui korupsi. Informasi ini sebenarnya cukup mengejutkan karena baru disampaikan Agus Noor di akhir cerita. Dengan cara yang cukup karikatural, Agus Noor memaknai hubungan antara tertangkapnya Pak Kor dengan kematian anjingnya sebagai sebuah komedi yang pahit.
Dari pembacaan terhadap ketiga cerita pendek karya Agus Noor dapat dinyatakan bahwa persoalan mengenai krisis keberagaman tidak dikisahkan dalam karya sastra yang berorientasi mimesis, melainkan dalam karya sastra yang berorientasi creatio. Dalam prinsip creatio, karya sastra dihadirkan sebagai sebuah dunia imajinatif yang berbeda dengan realitas. Kendati bersifat imajinatif, pemaknaan terhadap karya sastra itu dapat dilakukan dalam konteks ruang dan waktu yang dihidupi pembaca. Dalam ketiga cerita pendek itu, krisis keberagaman yang sedang dialami bangsa Indonesia dapat ditafsirkan melalui tiga pola penting sebagai berikut.
Pola pertama adalah bahwa krisis keberagaman dimaknai sebagai hilangnya penghargaan terhadap manusia sebagai citra Allah yang unik. Perang saudara yang berkecamuk, aksi tipu-menipu, dan sikap iri hati kepada orang lain jelas mengabaikan penghargaan terhadap kehidupan dan martabat manusia. Dalam perang, manusia tidak dipandang sebagai sesama yang perlu ditolong, melainkan sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Dalam penipuan, manusia hanya dipandang sebagai korban yang dieksploitasi. Dalam sikap iri hati, manusia dihakimi secara subyektif sehingga nilai keadilan pun diabaikan begitu saja.
Pola kedua adalah bahwa krisis keberagaman ini merupakan tragedi kehancuran eksistensi manusia sebagai makhluk yang beradab. Dalam Requiem Kunang-kunang, manusia mengalami kematian secara tidak wajar karena tindakan kekerasan. Rohnya bahkan bisa menjelma menjadi kunang-kunang. Dalam Hari Baik untuk Penipu, manusia kehilangan sifat-sifat Ilahi seperti kebaikan dan kejujuran dari dalam dirinya. Hilangnya sifat-sifat Ilahi itu jelas menjatuhkan martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang paling sempurna. Dalam Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri, manusia dihakimi secara tidak adil oleh prasangka-prasangka yang salah, tanpa diberi kesempatan untuk memberikan pembelaan. Penghakiman demikian merupakan cara yang paling efektif dalam pembunuhan karakter.
Pola ketiga adalah bahwa krisis keberagaman menyisakan deformasi dalam tubuh dan mental manusia. Menjadi buta, menjadi kunang-kunang, menjadi penipu, atau memandang anjing sebagai teladan kehidupan yang bahagia merupakan efek destruktif yang harus dipahami sebagai anomali-anomali dalam kehidupan bersama. Kendati disampaikan dalam karya imajinatif, deformasi itu dapat dipahami sebagai komedi pahit dalam kehidupan manusia. Di satu sisi deformasi itu mungkin menjadi sebuah kelucuan, tetapi di sisi lain deformasi itu justru menyisakan rasa getir yang mendalam dalam diri manusia.
Lalu bagaimana ketiga cerita pendek karya Indra Tranggono memandang krisis keberagaman itu? Dalam Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu, Indra Tranggono mengisahkan seorang tokoh yang bernama Imam Mahdi alias Mbah Mahdi. Setelah pensiun dari departemen yang mengurusi agama, Mbah Mahdi rajin turun ke masyarakat untuk menyampaikan warta pertobatan. Menurutnya, kiamat sudah dekat sehingga semua orang perlu bertobat. Namun, usahanya itu ditanggapi secara negatif oleh masyarakat sekitar. Atas usahanya itu, ia kerap dilecehkan dan diancam untuk disakiti dan dibunuh. Bahkan isteri dan anak-anaknya risih dengan apa yang diperjuangkan oleh Mbah Mahdi. Kendati demikian, ia tetap menyuarakan pertobatan. Salah satu orang yang perlu memperoleh warta pertobatan itu adalah Brosman, seorang hartawan yang kaya raya. Akan tetapi, Brosman menolaknya dengan kasar. Bahkan lelaki bertubuh tambun itu mampu menghempaskan dan membuat Mbah Mahdi pingsan. Setelah siuman, ia mendapat dirinya berada di tengah hutan. Rumah Brosman telah berubah menjadi hutan yang ditumbuhi pohon dengan daun-daun yang memancarkan sinar ungu kehitaman. Mbah Mahdi percaya bahwa sinar itu adalah sinar kegelapan yang selalu tumbuh dalam diri manusia.
Dalam cerita pendek ini, Indra Tranggono secara karikatural ingin menunjukkan peran agama dalam masyarakat masa kini. Oleh para kaum konservatif seperti Mbah Mahdi, agama merupakan sarana pertobatan sebelum kiamat tiba. Namun, oleh sebagian besar kalangan, agama tampaknya tidak dapat menjawab berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Dengan kata-kata lain, kehidupan relijius tampaknya tidak lagi menjadi sesuatu yang menggetarkan bagi manusia modern. Akan tetapi, penolakan terhadap warta pertobatan yang disampaikan oleh Mbah Mahdi itu bisa jadi mengindikasikan adanya perubahan cara pandang masyarakat modern terhadap agama. Hal demikian tidak selalu menunjukkan bahwa masyarakat modern menolak keberadaan agama. Sikap rasional masyarakat modern membuat agama tidak lagi menjadi pilihan utama dibandingkan hal yang lain karena dalam sejarah agama seringkali tampil sebagai manifestasi kepentingan politis dan ekonomis. Pesan perdamaian yang dibawa oleh agama tidak dapat dinikmati kembali karena agama sering hadir dalam wajah yang mengerikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat modern saat ini sedang mengalami apa yang disebut sebagai kelelahan dogmatis (dogmatic fatigue). Akibatnya, sekularisme pun berkembang subur. Namun, hal demikian tidak juga berarti bahwa agama telah dikalahkan oleh sekularisme. Secara diam-diam, dalam situasi itu unsur radikal dalam agama justru semakin berkembang seperti yang dialami oleh Mbah Mahdi ketika membakar daun-daun yang dianggapnya sebagai daun-daun dosa di pekarangan rumahnya.
Dalam Pesan Pendek dari Sahabat Lama, Indra Tranggono menceritakan hubungan persahabatan antara tokoh Aku dengan Gardaz, seorang penggiat demokrasi. Hubungan persahabatan di antara mereka telah berjalan sebelum terjadinya kerusuhan di ibukota 30 tahun silam. Namun, sejak peristiwa kerusuhan itu pecah, tokoh Aku tidak lagi mendengar kabar Gardaz yang secara tiba-tiba menghilang. Pada suatu waktu, tokoh Aku yang telah menjabat sebagai gubernur di Margaz mendapat kunjungan dari Gardaz, sahabat yang disangkanya hilang. Pertemuan kedua sahabat lama itu berlangsung singkat. Gardaz tidak berbicara banyak kepada tokoh Aku. Ia hanya berpesan agar sebagai gubernur, tokoh Aku harus memiliki hati. Sayangnya, pesan yang disampaikan Gardaz itu tidak diindahkan karena tokoh Aku terlalu sibuk untuk mengurusi pekerjaannya. Karena terlalu letih, tokoh Aku pun jatuh sakit. Dalam situasi demikian, Gardaz justru hadir dalam sejumlah pesan yang diterima tokoh Aku melalui telepon genggamnya. Dalam pesan-pesannya itu, Gardaz mengingatkan tokoh Aku untuk memiliki hati bagi korban penggusuran. Namun, di mata tokoh Aku, pesan-pesan Gardaz itu hadir sebagai teror yang mengurungnya.
Dalam cerita pendek ini, Indra Tranggono ingin menyampaikan pemaknaan yang menarik tentang persahabatan. Secara normatif, hubungan persahabatan dapat terwujud bila terdapat persamaan pandangan di antara kedua belah pihak. Hubungan persahabatan antara tokoh Aku dan Gardaz itu pun pada awalnya terbangun karena terdapat pandangan dan perjuangan yang sama di antara keduanya. Mereka bersama-sama berada di dalam lingkaran diskusi kampus yang selalu menghasilkan strategi dan taktik untuk mengkritisi dan melawan rezim pemerintah yang kejam. Namun, hubungan persahabatan itu pada akhirnya harus kandas. Setelah 30 tahun berlalu, tokoh Aku justru menjadi seorang gubernur yang bersikap semena-mena terhadap warganya, sedangkan Gardaz tetap konsisten hadir sebagai penggiat kemanusiaan. Kandasnya hubungan persahabatan ini semakin menyangatkan pesimisme bahwa pada dasarnya tidak pernah terjalin persahabatan yang sejati. Jikalau persahabatan itu dapat dihadirkan, maka perekatnya pastilah kepentingan yang dimiliki masing pihak-pihak. Pada akhirnya tokoh Aku pun rela untuk melepaskan persahabatan dengan Gardaz karena kehadiran penggiat kemanusiaan itu dapat mengganggu, mengancam, dan bahkan menggagalkan segala rencana yang telah dirancangnya.
Dalam Hukuman untuk Pencipta Bahasa, Indra Tranggono menceritakan Munsyi Leksikalami, seorang pencipta bahasa dari Indonesia, yang diculik dan ditahan di sebuah negeri antah-berantah yang dihuni oleh para tikus. Dalam persidangan yang digelar para tikus, Munsyi dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas citra buruk yang harus mereka tanggung. Menurut mereka, citra tikus sebagai simbol para koruptor sama sekali tidak dapat diterima karena para tikus tidak lebih rakus dan jahat daripada para koruptor. Para tikus hanya mengerat potongan kelapa, ikan asin, roti, atau jagung, sedangkan para koruptor memakan minyak, aspal, besi, batubara, gas, pulau-pulau, dan pajak. Karena itu, para tikus meminta agar Munsyi dapat mengembalikan kehormatan, harkat, dan martabat mereka. Dengan cara itu pula Munsyi dapat terbebas dari pengawasan para tikus dan dapat kembali kepada kehidupan normal.
Dalam cerita pendek ini, Indra Tranggono berusaha menampilkan persoalan komunikasi politik dari perspektif dunia imajinatif. Komunikasi politik yang dimaksud di sini adalah bagaimana pencitraan yang disematkan secara verbal mampu memiliki dampak yang cukup serius bagi kehidupan bersama. Selama ini, citra tikus sebagai simbol dari koruptor secara mimetis sungguh dapat dipahami oleh masyarakat sebagai hal yang sungguh memalukan. Citra verbal seperti ini jelas membawa konsekuensi etis bagi mereka yang didakwa secara hukum sebagai para koruptor. Namun, secara mengejutkan, citra demikian justru dipahami sebagai sebuah kesalahan dalam dunia imajinatif. Bagaimana mungkin binatang pengerat seperti tikus dapat dipersamakan dengan para manusia rakus yang secara brutal mengambil hak milik orang lain? Bukankah manusia adalah makhluk yang sangat serakah? Bila dibandingkan manusia, para tikus sama sekali tidak melanggar etika kehidupan bersama. Jadi mengapa citra ini harus terus disematkan kepada tikus? Secara sekilas, gugatan ini terdengar menggelikan. Namun, di sinilah komunikasi politik ditujukan Indra Tranggono sebagai kritik dalam rangka pembelajaran kehidupan bersama. Jika citra tikus sebagai simbol dari koruptor dianggap tidak relevan lagi - karena dari waktu ke waktu sikap para koruptor semakin mengganas bagai para predator - citra macam apakah yang harus disematkan kepada mereka agar jera?
Dari pembacaan terhadap ketiga cerita pendek karya Indra Tranggono dapat dinyatakan bahwa persoalan mengenai krisis keberagaman dihadirkan dalam kerangka creatio atau dunia imajinatif kendati konteks persoalan yang disampaikan berkaitan dengan peristiwa yang dapat dijumpai dalam kenyataan sehari-hari. Dalam ketiga cerita pendek itu, terlihat pula bahwa persoalan mengenai krisis keberagaman didekati berdasarkan berbagai perspektif yang berbeda sehingga pemaknaan atas pola-pola yang terbentuk menjadi sangat variatif. Dalam hal ini setidaknya terdapat dua pola penting yang dapat diperhatikan berkaitan dengan konteks krisis keberagaman.
Pola pertama adalah bahwa krisis keberagaman dimaknai sebagai hilangnya pondasi penting dalam kehidupan bersama. Tergerusnya citra agama sebagai pembawa pesan keselamatan dan perdamaian menyebabkan masyarakat berpaling kepada sekularisme atau materialisme yang begitu individualistis. Semakin besar potensi sekularisme dan materialisme dianut, maka komunalisme atau semangat persahabatan dalam masyarakat pun akan rontok. Akan tetapi, tatkala komunalisme buyar, di sanalah radikalisme mengintai secara diam-diam. Maka, menyalahkan agama sebagai akar dari krisis keberagaman sebenarnya serupa dengan membakar lumbung padi. Pasalnya, citra agama yang dapat hadir sebagai pembawa keselamatan dan perdamaian pasti menimbulkan optimisme akan pembelajaran kehidupan bersama yang lebih baik.
Pola kedua adalah bahwa krisis keberagaman ini sebenarnya berurusan dengan persoalan komunikasi, baik itu di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Krisis keberagaman justru terjadi manakala komunikasi tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Akibatnya, pemahaman yang komprehensif dan menyeluruh tidak pernah terjadi. Pemahaman yang diperoleh hanya bersifat parsial. Akibatnya, labelisasi atau pencitraan terhadap kaum atau golongan tertentu terjadi secara destruktif karena salah paham dan bahkan gagal dalam komunikasi. Dalam sebuah opini yang berjudul “Rumah Kebangsaan yang Gerah,” Indra Tranggono pernah menyatakan bahwa ujaran verbal dan visual yang mengekspose simbol-simbol dan pesan-pesan agama tertentu justru membuat komunikasi yang tulus terhambat. “Rumah Indonesia yang lebar dan luas penuh kedamaian kini tereduksi menjadi kamar-kamar tanpa pintu tembus (Kompas, April 2017).”
4.Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pembicaraan mengenai krisis keberagaman dalam sejumlah cerita pendek yang ditulis oleh Agus Noor dan Indra Tranggono lebih merujuk kepada pemahaman karya sastra sebagai creatio atau dunia imajinatif. Meski begitu, konsep creatio yang dimaksud itu tidak terlepas dari konteks persoalan yang berkaitan dengan peristiwa kehidupan sehari-hari, entah itu sebagai tragedi maupun sebagai komedi. Dalam sejumlah cerita pendek itu, terlihat pula bahwa persoalan mengenai krisis keberagaman dimaknai dalam berbagai perspektif yang berbeda sehingga pemaknaan atas pola-pola yang terbentuk dalam masing-masing cerita pendek menjadi sangat variatif. Cara ini dapat ditengarai sebagai strategi kultural yang disampaikan baik oleh Agus Noor maupun Indra Tranggono dalam memahami krisis keberagaman dalam learning society.
5.Daftar Pustaka
Buku
Abdurrahman, Moeslim. 2007. Krisis Sosial Krisis Politik Krisis Bangsa Majemuk Beberapa Catatan Reflektif. Yogyakarta: Impulse (Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies).
Muljana, Slamet. 1986. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Jakarta : Inti Idayu Press.
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Subanar, G. Budi. 2007. Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan Yogyakarta : Komunitas Learning Society. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Suseno, Franz Magnis. 2008. Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan: 79 Tahun sesudah Sumpah Pemuda. Yogyakarta : Impulse dan Penerbit Kanisius.
Tedjoworo, H. 2001. Imaji dan Imajinasi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung : PT Dunia Pustaka Jaya.
Van Peursen, C.A. 1993. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Surat Kabar.
Noor, Agus. 2011. Requiem Kunang-kunang. Kompas, 25 Desember 2011.
------. 2014. Hari Baik untuk Penipu. Media Indonesia, 15 Juni 2014.
------. 2016. Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri. Kompas, 7 Agustus 2016.
Tranggono, Indra. 2009. Pesan Pendek dari Sahabat Lama, Kompas, 26 April 2009.
------. Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu. Kompas,10 April 2016.
------. 2017. Hukuman untuk Pencipta Bahasa, Media Indonesia, 29 Januari 2017.
Kompas, 24 Maret 2016.
Kompas, April 2017
Paulus Heru Wibowo Kurniawan
“Every word is like an unnecessary stain on silence and nothingness.”
(Samuel Beckett)
Dear colleagues and friends.
Please let me start our conversation this afternoon by asking two questions. What is the position of art amid human suffering? Can art turn despair into hope, turn tears into dance? I believe that both questions may answer quickly today. In a matter of seconds, we can surf to find answers through a word search engine. We can obtain answers from multiple perspectives. But, of course, I wish we could discuss both questions more deeply.
The two questions I ask are from various traces recorded in the history of art that has always been so close to human suffering. Works of art are often created in the most dangerous and unfavorable conditions. These works are usually made in poverty, under repressive regimes, in prisons, on the outskirts, or in a coffee shop after the night shifts. Throughout history, works of art have existed to comfort, heal, and be a voice for people who cannot speak. However, throughout history, art has continued to be created and consumed, including during epidemics and health crises.
The Covid-19 pandemic that binds us today is not the only suffering human has ever faced. In the 14th century, a terrifying pandemic known as the Black Death (Atra Mortem) killed 50 million Europeans. The artists reflect this humanitarian catastrophe as a terrible event that people never expect to happen. In his painting entitled The Triumph of Death (1526), Peter Bruegel poignantly describes how Arta Mortem destroys the lives of people from different social backgrounds – peasants, soldiers, nobles, kings, and church leaders.
Several centuries later, a French writer named Albert Camus published a novel entitled La Peste (1947). In the story, Camus offers depth in looking at the reality of disaster and suffering. Camus observes that in every tragedy, a few people always seek to turn suffering into a source of profit. Camus strongly criticized such a situation. For him, in suffering, the most important thing for everyone to do is be with the victim.
Do the artist’s position and artwork echo what Camus said in an unfinished pandemic? It may have been echoed in the past, but the voice may not have heard loudly today. What the artists and their art resonated with was not as loud as what science does today. During a pandemic, science can indeed provide great hope. However, science cannot be a panacea, a drug that can kill the virus. Science, in the end, must catch up and compete with various modern and ancient viruses. In such a situation, is scientific explanation capable of understanding death? However, philosophical reflection still helps us interpret disasters and suffering fully.
Philosophical reflection as a way to make sense of life, I believe, is also presented by comic and sequential art. Over the last two years, I have seen many good things that they have done in several countries, including Indonesia, my homeland. I witnessed how comics and sequential art have become companions for suffering and marginalized people. Comics and sequential art are willing to empathize and go hand in hand with those with no voice or other choice in their lives. In this case, comic and sequential art provide comfort and improvement and offer a variety of thoughts in new ways that enable them to interpret humanity more optimistically.
I saw that interesting perspective in the beautifully crafted Maus (1997) by Art Spiegelman. The comic not only tells exclusively about the life journey that Vladek and Anja lived among various terrors spread by the Nazis before the Holocaust incident in the Auschwitz concentration camp happened. However, the comic also attempts to clearly show that war and hatred will never be able to build a heaven on this earth. For whatever reason, Vladek, Anja, or anyone else has the right to live in an imperfect world with feelings of peace. One of the things that could do is to uphold the truth of history. It will only create if the voices of the victims are heard and acknowledged.
The experience of many people in dealing with the Covid-19 pandemic has opened up opportunities for comic and sequential art to present the realism that many people live. Comic and sequential art can also make encounters between one person with others. In this case, comic art can function as a mirror of people's lives. It is unavoidable that these intense encounters will build strong social bonds that lead to solidarity. In that social bond, humans can learn to pay attention to the suffering experienced by others as something that is also troubling them. In this way, the man knows not to seek profit for himself when a tragedy strikes his neighbor that destroys his life. Humans also learn to appreciate life as something precious in uncertain situations.
Without realizing it, the pandemic teaches us that solidarity and empathy unite people from various backgrounds. This solidarity and empathy are also fundamental forms of transcendental life that are practiced by everyone who still believes in the values of humanism. In addition to solidarity, artworks developed during the pandemic also present a collective narrative about human fragility. There are so many collective narratives about loneliness, anxiety, fear of death, and the struggles of health workers on the front lines, such as there is one in the Covid Art Museum founded by Emma Calvo, Jose Guerrero, and Irene Llorca of Barcelona. The museum houses 550 works of art, such as photographs, illustrations, and digital works from around the world. In these works of art, all items related to the pandemic situation, such as masks, gloves, tissues, or disinfectants, are displayed creatively. The resulting art exhibited in the museum speak of human fragility, but that fragility is not meant to be mourned. On the other hand, fragility is interpreted as a turning point to experience the hope for a better world.
We can also find the narratives presented in the Covid Art Museum in the Micecartoon comic panels created by Muhammad Mirsad, a comic artist from Indonesia. The comic panels are well stored and published in the Instagram space. These panels are an excellent example of how we can use comic art to understand solidarity in the digital age. It has been a long since Mirsad presented various faces of urban humans as a community group that must be considered in his comic panels. He understands that they are always the most neglected group in urban development. Mirsad diligently paid attention to the poor exposed to Covid-19 through his comic panels when the pandemic escalated. He gave enormous support and appreciation to the paramedics who fought selflessly for the safety of the people who were exposed to Covid-19. Even after the pandemic began to disappear gradually, Mirsad continued to voice the concerns felt by the poor after the government raised gasoline prices. The comic panels created by Mirsad in the digital space are similar to the pamphlet poems written by W.S Rendra, one of the great poets in the history of Indonesian literature. In the panels, prophetic voices can be heard calling out loud to the rulers so that they can pay greater attention to the welfare of their people, not the interests of their desire.
The pandemic that once tormented us may still leave nightmares. We may still remember the pandemic as a death that is present at our doorstep. The wounds it causes are hard to forget because the pandemic has pushed us into the abyss of hopelessness. However, little by little, we try to interpret all the suffering and loss as a way to value friendship, brotherhood, the universe, health, what we have, and life itself. The post-pandemic conditions we are currently treading remind us to be grateful in all adversity.
However, we cannot deny that understanding all events in the aftermath framework is not easy for most people who have bad memories of the pandemic. What is the role of comic and sequential art in such a situation? Can comic and sequential art offer perspectives and other avenues that can help them through these difficult times? Can comic art and sequential art exist as a medium that allows human life to become more human?
I don't know how I can answer these three questions. Perhaps these three questions can be an exciting theme for discussion at the conference this afternoon. For now, I can only confirm that comic and sequential art has shown an excellent habitus for documenting the struggle of human life against death, suffering, loss, depression, emptiness, and heartbreak. Let me close this article with a message by Si Buta from Goa Hantu to his beloved Sabai in the classical comic Banjir Darah di Pantai Sanur (Bloodbath over Sanur Beach) by Ganes Th, one of the masters of Indonesian comics. He spoke this message after his five comrades died, sacrificing their lives for the sake of humankind.
"Accept all circumstances willingly, Sabai, because God has determined everything. Wipe your tears because I don't want tears flowing, flooding human life. We've all suffered enough, Sabai. Love yourself, your brothers, and your friends. God will surely love you too. Goodbye Sabai. If God permits, we will surely meet again."
Thank you very much for your attention.
“It is to the interest of the artist that others should believe in sudden suggestions, so-called inspiration…All great men were great workers, indefatigable not only in invention, but also in rejection, sorting out, revising, and arranging.”
(Friedrich Nietzsche)
Paulus Heru Wibowo
Jean Paul Sartre sebagai Model
Dalam buku yang berjudul The Arts and Human Development (1994), Howard Gardner pernah mengambil Jean Paul Sartre, seorang sastrawan terkenal dari Perancis, sebagai contoh bagaimana kemampuan seniman dapat diperoleh melalui sejumlah tahap.[1] Dijelaskan bahwa masa kecil Sartre banyak dipengaruhi oleh kakeknya, Albert Schweitzer. Sang kakek telah memperkenalkan Sartre kecil kepada dunia buku dan dunia panggung. Sartre dibesarkan dalam sebuah rumah tangga yang tidak pernah sepi pengunjung. Dalam usia yang masih sangat muda, ia telah menghibur para pengunjung itu.
Kecintaan Sartre pada buku dimulai ketika ia belajar membaca buku-buku yang dimiliki Albert Schweitzer secara mandiri. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, buku pun menjadi agamanya. Imajinasi Sartre mulai bertumbuh ketika ia mulai menulis. Dari waktu ke waktu, membaca dan menulis menjadi kegiatan yang tidak pernah ia tinggalkan. Namun, setelah ia masuk sekolah, diketahui bahwa ia mengalami kesulitan untuk mengeja kata-kata. Kendati begitu, Sartre semakin banyak mengembangkan imajinasinya. Otaknya menjadi semacam arena dari segenap aktifitasnya. Ia menulis apa yang dibacanya. Dalam karya-karyanya di masa kecil itu, Sartre selalu menjadi pahlawan yang memiliki misi untuk menyelamatkan putri dan mengalahkan musuh-musuhnya.
Sejak tinggal bersama sang kakek, Sartre telah diperkaya dengan lingkungan kosmopolitan. Di rumah itu, gagasan-gagasan, kata-kata, dan pemikiran begitu dihargai. Musik dan seni menjadi sangat penting. Meskipun demikian, Albert Schweitzer tidak pernah menginginkan cucunya menjadi seorang penulis, melainkan seorang intelektual. Karena itu, Sartre diberikan berbagai kesempatan untuk bersentuhan dengan dunia intelektual.
Setelah Sartre bersekolah, kebiasaan untuk mencontoh atau melakukan imitasi terhadap buku-buku cerita yang telah dibacanya membuatnya mulai terbiasa dengan dunia tulis-menulis. Dalam perkembangan selanjutnya, ceritanya semakin original. Ia tidak lagi mengandalkan apa yang dibacanya, tetapi menggunakan imajinasinya. Selain itu, Sartre tampaknya mulai mengalami proses identifikasi diri. Ia melihat dunia tulis-menulis sebagai sebuah kewajiban penting bagi kemanusiaan. Ia percaya bahwa kelak salah satu buku yang ditulisnya akan menjadi buku yang terbaik sepanjang masa sebagaimana telah dihasilkan oleh tokoh-tokoh yang dibacanya seperti Rousseau dan Montaigne.
Latar Belakang Seniman
Gardner memaknai bahwa apa yang terjadi pada Sartre ternyata sesuai dengan teori psikoanalisis yang diajukan Rank mengenai potret seniman. Menurut Rank, seniman modern biasanya memiliki gabungan kepribadian yang unik, yang terbangun dari kesadaran diri yang menguat dan misi atau tanggungjawab yang berkaitan dengan dunia. Pertama-tama, sang seniman bertumbuh sebagai seorang individu, yang memiliki kepribadian yang kuat dan percaya diri, yang selalu menyampaikan pengalamannya kepada orang lain. Dalam kasus Sartre, ia menyatakan dirinya sebagai seorang penulis. Setelah mampu memantabkan dirinya, ia akan membangun kemampuan teknisnya.
Ciri-ciri latarbelakang yang dimiliki Sartre merupakan perwakilan dari seniman kebanyakan. Pertama, ia berada di antara dua kultur tradisi yang sangat kuat, Gallic dan Teutonic, tetapi dibekukan oleh beberapa kelompok istimewa seperti kaum borjuis, para profesional, perwakilan dari dunia seni, dan kedua orang tuanya yang bernasib malang. Marginalitas Sartre inilah yang merupakan ciri-ciri yang dialami sejumlah seniman. Charles Dickens, misalnya, ketika masa kecil, mengalami kemiskinan setelah sang ayah ditahan di penjara karena hutang. Jenis marginalitas lain yang juga melengkapi latarbelakang karir keseniman adalah dianggapnya seorang seniman sebagai anggota dari kelas sosial paling bawah karena dibesarkan dalam status inferior.
Kedua, latabelakang agama yang tidak wajar pun memiliki kontribusi terhadap keunikan yang dimiliki sejumlah seniman. Kombinasi antara pengaruh Protestan dan Katolik memiliki beberapa pengaruh yang cukup kuat bagi Sartre muda. Permasalahan agama demikian dapat pula ditemukan dalam beberapa latarbelakang seniman seperti Van Gogh, Stravinsky, Mary McCarthy atau Simone de Beauvoir.
Ketiga, masa kanak-kanak di rumah menjadi begitu penting dalam pembentukan pikiran dan imajinasi bagi seniman masa depan.Thomas Wolfe, misalnya, begitu terkesan kepada sejumlah orang yang seringkali tinggal di rumahnya seperti kaum pedagang, petualang, atau pelacur. Pengenalannya terhadap berbagai jenis orang ini sangat penting dalam pembentukan kemampuan literernya. Apa yang dialami Wolfe dialami pula oleh para penulis besar seperti Dickens, Balzac, Zola, Melville, Conrad, dan Twain.Selain masa kanak-kanak di rumah, perjalanan yang dilakukan di usia muda pun cukup berdampak kepada proses pengenalan yang berlipat-lipat terhadap lingkungannya.
Keempat, beberapa peristiwa menyedihkan di masa kanak-kanak tampaknya menjadi salah satu latarbelakang yang dialami para seniman. Beberapa seniman telah menjadi yatim piatu sejak kecil atau dibesarkan dalam keluarga tiri yang begitu kejam. Ketakutan akan kematian yang mendadak pun memaksa sejumlah seniman untuk bekerja keras seperti dilakukan oleh Percy Bysshe Shelley dan Stephen Crane yang meninggal di usia yang sangat muda. Selain itu, sederetan peristiwa traumatik dalam kehidupan para seniman memiliki efek yang sangat kuat pula.
Kelima, latar dapat pula memiliki efek yang cukup kuat.Stravinsky, misalnya, begitu terpengaruh pada nyanyian-nyanyian yang sering disenandungkan oleh para petani di masa kanak-kanaknya. Joyce, Shaw, dan beberapa penulis dari Irlandia tumbuh di rumah dimana bahasa digunakan secara liar dan puitis. Mereka telah tersihir oleh kekuatan kata sejak masa kanak-kanak. Picasso pun dibesarkan dalam lingkungan seniman.
Keenam, hilangnya hubungan antara seniman dan orangtuanya menjadi salah satu hal yang sering membingkai latarbelakang seniman. Kondisi demikian membuat seniman merasa tidak aman, membuatnya yakin bahwa apa yang dilakukannya semata-mata hanya untuk karir, dan menimbulkan sejumlah reaksi individu seperti kesepian, keterasingan, atau penyimpangan seksual. Meskipun begitu, tidak semua seniman memiliki pengalaman menyakitkan demikian. Beberapa seniman bahkan memiliki hubungan yang sangat produktif dengan orangtua mereka seperti Mozart, Picasso, dan Goethe. Gardner juga mencatat bahwa hubungan yang tidak baik dengan ayah seringkali dialami oleh para seniman. Para pengarang seperti Proust dan Kafka, misalnya, memiliki ayah yang begitu sibuk yang tidak pernah memiliki waktu untuk bermain-main dengan mereka.Sebaliknya, ibu adalah figur yang begitu memesona yang sanggup merawat mereka dengan cinta kasih. Dalam kasus Kafka, sang ayah terus mendominasi pikirannya sehingga ia pernah menulis sebuah surat dengan panjang 50 halaman hanya untuk mengetahui mengapa sang ayah menolak dirinya dan membuatnya merasa bersalah, serta menangisi fakta bahwa sang ayah adalah figur yang kuat dan sukses sementara sang anak adalah figur penakut dan rendah diri.
Akan tetapi, Gardner menyadari pula bahwa tidak ada seorang pun yang bebas dari takdir atau situasi yang tidak menyenangkan. Ketidakberuntungan hampir bukan merupakan penyebab kesuksesan, tetapi justru menjadi penyebab kesedihan dan kegagalan. Gardner lebih menekankan bahwa tampaknya beberapa situasi yang tidak wajar dalam masa-masa awal si seniman bisa memberikan pengaruh yang penting, terutama bagi para pengarang di masa depan.
Gardner melihat bahwa keseniman seseorang telah dimulai sejak kecil. Namun, untuk melihat seberapa jauh keseniman itu dapat dimunculkan, Gardner mempertimbangkan sejumlah kemungkinan pengembangan bagi sensitivitas anak. Kemungkinan pertama adalah anak-anak yang memiliki kemampuan seni dan disiplin lain lebih dari satu (multitude of talents) seperti dialami oleh Goethe, Leonardo da Vinci, Michaelangelo, dan Richard Wagner. Richard Wagner, misalnya, begitu berbakat dalam melukis dan puisi, sebaik dalam musik. Anak-anak yang memiliki bakat begitu banyak, menurut Gardner, harus memutuskan bidang mana yang akan dipilih sebagai fokusnya.
Prototype yang kedua adalah anak-anak yang memiliki bakat di satu bidang saja. John Keats dapat membaca dan menganalisis puisi secara efektif ketika berusia muda. Picasso dapat melukis dengan begitu baik sebelum ia bisa berbicara. Bagi anak-anak seperti ini, sebagaimana dinyatakan Gardner dengan menyitir pendapat Norman Podhoretz, kemampuan praktis seringkali lebih mendominasi daripada penguasaan beragam tema. Untuk itu, proses imitasi dan elaborasi atas karya orang lain mutlak diperlukan dalam jangka waktu tertentu agar kemampuan praktisnya dapat diseimbangkan dengan penguasaan tema yang lebih beragam.
Prototype yang ketiga adalah bahwa rasa sakit, pedih-perih, dan situasi yang tidak menguntungkan seringkali menjadi motivasi dan material bagi produk kreatif. Kendati anak-anak yang diperlakukan sebagai anak yang tertolak, diperlakukan dengan kasar, atau anak yang terbuang memiliki memori yang sangat menyakitkan, dalam periode tertentu, beberapa hal tadi dapat membingkai kesenimanan mereka kelak. Hal demikian dialami oleh Charlie Chaplin atau John Lennon, sebagai contohnya. Mereka berdua, boleh dikatakan, berada di jurang kehidupan depresi. Namun, mereka mampu mentransformasikan pengalaman traumatik tersebut dalam film dan lagu yang mereka buat.
Pelatihan Artistik di Masa Remaja
Gardner mengatakan bahwa ada sejumlah tahap pengembangan artistik yang dimiliki anak berdasarkan usianya. Pada usia 5 sampai 7 tahun, kecenderungan artistik secara universal dapat diketahui. Skema gambar yang sama, jenis cerita, dan pola-pola musikal akan muncul dalam berbagai budaya dan kelompok sosial. Dalam usia ini, mereka memiliki pendengaran yang tajam, kosakata yang kaya, kemampual verbal yang beragam, dan kemampuan motorik yang menguat. Mereka juga akan semakin sensitif terhadap pengalaman mereka sendiri. Pemikiran mereka pun akan dipenuhi dengan konsep, pencitraan, dan gagasan yang imajinatif.
Pada usia 7 sampai 11 tahun, produktivitas artistik berlanjut. Pada usia-usia ini, anak-anak kreatif mulai dicirikan oleh sensitifitas yang cukup besar terhadap stimulasi dan karya orang lain; kapasitas yang tidak wajar dalam kesadaran hubungan antarstimulus; kelancaran gagasan yang semakin menguat; berkembangnya rasa empati; kemampuan sensorimotorik yang semakin meningkat. Meskipun begitu, dalam usia 9 sampai 10 tahun, kreativitas di antara mereka yang berbakat dan tidak berbakat pun mulai terlihat. Gardner menyatakan bahwa periode 7 sampai 11 tahun dapat disebut sebagai periode laten yang sangat penting bagi pengembangan seniman muda.
Tahap ketiga terjadi pada tahun-tahun sebelum masa remaja. Periode ini juga merupakan periode yang sensitif bagi pengembangan artistik. Dukungan dari orang tua dan lingkungan menjadi sangat penting dalam periode ini sehingga anak-anak mampu berpartisipasi dalam dunia seni. Pada periode ini pula, seorang anak mulai belajar dan menguasai bahasa kedua pula.
Tahap keempat ditandai oleh kecenderungan yang beragam. Kecenderungan ini akan mencirikan anak yang melanjutkan kemampuan artistiknya selama masa remaja. Ia akan memusatkan perhatiannya pada sebuah subyek, tema, bidang yang lebih sempit. Pada periode ini, ia juga akan mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu seniman dan akan mencontoh semua karya seniman itu. Boleh dikatakan, menurut Gardner, periode menjadi periode yang penuh dengan pencarian berdasarkan sejumlah pengalaman yang ia jalani.
Gardner melanjutkan tahap ini dengan dua buah pandangannya mengenai pentingnya masa remaja bagi para seniman muda. Pandangan pertama menyatakan bahwa di dalam dunia Barat, masa remaja dari para seniman seringkali penuh tantangan. Pada masa ini, tidak dapat dipungkiri, ditemui energi yang berlebih dan pengaturan kembali komponen-komponen psikologis dan psiologis. Kemampuan secara teknis pun menurun. Hal ini misalnya dialami oleh Stravinsky. Ia mengatakan bahwa masa remajanya adalah periode yang tidak menyenangkan. Ia begitu membenci sekolah dan tidak memiliki satu pun teman. Seniman lainnya mungkin bersikap introvert secara neurotik, dengan gejala kecemasan, rendah diri, tidak memiliki kemampuan sosial, dan terisolasi dari kelompok sebaya. Sebaliknya, dalam pandangan kedua, masa remaja mungkin menjadi periode yang paling menyenangkan bagi sang seniman. Dalam periode inilah ia dapat menikmati buah dari kerja kerasnya. Lebih jauh lagi, masa remaja menjadi semacam pertemuan gagasan antarseniman sehingga menghasilkan imajinasi-imajinasi yang lebih cemerlang di masa depan.
Pada masa remaja, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan formal akan sangat menyebalkan. Para seniman muda itu seringkali tidak menyukai sekolah. Stravinsky memandang sekolah sebagai institusi yang ofensif. Thomas Mann menganggap sekolah sebagai sebuah kesia-siaan. Meskipun begitu, latihan-latihan yang mereka lakukan di bidang yang mereka sukai jelas sangat membantu.
Pelatihan yang bersifat akademis dan didaktis memiliki efek yang menguntungkan dan membantu siswa untuk mengidentifikasi secara penuh tradisi sehingga dapat mengatur kecakapannya, dan dapat menemukan masalah menarik untuk diteliti. Disiplin tampaknya diperlukan pula untuk menguatkan metode dan ekspresi anak. Kemampuan untuk mengobservasi secara teliti merupakan kemampuan vital yang sangat diperlukan di masa kanak-kanak.
Dari beberapa tahap yang telah dijelaskan Gardner, dapat dilihat bahwa seorang seniman yang berbakat biasanya adalah pribadi yang berkembang selama periode laten. Ketika ia menjadi begitu kritis terhadap karyanya, ia akan menghargainya dan dapat melanjutkan untuk menghasilkan karya-karya artistik. Persepsi ini hanya dapat dimungkinkan jika anak telah bekerja dengan ketekunan yang dalam, menguasai kemampuan teknis dan mempelajari segala sesuatu dari masa lalu sehingga ia akan mencapai kompetensi yang asli di usia 11 atau 12 tahun. Motivasi yang kuat sebagai daya pendorong kompetensi tampaknya penting pula untuk diperhitungkan di sini.
Aspek Personal dan Stilistika dari Seniman Muda
Bagi Gardner, masa pertengahan kanak-kanak (the middle childhood years) sangat penting sebagai periode dimana kematangan dan kapasitas realitas untuk menghargai obyek estetika mulai terbentuk. Dalam periode ini kesadaran akan personalitas diri, bakat, dan cara berekspresi mulai bertumbuh. Sensitivitas terhadap karya orang lain mungkin belum berkembang, tetapi kesadaran diri sebagai seniman muda, sebagai seorang tokoh dengan gagasan hebat, sebagai seorang individu dengan bakat yang langka, akan muncul ke permukaan sampai akhir periode laten.
Pengalaman-pengalaman baru melalui sejumlah eksperimen pun sangat bermanfaat baginya untuk memperkaya imajinasinya. Eksperimen dengan gaya artistik yang berbeda adalah hal yang normatif dan melalui permainan, anak dapat menyadari perilaku individu, potensi dirinya, dan jenjang pemilihan. Kendati begitu, Gardner juga mengingatkan bahwa eksperimentasi yang ia lakukan biasanya ditentukan oleh pengalaman masa-masa pra remaja, level inisiatif dan kompetensi yang ia capai, dan ambisi pribadinya. Perilaku anak dalam masa-masa pra remaja ini hanya berfungsi sebagai petunjuk berguna bagi kepribadian dan karirnya kelak ketimbang aktifitas yang bergejolak di masa remaja. Perlu dipahami bahwa para remaja biasanya membutuhkan apresiasi dari sistem yang ada, apresiasi dari hubungan yang bersifat resiprokal di antara masyarakat, dan apresiasi dari sejumlah norma perilaku interpersonal.
Dari sini Gardner menyimpulkan bahwa seni berkaitan secara integral dengan perkembangan manusia karena seni yang dimiliki setiap individu berlanjut pada pendalaman dan pengayaan. Hal demikian merefleksikan proses pendalaman pararel dalam keberadaan psikologis seseorang sebagaimana sejumlah krisis perkembangan yang harus ia lalui di masa dewasa, tengah umur, dan masa tua.
Segi-segi Universal dan Model
Gardner menyatakan bahwa ada sejumlah aspek universal dari seni yang cocok bagi setiap individu. Pernyataan yang bersifat kontroversial ini telah diperiksa oleh sejumlah ahli dalam berbagai ranah. Jung pernah berbicara tentang arketipe yang tertanam dalam kesadaran kolektif setiap manusia. Para psikolog aliran Gestalt juga mengatakan bahwa bentuk-bentuk tertentu dapat ditemukan di berbagai tempat tetapi mengacu kepada korespondensi natural antara elemen pengaturan dan kekuatan-kekuatan di dunia serta operasi sistem kesadaran manusia.
Para psikolog Gestalt ini mengakui bahwa mereka memiliki persamaan pendapat dengan penelitian antropologis yang dilakukan Levi-Strauss yang menyatakan bahwa persoalan seperti hidup, mati, dan hubungan antara alam dan budaya membentuk dasar bagi pemikiran mitis dan pemikiran mentah dalam setiap budaya manusia. Levi-Strauss menambahkan bahwa cara bagaimana tema dan faktor tersebut diperlakukan merefleksikan struktur otak manusia. Ia mencatat bahwa mitos dalam budaya yang lebih luas jangkauannya menyatakan dualitas yang serupa seperti isi-kosong; gelap-terang; mentah-matang; tebal-tipis; gaduh-sunyi. Setiap individu hanya memiliki kesempatan kecil sebagai bentuk dan subyek pembicaraan dalam mitos itu.
Sejumlah elemen yang terdapat dalam mitos, puisi, imaji, dan seni visual merefleksikan kualitas modal vectoral yang disadari setiap laki-laki, perempuan, dan anak-anak di manapun. Apa yang dinyatakan sebagai kualitas halus menjadi perangkat yang muncul sebagai sebuah konsekuensi alamiah dari perkembangan manusia. Perangkat modal vectoral ini tidak dapat diabaikan dalam pemaknaan dan dampak karya artistik. Kualitas-kualitas tersebut menjadi begitu penting karena menyatakan fenomena pengalaman setiap manusia yang disampaikan kepada orang lain. Selain itu, kualitas-kualitas tersebut juga merepresentasikan cara mengetahui kecenderungan umum di dalam sejarah perkembangan yang dapat tersedia bagi setiap orang. Akhirnya, ada semacam persetujuan di antara para ahli budaya yang berbeda-beda berkaitan dengan kualitas estetika obyek-obyek yang berlainan. Fakta ini menggarisbawahi bahwa kapasitas persepsi yang umum akan mencirikan setiap pribadi karena pengembangan analogi dan proses pendalaman telah dilakukan.
Inspirasi dan Disiplin dalam Proses Kreatif
Berkaitan dengan aktivitas artistik, Gardner menyatakan bahwa ada dua aspek yang tampaknya mendominasi; asal inspirasi dan peranan kedisplinan. Bagi beberapa seniman, aktivitas artistik ini seringkali berhubungan dengan usaha yang begitu mudah ketika gagasan yang muncul dari ketaksadaran dan yang terorganisasi secara misterius mengalir begitu saja. Seolah-olah ada semacam proses yang otonom di dalam aktivitas artistik itu. Namun, bagi sejumlah seniman, aktivitas artistik merupakan buah dari kerja keras. Mozart termasuk seniman yang terus-menerus mendedikasikan dirinya pada kerja keras. Ia selalu menulis sejumlah draft untuk karya opera dan choral. Konsentrasinya semata-mata tertuju kepada musik. Picasso, kendati tampak bermain-main dalam melukis, menghasilkan lebih dari 200 lukisan yang terpisah ketika ia mempersiapkan Les Dejeuners dan sejumlah skets bagi Guernica.Bahkan ketika ia telah menyelesaikan lukisan-lukisan itu, Picasso tidak menganggapnya sebagai titik stasis, melainkan sebagai bagian dari eksperimen yang terus berlanjut.
Pribadi-pribadi dengan telinga yang superlatif, seperti Mozart, Coleridge, atau James Joyce memiliki atau mendengarkan sejumlah suara, gagasan, dan skema yang luar biasa di dalam otak mereka. Ketika mereka mengerjakan karya itu, beberapa gagasan itu muncul dalam kombinasi dan juktaposisi yang beragam. Kendati demikian, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa praktik dan latihan yang terus-menerus membuat penciptaan terasa sebagai sebuah pekerjaan spontan.
Pemecahan Masalah dalam Sebuah Medium
Gardner memberikan sebuah gagasan bahwa kreasi artistik dapat dinyatakan sebagai sebuah praktik pemecahan masalah di dalam sebuah medium. Namun, sebelum melangkah lebih jauh tentang hal ini, Gardner mendefinisikan masalah sebagai sebuah tugas yang tidak dapat diselesaikan baik dalam fase konseptualisasi maupun dalam pelaksanaannya. Konseptualiasi atas faktor-faktor yang relevan meliputi penentuan elemen-elemen masalah, penentuan hasil yang diinginkan, dan pelaksanaan restrukturisasi dan reintegrasi demi terciptanya solusi. Eksekusi dalam sebuah medium merupakan fase pemecahan masalah dimana si pemecah masalah memperbaiki gagasan apa saja yang ingin ia komunikasikan, memperbaiki gagasan manapun yang ingin ia wujudkan. Konseptualisasi menekankan proses berpikir yang terjadi secara internal, sedangkan eksekusi merupakan perbuatan untuk melakukan sesuatu yang terjadi secara eksternal. Karena itu, masalah merupakan kesulitan yang harus diselesaikan baik melalui proses berpikir maupun perbuatan.
Meskipun begitu, Gardner menengarai bahwa istilah pemecahan masalah ini seringkali tidak berkaitan dengan dunia seni. Istilah ini terlalu lekat dengan dunia ilmu pengetahuan atau bisnis. Seolah-olah ada semacam pembedaan prosedur logis antara seniman dengan para ilmuwan. Akan tetapi, Gardner meyakinkan bahwa membicarakan pemecahan masalah dalam dunia seni sangatlah diterima, bukan hanya karena dunia seni meliputi berbagai hal dan banyak pendidikan estetika meliputi latar dan penyelesaian masalah, tetapi juga karena pandangan seni adalah sebuah proses permasalahan yang ditujukan untuk menghindari sejumlah kesulitan. Karena itu, tampaknya memandang seni sekadar sebagai sebuah produk dari proses ketidaksadaran justru akan menghilangkan seni dari dunia investigasi saintifik.
Pemecahan masalah itu dapat berbentuk bermacam-macam. Biasanya seniman akan menentukan masalahnya, menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, dan menambahkan formula atau manuver baru dalam produk artistiknya. Masalah terselesaikan ketika ia telah menyelesaikan karyanya. Karena solusi harus selalu ada di dalam medium tertentu dan tidak dapat diganti oleh operasi logis menjadi bentuk-bentuk yang ekuivalen, setiap individu tidak selalu dapat menyetujui tujuan seniman dan kesuksesan mewujudkan karyanya. Meskipun begitu, perlu dipahami pula bahwa karya artistik sesungguhnya hanya merupakan bentuk dari eksekusi dan bukanlah sebuah konseptualisasi belaka. Maka seniman pun biasanya tidak dapat membagikan masalahnya dengan orang lain dan berharap kepada orang itu untuk memproduksi solusi yang serupa.
Gardner menekankan bahwa pemecahan masalah dalam seni sangat berkaitan erat dengan eksekusi tertentu dan hanya faktor-faktor yang berasosiasi dengan realisasi yang dinyatakan dalam medium itulah yang pantas disebut relevan sebagai proses pemecahan masalah. Hal demikian dimungkinkan karena seni berurusan dengan obyek-obyek simbolik dari berbagai pengalaman subyektif, pandangan dunia. Gardner menyitir apa yang dikatakan oleh David Ecker bahwa pemecahan masalah dalam seni merupakan pemecahan masalah secara kualitatif atau “berpikir di dalam kualitas tertentu yang dimiliki medium artistik.”
Penciptaan dari Sudut Pandang Seniman
Dari sudut pandang seniman, apa yang ia lakukan tampaknya sangat berbeda jauh dengan gagasan-gagasan standard dalam pemecahan masalah secara saintifik. Proses artistik seringkali dipandang oleh para pelakunya bersifat pribadi dan bahkan sangat religius. Ribot, sebagaimana dikutip Gardner, menyatakan bahwa seniman cenderung berpikir bahwa di dalam karya-karya mereka, mereka sedang mengekspresikan sebuah tatatan tertinggi, yang merefleksikan kenyataan alam. Karena itu, beberapa seniman membiarkan pikiran mereka mengembara secara bebas ketika mereka sedang berkarya. Namun, ada pula beberapa seniman yang membutuhkan sejumlah stimulus khusus. Wagner membutuhkan parfum dan sentuhan feminim untuk merangsang otaknya dalam menciptakan musik yang bagus. Rosseti membutuhkan klorida, De Quicey membutuhkan opium, Baudelaire hashish dan Churcill alkohol dalam mencipta, sementara Chopin berjalan-jalan, menangis, dan menjatuhkan pena berulang kali. Bagaimanapun juga, menurut Gardner, rangsangan-rangsangan ini merupakan bagian dari prakondisi untuk menulis daripada sumber gagasan. Ketika seniman telah memulai, dengan cara apapun, ia harus bergantung pada kemahirannya yang harus ia kembangkan terus-menerus.
Kendati inspirasi dan disiplin membingkai aktivitas kreatif, rasio kedua aspek itu berbeda-beda. Orang tidak dapat mencemooh perbedaan antara Velasquez yang selalu merevisi apa yang sedang ia kerjakan dengan Goya yang berani mencapai kesimpulan dalam satu karya tanpa perlu eksplorasi lebih lanjut. Atau antara Mozart yang memahami komposisinya dengan baik sehingga ia seolah-olah menulis komposisinya sebagai sebuah surat dalam sekejap dengan Beethoven yang membutuhkan waktu bertahun-tahun dalam menyusun komposisinya.
Studi Kreativitas
Gardner menyatakan bahwa para psikolog berusaha untuk menjelaskan persoalan imajinatif dan kreatif, baik melalui pengolahan intuisi klinis maupun perencanaan paradigma eksperimental. Salah satu formulasi yang sanggup menjelaskan persoalan imajinatif dan kreatif itu berasal dari Graham Wallas yang berbicara tentang 4 tahap proses kreatif. Tahap-tahap itu dapat dinyatakan sebagai berikut.
Tahap pertama disebut sebagai persiapan yang memungkinkan gagasan sebuah karya dapat diketahui. Tahap kedua adalah inkubasi atau proses pengendapan dimana ketaksadaran bermain dan memilah gagasan menjadi lebih khusus. Tahap ketiga adalah iluminasi yang memungkinkan sang pencipta menyadari atau mendapatkan gambaran yang utuh dari apa yang hendak ia ciptakan.Tahap keempat disebut sebagai verifikasi yang menjadi ajang final dimana keakuratan gagasan semakin diyakinkan. Menurut Gardner, formulasi Wallas ini dapat diterapkan di dalam seni.
Sejauh ini, Wallas bukanlah satu-satunya ahli yang mencoba untuk menjelaskan proses kreatif itu. Ada beberapa pandangan lain seperti dikemukakan oleh Patrick yang memeriksa pemikiran kreatif melalui puisi dan non puisi, Bartlett yang mencirikan kreativitas bahasa, atau D. Cooke yang mencoba menjelaskan proses komposisi musikal. Keberagaman pandangan itu menyarankan bahwa melakukan generalisasi tentang kreativitas dalam dunia seni sebagai sebuah kesatuan adalah pekerjaan yang terlalu luas. Menurut Gardner, adalah lebih masuk akal untuk mempelajari bagaimana beberapa karya artistik itu dapat diciptakan. Hal demikian sama sekali tidak diragukan untuk dapat dilaksanakan. Setidak-tidaknya cara ini telah dilakukan oleh Lowes terhadap imajinasi Coleridge, Arnheim terhadap sket-sket untuk Guernica milik Picasso, atau catatan Gide atas karya-karya Dostoevsky. Menurut penelitian yang telah dilakukan Gardner dapat disimpulkan bahwa proses berkarya di antara para seniman itu akan berbeda-beda dan bahkan dari satu karya dengan karya yang lain yang dihasilkan oleh seorang seniman yang sama pun akan berbeda.
Pengembangan Kemampuan Artistik
Pengembangan kemampuan artistik meliputi pendidikan dalam pembuatannya, pemahamannya, dan sistem merasakannya. Dengan pendidikan ini, seseorang dapat berpartisipasi dalam proses artistik, memanipulasi, membandingkan, dan berhubungan dengan media simbolik dengan cara-cara yang khusus.
Sumber-sumber dari kreativitas yang besar pun cukup beragam. Beberapa seniman mungkin dapat melakukan imitasi terhadap teman sebayanya dengan mudah, meninggalkan model-model lama, atau menenggelamkan dirinya secara total dalam sebuah tradisi. Untuk itu, Bahle mengajukan tiga tahap sekuens yang biasanya dilalui oleh para komposer; periode untuk melakukan imitasi gaya orang lain; fase yang setara, ditandai oleh banyaknya eksperimentasi, penolakan tradisi; dan periode final, ketika gaya komposer itu menjadi konstan, tanpa harus menjadi rigid, dan komposer itu tetap dapat bebas untuk melakukan improvisasi.
Kendati begitu, proses imitasi, menurut Gardner, adalah sebuah paradoks. Imitasi dianggap sangat penting dalam pengembangan estetika, tetapi imitasi menjadi unsur potensial yang membatasi kreatifitas anak. Untuk menyelesaikan paradoks ini, yang diperlukan adalah pengembangan perspektif. Pertama-tama anak dapat diminta untuk mengeksplorasi medium sebebas dan selengkap mungkin; kemudian, melalui bimbingan yang tekun dan pengajuan permasalahan, ia akan memiliki kesempatan untuk membangun kemampuan tertentu untuk memperoleh kualitas dan menciptakan sejumlah efek yang ia inginkan; pada akhirnya, setelah ia memiliki kemampuan dan tujuan, ia dapat diperkenalkan kepada karya-karya besar dari medium yang ia pilih dan diberikan semangat untuk mempelajari dan melakukan imitasi terhadap karya-karya besar itu sehingga ia dapat melihat bagaimana efek-efek yang telah dicapai orang lain yang berkarya di bidang yang sama. Puncak dari eksplorasi terhadap model hanya dapat dilakukan setelah anak telah memiliki kesempatan yang cukup untuk mengeksplorasi medium.
Metode Pelatihan
Setiap bentuk seni membutuhkan kemampuan teknis tertentu. Seorang komposer tidak hanya membutuhkan kemampuan motorik tertentu, tetapi membutuhkan telinga yang tajam untuk suara dan semua bentuk ritme sebaik ia memliki pengetahuan tentang harmoni, orkestrasi, sintaksis, dan dialek, serta kemampuan untuk memanipulasi tonal dan sekuens ritmik secara lancar. Pelatihan bagi seniman meliputi sejumlah konsiderasi. Yang paling esential dari pelatihan ini adalah bagaimana dapat membangun kemampuan motorik, memberikan kontrol tubuh sehingga seniman tidak ragu-ragu, dan memberikan latihan-latihan yang sesuai untuk mengembangkan pencapaian dan fleksibilitas.
Metode pelatihan yang efektif dalam dunia seni jarang sekali dipublikasikan. Gardner memberikan beberapa nama seperti Herbert Kohl, George Dennison, dan Kenneth Koch, Mereka adalah para guru yang telah berhasil menolong sejumlah kaum muda di sekolah-sekolah pinggiran untuk mengekspresikan dirinya secara langsung, secara imajinatif, dan seringkali secara liris. Koch, misalnya, memperkenalkan sebuah pendekatan yang inovatif tentang penulisan kreatif yang dapat dipelajari secara mudah dan menyenangkan bagi para siswa. Hal ini dilakukan melalui motivasi, contoh-contoh, dan cara-cara inspiratif.
Gardner juga mengamati bahwa para seniman pemula dapat mengambil keuntungan dari kritik dan saran-saran yang diberikan oleh guru maupun praktisi. Di samping itu, tampaknya mutlak diperlukan pendidikan untuk mengolah rasa. Pengalaman afektif yang kuat dapat mempertajam kemampuan pribadi untuk mengolah obyek seninya secara imajinatif. Rasa dapat membantu untuk menstrukturkan persepsi seniman muda. Karena itu, kemampuan saja tidaklah cukup. Hilangnya rasa yang kuat dan pengalaman sugestif akan menghambat semangat kreatifitas.
Simpulan
Dalam bagian kesimpulan ini, ada beberapa hal yang ditegaskan kembali oleh Gardner. Pertama, Gardner menyatakan bahwa review mengenai pendidikan seni tidak bermaksud untuk menyediakan metode yang dapat mencetak para genius, tetapi lebih merupakan sejumlah garis-garis besar yang dapat diperhatikan. Karena itu, siapapun yang berkaitan dengan pendidikan seni harus akrab dengan berbagai pengembangan sistem psikologis. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengalaman yang paling menentukan bagi para pelaku proses artistik tampaknya menjadi pengalaman yang sangat intensif dengan medium simbolik-prosedur ini menampilkan pertumbuhan alamiah, pengembangan, dan integrasi pemahaman, perasaan, dan pembangunan sistem. Kesimpulan ini mengikuti pandangan bahwa seni merupakan jalan perkembangan alamiah menuju manusia yang dewasa.
Kedua, Gardner menyimpulkan bahwa seni dapat dilihat sebagai sebuah proses pemecahan masalah dimana unsur eksekusi ditekankan; pengembangan artistik meliputi penguasaan medium simbolik; dan pendidikan estetika meliputi petunjuk tiga sistem pengembangan. Ketiga, Gardner menyatakan bahwa dalam proses estetik ada pembedaan antara pelaku anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak memiliki sejumlah fase yang cukup rumit yang melibatkan begitu banyak aspek, sedangkan orang dewasa seringkali berurusan dengan sensitivitas sebagaimana terlihat dalam berbagai penelitian psikologis dan test apresiasi seni. Anak-anak, menurut Gardner, lebih memiliki sistem pemahaman yang lebih segar dibandingkan orang dewasa.
*********
[1] Vide. Howard Gardner, The Arts and Human Development, 1994, hlm. 242-298
Paulus Heru Wibowo Kurniawan
“Selama ini kami selalu berada dalam posisi sulit. Saat komik booming kami dituduh menyebarkan dekadensi. Ketika komik jatuh kami dianggap kurang kreatif dan inovatif. Selama ini kami merasa tidak berarti. Dengan penghargaan ini kami merasa punya arti.”
(Jan Mintaraga, Ketika Menerima Penghargaan dari Masyarakat Komik Indonesia, 1998)
A.Nasionalisme Antara Sentimentalitas dan Bahasa Cetak
Dalam beberapa tahun terakhir, pembicaraan tentang nasionalisme mulai mengemuka baik dalam perhelatan politik, mimbar akademis, maupun ruang publik. Ada semacam kebutuhan untuk menggali kembali nilai-nilai yang ditawarkan nasionalisme di tengah ancaman terorisme, radikalisme, dan globalisasi teknologi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Penggalian kembali ini didasarkan keyakinan bahwa nasionalisme dapat berfungsi sebagai perekat kesatuan dalam kehidupan bangsa yang terdiri dari beragam suku, agama, dan golongan. Setidaknya fakta historis pernah menunjukkan bahwa dalam Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tahun 1928 perbedaan dan keragaman yang dimiliki rakyat Indonesia bukan menjadi penghalang terbentuknya kesadaran untuk mengikatkan diri dalam satu bahasa, bangsa, dan tanah air yang sama sekaligus untuk menolak dengan tegas segala bentuk kolonialisme. Beberapa gagasan yang termaktub dalam Sumpah Pemuda itu seolah-olah menegaskan pemikiran Ernest Renan, pemikir Perancis abad ke-19, mengenai bangsa. Ia menyatakan bahwa sebuah bangsa akan terbentuk jika setiap individu memiliki banyak hal yang menjadi kepunyaan bersama sekaligus melupakan banyak hal lain yang menjadi kepunyaan bersama.[2] Soekarno mengutip pernyataan Renan itu dalam artikel “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme,” yang ditulisnya pada tahun 1926 untuk menyatakan bangsa sebagai
“…suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan ‘bangsa’ itu…Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu.”[3]
Seturut fakta historis, Sumpah Pemuda menjadi pondasi dasar yang menjadikan nasionalisme sebagai roh penggerak kehidupan bernegara dan berbangsa. Dalam hal ini nasionalisme berperan sebagai sarana yang mampu mengubah paradigma kekhawatiran akan perbedaan menjadi paradigma kerinduan akan kesatuan. Hal demikian dapat terjadi karena di dalam nasionalisme tidak hanya ditemukan kesadaran dan kehendak kolektif untuk memiliki identitas bersama. Akan tetapi, di dalam nasionalisme ditemukan pula gambaran negara sebagai keluarga tempat kesetaraan dan persaudaraan terbina secara intensif.[4] Dengan gambaran ini, nasionalisme mengandaikan sebuah kesatuan harmonis yang terjalin di antara anak bangsa kendati perbedaan dan keragaman adalah fakta yang tidak terbantahkan. Bahkan, dalam arti yang lebih luas Soekarno pernah menegaskan bahwa nasionalisme yang dimiliki bangsa Indonesia dapat disebut sebagai rumah kemanusiaan bersama tempat semua orang dapat berteduh. Nasionalisme itu menafikan adanya batas-batas geografis sehingga setiap orang pun dapat menjadi saudara bagi yang lain sebagaimana dinyatakan Soekarno dalam artikel yang berjudul “Sekali Lagi tentang Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi” berikut ini.
“Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit; ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari pada kesombongan bangsa…ia adalah nasionalisme yang lebar,- nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah ‘jingo-nationalism’ atau chauvinisme. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.”[5]
Karena ikatan yang begitu harmonis dalam perbedaan dan keragaman itu menjadi salah satu unsur penting dalam pemahaman tentang nasionalisme, tidak dapat dimungkiri bahwa nasionalisme kerap dipahami secara sentimental.[6] Hal demikian secara tidak langsung menyebabkan pembacaan terhadap nasionalisme begitu dangkal, cenderung tidak rasional, dan bersifat ahistoris. Padahal gagasan awal mengenai nasionalisme itu dilahirkan dalam proses historis yang begitu kompleks pada abad ke-16 di Eropa. Menurut Benedict Anderson, kemunculan nasionalisme sebenarnya merupakan dampak yang disebabkan oleh dua hal penting dalam sejarah Eropa, yaitu gerakan Reformasi yang dilakukan Martin Luther pada tahun 1517 dan berkembangnya kapitalisme cetak setelah mesin cetak ditemukan oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1455.[7] Reformasi menjadi titik penting karena Luther menantang universalisme dan membongkar suverenitas Paus dan Kaiser Jerman.[8] Setelah sanksi ekskomunikasi dijatuhkan oleh hierarki Gereja Katolik Roma, Martin Luther mulai menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman berdasarkan naskah Yunani. Penerjemahan yang dilakukan Luther itu pun membuka kemungkinan lahirnya berbagai aktifitas tafsir-menafsir yang begitu intens, tidak hanya pada bidang keagamaan, melainkan juga pada bidang lain, termasuk bidang politik. Hal ini dimungkinkan oleh jasa kapitalisme cetak yang menyebarkan berbagai pamplet yang berisi pemikiran politik dalam bahasa ibu atau daerah secara massal dalam waktu yang cukup singkat.[9]
Anderson mengingatkan bahwa bahasa-bahasa yang diproduksi oleh kapitalisme cetak itu sanggup membentangkan landasan bagi kesadaran nasional.[10] Salah satu barang cetakan yang sungguh berpengaruh dalam perikehidupan masyarakat adalah surat kabar. Melalui media massa itu sesama pembaca dari pelbagai penjuru wilayah saling terhubung dan membentuk dasar bangunan bayang-bayang citra masyarakat bangsa dan kebangsaan dalam sebuah komunitas terbayang (imagined communities) secara nasional. Hal demikian dijelaskan dengan sangat lugas oleh Anderson sebagai berikut.
Dengan bahasa-bahasa cetak, mereka jadi lebih memahami apa kata orang lain setelah dicomblangi tinta dan kertas. Dalam prosesnya sejengkal demi sejengkal mereka mulai menyadari keberadaan ratusan ribu bahkan jutaan orang lain dalam batas-batas kancah bahasa tertentu mereka dan pada saat yang sama mereka juga mulai sadar bahwa hanya ratusan ribu atau jutaan orang itu sajalah yang mengutarakan diri dalam bahasa yang mereka pakai.[11]
Berdasarkan beberapa penjelasan tentang nasionalisme, ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan sebagai duduk masalah dalam makalah ini. Bagaimana hubungan cerita gambar (cergam) dengan gagasan mengenai nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Peran apakah yang dapat diemban oleh cergam sebagai teks kebudayaan dalam konteks pemahaman gagasan mengenai nasionalisme?
B. Cergam sebagai Mode Komunikasi Politik
Dalam sejarah komik Amerika, cergam lahir sebagai anak kandung media massa cetak. Pada tahun 1896 cergam tampil pertama kali sebagai komik strip di harian New York World yang didirikan oleh maestro jurnalis, Joseph Pulitzer. Surat kabar itu menampilkan komik strip karya Richard F Outcault yang berjudul The Yellow Kid.[12] Komik strip ini berperan sebagai selingan, hiburan, dan kritik yang bersifat karikatural terhadap masyarakat Amerika pada masa itu. Sayangnya, peran demikian tidak berlangsung lama.
Pada perkembangan berikutnya cergam berbentuk komik strip ini justru kerap dipergunakan sebagai perangkat promosi dalam sistem kapitalisme yang lebih luas. Sebagai perangkat promosi, komik strip menjadi sarana persuasif untuk menarik perhatian para konsumen akan produk tertentu yang ditawarkan dalam rentang waktu yang terbatas.[13] Hal demikian membuat komik strip tampak begitu terpasung dengan berbagai kepentingan yang tidak berkaitan dengan eksistensinya sebagai penghibur masyarakat. Akan tetapi, berkat upaya para pengusaha seperti Maxwell Charles Gaines, Harry Wildenberg, dan George Janosik, cergam mendapat porsi yang terhormat sebagai karya cetak mandiri melalui terbitnya Famous Funnies sebagai the Nation’s Comic Monthly pada tahun 1933.[14] Bulanan itu pun menjadi pionir penting yang menggerakkan pertumbuhan beragam penerbitan cergam yang profesional di Amerika.
Sama seperti di Amerika, kelahiran cergam di Indonesia pun dimulai dari surat kabar berbahasa Belanda seperti De Java Bode dan De Orient serta surat kabar berbahasa Melayu seperti Sin Po.[15] Sejak tahun 1930-an Harian De Java Bode dan mingguan De Orient kerap memuat berbagai cergam petualangan yang berasal dari Eropa dan Amerika, sedangkan harian Sin Po memuat sejumlah cergam karya para cergamis Cina peranakan. Pada awalnya cergam-cergam yang dimuat di dalam harian atau mingguan itu hanya berfungsi sebagai sarana penghiburan bagi para pembaca surat kabar. Seiring waktu, beragam komik strip baik yang dihasilkan oleh para cergamis Indonesia maupun yang disulih dari komik-komik terbitan King Feature Syndicate, sindikat besar distributor komik Amerika, mulai marak dimuat dalam pelbagai surat kabar yang terbit di beberapa kota seperti mingguan Ratu Timur (Solo), harian Sinar Matahari (Yogyakarta), harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), dan harian Pikiran Rakyat (Bandung).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, segelintir cergamis Indonesia mencoba untuk menampilkan cergam-cergam yang berbicara tentang kisah kepahlawanan nasional. Salah satunya adalah Abdulsalam, yang kerap dianggap sebagai pelopor komik Indonesia. Pada awal tahun 1950-an, ia memasok sejumlah cergam kepahlawanan yang berjudul Kisah Pendudukan Jogja, Pangeran Diponegoro, dan Untung Surapati: Dari Budak Mendjadi Pahlawan ke harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta.[16] Dalam hal ini komik strip tidak hanya berfungsi sebagai sarana penghiburan, melainkan juga sarana edukasi tentang sejarah dan semangat patriotisme bagi para pembacanya. Sayangnya, penerbitan komik strip di berbagai surat kabar ternyata tidak berlangsung lama. Marcel Bonneff mengatakan bahwa tahun 1954 menjadi tahun kematian bagi komik strip dalam media massa di Indonesia.[17] Penyebabnya adalah bahwa cergam mulai menjadi salah satu komoditi dagang yang sangat diminati masyarakat sehingga para cergamis memilih berkonsentrasi untuk menghasilkan cerita-cerita lepas yang diterbitkan oleh sejumlah penerbit komik .
Tidak dapat dimungkiri bahwa selama booming produksi cergam itu, orientasi pengisahan cerita lebih berkiblat pada komik-komik Amerika yang menawarkan nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian fisik. Kendati nilai-nilai tersebut digemari para pembaca cergam, para pendidik justru bersikap sebaliknya. Mereka mulai melancarkan penolakan terhadap cergam-cergam dari Barat sekaligus produk imitasinya.[18] Mereka memandang bahwa dari segi bentuknya cergam-cergam itu dianggap tidak mendidik dan dari segi gagasannya cergam-cergam tersebut menawarkan pemikiran subversif yang berseberangan dengan orientasi revolusi yang dicanangkan pemerintah Soekarno pada masa itu. Mereka tidak dapat lagi memperlakukan cergam sekadar sebagai sarana hiburan, melainkan sebagai mode komunikasi politik yang bersifat simbolis. Mode komunikasi itu berkaitan erat secara historis dengan perkembangan tipe kesadaran tertentu. Hal demikian beranjak dari fakta historis bahwa publik massa memiliki akses kepada tipe komunikasi politik modern jauh sebelum mereka memiliki akses kepada kekuasaan.[19] Dalam hal ini, cergam bisa menjadi sarana penciptaan kesadaran kolektif tanpa akses kepada birokrasi atau bentuk-bentuk pengawasan politik yang terinstitusionalisasi.[20] Dengan kata-kata lain, karena cergam bersifat informal, populer, dan komunikatif, posisi cergam sangatlah strategis untuk menanamkan berbagai pemikiran, pengaruh, dan nilai-nilai baik yang konstruktif maupun destruktif pada masyarakat.
Untuk mengatasi pengaruh Barat dalam cergam, beberapa penerbit seperti Melodi di Bandung dan Keng Po di Jakarta menawarkan penggalian kebudayaan nasional sebagai orientasi baru bagi penciptaan cergam Indonesia.[21] Bentuk nyata dari orientasi baru ini adalah diterbitkannya komik wayang antara tahun 1954 dan 1955. Bonneff mencatat bahwa penerbitan komik wayang itu bertujuan untuk menghapus prasangka buruk terhadap cergam.[22] Diharapkan agar komik wayang dapat dipergunakan sebagai alat bantu pendidikan di sekolah dasar sehingga siswa dapat mencintai dan menghargai warisan budaya. Dalam waktu singkat komik wayang pun diproduksi secara besar-besaran karena diminati banyak pembaca dari segala lapisan. Kendati telah menjadi bacaan populer, komik wayang tetap memiliki implikasi penting sebagaimana diperhatikan Bonneff sebagai berikut.
Dunia pewayangan begitu luas sehingga setiap orang dapat mengambil manfaat darinya sesuai dengan tingkat kemampuan dan minatnya. Implikasi filsafat dari suatu lakon dapat dirasakan oleh cendekiawan Jawa, para penganut kebatinan mulai meminati dunia mistik, atau kaum wanita meneladani Srikandi dan Sumbadra, para istri Arjuna. Demikian pula anak-anak, mereka selain menyukai adegan perang juga sangat menggemari dagelan punakawan, para pelayan pangeran dalam wayang.[23]
Tatkala beberapa penerbit cergam yang berada di pulau Jawa menghadirkan komik wayang, beberapa penerbit cergam di Medan memperkenalkan bentuk komik yang disadur dari berbagai legenda dan hikayat yang berasal dari pulau Sumatera dan Khazanah Kesusastraan Melayu Kuno. Komik-komik yang diproduksi penerbit Medan itu tidak hanya menawarkan keragaman cerita yang sangat menarik, tetapi juga menampilkan nilai estetis yang selama beberapa waktu kurang diperhatikan para cergamis. Salah satu cergamis yang berjasa dalam pengembangan nilai estetis cergam adalah Taguan Hardjo. Menurut Bonneff, Taguan sangat jeli untuk menggunakan berbagai sarana ekspresif dalam cergam seperti variasi angle, konteks, perkembangan cerita yang logis dan penyelesaian yang jelas.[24] Selama hidupnya Taguan telah menghasilkan cergam-cergam indah berlatar sejarah seperti Dolores yang menampilkan kisah pendudukan Spanyol di Kalimantan, Keulana yang berlatar perang Aceh-Portugis di Malaka, Morina yang menampilkan kisah berlatar perebutan benteng Portugis di Kerajaan Malaka, dan Intan Dirdja Lela yang menampilkan kisah berlatar Kerajaan Malaka.[25] Selain itu, cergamis yang lahir di Paramaribo, Suriname itu, ternyata pernah pula ditunjuk oleh rezim Soekarno untuk memalsukan surat kabar Malaysia, Berita Harian pada masa Konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1960-an. Kendati dijalankan Taguan dengan jiwa patriotik yang mendalam, tugas ini menjadi bagian dari strategi spionase negara sebagaimana dicatat oleh Anton Kurnia sebagai berikut.
Koran palsu itu direncanakan terbit dua kali. Oplahnya 5 ribu eksemplar. Jumlah halamannya 8, sedangkan yang asli 12. Bersama seorang temannya, Taguan menulis berita. Banyak foto dibajak langsung dari Berita Harian asli. Tanpa istirahat, selama 36 jam koran tersebut dipersiapkan dan dicetak. Pencetakannya dilakukan secara rahasia pada malam hari dengan penjagaan ketat. Begitu selesai mencetak, segala klise dan sisa koran dibakar. Namun, sebelum edisi kedua sempat terbit, peristiwa G30S meletus. Penerbitan koran palsu itu pun dihentikan.[26]
Pada masa rezim Soekarno, semua teks kebudayaan diarahkan sebagai mode komunikasi politik yang dapat mendukung dan menanamkan kesadaran akan ideologi ultranasionalisme yang dicanangkan Soekarno. Teks-teks kebudayaan itu harus bebas dari pengaruh Barat yang disinyalir menawarkan nilai-nilai neokolonialisme dan neoimperialisme. Penggalian terhadap sejarah bangsa dan narasi kepahlawanan lokal di dalam teks-teks kebudayaan, termasuk cergam, menjadi hal yang mutlak dilakukan. Karena itu, cergam-cergam yang diterbitkan pada masa itu adalah cergam-cergam yang menampilkan kisah para pahlawan yang menentang kaum penjajah, berperang pada masa Revolusi Fisik 1945, menegakkan Operasi Trikora di Irian Barat, atau menghadapi Konfrontasi dengan Malaysia.[27] Cergam-cergam tersebut menjadi mode komunikasi politik yang paling efektif untuk mempropagandakan visi dan misi ideologis rezim Soekarno.
C. Nasionalisme dan Represi Kebebasan Seni
Pada tahun 1968 Soeharto mulai menjalankan rezim Orde Baru setelah menumbangkan Soekarno dari kursi kepresidenan. Berbeda dengan strategi budaya yang pernah dijalankan rezim Soekarno, Orde Baru justru menggandeng pihak Amerika sebagai mitra pembangunan ekonomi, politik, dan sosial. Akibatnya, teks-teks kebudayaan Barat yang dilarang pada masa Soekarno kembali ditampilkan sebagai sumber inspirasi berkembangnya budaya populer pada masa rezim Soeharto. Teks-teks kebudayaan Barat itu tidak lagi diartikulasikan sebagai ancaman bagi semangat revolusi. Dalam konteks itu, dapatlah dipahami jika sejumlah surat kabar bertaraf nasional yang terbit pada masa Orde Baru seperti Indonesia Raya, Kompas, Berita Yudha, dan Sinar Harapan mengangkat kembali lakon-lakon komik strip dari Amerika seperti Tarzan, Flash Gordon, Tarzan, Mandrake, dan Pangeran Lothar, Phantom, Dunia Charlie Brown, Perdagangan Senjata dengan Suku Sioux, The Lone Ranger, Rip Kirby, atau Johny Hazard.[28] Bersamaan dengan itu, gagasan mengenai liberalisme yang ditawarkan Barat pun mulai merebak dalam teks-teks kebudayaan, terutama pada cergam, novel, dan film. Bonneff melaporkan bahwa erotisme dan kekerasan mulai merasuki cergam-cergam remaja.[29]Adegan panas mulai memenuhi panel-panel cergam, sedangkan kekerasan penuh darah menjadi sajian utama yang tidak dapat terlewatkan.
Sejak tahun 1966 dapat dikatakan bahwa jumlah cergam yang diterbitkan semakin banyak karena produksi cergam sebenarnya telah mengalami peningkatan secara tetap. Pada masa itu terdapat 2 genre cergam yang dominan, cerita silat dan roman remaja. Kedua genre ini menduduki angka penjualan tertinggi di pasar komik. Sementara itu, genre-genre lain seperi dagelan, fiksi ilmiah dengan cerita fantastik, dongeng dan legenda, koboi atau detektif memiliki pangsa pasar yang terbatas sehingga tidak berkembang begitu pesat. Dalam kondisi demikian, gagasan nasionalisme sebagai obyek dari mode komunikasi politik lebih dimungkinkan dalam cergam bergenre cerita silat daripada dalam cergam bergenre roman remaja.[30] Mengapa demikian? Setidak-tidaknya terdapat 3 alasan normatif yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, cergam bergenre cerita silat memiliki potensi untuk menampilkan dimensi historis dibandingkan cergam bergenre roman remaja. Kendati bersifat fiktif, cergam bergenre cerita silat masih meninggalkan jejak tradisi dan budaya tertentu. Selain menunjukkan pencak silat sebagai filosofi kehidupan yang dijalankan para tokoh protagonis, cergam bergenre cerita silat juga cenderung menampilkan kehidupan masyarakat agraris dan perdesaan sebagai latar sosial dalam cerita. Bahkan, jika diamati dengan lebih teliti, cergam bergenre cerita silat ini seringkali berkaitan erat dengan narasi-narasi yang terdapat dalam lakon wayang, legenda, atau hikayat di Nusantara.[31] Kedua, narasi yang ditampilkan cergam bergenre cerita silat kerap berkaitan dengan persoalan kemanusiaan yang pelik seperti keadilan, kebenaran, kemerdekaan, dan kedamaian. Di dalam cergam bergenre ini dapat ditemukan upaya protagonis untuk menciptakan situasi masyarakat yang harmonis, jauh dari angkara mungkara dan kesewenang-wenangan yang dijalankan pihak antagonis. Ketiga, berbeda dengan cergam bergenre roman remaja yang menampilkan latar waktu kontemporer, cergam bergenre cerita silat justru mengisahkan masa lalu sebagai latar waktu penceritaan. Mengisahkan masa lalu secara tidak langsung berarti membuka tafsir baru terhadap sejarah.
Kendati cergam bergenre cerita silat itu memiliki potensi sebagai ruang diskursus tentang nasionalisme sebagai kesadaran komunal yang dibangun dalam sejarah, dalam kenyataannya potensi tersebut sulit sekali untuk dikembangkan. Salah satu penyebabnya adalah kebijaksanaan yang dikeluarkan Rezim Soeharto agar setiap cergam harus diperiksa terlebih dahulu oleh aparat keamanan sebelum dicetak, diterbitkan, dan diedarkan kepada masyarakat. Rezim Soeharto menugaskan Seksi Bina Budaya Jakarta, KOMDAK VII untuk mengawasi produksi komik agar tidak menggemakan kembali ajaran-ajaran Marxisme dan Leninisme yang diadopsi oleh Partai Komunis Indonesia yang telah ditumpas habis pada tahun 1967-1969.[32] Cergam-cergam yang telah diberi stempel tanda izin pencetakan dan peredaran itu memang diizinkan terbit dan dibaca masyarakat. Namun, tanda izin pencetakan dan peredaran itu berakibat pada pembatasan kreatifitas para cergamis untuk berkarya. Tanda izin pencetakan dan peredaran itu juga menjadi semacam sinyal bahwa negara merupakan satu-satunya otoritas yang menguasai media komunikasi politik! Kendati pers dibiarkan tumbuh, informasi yang tersebar di hadapan publik diatur dan dibatasi oleh Departemen Penerangan. Pembicaraan yang menyoal ideologi dan politik praktis tidak memperoleh tempatnya. Selama Orde Baru gagasan mengenai nasionalisme bahkan tidak pernah menjadi diskursus publik yang dapat dibicarakan secara bebas dan terbuka.[33] Hal demikian terjadi karena Orde Baru memang berusaha untuk mengendalikan keterlibatan rakyat dalam politik.[34]
Tidak dapat dimungkiri bahwa nasionalisme terlanjur dipandang Orde Baru sebagai gagasan yang sakral, yang fixed, sehingga tidak boleh ditafsirkan atau dibicarakan sembarangan. Pasalnya, nasionalisme ditafsirkan oleh Orde Baru sebagai kesatuan sebagaimana termaktub dalam prinsip moto nasional Bhinneka Tunggal Ika.[35] Karena bersifat sakral dan tidak berubah-ubah, gagasan mengenai nasionalisme itu perlu ditampilkan sebagai kuil atau bangunan suci yang abadi tempat hati semua orang Indonesia berada.[36] Karena bersifat abadi, bangunan tersebut perlu dilestarikan, dirawat, dijaga, dan dibela oleh setiap orang Indonesia. Salah satu replika penting dari bangunan suci ini adalah Taman Mini Indonesia Indah yang dirancang dan diresmikan oleh Ibu Negara, Ibu Tien Soeharto, sebagai representasi kebudayaan nasional baik material maupun spiritual pada tanggal 20 April 1975. Replika ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran rakyat akan asal-usul dan tradisi-tradisi yang terbangun dalam kebudayaan nasional sebagai penggerak nasionalisme.
Pusat perhatian di Taman Mini Indonesia Indah adalah sebidang kolam seluas 8,4 hektar dengan pulau-pulau kecil yang menggambarkan kepulauan Nusantara. Taman ini akan berisi monumen-monumen kuno, bangunan-bangunan religius yang representatif, sebuah hotel dengan seribu kamar beserta pusat perbelanjaannya (“berstandar internasional”), fasilitas-fasilitas rekreasi, dan air terjun buatan, sebuah teater yang bisa berputar, dan sebuah arena pergelaran terbuka yang besar sekali. Akan dibangun dua puluh enam bangunan pameran pada tanah seluas masing-masing satu hektar, menggambarkan “gaya arsitektur adat asli” untuk setiap provinsi di Indonesia. Sebuah balai pertemuan pusat dengan desain arsitektur priayi Jawa Tengah akan dipakai untuk upacara-upacara tradisional. Dan semua ini dapat dinikmati di Taman Mini dari atas kereta kabel.[37]
Sebagai sesuatu yang bernilai sakral dan fixed, nasionalisme dalam perspektif rezim Soeharto itu, pada akhirnya, memang menutup kemungkinan berkembangnya kebebasan ekspresi dalam ranah seni. Hal yang paling diwaspadai dan dicegah oleh Orde Baru adalah apabila kebebasan ekspresi dalam seni itu menjadi sarana untuk melakukan kritik terhadap realitas sosial baik secara tersirat maupun tersurat. Bahkan pencemoohan terhadap pemerintah kolonial Belanda sekalipun, dapat ditafsirkan sebagai sindiran terhadap elite Indonesia pascakolonial.[38] Dalam hal itu rezim Soeharto memandang para seniman yang mempraktikkan kritik sosial sebagai kelompok beraliran kiri yang berbahaya. Para sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dan WS Rendra, pernah berurusan dengan pemerintah Orde Baru karena dianggap telah melakukan politik praktis. Semua novel yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dibredel dan dimasukkan ke dalam daftar buku-buku terlarang, sedangkan Rendra dilarang untuk melakukan pertunjukan panggung teater selama 7 tahun.[39]
Tidak dapat disangkal bahwa tindakan yang dilakukan Orde Baru itu memberikan efek yang menakutkan bagi para seniman lainnya. Mereka berusaha sekeras mungkin untuk menghindari kritik sosial dan topik politik dalam cerita-cerita fantasi dan roman. Situasi ini terjadi pula dalam dunia penciptaan cergam pada masa Orde Baru. Bonneff melaporkan bahwa pada masa itu para cergamis tidak pernah mau mengambil risiko terlibat dengan masalah segawat masalah politik.[40] Akibatnya, potensi dan kreatifitas dalam penerbitan cergam pun tidak bergerak secara maksimal sehingga dari waktu ke waktu mutunya menurun secara ideologis. Dalam sebuah wawancara dengan harian Kompas pada tahun 1973, Bonneff pernah menyatakan bahwa cerita-cerita di dalam komik Indonesia tidak mampu menunjukkan arah kepada pembacanya. Padahal, pada tahun 1966, beberapa komik telah menampilkan diri sebagai mode komunikasi politik yang baik seperti mengajak kaum muda untuk membuka daerah baru di pedalaman Kalimantan atau untuk menjadi guru di daerah terpencil sebagai bakti kepada negara.[41] Sebaliknya, terdapat semacam kecenderungan bahwa komik Indonesia lebih menyukai untuk menghadirkan persoalan di negeri antah berantah seperti yang kerap ditampilkan cergam-cergam silat pada masa Orde Baru sebagaimana dinyatakan Bonneff sebagai berikut.
Dalam komik tersebut selalu digambarkan wilayah-wilayah kecil, desa yang tak jelas di mana beradanya serta di kawasan mana. Sang tokoh selalu diliputi nafsu membalas dendam serta keinginan bertualang. Dari dusun yang satu ke dusun lainnya yang entah daerah mana tokoh tersebut mengembara. Tanpa pernah terlintas dalam pikirannya, dengan kemampuan kesaktian yang dimilikinya, mewujudkan sebuah karya besar mempersatukan rakyat, mengusir penjajah, atau semacamnya. Bahkan tokoh tersebut itu pun, tidak pernah nampak dilukiskan melakukan pengabdian kepada seseorang.[42]
D. Patriotisme dari Pinggiran
Meski rezim Soeharto mencoba untuk membatasi dan memasung kreatifitas para seniman, kehidupan seni masih dapat berlangsung. Meski dijalani dalam kondisi penuh kewaspadaan, beberapa cergamis berusaha menampilkan sejumlah gagasan dan inovasi secara otentik. Beberapa cergamis yang dikenal sangat inovatif itu adalah Ganes Thiar Santosa dan Djair Warniponakanda. Mereka adalah para cergamis yang memiliki keunggulan untuk meramu pesan-pesan kemanusiaan dalam sekuens naratif secara estetis. Dalam sejumlah cergam karya mereka, pesan-pesan kemanusiaan itu kerap bersinggungan dengan semangat patriotisme, komitmen akan kesanggupan untuk berkorban demi negara sebagaimana tercermin pada komik serial Si Buta dari Gua Hantu dan Jaka Sembung. Seno Gumira Ajidarma pernah menulis bahwa komik serial Si Buta dari Gua Hantu yang diciptakan Ganes pada tahun 1967 itu membawa pesan wawasan Nusantara dan semangat cinta tanah air.[43] Berbagai petualangan telah membawa tokoh Si Buta yang berasal dari Pulau Jawa itu ke sejumlah wilayah di Nusantara seperti Bali dalam Banjir Darah di Pantai Sanur, Nusa Tenggara Barat dalam Reo Manusia Srigala, Komodo, Sulawesi dalam Prahara di Donggala, Perjalanan ke Neraka, Kabut Tinombala, Badai Teluk Bone, dan Flores dalam Tragedi Larantuka. [44] Sementara itu, komik serial Jaka Sembung yang mulai hadir pada tahun 1968 itu dapat dihubungkan dengan semangat nasionalisme yang berpijak pada penghargaan atas pluralisme dan keberagaman sebagaimana dinyatakan Anton Kurnia sebagai berikut.
Lewat serial Jaka Sembung, Djair juga membangkitkan kesadaran akan pluralisme dan keberagaman melalui beragam latar belakang karakter-karakternya, termasuk para pendekar tunagrahita. Dalam serial pnajng itu terdapat tokoh protagonis Awom-jago panah asal Papua yang diangkat sebagai panglima “angkatan udara” Benteng Kandanghaur, Matusea si panglima “angkatan laut” yang berasal dari Halmahera dan Tuhumuri yang berdarah Maluku, Wori si pendekar bumerang yang berasal dari suku Aborigin di Australia, Asiong yang keturunan Cina, Thomas van den Smoeth yang berdarah Belanda tetap berjuang di pihak pribumi, Baureksa si kaki tunggal yang beretnis Sunda, serta sepasang pendekar asal Banten: Umang yang bertangan satu dan istrinya, Mira.[45]
Baik Si Buta maupun Jaka Sembung kerap menampilkan kisah perjuangan hidup manusia secara dramatis. Dalam setiap petualangannya Si Buta selalu berhadapan dengan lingkungan masyarakat yang memiliki kebudayaan berbeda-beda. Namun dalam situasi yang serba berbeda itu, Si Buta justru selalu menemukan banyak prinsip serupa yang berlaku dalam kehidupan manusia. Prinsip itu menjadi semacam nilai-nilai universal yang berlaku dalam kehidupan manusia seperti penghormatan, cinta kasih, persahabatan, pertobatan, atau pengampunan. Dalam konteks inilah nasionalisme ditempatkan sebagai bagian dari humanisme universal, humanisme yang melampaui batas-batas geografis, teritori, dan ideologis. Sementara itu, dalam komik serial Jaka Sembung, semangat nasionalisme ini terlihat lebih dominan dalam perjuangan Jaka Sembung bersama rakyat Kandanghaur untuk memerangi dan mengusir pihak kolonial yang telah terlanjur menindas dan menyengsarakan rakyat. Kehadiran sejumlah rekan seperjuangan Jaka Sembung yang berasal dari berbagai etnis di Nusantara membuat kisah ini menjadi begitu apik. Kendati berlatar masa kolonial di akhir abad ke-19, kehadiran para tokoh yang berbeda etnis itu seolah-olah sedang menggemakan prinsip moto nasional, Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa. Karena berpijak pada prinsip itu, perjuangan Jaka Sembung dan rakyat Kandanghaur tidak lagi dipandang sebagai perjuangan masyarakat Cirebon pada masa lalu secara eksklusif, tetapi telah menjadi milik masyarakat pembacanya sampai saat ini.
Perjuangan hidup yang dikisahkan secara dramatis itu terlihat pula pada cergam-cergam lain yang dihasilkan oleh Ganes TH dan Djair Warni. Dalam konteks perjuangan hidup yang bersinggungan dengan patriotisme, cergam karya Ganes TH yang berjudul Taufan dan cergam karya Djair Warni yang berjudul Lebak tepat untuk dibicarakan. Cergam Taufan yang terbit pada tahun 1973 bercerita tentang drama kehidupan yang dijalani seorang laki-laki bernama Suryadi untuk mencari kebebasan dan kedamaian sejati dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak zaman pendudukan Jepang di tahun 1940-an sampai ke zaman Orde Baru di tahun 1970-an. Setelah direkrut sebagai anggota Heiho dan PETA (Pembela Tanah Air), Suryadi dan beberapa kawannya terlibat dalam pemberontakan terhadap pasukan Jepang. Hal ini tidak hanya membuatnya terpisah dari ibu,istri, dan anak perempuannya tetapi juga membawanya ke dalam sejumlah petualangan yang heroik, ganas, dan menyakitkan. Sementara itu, cergam Lebak yang terbit pada tahun 1970 bercerita tentang keberanian seorang pemuda yang bernama Herman untuk menentang penjajahan Jepang di wilayah Cirebon pada tahun 1940-an. Kendati pernah dihina dan disiksa para tentara Jepang, Herman tidak takut untuk melumpuhkan 2 tentara Jepang yang hendak memperkosa Narmi, wanita yang dicintainya. Akibatnya, Herman meninggalkan kampungnya dan bergabung dengan para gerilyawan di lereng Gunung Cireme. Bersama mereka, Herman melatih dirinya untuk menjadi seorang patriot yang piawai dalam bela diri dan menggunakan senjata api.
Tidak dapat dimungkiri bahwa kedua cergam tersebut tampaknya berusaha untuk meramu unsur catatan sejarah formal dengan elemen fiksi yang bersifat imajinatif sehingga menjadi narasi yang menarik dan otentik. Meskipun begitu, berdasarkan pemahaman akan kebenaran sejarah yang dicanangkan rezim Soeharto, apa yang ditampilkan dalam kedua cergam tersebut tidak dapat diakui sebagai sumber sejarah bagi masyarakat. Kedua cergam itu hanya diletakkan di wilayah pinggiran dalam proses pemerolehan pengetahuan karena dianggap sebagai teks yang telah mencampuradukkan data rasional yang bersifat logis dengan elemen fiksi yang imajinatif dan banyak tafsir (polyinterpretable). Kesahihan informasi yang disampaikan bisa jadi tidaklah setepat sumber sejarah formal yang ditafsirkan pemerintah.
Dalam Taufan, misalnya, Ganes TH sempat menyisipkan sebuah anasir historis yang begitu singkat. Ketika dapat melepaskan diri dari sekapan para pemuda bersenjata dengan mobil, Branoto, Surtini dan anaknya sempat berpapasan dengan dua buah mobil sedan hitam yang melaju dengan pesat ke arah Rengasdengklok. Branoto sempat tertegun karena ia merasa melihat Bung Karno, Fatmawati, putranya, dan Bung Hatta di dalam mobil sedan hitam itu. Untuk menjelaskan peristiwa historis yang begitu singkat itu, Ganes TH menuliskan pendapatnya dalam panel narasi sebagai berikut. “Tak seorang pun tahu bahwa pada malam itu Bung Karno dan Bung Hatta telah diculik oleh para pemuda patriot kita ke Rengasdengklok untuk didesak memproklamirkan kemerdekaan Indonesia secepatnya, tak perduli apapun resikonya yang akan dihadapi kelak.”[46] Apakah pada malam itu memang sungguh terjadi penculikan terhadap Bung Karno dan Bung Hatta yang dilakukan oleh para pemuda patriot sebagaimana dituliskan Ganes TH masih menjadi polemik yang dapat diperdebatkan. Pasalnya, Orde Baru tidak pernah menampilkan rentetan peristiwa menjelang terjadinya proklamasi kemerdekaan itu sebagai sebuah anasir historis yang penting untuk diketahui publik sehingga apa yang dikisahkan oleh Ganes TH bisa jadi dipahami sebagai sebuah tafsir historis yang lain. Apakah peristiwa menjelang proklamasi kemerdekaan itu dapat disebut sebagai sebuah aksi penculikan atau bukan dapat dibandingkan dengan tafsir historis yang disampaikan Ricklefs, guru besar ilmu sejarah pada Monash University, Australia sebagai berikut.
Pada tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan Soekarno tidak dapat ditemukan di Jakarta. Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda ke garnisun Peta di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak ke utara dari jalan raya ke Cirebon, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan Peta dan Heiho. Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan pun sehingga Soekarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang; tujuan ini mereka tolak. Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan. Pada malam itu Soekarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis muda menginginkan bahasa yang dramatis dan berapi-api, tetapi untuk menjaga supaya tidak melukai perasaan pihak Jepang atau mendorong terjadinya kekerasan maka disetujuilah suatu pernyataan yang tenang dan bersahaja yang dirancang oleh Soekarno.[47]
Cergam Lebak pun tidak luput dari keterbatasan yang tersua dalam ketidaktepatan informasi akan letak geografis sekaligus data historis. Ketika Pak Rusdi, ayah Narmi sedang bercakap-cakap santai bersama Narmi di teras rumah. Pada saat itu Narmi sedang bertanya kepada Pak Rusdi – “Bung Karno itu orang mana Ayah? Orang pintar dan berpangkat barangkali ya?” Dengan sigap Pak Rusdi menjawab pertanyaan itu. “Kabarnya ia orang Blitar dari Jawa Tengah! Tentu saja orang yang pinter! Ia bersama Bung Hatta, orang Sunda!”[48] Informasi yang disampaikan Pak Rusdi itu tentu saja perlu diverifikasi. Pertama, kota Blitar tidak terletak di Jawa Tengah, melainkan Jawa Timur. Kedua, Bung Hatta bukanlah orang Sunda, melainkan orang Minang. Apakah kedua hal itu merupakan kesengajaan yang dapat membuat kisah tersebut tampak natural atau hal itu menjadi sinyal minimnya pengetahuan cergamis akan informasi geografis dan historis tidak dapat diketahui dengan pasti.
Keterbatasan-keterbatasan yang ditampilkan cergam Taufan dan Lebak perlu diakui karena kedua cergam tersebut memang tidak diintensikan sebagai media propaganda yang berisi sejumlah data-data historis yang akurat sebagaimana ditafsirkan oleh penguasa. Akan tetapi, kedua cergam itu dihadirkan sebagai representasi dari narasi patriotisme yang sekadar meletakkan pengetahuan dan informasi sejarah sebagai latar cerita. Kehadiran informasi dan pengetahuan sejarah ini berperan penting dalam proses pemahaman teks. Dengan demikian, narasi yang disampaikan dalam cergam tersebut memiliki pertautan kontekstual dengan tema patriotisme. Kondisi ini berbeda bila dibandingkan dengan cergam yang berjudul Merebut Kota Perjuangan (Serangan Umum 1 Maret 1949) yang dikarang oleh Marsoedi dkk dan diterbitkan pada tahun 1985.[49] Cergam yang telah disahkan penggunaannya di sekolah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bernomor 116/C/Kep/R.85 itu diintensikan sebagai media komunikasi politik untuk mempropagandakan kebenaran sejarah mengenai sebuah peristiwa yang disebut sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 berdasarkan penafsiran rezim Soeharto sebagai rezim yang berkuasa pada saat itu.[50] Cergam itu tidak hanya menampilkan bagaimana kesigapan dan keberanian rakyat, para pejuang, dan Tentara Nasional Indonesia berjuang untuk mempertahankan kota Yogyakarta selama 6 jam dari Agresi Militer Belanda, tetapi juga menghadirkan peran penting Komandan Brigade X, Letnan Kolonel Soeharto sebagai pemimpin kharismatis yang begitu piawai menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda. Kendati cergam Merebut Kota Perjuangan terlihat sebagai media yang berupaya untuk melakukan kultus individu kepada Soeharto sebagai man behind the gun dalam sejarah revolusi kemerdekaan, dalam kata sambutan tertulisnya, Soeharto dengan rendah hati menyebutkan bahwa tidak ada intensi pengkultusan individu atau pengkultusan golongan di dalam cergam itu.
Saya sambut gembira diterbitkannya buku cerita bergambar mengenai perjoangan Rakyat Indonesia dengan judul : “Merebut Kota Perjoangan.” Cergam tersebut bukan bermaksud menonjolkan jasa seorang atau golongan, melainkan bertujuan mengungkap fakta sejarah bahwa Republik Proklamasi ini diperjuangkan dengan penuh kepahlawanan dan pengorbanan. Semoga jiwa dan semangat itu dapat diwarisi oleh generasi penerus dalam mempertahankannya.[51]
Kendati terdapat keterbatasan baik dalam penafsiran data maupun informasi sejarah, Taufan dan Lebak dapat dipergunakan sebagai bacaan sejarah alternatif yang bersifat imajinatif. Kedua cergam tersebut tidak hanya mampu mengisi narasi mengenai nilai-nilai universal yang berlaku dalam kehidupan manusia seperti penghormatan, cinta kasih, persahabatan, pertobatan, atau pengampunan, tetapi juga mengisi narasi mengenai perjuangan dan patriotisme rakyat pada masa penjajahan Jepang yang kerap tidak terceritakan dalam buku-buku sejarah formal. Baik Taufan maupun Lebak mengajarkan sebuah hal yang penting untuk direnungkan bahwa pemahaman sejarah tanpa imajinasi merupakan sebuah doktrin buta yang sangat mengerikan.
E. Cergam Indonesia sebagai Teks Naratif Kebangsaan
Secara formal kekuasaan Orde Baru tumbang pada tahun 1998. Atas desakan yang digulirkan secara bertubi-tubi oleh kaum Reformis, Soeharto pun turun dari tahtanya. Situasi ini secara tidak langsung menggoyahkan pelbagai pranata normatif yang menjadi sumber ideologi Orde Baru, termasuk nasionalisme berbasis kesatuan yang diagung-agungkan dalam replika Taman Mini Indonesia Indah. Kendati tidak sepenuhnya mampu merombak pelbagai kekuatan institusional yang menyokong pemerintahan rezim Soeharto selama 32 tahun, gerakan Reformasi memiliki keberanian untuk melakukan penafsiran kembali terhadap teks-teks yang dianggap fixed pada masa Orde Baru, termasuk nasionalisme. Dalam ranah intelektual, gerakan Reformasi itu menjadi titik tolak bagi perkembangan pemikiran postmodernisme dan postkolonialisme. Dengan perspektif pemikiran tersebut, sejumlah buku yang dilarang pada masa rezim Soeharto mulai diterbitkan dan dibaca kembali. Tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer yang pernah dianggap sebagai karya subversif oleh Adam Malik dan Orde Baru mulai diterbitkan kembali secara luas dan bebas. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan pembantaian massal yang terjadi pascaperistiwa itu mulai didiskusikan secara intens dalam kalangan akademis setelah sekian lama disembunyikan dari kesadaran sejarah rakyat Indonesia. Topik tersebut bahkan menjadi salah satu topik favorit yang banyak dikaji oleh peneliti ilmu-ilmu sosial humaniora sejak tahun 2000. Lalu, bagaimanakah cergam Indonesia menyikapi perubahan itu?
Sejak tahun 1980-an, cergam Indonesia sebenarnya telah berada dalam kondisi yang terseok-seok.[52] Masa-masa keemasan cergam Indonesia hanya menjadi bagian dari kenangan. Salah satu penyebabnya adalah masuknya komik-komik asing yang dianggap sesuai dengan tuntutan pasar yang lebih luas.[53] Para penerbit komik memandang kehadiran komik asing sebagai sebuah kesempatan untuk meraup keuntungan yang lebih banyak. Pasalnya, untuk menerbitkan komik-komik asing, penerbit hanya membeli hak cipta atau membayar royalti kepada sindikat atau penerbit asing. Hal demikian jauh lebih mudah dibandingkan menerbitkan cergam lokal yang membutuhkan ongkos produksi yang lebih mahal dan waktu penggarapan yang lebih lama.[54] Dalam situasi demikian, sulit dibayangkan cergam Indonesia berbicara tentang patriotisme atau nasionalisme sebagaimana dihayati oleh masyarakat yang mulai berubah karena cergam Indonesia telah berjalan tanpa orientasi, kecuali menuju ke pemakamannya.
Akan tetapi, pada pertengahan tahun 1990-an, hadir sejumlah komunitas yang berupaya untuk membangkitkan kembali cergam Indonesia ke permukaan melalui kajian populer atau berbagai kegiatan kolektif yang dilakukan oleh Kajian Komik Indonesia (KKI), Masyarakat Komik Indonesia (MKI), Klub Komunitas Indonesia, Komik Alternatif, Komik Indonesia, atau Pengumpul Komik Indonesia (Pengki).[55] Menjelang tahun 1998, muncul gerakan komik independen yang diprakarsai oleh para mahasiswa sekolah seni dan aktivis organisasi sosial.[56] Gerakan komik independen yang dikenal juga sebagai komik underground ini tidak hanya bertujuan untuk hadir sebagai komunitas seni visual yang ekspresif, tetapi juga menghadirkan diri sebagai budaya tanding (counter culture) terhadap diskursus sosial, politik, agama, dan budaya yang telah ditafsirkan dan dikuasai oleh rezim Soeharto secara monolitik. Pada masa itu komik underground, boleh dikatakan, menjadi salah satu mode komunikasi politik yang mampu menyuarakan tafsir alternatif mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam grammatika visual yang kritis, sarkastis, dan subversif bersamaan dengan selebaran stensilan yang dibuat oleh para demonstran. Akan tetapi, setelah gerakan Reformasi usai, orientasi perjuangan komunitas ini tampaknya telah beralih. Kini mereka tidak lagi hadir sebagai corong nan heroik bagi kebebasan, persamaan, dan kesadaran masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, tetapi sekadar menjelma sebagai pasar alternatif yang menyediakan berbagai cergam lokal.
Kendati pada masa kini terdapat begitu banyak komunitas pencinta dan penggiat cergam, termasuk komunitas yang berbasis internet, keberadaan cergam sebagai mode komunikasi yang dapat menyuarakan berbagai persoalan dan keprihatinan sosial, politik, ekonomi, seni, dan budaya dalam masyarakat Indonesia rupanya masih belum diperhatikan secara serius. Jika pun ada, hal itu pun masih dilakukan oleh segelintir orang atau kelompok. Beng Rahadian, salah seorang pendiri komunitas penggiat komik, Akademi Samali, misalnya, berupaya memberikan penyadaran akan makna keberagaman dan politik identitas dalam bingkai nasionalisme melalui narasi kopi yang terdapat dalam cergam 101 Canda Kopi (2015) dan Mencari Kopi Aceh (2016). Dalam kedua cergam tersebut, kopi dibahas sebagai teks kultural. Kedua cergam itu mengartikulasikan kopi sebagai salah satu kekayaan gastronomi Indonesia yang dapat menghubungkan banyak orang dari pelbagai etnis, agama, dan golongan dalam situasi yang lebih bersahabat dan egaliter. Di samping itu, kedua cergam itu seolah-olah ingin memproklamasikan bahwa melalui pelbagai cara penyeduhan dan penyajian kopi dalam perspektif budaya yang berbeda-beda, pemahaman akan keberagaman dalam masyarakat dapat dibentuk. Benarlah, coffee does matter!
Selain Beng Rahadian, Aji Prasetyo adalah cergamis yang dengan sangat serius membicarakan sejumlah fenomena sosial, politik, ekonomi, religi, seni, dan budaya yang berkaitan dengan kehidupan bersama di Republik ini melalui 3 cergam karyanya, Hidup itu Indah (2010), Teroris Visual (2015), dan Islam Nusantara (2017). Aji memberikan label kepada ketiga cergamnya itu sebagai komik opini karena di dalamnya berisi pandangan dan opininya terhadap berbagai fenomena yang terdapat di dalam masyarakat saat ini secara subyektif. Meski komik opini itu ingin memotret realitas yang terjadi dalam masyarakat dengan cara yang lebih spontan dan jujur, tidak dapat dimungkiri bahwa di satu pihak apa yang disampaikan Aji dapat menggalang simpati dan hormat, tetapi di pihak lain dapat menuai kontroversi dan kebencian. Kondisi resepsi publik pembaca yang bersifat dikotomis itu justru semakin menyangatkan bahwa fenomena yang dibicarakan oleh Aji dalam ketiga cergamnya itu memang menjadi persoalan penting yang segera dicari solusinya agar tidak mencederai prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Dari sini, dapat dilihat bahwa cergam memiliki potensi besar untuk menjadi media komunikasi baik bagi politik, sosial, religi, seni, maupun budaya dalam sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia masa kini, cergam tidak semata-mata difungsikan sebagai salah satu elemen dalam industri ekonomi kreatif, tetapi perlu dipikirkan pula sebagai teks naratif kebangsaan yang dapat menggugah kesadaran akan nasionalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme universal. Sebagai teks naratif, cergam tidak berpretensi untuk menjadi media propaganda yang terus menggelorakan nasionalisme sebagai kebenaran tunggal. Namun, sebagai teks naratif, nasionalisme justru ditempatkan sebagai kisah pribadi yang dialami setiap orang dalam berbagai konteks yang berbeda-beda.
Salah satu model teks naratif kebangsaan yang patut diapresiasi adalah cergam Persepolis: The Story of Childhood (2003) karya Marjane Satrapi. Di dalam cergam itu Satrapi berbicara tentang negara dan bangsa Iran yang ia sangat hormati dan cintai berdasarkan berbagai pengalaman yang ia jalani bersama keluarganya. Satrapi sangat menolak citra Iran yang begitu negatif di mata dunia sebagai pusat pergerakan fundamentalisme, fanatisme, dan terorisme. Ia mau mengatakan bahwa bangsa Iran adalah bangsa yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, pengharapan, dan pengampunan seperti yang terlihat dalam sebuah episode mengenai para pahlawan (The Heroes). Dalam episode itu Satrapi mengisahkan bagaimana dua orang teman ayahnya yang pernah dipenjara sebagai tahanan politik, Siamak Jari dan Mohsen Shakiba, melakukan reuni di rumahnya.[57] Mereka berdua disambut gembira oleh ayah dan ibu Satrapi sebagai teman lama. Namun, hal yang tidak disangka Satrapi dalam reuni tersebut adalah bahwa kedua tamu itu saling menceritakan bagaimana mereka disiksa dengan kejam selama berada di penjara. Mereka tidak menyadari bahwa di tengah-tengah mereka Satrapi kecil juga ikut mendengarkan cerita itu. Sebagai seorang anak kecil, Satrapi sama sekali tidak dapat membayangkan kekejaman yang terjadi di penjara itu. Cerita itu membuat Satrapi bertanya-tanya apakah para penyiksa itu perlu dibalas? Dalam situasi yang sangat membingungkan itu, sang ibu segera menghibur Satrapi. Ia mengatakan kepada Satrapi bahwa para pelaku kekejaman itu akan membayar apa yang telah mereka lakukan. Meski begitu, sang ibu juga menambahkan kepada Satrapi agar mereka yang berlaku jahat perlu juga diampuni karena keadilan di dunia ini bertahta.[58]
Cergam Persepolis mungkin dapat dipahami sebagai sebuah memoar pribadi bagi Satrapi. Akan tetapi, dalam kata pengantarnya, Satrapi justru mendedikasikan cergamnya itu kepada rakyat Iran yang meninggal dalam tahanan karena mempertahankan kebebasan, yang meninggal dalam perang melawan Irak, yang menderita di bawah rezim yang represif, atau yang dipaksa untuk meninggalkan keluarganya keluar dari tanah airnya.[59] Pada akhirnya cergam Persepolis dapat dipandang sebagai model dari teks naratif kebangsaan yang dapat memberikan penyadaran bahwa setiap bangsa memiliki masa lalu dan juga memiliki masa depan. Siapa yang menyangka bahwa gagasan mengenai nasionalisme seringkali bersifat liminal, berada di tengah bandul pendulum masa lalu dan masa depan. Jika nasionalisme memang sungguh berkaitan erat dengan persoalan kemanusiaan, setiap orang perlu untuk mengampuni dalam konteks masa lalu, sedangkan dalam konteks masa depan, setiap orang tidak boleh melupakan.
*******
Daftar Bacaan
A.Buku dan Artikel dari Jurnal dan Media Massa
Anderson, Benedict. Imagined Communities Komunitas-komunitas Terbayang (Yogyakarta : Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2001)
….. “Indonesian Nationalism Today and in the Future,” Indonesia, No. 67 (April 1999)
….. The Spectre of Comparisons Nationalism, Southeast Asia, and the World (London, New York: Verso, 1998)
….. “Notes on Contemporary Indonesian Political Communication” (Southeast Asia Program Publications at Cornell University, Indonesia No. 16 (Oct.1973))
Atmowiloto, Arswendo. “Komik Silat (2) Si Buta dan Bumbu Gaib,” Kompas, Jumat 4 Desember 1981
….. “ Komik Silat (3) Menggambar Kue Menghilangkan Lapar,” Kompas, Sabtu 5 Desember 1981
Bonneff, Marcel. Komik Indonesia (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia dan Forum Jakarta-Paris, 1998)
Hooker, Virginia Matheson. “Ekspresi: Kreatif Biarpun Tertekan,” dalam Donald K. Emmerson (Ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama dan The Asia Foundation Indonesia, 2001)
Kurnia, Anton. Buah Terlarang dan Cinta Morina Catatan dari Dunia Komik (Yogyakarta : Basabasi, 2017)
Marsoedi dkk., Merebut Kota Perjuangan (Serangan Umum 1 Maret 1949) (Jakarta, Yayasan Sinar Asih Mataram, 1985)
Mustaqim, Karna “Mumbling Our Comics: An Overview of Indonesian Comic Books’ Condition,” Int J Comic Art 9 No.1 Spr 2007
Pemberton, John. Jawa On the Subject of Java (Yogyakarta, Mata Bangsa, 2006)
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1998)
Satrapi, Marjane. Persepolis the Story of a Childhood (United States of America, Pantheon, 2003)
Shiraishi, Saya Sasaki. Pahlawan-pahlawan Belia Keluarga Indonesia dalam Politik (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001)
TH, Ganes. Taufan II, Edisi Remaster (Jakarta, Pluz +, 2013)
Warniponakanda, Djair. Lebak (Bandung, U.P Meteor, 1970)
Wright, Nicky. The Classic Era of American Comic (London: Prion Books Limited, 2008)
B. Artikel dari Internet dan Berita dari Media Massa
https://samsuriuny.files.wordpress.com/2014/02/bung-karno-islamisme-nasionalisme-marxisme.pdf,
Soekarno, “ Sekali lagi tentang Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi,” https://dialektika-nusantara.blogspot.co.id/2016/10/sekali-lagi-tentang-sosio-nasionalisme.html?m=0
“Dr Marcel Bonneff : “Secara Ideologis Komik Indonesia Menurun Mutunya,” Kompas, Sabtu 24 November 1973
“Ganes TH Refleksikan Pertumbuhan Politik Identitas,” Kompas, Sabtu 18 Agustus 2007
“Diskusi Komik di FS UI : Agar Tak Lagi Sekadar Menjadi Tukang Gambar,” Kompas, 2 Desember 1993
Catatan Akhir
[1] Salah satunya dapat terlihat tatkala Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo memberikan pernyataan tentang peran penting nasionalisme untuk mengatasi bahaya dan ancaman yang ditimbulkan oleh terorisme, radikalisme, dan globalisasi teknologi. Lihat http://www.beritasatu.com/nasional/431858-mendagri-nasionalisme-ri-di-bawah-ancaman-radikalisme-dan-kemajuan-teknologi.html, diakses pada tanggal 21 November 2017.
[2] Teks asli yang tertulis dalam bahasa Perancis adalah sebagai berikut. “Or l’essence d’une nation est que tous les individus aient beaucoup de choses en commun et aussi que tous aient oublié bien des choses.” Lihat Ernest Renan, “Qu’est-ce qu une nation?” dalam Oeuvres Complètes 1, hlm. 892.
[3] Lihat Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme,” https://samsuriuny.files.wordpress.com/2014/02/bung-karno-islamisme-nasionalisme-marxisme.pdf, diakses pada tanggal 20 November 2017.
[4] Gambaran negara sebagai keluarga itu sebenarnya telah disampaikan pada akhir era 1910-an oleh Soetatmo Soerjokoesoemo, salah satu anggota Kaum Nasionalis Jawa. Ia menyatakan bahwa negara merupakan kesatuan yang berdasarkan hubungan hierarkis yang teratur. Keluarga sebagai model dari negara harus terdiri dari ayah yang bijak, ibu yang penuh perhatian, dan anak-anak yang tahu diri, tugas, dan tanggungjawab. Lihat Saya Sasaki Shiraishi,Pahlawan-pahlawan Belia Keluarga Indonesia dalam Politik (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001) hlm. 129-130
[5] Soekarno, “ Sekali lagi tentang Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi,” https://dialektika-nusantara.blogspot.co.id/2016/10/sekali-lagi-tentang-sosio-nasionalisme.html?m=0 diakses pada tanggal 20 November 2017.
[6] Benedict Anderson pernah menyatakan bahwa salah satu bentuk sentimentalitas yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah pernyataan yang kerap terdengar bahwa nasionalisme merupakan hal yang telah diwariskan nenek moyang sehingga telah mendarah daging dalam diri setiap anak bangsa. Lihat Benedict R.O’G. Anderson, “Indonesian Nationalism Today and in the Future,” Indonesia, No. 67 (April 1999), hlm. 1-2
[7] Benedict Anderson, Imagined Communities Komunitas-komunitas Terbayang (Yogyakarta : Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 58-60
[8] Ibid., hlm.xxvii
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 66
[11] Ibid.
[12] Nicky Wright, The Classic Era of American Comic (London: Prion Books Limited, 2008) hlm. 13.
[13] Ibid., hlm. 12.
[14] Ibid
[15] Marcel Bonneff, Komik Indonesia (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia dan Forum Jakarta-Paris, 1998), hlm. 19-21
[16] Anton Kurnia, Buah Terlarang dan Cinta Morina Catatan dari Dunia Komik (Yogyakarta : Basabasi, 2017), hlm. 67-74
[17] Marcel Bonneff, Op.Cit., hlm.24.
[18] Aksi yang dilakukan para pendidik itu mengingatkan kita kepada aksi serupa yang dilakukan oleh Fredric Wertham di akhir tahun 1940 dan awal tahun 1950. Aksi penolakannya terhadap komik tertuang dalam bukunya yang berjudul Seduction of the Innocent (1954).
[19] Benedict Anderson, “Notes on Contemporary Indonesian Political Communication” (Southeast Asia Program Publications at Cornell University, Indonesia No. 16 (Oct.1973)), hlm.51
[20] Ibid.
[21] Ibid., hlm. 28
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 29
[24] Ibid., hlm.32.
[25] Anton Kurnia, Op.Cit., hlm. 48.
[26] Ibid., hlm. 59
[27] Ibid., hlm. 48-49. Pembahasan yang lebih mendalam tentang hal ini dapat dilihat pula dalam Marcel Bonneff, Op.Cit., hlm. 34-40
[28] Marcel Bonneff, Op. Cit., hlm. 55-56
[29] Ibid., hlm. 41
[30] Arswendo Atmowiloto pernah menulis artikel serial mengenai keberadaan komik silat sebagai budaya populer dengan sangat apik. Artikel serial tersebut dapat melengkapi pemahaman teoretis yang pernah ditulis Marcel Bonneff dalam Les Bandes Dessinees Indonesiennes (1976) yang diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat sebagai Komik Indonesia (1996). Lihat Arswendo Atmowiloto, “Komik Silat (2) Si Buta dan Bumbu Gaib,” Kompas, Jumat 4 Desember 1981, hlm.1 dan Arswendo Atmowiloto, “ Komik Silat (3) Menggambar Kue Menghilangkan Lapar,” Kompas, Sabtu 5 Desember 1981, hlm. 1
[31] Marcel Bonneff, Op.Cit., hlm. 157. Bonneff menulis bahwa cergam bergenre cerita silat memang memiliki persamaan dengan dunia pewayangan dalam hal tema, yaitu tema kepahlawanan, pencarian, dan dunia gaib. Namun, kedua-duanya berbeda dalam hal penyajian tipe masyarakat sebagai latar sosial dalam cerita. Dalam wayang, ksatria tinggal dalam suatu dunia yang memiliki tatanan politis sehingga perjuangannya ditujukan untuk membela sang raja, figur tertinggi dalam tatanan politis itu.
[32] Ibid., hlm. 51
[33] Kendati gagasan nasionalisme tidak pernah menjadi diskursus publik yang terbuka, rezim Soeharto berusaha membekali rakyatnya dengan pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam kursus penataran khusus sejak akhir tahun 1970. Dilaporkan bahwa biarpun dibuka untuk semua warga, kursus tersebut ditujukan khususnya kepada murid, mahasiswa, dan pegawai negeri saja. Lihat Virginia Matheson Hooker, “Ekspresi: Kreatif Biarpun Tertekan,” dalam Donald K. Emmerson (Ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama dan The Asia Foundation Indonesia, 2001), hlm. 474
[34] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1998), hlm. 438.
[35] Virginia Matheson Hooker, Loc. Cit.,hlm. 472-473
[36] Lihat Benedict Anderson, The Spectre of Comparisons Nationalism, Southeast Asia, and the World (London, New York: Verso, 1998), hlm. 48.
[37] John Pemberton, Jawa On the Subject of Java (Yogyakarta, Mata Bangsa, 2006) hlm. 208.
[38] Virginia Matheson Hooker, Loc. Cit.,hlm. 490-491
[39] Ibid.
[40] Marcel Bonneff, Op. Cit., hlm. 76
[41] “Dr Marcel Bonneff : “Secara Ideologis Komik Indonesia Menurun Mutunya,” Kompas, Sabtu 24 November 1973, hlm.6
[42] Ibid.
[43] “Ganes TH Refleksikan Pertumbuhan Politik Identitas,” Kompas, Sabtu 18 Agustus 2007, hlm.13.
[44] Lihat Anton Kurnia, Op.Cit., hlm. 179
[45] Ibid., hlm. 104
[46] Ganes TH, Taufan II, Edisi Remaster (Jakarta, Pluz +, 2013), hlm. 554-555
[47] M.C. Ricklefs, Op. Cit., hlm. 315-316
[48] Djair Warniponakanda, Lebak (Bandung, U.P Meteor, 1970) hlm. 23-24.
[49] Menarik untuk dicermati bahwa cergam ini menampilkan sejumlah cergamis golden age sebagai ilustrator seperti Wid NS yang bertugas dalam bidang skets, pewarna, dan finishing, Hasmi yang bertugas sebagai pewarna sekaligus penulis skenario bersama Marsoedi, Hasyim Katamsi dan Djoni Andrean sebagai pewarna.
[50] Pada tahun 1996-1997 Majalah Bobo pernah menerbitkan buletin komik berseri yang berjudul Album Ganesha Bobo Seri Sejarah Nasional. Selama tahun itu, telah diterbitkan 3 buah Album Ganesha Bobo Seri Sejarah Nasional, yaitu Peristiwa Sejarah, Penegak Dinasti, dan Menentang Penjajahan. Buletin komik berseri yang digambar dengan sangat apik oleh Wid NS itu berfungsi sebagai media pendidikan sejarah bagi anak-anak . Dalam hal ini, pendidikan sejarah yang dimaksud diselaraskan dengan kurikulum pendidikan yang dicanangkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sehingga materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan wawasan dunia yang dijalankan oleh Orde Baru.
[51] Marsoedi dkk., Merebut Kota Perjuangan (Serangan Umum 1 Maret 1949) (Jakarta, Yayasan Sinar Asih Mataram, 1985) tanpa halaman.
[52] “Diskusi Komik di FS UI : Agar Tak Lagi Sekadar Menjadi Tukang Gambar,” Kompas, 2 Desember 1993, hlm. 2
[53] Ibid.
[54] Ibid.
[55] Karna Mustaqim, “Mumbling Our Comics: An Overview of Indonesian Comic Books’ Condition,” Int J Comic Art 9 No.1 Spr 2007, hlm.316-317,
[56] Ibid.
[57] Marjane Satrapi, Persepolis the Story of a Childhood (United States of America, Pantheon, 2003), hlm. 47-53
[58] Ibid.
[59] Ibid., hlm. 2
Paulus Heru Wibowo Kurniawan
Film memang mungkin ibarat papan tulis. Tapi di Indonesia sebagian besar dari isi papan tulis itu bukanlah untuk mengajar, tapi untuk memberi tempat bagi impian, kenyataan, perasaan, ketakutan, kemunafikan, keharuan, dan harapan masyarakat dengan apa ia berkaitan, dan oleh siapa ia didukung dan diawasi. Secara tak langsung wajah kita tampak di sana. Mungkin tidak terlalu cerdas, tidak terlalu dalam dan tidak terlalu terhormat,
tetapi apa boleh buat.
(Goenawan Mohammad)
A.Film dan Wajah Masyarakat
Berdirinya Orde Baru sebagai rezim penguasa pada akhir tahun 1960 –an menghembuskan angin segar bagi industri film Indonesia yang telah dirintis sejak tahun 1926. Disebut demikian karena rezim Orde Baru menghadirkan sejumlah kebijakan baru untuk membuka kembali saluran kerjasama antara industri film Indonesia dengan industri film Amerika yang sempat tertutup sejak tahun 1955 karena dianggap subversif sebagai gerakan neokolonialisme oleh Orde Lama.[1] Pelbagai kebijakan itu pun sebenarnya tidak datang dengan sekonyong-konyong, tetapi berkaitan erat dengan semakin terserapnya ideologi kapitalisme yang disponsori oleh Amerika Serikat ke dalam ranah militer, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Tercatat bahwa setelah tahun 1967 Hollywood (kembali) menjadi referensi terpenting bagi industri film Indonesia seiring dengan hadirnya film sebagai media komersial yang paling populer, terutama di wilayah urban.[2]
Sebenarnya sejak tahun 1950-an, setelah Konferensi Meja Bundar terlaksana, dominasi film-film Amerika yang diproduksi Hollywood sudah mulai terlihat di wilayah Indonesia. Krisha Sen mencatat bahwa selama tahun 1950-1955 terdapat sekitar 600-700 judul film Amerika yang diimpor ke Indonesia setiap tahunnya.[3] Selain itu, tidak dapat dinafikan bahwa selama tahun-tahun itu pula bantuan teknis dan pelatihan bagi para pembuat film Indonesia berasal dari Amerika Serikat. Film-film impor yang diproduksi Hollywood pun tampaknya sangat diminati masyarakat Indonesia karena menawarkan tema-tema yang menarik. Hal demikian, disadari atau tidak, memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan estetika sinematografis yang dihasilkan para pembuat film Indonesia.
Pada awal tahun 1950-an, sebelum film-film Amerika dicurigai, film-film Indonesia bergenre melodrama, misalnya, cenderung menampilkan tema-tema idealis yang berkaitan dengan persoalan post war syndrome dan politik identitas dalam masyarakat pascakemerdekaan sebagaimana terlihat pada film Krisis (1950), Lenggang Djakarta (1950), Untuk Sang Merah-Putih (1950), Terang Bulan (1950), Embun (1951), Debu Revolusi (1954), Djakarta di Waktu Malam (1954), Lewat Djam Malam (1954), atau Pegawai Tinggi (1954). Akan tetapi, film-film Indonesia bergenre melodrama yang diproduksi setelah tahun 1967 secara lugas mengarahkan dirinya kepada tema-tema tentang romantika remaja, pemberontakan kaum muda, keretakan rumah tangga, materialisme dan kemewahan yang banal, atau pervertisme seksual a la Hollywood dalam masyarakat (urban) Indonesia seperti yang terdapat dalam film Sendja di Djakarta (1967), Orang-orang Liar (1969), Ananda (1970), Bernafas dalam Lumpur (1970), Di Balik Pintu Dosa (1970), Honey, Money, dan Djakarta Fair (1970), Noda Tak Berampun (1970), Biarkan Musim Berganti (1971), Brandal-brandal Metropolitan (1971), Jang Djatuh di Kaki Lelaki (1971), Lampu Merah (1971) atau Malam Jahanam (1971). Perubahan tema itu tidak semata-mata disebabkan oleh terjadinya perubahan selera estetik, tetapi juga berkaitan dengan perubahan sosial - budaya yang sedang dialami oleh industri film pada masa itu.[4]
Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa tema-tema yang disuguhkan industri film Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tema-tema yang juga dimunculkan industri film Hollywood setelah tahun 1960-an. Pada masa itu industri film Hollywood sedang mengalami krisis untuk merepresentasikan diri sebagai ikon kultural Amerika karena keterlibatan negara itu di Vietnam mendapat respons yang sangat kritis dari warganya. Oleh banyak pihak, Hollywood dianggap sebagai agen tidak resmi bagi pemerintah Amerika karena selalu berusaha untuk memberikan penjelasan sebaik-baiknya tentang invansi di Vietnam.[5] Reaksi penolakan terhadap propaganda pemerintah melalui produk Hollywood itu ternyata melahirkan film-film independen yang dapat menyuarakan kritik terhadap pemerintah secara lebih lugas dan bebas. Kondisi demikian secara tidak langsung menyebabkan sistem studio yang diterapkan Hollywood pun semakin karut-marut.[6] Akibatnya pada akhir tahun 1960 banyak perusahaan film beralih ke rekaman musik, film televisi, dan televisi seri.[7] Alih-alih memproduksi film bertema konflik di Vietnam, banyak pula perusahaan film yang berpindah untuk menampilkan tema-tema yang berkaitan dengan kesenangan, gaya hidup, rock’n’roll, perubahan sosial dan transisi dalam nilai budaya. Sejumlah tema tersebut hadir bersama longgarnya pembatasan terhadap konten bahasa, seks, dan kekerasan yang sangat dipengaruhi oleh gerakan hak asasi kemanusiaan yang tersebar luas seperti hippies.[8]
Dalam konteks masyarakat Indonesia peralihan tersebut menimbulkan dua konsekuensi. Di satu sisi, tema-tema baru yang diusung film-film tersebut diminati sebagian besar masyarakat urban sebagai bagian dari transformasi sosial-budaya dari Orde Lama menuju Orde Baru, dari nilai tradisional menuju nilai modern. Karena seolah-olah menjadi salah satu syarat mutlak untuk memperoleh kesuksesan secara komersial, tema-tema yang diusung Hollywood itu pun ditetapkan sebagai standard yang terus direproduksi oleh industri film. Hal demikian membuat film-film Indonesia yang dihasilkan setelah tahun 1967 itu pun tampak serupa dan seragam sebagaimana diamati Goenawan Mohammad sebagai berikut.
Film-film Indonesia bukan lagi film yang menyiratkan kemarahan, suatu hal yang misalnya masih terasa dalam Lewat Jam Malam yang bercerita tentang disilusi seorang bekas pejuang. Konflik-konflik dalam film mutakhir pada dasarnya hanya konflik moral-pertentangan dan perbenturan antara tabiat baik dengan jahat. Dan apabila si miskin adalah yang jujur dan mulia, sebagaimana lazim kita jumpai dalam banyak melodrama, serta si kaya adalah yang jahat serta bengis, intrigue dari cerita tidak menyangkut pergulatan-pergulatan kepentingan yang lebih luas: dunia peran-peran ini adalah dunia rumah tangga serta keluarga. Tema dasar penderitaan pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan dongeng Bawang Merah Bawang Putih; film-film ini adalah film-film yang lunak hati, mengharapkan air mata dari penonton seperti yang terjadi dengan sukses komersial Ratapan Anak Tiri.[9]
Di sisi lain, tema-tema mutakhir yang diusung film-film itu menawarkan sejumlah gagasan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai (tradisional) yang dianut masyarakat Indonesia sehingga memunculkan keresahan dan keprihatinan dari sejumlah kalangan.[10] Sejumlah diskusi dan artikel yang menyoal dekadensi dengan pedas mengecam pameran kemewahan, kekerasan, dan adegan porno yang ditampilkan dalam film-film itu. Jakob Sumardjo, seorang pengamat kebudayaan, pernah menyatakan bahwa film-film pada masa itu sama sekali belum dapat merepresentasikan wajah Indonesia yang sebenarnya. Film-film tersebut belum menghadirkan gambaran yang bersifat realisme tentang gubug reyot, kandang sapi, sepeda, rumah pegawai golongan D atau C karena terlalu sering berbicara tentang kehidupan kelas menengah atas, mobil-mobil mewah, nightclub, atau gedung-gedung pencakar langit.[11] Apa yang dinyatakan Sumardjo dikuatkan dengan temuan yang diamati Taufiq Ismail mengenai penampilan film-film peserta FFI (Festival Film Indonesia) 1977. Dikatakan bahwa dari 27 film, 85,1% atau 23 film menampilkan kisah manusia urban, sedangkan sisanya, 14, 9% atau 4 film menampilkan kisah kehidupan manusia desa. Persoalan yang dihadapi kaum kelas menengah lebih mendominasi sebesar 92,6% ketimbang persoalan yang berkisah tentang kehidupan petani di pedesaan sebesar 7,4 %. [12]
Meskipun demikian, dalam perkembangannya, angka yang dinyatakan Taufiq Ismail bukanlah data yang statis karena dalam industri film perubahan selera estetis adalah sebuah keniscayaan. Seperti yang diamati Goenawan Mohammad, misalnya, pada tahun 1973 – 1974 terjadi perubahan orientasi dalam penggambaran kehidupan sosial.[13] Para pembuat film tidak lagi bersemangat untuk menampilkan kemewahan atau materialisme yang banal, tetapi justru mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan orang-orang miskin dan tersisih.[14] Mereka tidak hanya menampilkan gambaran gubug reyot yang banyak dihuni para petani miskin di perdesaan, melainkan juga gambaran mengenai rumah kardus yang tidak layak huni di wilayah pembuangan sampah. Tidak dapat disangkal bahwa film-film nasional yang berkembang pada tahun pertengahan tahun 1970-an kerap menautkan dirinya dengan persoalan kehidupan sosial yang dihadapi kaum pinggiran dan marginal, meski memang lebih sering terlihat sebagai karya surealisme ketimbang realisme karena persoalan kemiskinan dianggap sebagai kemalangan individual.[15]
Jumlah film Indonesia dengan tema-tema yang berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan cukup banyak. Hal ini tidak terlepas dari cita-cita dunia perfilman Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Pada awal tahun 1950-an, Usmar Ismail, salah seorang perintis film pascakemerdekaan, pernah menyatakan bahwa fungsi film nasional adalah sebagai alat komunikasi kemasyarakatan sekaligus proyek industri.[16] Sayangnya, dalam perkembangannya fungsi kedua tampak lebih mendominasi daripada fungsi pertama. Film masih dianggap oleh para produser sebagai obyek komodifikasi yang memampukan fantasi dan dongeng dapat diperdagangkan, bukan sebagai alat kebudayaan yang berbicara tentang kehidupan masyarakat sehari-hari. Mochtar Lubis pernah menyatakan bahwa selama para produser dan broker film menjadi pihak yang selalu menentukan orientasi film, struktur industri film nasional tidak akan pernah berbicara tentang pergulatan manusia Indonesia sepanjang zaman sebagai berikut.
Selama struktur industri film nasional kita tidak berubah dari yang sekarang hampir tidak mungkin diproduksi film yang dibuat sesuai dengan pandangan, sikap hidup, keyakinan estetis sang sutradara. Betapapun juga cakapnya seorang sutradara, betapapun juga besarnya bakat seorang artis atau aktris film, betapapun baiknya cerita film dan skenarionya, tetapi jika keputusan terakhir ada di tangan produser (pemodal) dan broker film, seperti yang terjadi selama ini, maka citra film Indonesia akan sulit diangkat. Selama pertimbangan yang utama yang memutuskan (karena merekalah yang menyediakan dana) adalah selera film produser dan broker, struktur film Indonesia yang ada sekarang akan tidak mampu memperbaiki citra film nasional. Apalagi sebagian terbesar produser dan broker yang kuat modal adalah warga negara keturunan asing yang tidak kenal sejarah bangsa, tidak kenal budaya bangsa, tidak menghayati pergulatan manusia Indonesia sepanjang zaman untuk merebut kehidupan bermartabat manusiawi.[17]
Celakanya, apa yang dipercaya dan dipahami pihak produser itu menjadi hal yang dipergunakan pemerintah sebagai pedoman untuk memperlakukan film. Dalam hal ini, tidak dapat disangkal bahwa pemerintah kerap pula memperlakukan film dengan sebelah mata sebagai alat hiburan dan obyek bisnis semata meski Departemen Penerangan dan Dewan Film Nasional menyusun berbagai kebijaksanaan dan konsep-konsep pengembangan film nasional. Pemerintah dinilai belum dapat melihat fungsi sosial kemasyarakatan yang ditawarkan film sebagai hal yang cukup strategis dalam pembangunan peradaban bangsa sebagaimana dinyatakan Usmar Ismail berikut.
Tetapi yang masih dinantikan ialah penyelesaian secara integral dari masalah film dalam hal-hal produksi, distribusi, dan eksibisi yang memintakan dari Pemerintah suatu politik yang aktif berdasarkan atas sendi-sendi negara yang demokratis. Indonesia dengan penduduknya yang 80 juta jiwa adalah tempat yang subur bagi perkembangan film sebagai alat komunikasi, sebagai hiburan ataupun sebagai pernyataan kesadaran kebudayaan kebangsaan dan sebagai proyek industri.[18]
Sepanjang karirnya dalam dunia perfilman Usmar Ismail berusaha menunjukkan arti penting film sebagai alat komunikasi masyarakat melalui beberapa film yang ia sutradarai seperti Tjitra (1949), Darah dan Doa (1950), Dosa Tak Berampun (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Lagi-lagi Krisis (1955), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956), Delapan Pendjuru Angin (1957), Asrama Dara (1958), Pedjuang (1960), Toha Pahlawan Bandung Selatan (1961), atau Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962). Dalam sejumlah film itu, Usmar Ismail kerap melontarkan kritik dan satir terhadap praktik korupsi yang dilakukan para pejabat, politisi yang gemar mengucapkan slogan kosong, atau pengkhianatan atas nilai-nilai revolusi dan masyarakat.[19] Kendati apa yang dilakukannya seringkali tidak memperoleh tanggapan yang memuaskan baik dari pihak pemerintah maupun produser, Usmar Ismail tidaklah sendiri. Apa yang dicita-citakan Usmar Ismail diikuti oleh sejumlah sutradara lain seperti D. Djajakusuma, Wim Umboh, Asrul Sani, Sjuman Djaja, dan Teguh Karya.
B. Teguh Karya dan Tragedi
Dari beberapa nama tadi, Teguh Karya kiranya bisa disebut sebagai sutradara yang mengikuti dengan setia gagasan Usmar Ismail untuk menampilkan film sebagai kisah tentang manusia Indonesia dan segala persoalan yang dihadapinya. Sebelum menjadi seorang sutradara, Teguh Karya sudah terlibat sebagai pemain dalam beberapa film yang berani menilisik kehidupan manusia Indonesia modern yang dibesut secara kritis oleh para sutradara kondang seperti Nya Abbas Akup dalam film Djendral Kantjil (1958), D.Djajakusuma dalam film Mak Tjomblang (1960), dan Wim Umboh dalam film Sembilan (1967). Sementara itu, sebagai sutradara Teguh Karya telah menelurkan sejumlah film yang berkisah tentang pelbagai watak manusia Indonesia melalui film Wadjah Seorang Laki-laki (1971), Cinta Pertama (1973), Kawin Lari (1974), Ranjang Pengantin (1974), Jinak-jinak Merpati (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1978), Usia 18 (1980), Di Balik Kelambu (1982), Doea Tanda Mata (1984), Secangkir Kopi Pahit (1984), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1988). Film-film itu seolah-olah menjadi wujud persetujuan Teguh Karya dengan gagasan Usmar Ismail, gurunya, mengenai film sebagai alat komunikasi kemasyarakatan.[20] Lelaki yang dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 22 September 1934 itu pun mulai mengembangkan fungsi nasional film sebagai medium untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang terilhami panggilan tanah air. Hal itu dibuktikan pula dengan usahanya untuk mendirikan kegiatan Kineklub di daerah-daerah selama karirnya baik sebagai sutradara maupun sebagai pekerja teater.[21] Melalui Kineklub, Teguh Karya berharap agar apresiasi masyarakat terhadap perfilman nasional dapat berkembang dengan baik.
Selain menekankan fungsi film sebagai alat komunikasi kemasyarakatan, Teguh Karya juga memberikan perhatian terhadap film sebagai proyek industri. Hal demikian membuktikan bahwa Teguh Karya tidak memosisikan dirinya sebagai penentang industrialisasi film kendati ia meneladani gagasan sosial yang diperjuangkan Usmar Ismail dan para perintis film Indonesia pascakemerdekaan. Film sebagai bagian dari industri budaya sama sekali tidak ditolak Teguh Karya. Hal tersebut dapat terlihat pada beragamnya genre film yang ia hasilkan. Tidak semua dari film-film yang ia sutradarai itu merupakan film-film yang diintensikan sebagai ekspresi kesenimanannya belaka. Teguh Karya pun piawai dalam menggelontorkan film-film populer yang memiliki konten yang ringan dan mudah dipahami. Beberapa tahun sebelum tutup usia, Teguh Karya bahkan sempat menghadirkan beberapa judul telesinema – istilah lain yang dipergunakannya untuk menggantikan kata sinetron – di stasiun televisi swasta TPI.[22] Meskipun demikian, ia tetap berpegang teguh bahwa setiap sutradara perlu memiliki kemandirian untuk menghasilkan film sebagai sebuah karya seni yang baik, bukan sekadar barang dagangan yang tidak bermutu, yang melahirkan peniruan dan penjiplakan.[23] Baginya sutradara harus mampu meyakinkan produser agar percaya akan idealisme yang ditawarkan.[24] Dengan cara ini, film yang dihasilkan mampu hadir sebagai karya seni yang dapat diapresiasi sekaligus barang dagangan yang menghasilkan keuntungan materi. Tentu saja, menghasilkan karya seni yang bermutu di sini dipandang sebagai prioritas dan kewajiban yang perlu dilakukan setiap sutradara sebagai warga negara yang baik sebagaimana pernah dikatakan Teguh Karya sebagai berikut.
Kita harus mengakui bahwa membuat film sebagai barang dagangan adalah baik untuk keuntungan materi tapi berfilm yang semata-mata bukan barang dagangan adalah tugas yang telah ditetapkan oleh TAP MPR kepada semua orang film sebagai kewajibannya dalam mencintai negeri kita secara nyata.[25]
Dalam konteks ini membuat film yang baik dapat dibaca sebagai cara Teguh Karya untuk memaknai identitasnya sebagai seorang keturunan Tionghoa yang telah lama bergaul dengan masyarakat yang sangat plural. Tidak dapat dipungkiri bahwa kecintaannya terhadap teater dan film telah mempertemukannya dengan banyak pribadi dari pelbagai latar belakang status sosial. Pertemuan dengan banyak orang itu telah memperkaya wawasan dan gaya komunikasinya. Karena itu, dalam film-film yang disutradarainya, Teguh Karya tampaknya tidak lagi mempermasalahkan sekat-sekat suku, agama, ras, atau antargolongan (SARA) yang pada masa itu kerap dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mengendalikan massa sebagai hambatan. Teguh Karya hanya ingin berbicara tentang sebuah keluarga masyarakat yang disebut sebagai masyarakat Indonesia. Hal demikian tentu saja sejalan dengan cita-cita Usmar Ismail untuk menghadirkan film nasional sebagai cermin sosial yang jujur yang mampu menguak kehidupan dan watak manusia Indonesia.
Tidak dapat dinafikan bahwa semangat untuk menampilkan film sebagai cermin masyarakat Indonesia itu terlihat begitu kuat pada dramaturgi yang ditampilkan dalam film-filmnya. Perhatian Teguh Karya terhadap kisah kehidupan manusia Indonesia terlihat pada keberagaman latar sosial dan budaya tokoh cerita. Para tokoh ceritanya bisa digambarkan sebagai lelaki dan perempuan yang berasal dari suku Batak, suku Jawa, suku Sunda, suku Betawi, suku Manado, beragama Kristen atau Islam, dan tinggal di kota atau juga di desa. Mereka berinteraksi dan berkonflik dalam ruang pergaulan bersama yang disebut sebagai keluarga. Dalam hal ini, Teguh Karya tidak selalu memaknai keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang dipersatukan oleh ikatan darah, tetapi juga memaknainya secara simbolis sebagai unit ideologis dalam bentuk yang lebih luas.
Sejak film Wadjah Seorang Laki-laki (1971) diluncurkan, Teguh Karya secara terang-terangan menampilkan gambaran keluarga bukan sebagai ruang yang harmonis, melainkan ruang pergumulan antarpribadi sekaligus antarideologi yang menyebabkan perpecahan dan disharmonisasi. Sisi gelap dalam keluarga seolah-olah ingin ditampilkan sebagai sebuah realitas yang tidak terbantahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam film Wadjah Seorang Laki-laki itu dikisahkan bagaimana seorang anak, Amallo, memiliki konflik yang cukup intens dengan sang ayah, Umbu Kapitain. Amallo memandang sang ayah sebagai seorang penguasa kejam yang perlu dilawan dengan sekuat tenaga, sedangkan Umbu Kapitain memandang Amallo sebagai seorang pemberontak yang perlu dilenyapkan. Di akhir cerita Amallo mati mengenaskan karena ditembus oleh peluru panas yang dilesatkan Umbu Kapitain.
Perpecahan dan disharmonisasi dalam keluarga terjadi pula dalam film Kawin Lari (1974) dan Perkawinan dalam Semusim (1976). Dalam film pertama, kisah asmara yang terjadi antara Jaka dan Anna hanya menjadi sarana terkuaknya perselingkuhan yang terjadi di masa lalu antara Nyai Saodah, ibu kandung Jaka, dengan Van Nijs, suami dari Sumirah, ibu kandung Anna. Kenyataan demikian membuat Anna bertengkar hebat dengan Sumirah, ibunya, yang pernah menjadi kembang Padalarang. Sumirah yang pada awalnya mendukung hubungan kasih antara Jaka dan Anna tiba-tiba menjadi pihak yang paling menentang hubungan tersebut. Percekcokan terjadi dengan sengit antara ibu dan anak. Puncaknya, Anna memutuskan untuk pergi bersama Jaka. Ia meninggalkan ibunya untuk menjalani kawin lari. Dalam film kedua ditunjukkan sebuah keluarga menengah urban yang memiliki kelumpuhan moralitas. Sang majikan, Kardiman, adalah laki-laki tua yang memiliki libido yang tinggi. Ia tidak hanya memperkosa isteri Kooswara, sopir pribadinya, melainkan juga Nana, anak tirinya. Agus Herman, putera satu-satunya Kardiman, pun memiliki tabiat yang serupa dengan sang ayah. Bahkan, Nyonya Kardiman pun digambarkan sebagai perempuan kesepian yang selalu mencoba untuk merayu Kooswara agar dapat tidur dengannya.
Namun, tidak selamanya Teguh Karya memandang keluarga, termasuk perkawinan, sebagai lembaga yang mengerikan. Dalam film November 1828, Teguh Karya menunjukkan betapa keluarga dapat hadir sebagai sumber kekuatan yang menggerakkan masyarakat untuk mempertahankan martabatnya. Dalam film tersebut dikisahkan Kromoludiro, seorang sesepuh desa, yang dituduh oleh Komandan Belanda Kapten de Borst karena telah bekerjasama dengan Sentot Prawirodirjo, salah satu panglima perang dari Pangeran Diponegoro. Di bawah tekanan dan siksaan yang berat, Kromoludiro dipaksa untuk membocorkan tempat persembunyian Sentot Prawirodirjo. Kromoludiro tetap teguh bertahan, meski keluarganya tidak luput dari teror yang dilancarkan de Borst. Karena bersikeras dengan keteguhannya, Kromoludiro dan keluarganya pada akhirnya mengalami penyiksaan yang cukup berat. Pada akhirnya, Kromoludiro mati sebagai martir. Kendati demikian, penyiksaan dan kematian yang dialami sesepuh desa dan keluarganya itu tidak sia-sia. Keteguhan hati Kromoludiro dan keluarganya dalam menghadapi maut menggerakkan bawahan de Borst yang bernama Letnan van Aken untuk bersimpati dan berpihak kepada mereka. Namun, rasa simpati dengan mudah dikalahkan oleh rasa benci. Bisa diduga, van Aken pun mati sebagai martir setelah dilucuti seragamnya dan digantung pada sebuah tiang di ruangan tempat Kromoludiro pernah dieksekusi.
Selain berbicara tentang keluarga, Teguh Karya memusatkan perhatiannya pula kepada tema cinta yang hampir mendominasi sejumlah filmnya. Tema ini memang disampaikan secara deskriptif, universal, natural, dan sederhana sehingga unsur realisme dalam film-film tersebut tampak nyata. Dalam hal ini, Teguh Karya menempatkan tema cinta sebagai hal yang layak diperjuangkan dalam kehidupan. Karena itu, cinta selalu ditampilkan sebagai kunci atau solusi atas persoalan yang menimpa kehidupan para tokoh cerita. Setidak-tidaknya hal tersebut tercermin dalam beberapa film seperti Usia 18 (1980), Di Balik Kelambu (1982), dan Ibunda (1986). Dalam film pertama, dikisahkan bagaimana cinta yang dijalani oleh Edo dan Ipah menjadi sumber motivasi untuk menjalani perjuangan hidup. Meski harus melakoni hubungan cinta jarak jauh karena pekerjaan yang berbeda, baik Edo maupun Ipah berkomitmen untuk tetap menjaga cinta yang sudah mereka jalani. Dalam film kedua cinta menjadi satu-satunya kenyataan yang dapat menguatkan pasangan Hasan dan Nurlela di tengah tekanan, kritik, dan cemooh dari keluarga besar. Pasangan ini kerap diremehkan sehingga kerap jatuh untuk berbohong demi gengsi. Tentu saja hal ini berdampak buruk bagi hubungan mereka. Namun, mereka kembali menyadari bahwa cinta yang mereka jalin ternyata lebih kuat daripada masalah yang mereka hadapi. Dalam film ketiga cinta dihadirkan sebagai bentuk komunikasi antara ibu dan anak-anak yang dikasihinya. Sebagai seorang janda, Ibu Rakhim berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperhatikan kehidupan anak-anak dan cucu-cucunya agar mereka dapat hidup bahagia. Persoalan demi persoalan yang menimpa kehidupan mereka justru menguatkan langkah Ibu Rakhim untuk semakin mencintai mereka. Dalam film ini menarik untuk dicermati bagaimana usaha keras yang dilakukan sang ibu untuk menjaga keutuhan keluarga ditampilkan Teguh Karya sebagai doa yang tak kunjung henti.
Meski begitu, tidak jarang pula, Teguh Karya menghadirkan cinta sebagai penyebab terjadinya konflik berkepanjangan yang harus dihadapi para tokoh utamanya. Dalam film Badai Pasti Berlalu (1977), seorang perempuan muda dari keluarga berada, Siska, harus mengalami patah hati setelah perasaannya dipermainkan oleh Leo, seorang mahasiswa kedokteran. Dalam situasi terluka, ia harus menikahi Helmy, pria yang sama sekali tidak ia cintai. Pernikahan ini sebenarnya hanya merupakan akal bulus Helmy untuk memeras ayah Siska yang menjadikan adiknya sebagai gundik laki-laki kaya itu. Siska semakin meradang ketika mengetahui bahwa Helmy ternyata sering melayani perempuan-perempuan kaya demi uang. Pada akhirnya, Siska yang sudah sangat begitu muak dengan sandiwara yang dimainkan Helmy pun berkeputusan untuk pergi dari kehidupan lelaki itu. Dalam konteks ini, Teguh Karya menunjukkan kepada para penonton bahwa ketidakhadiran cinta sejati menjadi penyebab terjadinya rentetan badai masalah yang dihadapi Siska. Ketidakhadiran cinta sejati membuat perempuan itu sengsara! Akan tetapi, dalam film ini, Teguh Karya hadir pula sebagai tabib. Ia begitu mahfum bahwa obat dari ketidakhadiran cinta sejati adalah hadirnya cinta sejati. Di akhir cerita, Leo yang dulu pernah melukai hati perempuan itu dipertobatkan dan dipertemukan kembali dengan Siska.
Tidak dapat dinafikan bahwa dalam beberapa film yang disutradarainya Teguh Karya secara intens ingin menyajikan realisme kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Karena itu pula, ia tidak terjebak untuk menghadirkan film-film bergenre melodrama dengan akhir cerita yang membahagiakan para penontonnya. Dari ke-14 film yang disutradarainya, ada beberapa film yang menawarkan tragedi seperti Ranjang Pengantin (1974), Jinak-jinak Merpati (1975), Doea Tanda Mata (1984), dan Secangkir Kopi Pahit (1984). Tragedi itu tidak hanya membuat tone film-film itu menjadi begitu suram, tetapi juga membuat tokoh utamanya hadir sebagai antihero yang malang. Dalam Ranjang Pengantin, Teguh Karya mengajak penontonnya untuk melihat kehidupan keluarga Bram dan Nona yang miskin. Mereka tinggal di rumah Bram yang terletak di pemukiman kumuh. Sebenarnya kehidupan keluarga muda ini cukup bahagia pada awalnya. Namun, sejak Bram divonis sakit paru-paru, kesulitan demi kesulitan mulai menggelayuti rumah tangga mereka. Hubungan Bram dan Nona mulai merenggang karena persoalan ekonomi yang semakin sulit. Salah seorang anaknya meninggal karena terjatuh dari tangga. Dalam kekalutan demikian, Bram merasa bersalah. Ia merasa bahwa ia menjadi pangkal semua kesulitan dan kemalangan yang dihadapi keluarganya. Bram yang dikenal sebagai pribadi yang ceria itu pada akhirnya malah memutuskan untuk mengerat nadinya dengan pisau cukur dan membiarkan darahnya habis sembari menulis surat perpisahan dan permintaan maaf kepada Nona dan anak-anaknya.
Dalam film Jinak-Jinak Merpati, kematian secara tiba-tiba merenggut salah satu tokoh utamanya justru ketika momen bahagia siap dijelang. Dikisahkan bahwa pada masa lalu Dimas, Anton, dan Amalia pernah terlibat cinta segitiga. Awalnya Amalia sangat mencintai Anton. Akan tetapi setelah berjumpa Dimas, Amalia dengan cepat berpindah hati. Dalam waktu singkat hubungan mereka terjalin begitu intim sehingga tanpa diketahui Anton, Amalia telah mengandung anak Dimas. Hal ini membuat Anton murka. Perkelahian kakak beradik itu pun tidak dapat dilerai. Dimas yang kalah pun pergi meninggalkan Anton yang mau menikahi Amalia meski perempuan itu sudah berbadan dua. Setelah bertahun-tahun bersembunyi, Dimas pun dapat dijumpai Anton di sebuah pelabuhan. Rekonsiliasi di antara kakak dan adik ini pun berlangsung. Dalam perjumpaan itu Anton juga memberitahu adiknya bahwa Amalia membawa serta Didik, buah cinta Dimas dan Amalia. Dimas yang gembira berlari menghampiri Amalia dan Didik yang siap menyambutnya. Namun, naas pun tidak dapat ditolak ketika sebuah peti kemas yang berat jatuh dan menimpa Dimas. Dalam film Doea Tanda Mata, Teguh Karya menampilkan tokoh utamanya, Gunadi, sebagai antihero. Sejak awal Gunadi digambarkan sebagai laki-laki yang begitu rentan, temperamental, peragu, kurang perhitungan, tetapi baik hati. Karena tertarik dengan gerakan kebangsaan, ia rela meninggalkan isterinya yang baru satu tahun ia nikahi. Ia pun bergabung dalam kelompok pergerakan bawah tanah sebagai pencetak selebaran-selebaran gelap. Di tempat itu, ia berkenalan dengan Ining, sang primadona panggung, yang sejak awal perjumpaan telah menaruh hati kepada Gunadi. Sebagai seorang pria yang telah beristri, ia berusaha sebisa mungkin untuk menjaga jarak. Namun, hubungan Gunadi dengan primadona panggung itu semakin dekat. Apalagi, adik Ining adalah sahabat Gunadi dalam kelompok pergerakan. Suka dan duka telah mereka jalani bersama-sama. Namun, persahabatan yang indah itu harus berakhir. Pada suatu kesempatan adik Ining tertembak peluru panas Belanda. Peristiwa ini membuat Gunadi berikhtiar untuk menuntut balas. Maka tanpa perhitungan yang matang, ia menembak mati komisaris polisi yang justru telah memberinya pekerjaan sebagai sopir pribadi. Terbunuhnya komisaris polisi tersebut tidak lantas membuat Gunadi dipuji. Sebaliknya, Gunadi justru mulai dicurigai oleh teman-teman di kelompok pergerakan. Di puncak konflik, Gunadi, pahlawan kesiangan itu, harus mati konyol di tangan teman-temannya sendiri.
Antiheroisme yang diperlihatkan Gunadi dapat pula ditemukan dalam film Secangkir Kopi Pahit melalui tokoh Togar. Lelaki ini pun sejak awal sudah digambarkan sebagai orang yang gagal. Ia sama sekali tidak dapat memenuhi harapan orang tuanya untuk menjadi sarjana ekonomi. Ia bahkan sempat terdampar sebagai buruh kasar di pabrik semen. Pada saat itu Togar bertemu dengan Lola, seorang janda beranak tiga. Lola bekerja sebagai wanita penghibur. Dalam situasi yang tidak menentu, Togar semakin dekat dengan Lola dan ketiga anaknya. Ia pun tidak ambil pusing untuk meniduri perempuan itu. Tidak lama setelah itu, berkat bantuan temannya, Togar dapat bekerja pada sebuah harian. Di tempat itu, ia dapat mengembangkan bakat jurnalistiknya dengan baik. Akan tetapi, ia menemui masalah ketika meliput sebuah berita. Togar dituduh telah menculik respondennya. Dalam kesempatan itu, muncullah Lola yang telah mengandung anak Togar. Dengan berat hati, Togar pun menikahi Lola dan memboyongnya ke kampung. Di sana Lola dan ketiga anaknya diterima dalam marga. Akan tetapi, kebahagiaan yang baru direnda itu harus berakhir. Lola tenggelam dan mati di danau Toba karena kecerobohan Togar.
C. Katarsis dan Film Baik
Jika ditilik dengan cermat, ada semacam kesan bahwa sejumlah tragedi yang ditampilkan Teguh Karya dalam film-filmya berkaitan dengan peristiwa sehari-hari yang kerap dibaca di beberapa harian kuning ibukota atau yang sering dibicarakan di lingkungan sekitar kita sebagai kabar burung atau rumor. Hal demikian bisa saja menggiring persepsi kita untuk menduga-duga bahwa film-film tersebut seolah-olah merupakan cermin faktual kehidupan masyarakat yang bebas dari kreasi imajinatif. Akan tetapi, pada kenyataannya Teguh Karya tidak pernah berusaha melabeli film-filmnya itu sebagai film-film yang terinspirasi dari kisah nyata. Sebaliknya, film-film itu justru diartikulasikannya sebagai dokumen sosial yang merepresentasikan kehidupan masyarakat sehari-hari berdasarkan prinsip-prinsip seni pertunjukan dan sinematografi seperti yang ia pelajari dari Usmar Ismail dan perintis industri film Indonesia lainnya. Karena itu, tragedi yang ditampilkan pun tidak selalu merepresentasikan realitas vulgar yang dihadapi masyarakat kelas menengah atas atau kelas bawah. Tragedi itu hanyalah menjadi semacam fragmen atau snapshot dari pelbagai kemungkinan dalam kehidupan masyarakat yang dapat ditafsirkan dan direfleksikan. Dengan begitu, tragedi yang ditampilkan Teguh Karya sebenarnya dapat pula berfungsi edukatif untuk memberikan stimulus dan ruang interpretasi kepada para penontonnya dalam rangka mengantisipasi pelbagai kemungkinan tersebut.
Karena tragedi yang ditampilkan Teguh Karya bukan beranjak dari realitas vulgar, penonton dapat memiliki jeda untuk meninjau film sebagai sarana pengujian akal sehat. Jika hal ini dapat dilakukan, film sebagai sebuah seni baru tidak hanya dapat menjadi sarana untuk melayani keindahan-kebaikan, atau berbicara kepada sesama dan berkomunikasi dengan sesama, tetapi juga memberikan pengharapan akan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Disadari atau tidak, film-film yang ditampilkan Teguh Karya berpijak pada erudisi mengenai keindahan-kebaikan yang sepatutnya dilakukan dunia seni film kendati keindahan-kebaikan yang terdapat di dalamnya bukan lagi menjadi perkara yang mudah ditemukan pada hari ini.[26] Setidak-tidaknya, tragedi yang ditampilkan sejumlah film tadi telah memunculkan pengharapan-pengharapan akan kondisi dan kehidupan yang lebih baik sebagai katarsis. Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa film-film yang ditelurkan oleh Teguh Karya telah menjadi contoh hadirnya film-film baik sebagaimana ditakrifkan Salim Said sebagai berikut.
Film yang baik adalah film yang di dalamnya ada cukup akal sehat, di mana tidak semua perempuan yang mengalami kesukaran lalu jadi hostes atau pelacuran, di mana tidak semua ibu tiri galak. Logika untuk sampai ke sana juga harus disediakan. Pendeknya, sebuah film yang baik itu adalah film yang tidak menyakitkan otak ketika kita menontonnya. Di sana cukup tersedia alasan terhadap kekayaan berlimpah yang dimiliki seorang tokoh dan alasan untuk tawa yang berlebihan.[27]
*******
Catatan Akhir
[1] Pihak yang pertama kali menyatakan penolakannya terhadap film-film newsreel Amerika adalah SARBUFIS (Sarekat Buruh Film Indonesia) pada tahun 1955. SARBUFIS adalah organisasi profesional tertua dalam industri film Indonesia yang didirikan pada tahun 1951. Penolakan yang dilakukan SARBUFIS itu sebenarnya merupakan efek eksplisit dari semakin intensnya hubungan organisasi itu dengan gerakan perdamaian sosialis. Mereka menolak kehadiran film-film newsreel Amerika karena Amerika dianggap sebagai negara yang mempromosikan nuklir sekaligus diduga sebagai provokator timbulnya gerakan-gerakan kedaerahan di Sumatera. Namun, penolakan tersebut semakin intens pada tahun 1964 ketika PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat) yang dibentuk oleh perwakilan dari 16 organisasi seperti LKN, SOBSI, GERWANI, Front Pemuda, LEKRA, dan SARBUFIS didirikan. Pada tanggal 16 Agustus 1964, melalui Departemen Perdagangan, pemerintah Orde Lama menginstruksikan pelarangan hadirnya film-film Amerika di wilayah Indonesia. Pelarangan ini, menurut Krishna Sen, dipandang sebagai salah satu kesuksesan terpenting melawan imperialisme budaya Amerika Serikat pada masa Orde Lama. Lihat Krishna Sen, Kuasa dalam Sinema : Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2009), hlm. 53-57
[2] Pada tahun 1992 industri film Hollywood memperoleh legitimasi yang sangat kuat dalam industri film di Indonesia melalui sebuah kelompok yang bernama MPEAA (Motion Picture Export Association of America). Kelompok ini beranggotakan 10 perusahaan film besar yang bermain di Hollywood: Universal, Paramount, United Artist, MGM, Warner Brothers, 20th Century Fox, Orion, Carolco, Columbia/Tri Star, dan Walt Disney/Touchstone. Kehadiran kelompok ini berkaitan dengan ancaman Amerika Serikat untuk menurunkan kuota ekspor beberapa komoditi Indonesia ke Amerika Serikat jika kelompok tersebut dilarang untuk mendistribusikan film-filmnya secara langsung. Sebagai informasi, kelompok ini memiliki hubungan dan loby yang sangat kuat dengan Kongres Amerika Serikat. Lihat Benedicta Irene Purwantari Wuryantiari, Gagasan Keluarga dalam Film Indonesia: Analisis Discourse Film Indonesia Bertema Keluarga di Masa Orde Baru. Skripsi. Tidak Diterbitkan (Jakarta : Universitas Indonesia, 1993), hlm. 73 -74.
[3] Krishna Sen, Op.Cit., hlm. 41-42
[4] Perubahan sosial-budaya yang terjadi pada awal Orde Baru bukanlah hisapan jempol. Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, banyak bermunculan masyarakat kelas menengah atas. Mereka memperoleh akses kepada sumber-sumber alam, modal, dan teknologi. Seiring dengan itu pula terjadi perubahan gaya hidup yang berkiblat pada budaya Barat. Lihat Benedicta Irene Purwantari Wuryantiari, Op. Cit., hlm. 3.
[5] Kendati begitu, menurut Michael Paris, antara tahun 1963 sampai 1973 terdapat lebih dari 50 film yang menampilkan tema mengenai konflik di Vietnam. Beberapa di antaranya adalah A Yank in Vietnam (1964) dan Commandos in Vietnam (1965) besutan sutradara Marshall Thompson. Lihat Michael Paris, “The American Film Industry & Vietnam,” History Today Volume 37 Issue 4 April 1987
[6] Beth Accomando, “The Vietnam War on Film Looking Back at How American and Foreign Films Depicted a Divisive Conflict,” http://www.kpbs.org/news/2015/apr/29/vietnam-war-film/, diakses pada tanggal 9 September 2016
[7] “The History of the Hollywood Movie Industry,” www.historycooperative.org, diakses pada tanggal 13 September 2016.
[8] Beberapa film Hollywood yang bertema demikian di antaranya adalah Bonnie and Clyde (1967), The Graduate (1967), Night of Living Dead (1968), Space Odyssey (1968), Easy Rider (1969), atau The Wild Bunch (1969). Lihat Tim Dirks, “The History of Film The 1970s The Last Golden Age of American Cinema (the American New Wave) and the Advent of the Blockbuster Film,” www.filmsite.org, diakses pada tanggal 16 September 2016.
[9] Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita (Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, 1981), hlm. 83.
[10] Keresahan ini sebenarnya sudah terlihat sejak kurun waktu 1950-1952. Beberapa film yang berasal dari Hollywood dikritik dengan keras oleh para intelektual karena dmenampilkan penggambaran adegan seksual yang eksplisit dan penggambaran masyarakat Asia dan Afrika yang bernada rasialis. Krishna Sen, Op. Cit., hlm. 42-43.
[11] Jakob Sumardjo, “Image Indonesia dalam Film Nasional Kita,” Kompas, 16 April 1974.
[12] Taufiq Ismail, “Cerita Angka FFI 1977,” dalam Tentang Perfilman Nasional Dari Penerbitan 1971-1983 (Jakarta: Yayasan Artis Film, 19830, hlm. 28.
[13] Goenawan Mohamad, Op.Cit., hlm.81
[14] Goenawan Mohamad menyebutkan beberapa film yang memperlihatkan kemiskinan sebagai kenyataan sehari-hari dalam lingkungan urban sebagai berikut. Anjing-Anjing Geladak (1972) menampilkan kehidupan yang keras di pelabuhan dan tukang parkir di Jakarta. Tabah Sampai Akhir (1973) dan Yatim (1973) menampilkan banyak rumah kardus di tempat pembuangan sampah di Jakarta. Di mana Kau Ibu (1973) dan Buah Bibir (1973) menampilkan gelandangan yang tinggal di kolong jembatan. Derita Ibu (1973) menceritakan kehidupan keluarga tukang becak. Rindu (1973) menceritakan kehidupan sopir truk yang dipenjara karena menabrak orang. Jembatan Merah (1973) menampilkan profesi pencopet dan pelacur di wilayah Surabaya. Si Mamad (1974) menampilkan kisah kehidupan orang kecil yang terpaksa korupsi untuk membiayai persalinan isterinya. Ibid., hlm. 81-82.
[15] Sebagaimana dinyatakan Krishna Sen, dalam film-film yang mengangkat tema kemiskinan, ditemukan pola naratif yang sangat tipikal. Tokoh protagonisnya adalah anak yatim piatu yang jatuh miskin dan melarat. Selama itu pula ia digambarkan sebagai orang yang tidak beruntung. Namun, nasib baik mengubah kehidupan mereka. Nasib baik yang dimaksud dapat berwujud teman, kerabat yang baik, kepintaran, dan ketekunan mereka miliki. Lihat Krishna Sen, Op.Cit., hlm. 192-198.
[16] Usmar Ismail, “Sari Soal dalam Film Indonesia,” Star News III, No. VI, hlm. 29.
[17] Mochtar Lubis, Budaya, Masyarakat, dan Manusia Indonesia Himpunan Catatan Kebudayaan Mochtar Lubis di Majalah Horison (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 201-202.
[18] Krishna Sen, Op.Cit., hlm. 34.
[19] Ibid., hlm. 66-69.
[20] Selain belajar langsung dari Usmar Ismail dan D. Djajakusuma, Teguh Karya pernah mengenyam pendidikan formal di ASDRAFI Yogya (1954-1955), ATNI (1957-1961), dan East West Centre University of Hawaii (1963).
[21] “Ceramah Film Teguh Karya,” Pikiran Rakyat, 23 Oktober 1980.
[22] “Mainan Baru Teguh Karya,” Republika, 17 Januari 1997, hlm. 19.
[23] “Teguh Karya : Dicari! Film Nasional yang Semata-mata Bukan Barang Dagangan,” Berita Minggu Film, 29 Nopember 1981, hlm. 8.
[24] “Ceramah Film Teguh Karya,” Loc. Cit.
[25] “Teguh Karya : Dicari! Film Nasional yang Semata-mata Bukan Barang Dagangan,” Loc. Cit.
[26] Seorang teolog dari Swiss, Hans Urs von Balthasar, pernah memperingatkan bahwa dalam dunia yang penuh kepentingan seperti saat ini beauty atau keindahan telah ditinggalkan. Keindahan bahkan tidak lagi dicintai atau dibesarkan oleh agama. Akibatnya, kita tidak lagi berani untuk mempercayai keindahan karena terlanjur kita anggap sebagai penampilan belaka. “Beauty is the disinterested one, without which the ancient world refused to understand itself, a word which both imperceptibly and yet unmistakably has bid farewell to our new world, a world of interests, leaving it to its own avarice and sadness. No longer loved or fostered by religion, beauty is lifted from its face as a mask, and its absence exposes features on that face which threaten to become incomprehensible to man. We no longer dare to believe in beauty and we make of it a mere appearance in order the more easily to dispose of it. “ Lihat Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord: a Theological Aesthetics Volume I : Seeing the Form (San Francisco: Ignatius Press, 1982), hlm. 18
[27] Salim Said, Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991), hlm. 22-23.
Paulus Heru Wibowo Kurniawan
Qui seminant in lacrimis, in exsultatione metent.
Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata akan menuai dengan bersorak-sorai.
(Mazmur 126:5)
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk membaca ulang peran majalah Basis dan Dick Hartoko, SJ dalam pengembangan Kritik Sastra Indonesia. Kendati terletak di kota Yogyakarta, Basis sebagai majalah kebudayaan umum memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi para sastrawan dan pengamat sastra yang berasal dari Yogyakarta dan wilayah luar Yogyakarta selama periode 1950 sampai saat ini. Dick Hartoko yang bertugas sebagai redaktur majalah memiliki peranan yang sangat besar untuk mendorong terciptanya situasi kesastraan melalui rubrik puisi,esai, dan kritik sastra yang termuat di dalam majalah itu. Namun, selain sebagai redaktur, ia juga hadir sebagai seorang kritikus sastra yang kerap membagikan gagasan dan pengamatan yang tajam terhadap fenomena kesastraan yang berkembang di dalam masyarakat. Melalui rubrik sastra yang dimuat di Basis, masyarakat pembaca awam dapat memahami signifikansi apresiasi sastra sebagai pengalaman estetik yang dialami secara personal. Maka, membaca ulang peran keduanya dapat mengantarkan kita kepada keberpihakan dan kedalaman pilihan nilai yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Kata kunci : Media Massa Cetak, Basis, Kritik Sastra, Tema Pemikiran, Keberpihakan
Pendahuluan
Sejak menjadi salah satu kajian akademik di fakultas sastra atau ilmu budaya, pembicaraan mengenai kritik sastra kerap merujuk pada metode dan teknik bagaimana menghasilkan kritik sastra yang mampu mengungkapkan hubungan antara sastrawan, masyarakat, dan karya sastra secara obyektif. Sejauh ini, terdapat semacam kecenderungan bahwa kritik mengenai hubungan ketiganya itu harus dipahami dalam sebuah metode pembacaan hermeneutika sebagai pendekatan interpretatif terhadap karya sastra. Di satu sisi, metode pembacaan tersebut mampu menguak dan mengungkapkan sejumlah hal tekstual yang tersembunyi, kabur, jauh, dan gelap sebagai sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami. Akan tetapi, di sisi lain, metode tersebut bukan berarti tidak meninggalkan masalah yang cukup pelik. Richard E. Palmer, seorang ahli hermeneutika dari Amerika, pernah mempertanyakan seberapa jauh kompleksitas dan kedalaman yang harus dimiliki seorang kritikus sastra agar hubungan antara sastrawan, masyarakat dan karya sastra dapat sungguh terpahami setepat-tepatnya.[1] Hal demikian sangat beralasan karena menurut Palmer sebuah karya sastra bukan merupakan sebuah obyek yang dapat dipahami hanya karena proses konseptual atau proses analisisnya. Karya sastra hanya dapat dipahami melalui proses pendengaran yang berkenaan dengan eksistensi manusia di dunia.[2] Artinya, pemahaman terhadap karya sastra sebagaimana terdapat dalam kritik sastra berkaitan erat dengan pemahaman eksistensial yang melampaui pemahaman epistemologis dan ontologis.
Tidak dapat dimungkiri bahwa dalam khazanah sastra Indonesia pembicaraan mengenai metode dan teknik dalam kritik sastra ditangani secara serius oleh para akademisi sastra sebagai bagian dari kritik akademik. Kritik tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Ronald Tanaka, merupakan kritik yang dielaborasi oleh para akademisi bagi khalayak akademik yang terbatas seperti yang terdapat dalam artikel-artikel jurnal ilmiah.[3] Artikel-artikel tersebut merupakan resepsi atau tanggapan tertulis yang terstruktur atas posisi ketiga matra, sastrawan, masyarakat, dan karya sastra, yang dilakukan oleh para akademisi sastra sebagai sophisticated reader, bukan sebagai pembaca awam.[4] Resepsi atau tanggapan itu, tentu saja, ditulis berdasarkan konsep, teori, dan aturan kesastraan yang berlaku sehingga kritik ini bersifat judisial sebagaimana dinyatakan oleh M.H. Abrams.[5] Untuk pengembangan metode dan teknik kritik sastra, kritik akademik atau kritik judisial memiliki sumbangan yang penting, terutama dalam penciptaan kemungkinan-kemungkinan baru bagi pemaknaan terhadap fenomena kesastraan yang terus berkembang seiring dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi, karena hanya berlaku di kalangan pembaca yang terbatas, sejumlah pemikiran dan kajian yang ditelurkan kritik akademik atau kritik judisial itu jarang diketahui oleh masyarakat umum. Menurut Abrams, hal demikian dapat teratasi dengan hadirnya kritik sastra yang berorientasi impresionistik, kritik sastra yang tidak menggunakan standar tertentu seperti kritik judisial, tetapi hanya berdasarkan impresi atau kesan pembaca terhadap karya sastra sehingga dapat mudah dipahami oleh masyarakat umum.
Dalam sejarah kritik sastra Indonesia sebagaimana pernah diamati secara serius oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam beberapa bukunya seperti Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern (1974), Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (1995), Kritik Sastra Indonesia Modern (2002), dan disertasinya yang berjudul “Kritik Sastra Indonesia Modern Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989), kritik impresionistik atau disebut Pradopo sebagai kritik terapan sebenarnya telah dikenal sejak lama oleh masyarakat umum melalui esai, artikel, atau resensi tentang sastra di sejumlah media cetak yang beredar secara nasional maupun secara lokal. A.Teeuw menambahkan bahwa sejak masa Pujangga Baru pada tahun 1930-an kritik impresionistik, sebagaimana diperkenalkan melalui sejumlah artikel yang ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana, telah dibaca dan dipahami masyarakat umum.[6] Pada tahun 1960-an, kritik impresionistik bahkan dipandang oleh aliran Ganzheit yang dimotori oleh Arief Budiman dan Gunawan Mohamad sebagai kritik sastra yang dapat dicerna dan dipahami masyarakat dibandingkan kritik akademik atau kritik ilmiah yang digulirkan oleh kalangan akademisi dari aliran Rawamangun.[7] Kendati dalam proses itu berlangsung polemik sengit, pada kenyataannya, sejumlah karya sastra yang telah dihasilkan membutuhkan kehadiran media yang dapat menjadi jembatan yang dapat mempertemukan pemikiran dan imajinasi para pengarang dengan masyarakat pembaca. Dalam hal ini media yang pertama-tama patut disebut di sini adalah media massa cetak seperti majalah atau koran. Menurut Teeuw, pembicaraan tentang peran media massa cetak dalam perkembangan sastra Indonesia mutlak dilakukan untuk mengamati lebih jauh perkembangan sejarah sastra di luar wilayah Jakarta.[8]
Perlu dipahami bahwa kritik impresionistik itu tidak hanya dapat ditemukan di sejumlah majalah atau koran nasional yang berpusat di Jakarta melainkan juga di media massa cetak lokal yang berpusat di wilayah-wilayah lain. Dalam konteks keberadaan media massa cetak sebagai sarana persebaran gagasan mengenai kritik impresionistik, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah penting yang perlu diperhatikan. Tirto Suwondo dan beberapa peneliti sastra dari Balai Bahasa Yogyakarta pernah melakukan serangkaian penelitian tentang situasi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta dari tahun 1945 sampai 2000.[9] Berdasarkan penelitian itu disebutkan bahwa sejak awal kemerdekaan di kota itu telah terbit berbagai media massa cetak yang memuat kritik baik dalam bentuk esai, artikel, maupun resensi. Beberapa nama media massa cetak yang memberikan andil positif bagi perkembangan kritik impresionistik selama kurun waktu 1945-2000 di antaranya adalah Pusara (terbit sejak 1933), Pesat (terbit sejak 21 Maret 1945), Api Merdika (terbit sejak 16 November 1945), Arena (terbit sejak April 1946), Suara Muhammadiyah (terbit sejak 1915), Kedaulatan Rakyat (terbit sejak 27 September 1945), Minggu Pagi (terbit sejak April 1948), Medan Sastra (terbit sejak 1953), Darmabakti (terbit sejak April 1950), Basis (terbit sejak Agustus 1951), Semangat (terbit sejak tahun 1954), Budaya (terbit sejak Februari 1953), Mercu Suar (terbit sejak 1966), Eksponen (terbit sejak 1970-an), dan Berita Nasional (terbit sejak awal 1970-an).[10] Suwondo dan kawan-kawan memandang bahwa keberadaan berbagai media massa cetak lokal yang menampilkan kritik sastra impresionistik itu menjadi stimulus berkembangnya tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Kendati demikian, mereka juga mengakui bahwa dalam media massa cetak itu tidak jarang dijumpai bahwa kritik sastra hanya hadir sebagai bagian kecil dari pembahasan umum mengenai peristiwa seni dan budaya yang begitu luas dan umum.[11]
Dari beberapa media massa cetak yang telah disebutkan di atas, Basis menjadi salah satu majalah kebudayaan yang sampai hari ini masih tetap memiliki perhatian terhadap tradisi sastra, terutama kritik sastra. Beberapa majalah kebudayaan lain yang dikelola secara profesional dan didukung oleh lembaga sekuat pemerintah seperti Arena (1946-1948) yang ditokohi oleh Usmar Ismail dan Anas Ma’ruf, Budaya (1953-1962) yang dipelopori oleh Kusnadi, Kirdjomuljo, dan Nasjah Jamin, Budaya Jaya (1968-1979) yang ditangani Ajip Rosidi, Ramadhan KH, dan Harijadi S. Hartowardojo, Kisah (1953-1957) yang dijalankan oleh HB Jassin, Idrus, M.Balfas, dan DS Moeljanto, atau Konfrontasi (1954-1962) yang diperkuat oleh Takdir Alisjahbana, Beb Vuyk, Soedjatmoko, Achdiat K.Mihardja, Hazil Tanzil, dan M. Saribi telah lama surut dan bahkan mati.[12] Karena itu, pembicaraan mengenai peran majalah Basis sebagai media dalam diskursu mengenai kritik sastra Indonesia akan menjadi fokus perhatian dalam makalah ini.
Berdasarkan konteks pembicaraan mengenai kehadiran media dalam kritik sastra Indonesia, ada tiga persoalan yang akan dibahas lebih lanjut. Pertama, bagaimanakah langkah-langkah yang dilakukan Basis untuk mengembangkan kritik sastra impresionistik yang dapat membantu masyarakat umum untuk mencintai seni sastra? Kedua, apakah ada semacam strategi tertentu yang diterapkan Basis agar pemikiran dan interpretasi para kritikus dapat diseminasikan kepada masyarakat umum? Ketiga, jika telah diterapkan Basis, apakah strategi itu berkaitan erat dengan implikasi-implikasi sosiologis yang dimiliki masyarakat pembacanya?
Basis sebagai Media Kritik Sastra dan Benteng Berpikir Sehat
Selain bergerak di bidang pendidikan, para Jesuit yang berkarya di Indonesia juga memiliki perhatian yang besar pada perkembangan kebudayaan di Nusantara. Mereka memandang kebudayaan sebagai bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari persoalan mengenai kemanusiaan. Karena itu dibutuhkan sebuah sarana yang dapat dipergunakan untuk merefleksikan nilai-nilai budaya sekaligus etika yang terdapat dalam masyarakat.[13] Terinspirasi oleh majalah Streven, majalah kebudayaan yang diasuh oleh para Jesuit di Belanda, beberapa Jesuit seperti J. Bakker, A. Djajasepoetra, J. Dijkstra, R. Soekarto, G. Vriens, dan P. J. Zoetmulder berkumpul pada tanggal 29 Maret 1951 di Ignatius College Yogyakarta.[14] Mereka sepakat untuk menerbitkan sebuah majalah kebudayaan yang diperuntukkan bagi pembaca awam lintas agama. Majalah itu mereka namai sebagai Basis. Nama ini dipergunakan untuk mengingatkan publik pembaca pada sebuah istilah Yunani, psyche nihae, yang berarti jiwa untuk memberikan penekanan pada kedalaman, kebatinan, prinsip kehidupan, dan semangat.[15]
Pada tanggal 1 Oktober 1951, edisi pertama majalah Basis pun terbit. Dalam mukadimah terbitan pertama itu ditegaskan bahwa Basis ingin menyumbangkan gagasan pikiran bagi pembangunan bangsa khususnya masalah-masalah yang dahulu belum terasa tetapi dalam kontak dengan dunia internasional terasa semakin mendesak, yaitu sumbangan pemikiran di sejumlah bidang seperti ekonomi, politik, kesenian, hidup berkeluarga, dan kesusasteraan.[16] Para Jesuit yang menggawangi majalah Basis pada masa itu adalah Nicolaus Drijarkara, P.J Zoetmulder, R. Soekarto, dan R. Soekadija. Baik Drijarkara maupuan Zoetmulder dikenal sebagai dua pendekar humaniora terbesar di Indonesia.[17] Tidak disangka-sangka bahwa Basis sebagai sebuah majalah kebudayaan yang baru saja terbit ternyata mendapat sambutan hangat tidak hanya dari kaum intelektual di Yogyakarta, melainkan juga di luar wilayah Yogyakarta. Dalam beberapa edisi awal dibahas sejumlah topik yang menarik seperti pemikiran dan renungan filsafat yang dikupas dengan sangat kritis oleh Drijarkara (dengan nama samaran “Puruhita”), keindahan dan kekayaan sastra Jawa Kuno yang digali kembali oleh Zoetmulder dengan begitu cermat, atau refleksi historis yang dipaparkan dengan sangat merenik oleh G. Vriens. Semua topik itu disampaikan dalam bahasa populer sehingga masyarakat pembaca umum pun dapat mengambil manfaat, mengenali akar budayanya secara benar dan memandang modernitas dengan cara pandang yang reflektif dan kritis. Maka tidaklah mengherankan bila pada awal tahun 1951 majalah tersebut dapat mencapai tiras lebih dari 3000 eksemplar.
Selain persoalan kebudayaan seperti sastra, filsafat, seni, atau religi, Basis juga begitu peduli pada gagasan mengenai demokrasi. Pada tahun 1954, Basis pernah menerbitkan serial terjemahan Pedoman Demokrasi untuk Rakyat. Serial terjemahan ini dipergunakan sebagai sarana untuk mempersiapkan Pemilu 1955 dan sebagai buku pegangan bagi Kementerian Penerangan pada masa itu.[18] Kiprah Basis pun semakin cemerlang sejak tahun 1957, ketika Theodorus Geldrop alias Dick Hartoko, seorang Jesuit lulusan Sejarah Umum dan Teologi dari Universitas Leiden, direkrut dan diserahi tugas sebagai sekretaris redaksi majalah Basis untuk menggantikan G. Vriens yang mengundurkan diri dan untuk mendampingi Drijarkara yang bertugas sebagai pemimpin redaksi majalah itu sejak tahun 1953 sampai 1965. Akan tetapi, karena Drijarkara lebih banyak menghabiskan waktu sebagai dosen filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta dan Dekan PTPG Sanata Dharma yang baru berdiri, tugas-tugas redaksi secara otomatis ditangani langsung oleh Dick Hartoko.[19]
Dalam waktu yang relatif singkat, kiprah Dick Hartoko mampu membuat Basis berkembang dengan cukup pesat. Hal menarik yang perlu diperhatikan ketika Dick Hartoko membesarkan majalah itu adalah bahwa Basis pernah menjadi salah satu majalah yang terlibat langsung untuk membendung paham komunisme di Yogyakarta pada tahun 1960-an. Ketika Manifes Kebudayaan dilarang, Basis dengan caranya sendiri berusaha membendung aksi ofensif Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), onderbouw Partai Komunis Indonesia.[20] Meski memperoleh cercaan dan hujatan yang pedas dari Partai Komunis Indonesia, Basis secara sistematik tetap menghadirkan karangan-karangan yang berdasar pada akal sehat, bukan karangan yang menggembar-gemborkan slogan. Karena hal itulah, H.B Jassin pernah menyebut majalah Basis sebagai Benteng Berpikir Sehat.[21]
Perlu diakui bahwa ketika Dick Hartoko duduk sebagai Pemimpin Redaksi, minat Basis kepada kesusasteraan terlihat begitu mencolok. Hal ini dibuktikan dengan dimuatnya sejumlah sajak dan esai-esai kritik sastra yang tajam dari pengurus redaksi dan penulis lainnya.[22] Tercatat bahwa selama tahun 1957 sampai 1990, majalah itu telah memuat ratusan sajak, esai, dan kritik sastra yang ditulis oleh beberapa sastrawan dan pengamat sastra yang handal yang berasal baik dari wilayah Yogyakarta maupun dari luar Yogyakarta seperti WS. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Th. Koendjono, Arifin C. Noor, Sitor Situmorang, Rachmat Djoko Pradopo, Abdul Hadi W.M., Umar Kayam, Ajip Rosidi, Mochtar Lubis, Wiratmo Sukito, Andre Hardjana, A. Teeuw, F. Rahardi, Kuntara Wiryamartana, Boen S. Oemaryati, Korrie Layun Rampan, Ragil Suwarno, Iman Budhi Santosa, Ariel Heryanto, Harry Aveling, Emha Ainun Najib, Umar Junus, Linus Suryadi Ag., YB. Mangunwijaya, Darmanto Jatman, Kuntowijoyo, Eka Budianta, Bakdi Soemanto, B. Rahmanto, Budi Darma, Jakob Sumardjo, Joko Pinurbo, Toety Heraty, Sindhunata, Jiwa Atmaja, Suripan Sadi Hutomo, Veven Sp Wardana, Suminto A. Sayuti, dan lain-lain.[23]
Kendati begitu, tidak dapat dinafikan pula bahwa rubrik-rubrik yang ditawarkan Basis kepada pembaca memang selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1951 sampai 1970 beberapa rubrik yang ditawarkan Basis bertajuk tentang Perburuhan, Pengajaran, Filsafat, Ketuhanan, Sosiologi, Ekonomi, Soal-soal internasional, dan Rubrik Puisi. Namun, pada rentang tahun 1970 sampai 1996 beberapa rubrik yang ditawarkan menjadi jauh lebih sederhana, yaitu Tanda-tanda Zaman, Kronik, Puisi, dan Resensi Buku. Perubahan ini tentu saja berdampak pada kuantitas pemuatan puisi, esai, dan kritik sasta dalam rubrik sastra. Sejak tahun 1996, ketika Basis dipimpin oleh Sindhunata, cerita-cerita pendek yang ditulis oleh para sastrawan yang lebih muda mulai dipublikasikan dalam rubrik sastra, kendati pada tahun itu Basis memiliki wajah baru sebagai representasi dari kultur anamnesis yang dapat mendidik masyarakat untuk sadar dan ingat akan sejarahnya, termasuk yang gelap dan penuh penderitaan karena penindasan.[24] Melalui kultur itu, Basis dapat menjelma sebagai majalah intelektual yang ingin menjalankan refleksi kritis, historis, dan visioner atas permasalahan sosial budaya demi idealisme akan humanitas dan solidaritas keadilan, sebagaimana ternyatakan dalam kutipan berikut.[25]
Menurut Sindhu, sebagai majalah intelektual, Basis mencoba berani berdiri dalam dua titik ketegangan. Ia tak jadi pragmatis, karena itu ia kritis terhadap keadaan. Ia tak utopis, karena itu ia akan menggali visi-visi yang mungkin direalisasikan bagi masyarakat. Semua harus terjadi dalam konteks historis sehingga mau tidak mau harus berpijak pada pilihan nilai. Nilai pilihan itu adalah keadilan sosial.
Dick Hartoko sebagai Kritikus Sastra
Kehadiran Basis sebagai majalah kebudayaan yang peduli terhadap perkembangan seni sastra, menurut A. Teeuw, tidak terlepas dari peran Dick Hartoko sebagai seorang redaktur.[26] Umar Kayam bahkan pernah mengatakan bahwa Dick Hartoko dan Basis tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus diucapkan dalam satu napas.[27] Dalam konteks pengembangan kritik sastra, Dick Hartoko tidak bersikap pasif sebagai pengurus redaksi yang hanya menyeleksi, menentukan, serta menerbitkan puisi, esai, dan kritik sastra yang ditulis oleh sejumlah sastrawan dan pengamat sastra, tetapi terlibat pula sebagai seorang kritikus sastra yang kerap memberikan berbagai pendekatan baru terhadap karya sastra melalui esai-esai sastra yang dipublikasikannya dalam Basis. Terdapat begitu banyak tema pemikiran perihal kesastraan yang ditelurkannya selama menjadi redaktur majalah kebudayaan itu. Dalam bagian ini hanya akan dibicarakan 3 tema pemikiran tentang kesastraan yang menarik untuk diperhatikan, yaitu hubungan antara kehidupan agama dengan kesusasteraan, pencerapan estetika dalam kesusasteraan, dan filsafat sebagai metode pemaknaan dalam sastra.
Pada dasarnya sebagai seorang rohaniwan Katolik dan anggota Serikat Jesus, Dick Hartoko memiliki perhatian yang sangat besar kepada sikap keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk aktifitas kesastraan. Ia sepakat dengan pernyataan Christopher Dawson, seorang ahli sejarah dari Inggris, bahwa agama merupakan kunci sejarah.[28] Memahami agama berarti memahami masyarakat. Agama juga menjadi ambang pintu bagi semua kesusasteraan agung di dunia. Dalam sejarah peradaban manusia ditunjukkan bahwa hubungan antara agama, masyarakat, dan kebudayaan tidak pernah satu arah, tetapi bersifat timbal balik.[29] Cara hidup masyarakat mempengaruhi pendekatan terhadap agama, dan sikap-sikap keagamaan mempengaruhi cara hidup itu. Sayangnya, kondisi itu sering disalahtafsirkan sehingga agama kerap dipersepsi sebagai hasil kebudayaan yang ditentukan oleh kegiatan manusia. Padahal dalam prinsip timbal balik, kebudayaan yang diciptakan manusia itu dapat diwujudkan dan diubah oleh agama.[30]
Karena itu, dalam sebuah ceramahnya di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 26 Nopember 1969, Dick Hartoko pernah mengatakan bahwa agama tidak secara langsung mempengaruhi pengalaman estetis dalam proses apresiasi sastra.[31] Hal demikian tidak berarti bahwa ia memungkiri bahwa agama dapat menimbulkan pandangan tertentu kepada sastrawan sebagai sebuah wawasan dunia. Dalam tataran normatif, karya sastra yang mencerminkan penghormatan kepada harkat dan martabat pribadi manusia sungguh sangat berarti bagi hidup keagamaan dan patut didukung oleh setiap orang beriman sekalipun karya sastra tersebut tidak secara eksplisit mencerminkan cita-cita agama tertentu. Maka, faktor yang menjamin corak keagamaan dalam sebuah karya sastra bukanlah temanya. Menurutnya, karya sastra yang menonjolkan tema keagamaan secara apriori seringkali justru menyembunyikan dan mengganti nilai-nilai kesusasteraan dengan etiket atau klise agama.[32]
Pendapat Dick Hartoko itu sejalan dengan pendapat Karl Rahner, seorang teolog Katolik yang terlibat banyak dalam Konsili Vatikan II, yang memandang bahwa hidup keagamaan akan berkembang jika dunia profan tidak ditolak sebagai hal yang menyesatkan dan tidak bermakna. Meski terdengar paradoksal, bercampur gaul dengan dunia ini merupakan syarat penting untuk mencapai taraf kedewasaan dalam hidup religius, terutama bagi kaum awam. Hal demikian pun berlaku untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan kesusasteraan sebagaimana terdapat dalam kutipan panjang berikut ini.
Sekalipun kesusasteraan tidak eksplisit mencerminkan cita-cita keagamaan atau secara langsung membimbing si pembaca untuk makin mengabdi kepada Tuhan, hal ini tidak berarti bahwa sastra tersebut sepi dari unsur-unsur keagamaan. Dewasa ini nilai-nilai agama justru terancam pada bidang martabat manusia. Yang pertama-tama diserang oleh kaum atheis bukanlah agama sendiri, melainkan hak-hak asasi manusia yang dirongrong, dan nilai-nilai manusiawi yang dipermainkan. Dan sayanglah bahwa sebaliknya umat beriman seringkali baru memberi reaksi bila yang diserang itu secara eksplisit beretiket “agama” sedangkan mereka tidak berani mengeluarkan suara bila martabat manusia pada umumnya diperkosa. Padahal di belakang tiap-tiap manusia beserta martabatnya, berdirilah Tuhan sendiri. Dari sebab itu kesusasteraan yang mempertahankan harkat pribadi manusia sangat berarti bagi hidup keagamaan dan patut didukung oleh setiap orang beriman.[33]
Lalu bagaimana dengan pencerapan estetik dalam kesusasteraan? Dalam sebuah acara bertajuk Sarasehan Bahasa dan Sastra Indonesia yang diselenggarakan Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1992, Dick Hartoko mengingatkan pentingnya memajukan apresiasi sastra tertulis di kalangan masyarakat. Baginya, apresiasi sastra terhadap karya sastra merupakan syarat penting untuk memunculkan sastra Indonesia yang bertanggungjawab terhadap kebangkitan bangsa Indonesia yang masih terbelakang dalam banyak hal.[34] Untuk hal itu, melalui majalah Basis yang dikelolanya selama puluhan tahun, Dick Hartoko tanpa kenal lelah berusaha mengundang dan mengajak para penulis untuk mengirimkan apresiasi terhadap karya-karya sastra yang beredar di dalam masyarakat. Meski undangan tersebut tidak selalu berhasil, upaya ini menunjukkan bahwa apresiasi sastra belum menjadi sebuah kebutuhan yang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Padahal secara ideal apresiasi sastra berkaitan erat dengan pengalaman estetik yang dapat menjalin interkomunikasi antara hakikat kenyataan dengan hati sanubari manusia, antara alam semesta dengan manusia yang fana, antara manusia dengan sesama manusia.[35]
Menurut Dick Hartoko, apresiasi sastra, termasuk kritik sastra, harus berawal dari kedekatan eksistensial antara pembaca dengan karya sastra yang ingin dipahami sehingga dari sana pengalaman dan pencerapan estetik dapat dilahirkan secara holistik.[36] Tanpa kedekatan eksistensial, apresiasi atau kritik sastra yang ditulis akan terasa kering karena tidak mampu menggetarkan emosi yang menyangkut seluruh pribadi manusia, jiwa dan raganya. Kendati demikian, berdasarkan pengalaman mengajar di IKIP Sanata Dharma, Dick Hartoko menunjukkan sebuah strategi alternatif agar pengalaman dan pencerapan estetik sungguh merupakan sebuah proses manusiawi yang dapat dipertanggung jawabkan secara obyektif. Strategi yang dijalankan Dick Hartoko dapat dilihat pada kutipan berikut.[37]
“Bila membaca sebuah karya sastra, lupakan dulu segala macam teori, baca karya itu secara polos, biarkan getaran-getaran yang terpancar dari buku itu meresapi kalbumu.Lalu katakan, apakah buku itu kauanggap bagus atau tidak. Baru kemudian kesan pertama dan subyektif itu dapat Saudara uji dengan kaidah-kaidah yang pernah dipaparkan oleh Abrams misalnya.”
Selain kedua tema tadi, Dick Hartoko adalah orang pertama yang menerapkan sebuah kritik sastra yang bersifat eksperimental dalam sebuah majalah kebudayaan berbahasa Indonesia. Ia memperkenalkan filsafat eksistensialisme sebagai pendekatan (approach) alternatif terhadap puisi-puisi karya Chairil Anwar.[38] Hal ini dilakukannya agar diperoleh suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang gagasan-gagasan yang terdapat di belakang puisi-puisi karya Chairil Anwar. Eksperimen ini perlu dilakukan sebagai sebuah terobosan baru karena selama berpuluh-puluh tahun, puisi-puisi Chairil Anwar selalu diteliti sebagai teks-teks yang memiliki pengaruh dengan para penyair Sastra Belanda seperti Marsman, Rilke, Slauerhoff, atau Conrad Aiken.[39] Karena itu, Dick Hartoko menantang para pembaca Basis untuk keluar dari struktur pengetahuan konvensional yang mereka miliki agar puisi-puisi tersebut dapat dimaknai secara personal melalui pendekatan filsafat eksistensialisme.
Mengapa Dick Hartoko menawarkan filsafat eksistensialisme sebagai sebuah pendekatan untuk memaknai karya sastra? Menurut Dick Hartoko, alasan pertama adalah bahwa filsafat eksistensialisme merupakan suatu revolusi dalam dunia pemikiran yang memampukan pengalaman yang paling pribadi dapat didekati melalui self-reflection sebagaimana dilakukan oleh Kierkegaard, seorang eksistensialis dari Denmark.[40] Alasan kedua adalah bahwa baik dalam filsafat eksistensialisme maupun dalam dunia seni dan sastra, pengalaman subyektif menjadi titik pangkal utama terutama pertanyaan pokok yang menyangkut pertanyaan mendasar tentang siapakah aku seperti yang direfleksikan oleh Gabriel Marcel.[41] Alasan ketiga adalah bahwa filsafat eksistensialisme menawarkan sebuah daya untuk menerima kematian dan tidak melarikan diri dari padanya kendati kecemasan dan ketakutan membuat manusia tidak kerasan di dunia ini sebagaimana dinyatakan dengan sangat lugas oleh Heidegger.[42] Alasan keempat adalah bahwa filsafat eksistensialisme membuka kesadaran tentang dimensi gelap yang dimiliki manusia bahwa setiap orang terkurung dalam dirinya dan tertutup bagi yang lain. Apa yang dilakukannya hanya menimbulkan rasa kesia-siaan dan menjadikan hidup ini sebagai neraka seperti yang dikatakan oleh Jean Paul Sartre bahwa neraka adalah orang-orang lain.[43] Alasan kelima adalah bahwa segi-segi dari filsafat eksistensialisme itu pasti dirasakan oleh setiap orang yang menghayati hidup ini dengan penuh kesadaran. Alasan terakhir adalah bahwa seperti kita, Chairil Anwar juga hidup dalam sebuah masyarakat transisional dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Kondisi demikian menimbulkan konsekuensi tertentu seperti yang digambarkan dengan sangat baik dalam kutipan berikut.
Chairil Anwar hidup dalam sebuah masyarakat yang menuju modernisasi dan pembangunan, meninggalkan masyarakat kolektif dengan klise-klise dan sterotype-stereotypenya dengan pola-pola yang sudah pasti menuju masyarakat modern di mana tanggung jawab pribadi dari masing-masing individu adalah syarat mutlak untuk mencapai pembangunan yang sungguh-sungguh. Dalam dirinya ia mengalami kegoncangan dari masyarakat-masyarakat lama, ia hidup pada garis belahan dengan masyarakat baru yang sedang dibina. Maka tidak mengherankan bahwa dia juga mengalami momen-momen, situasi-situasi eksitensialis, seperti mudah-mudahan juga dirasakan oleh setiap orang yang dengan penuh kesadaran ingin turut serta membangun masyarakat moderen. Penuh tanggung jawab pribadi, menguji tradisi yang lama, menguji apa yang dituturkan oleh mass-media dan sebagainya, mengadakan pilihannya sendiri dan tak ingin disuapi oleh orang-orang lain dengan resep-resep yang sudah rampung selesai.[44]
Ketiga tema yang dibicarakan tadi menjadi bukti betapa fenomena kesastraan yang terjadi dalam sastra Indonesia sungguh diperhatikan secara serius oleh Dick Hartoko sebagai bagian penting dalam fenomena kebudayaan. Disadari atau tidak, ketiga tema tersebut, meski tidak diintensikan sebagai kritik sastra yang ketat dan komprehensif, mampu menjadi salah satu petunjuk dan jembatan dalam penulisan kritik sastra yang berbasis pada pergumulan hidup sehari-baik baik sebagai kritik impresionistik maupun sebagai kritik judisial. Dapat dikatakan bahwa ketiga tema pemikiran mengenai kesastraan itu dapat dipergunakan sebagai salah satu teori dan metode pembacaan hermeneutika sebagai pendekatan interpretatif untuk memahami karya sastra secara lebih personal, bukan sekadar sebagai teks yang dingin dan kaku. Metode pembacaan yang ditawarkan Dick Hartoko itu pun berusaha untuk menguak dan mengungkapkan sejumlah hal tekstual yang tersembunyi, kabur, jauh, dan gelap sebagai sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami. Setidak-tidaknya, ketiga tema pemikiran yang disampaikan Dick Hartoko itu dapat merepresentasikan kompleksitas dan kedalaman yang harus dimiliki seorang kritikus sastra agar hubungan antara sastrawan, masyarakat dan karya sastra dapat sungguh terpahami setepat-tepatnya, sebagaimana didambakan Richard E. Palmer dalam bagian awal makalah ini. Dick Hartoko telah berusaha membawa karya sastra untuk bersentuhan dengan permasalahan eksistensial yang melampaui pemahaman epistemologis dan ontologis.
Media Kritik Sastra sebagai Media Keberpihakan
Sudah sejak tahun 1970-an A. Teeuw menengarai bahwa media sastra memiliki peranan yang sangat besar dalam pengembangan karya sastra dan kritik sastra Indonesia. Pada masa itu peranan media massa cetak seperti majalah dan surat kabar yang beredar di sejumlah wilayah di Indonesia dipandang kian penting sebagai media sastra yang dapat mengakomodasi kedudukan sastra di tengah masyarakat, meski pada masa Orde Lama, peran media massa sebagai sarana diskusi dan polemik sastra bukanlah sesuatu yang baru.[45] Seturut dengan semakin banyaknya penerbitan media massa cetak di sejumlah wilayah di Indonesia, Teeuw juga menyoroti peran media massa cetak lokal baik yang berada di kota-kota besar maupun berada di kota kecil di luar Jakarta sebagai agen penggerak kesadaran terhadap apresiasi sastra.
Dalam konteks itu, Yogyakarta dipandang oleh Teeuw sebagai sebuah lokus kesastraan yang dapat hadir secara mandiri, tanpa perlu memusatkan diri pada Jakarta berdasarkan penelitian yang dilakukan Farida Labrousse-Soemargono pada tahun 1978. Status yang disandang oleh Yogyakarta ini memang tidak mengejutkan karena baik secara historis maupun secara sosiologis, kota ini telah menjadi tempat terbentuknya komunitas pendidikan (learning community) sekaligus masyarakat pendidikan (learning society).[46] Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan majalah Basis sebagai majalah kebudayaan yang masih bertahan dari segala pasang surut peristiwa politik dan ekonomi itu pun semakin mengukuhkan posisi Yogyakarta sebagai kota seni dan budaya yang tidak hanya memiliki kekayaan tradisi dan peninggalan budaya yang beragam yang sangat dikagumi dunia internasional , tetapi juga menghasilkan para seniman dan pemikir kebudayaan yang mumpuni.
Kendati begitu, sejak awal didirikan, Basis tidak berusaha untuk bergantung sepenuhnya pada kenyamanan dan kemewahan yang ditawarkan kota Yogyakarta sebagai kota seni dan budaya. Bahkan, pada tahun 1970 Dick Hartoko pernah memberikan kritik secara terbuka kepada masyarakat Yogyakarta yang terlalu serius, formalistis, dan terkekang karena tidak menginginkan kota Yogyakarta dirombak dan diperindah sesuai dengan semangat budaya lokal.[47] Menurutnya, kota Yogyakarta akan menjadi pusat dari kesenian dan kebudayaan jika kota tersebut dibangun berdasarkan ekteriorisasi keadaan jiwa masyarakat. Namun, selama masyarakat masih belum memiliki kedewasaan dan mentalitas seni budaya yang matang, Yogyakarta sebenarnya tidak akan pernah menjadi sebuah kota seni dan budaya.
Kritik Dick Hartoko terhadap masyarakat Yogyakarta sebenarnya merupakan salah satu bukti bahwa sejak dahulu majalah Basis berusaha konsisten untuk memperjuangkan kedalaman melawan pendangkalan hidup baik yang berasal dari masyarakat maupun politik. Sebagai majalah kebudayaan, Basis memiliki keberpihakan yang jelas kepada kesederhanaan, kemiskinan, dan kesungguhan di tengah maraknya budaya instan, absennya proses internalisasi, hilangnya akal sehat, semakin besarnya penyalahgunaan kekuasaan, tergerusnya kesadaran historis, atau bertumbuhnya ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Di tengah situasi demikian, mau tidak mau diperlukan lambang atau simbol yang dengan tegas memberikan artikulasi bahwa yang kecil, yang tak berduit, yang tak berkuasa mampu pula memberikan sumbangan yang berarti.[48] Rubrik sastra yang ditawarkan dalam majalah Basis hanya menjadi salah satu sumbangan dan bukti cinta kasih kepada kebudayaan, bangsa, dan negara.
*******
Sumber Bacaan
Buku dan Jurnal
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York : Holt, Rhinehart, and Winston.
Budianta, Eka. 1992. “Kata Pengantar: Dari Basis ke Organisasi dan Tradisi Berpikir Indonesia (Kado untuk Pembela Tapak Dara).” Dalam Dick Hartoko, Dari Maliho O Borok sampai Seni Sono Pilihan Tanda-tanda Zaman, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Danuwinata, F.X., SJ. 1990, “Prof.DR. N. Driyarkara SJ Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya.” Dalam A. Budi Susanto SJ (Editor), Harta dan Surga Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Hartoko, Dick. 1986, Tonggak Perjalanan Budaya Sebuah Antologi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Jauss, Hans Robert. 1974. “Literary History as a Challenge to Literary Theory.” in Ralph Cohen (Ed.), New Direction in Literary History. London : Routledge & Kegan Paul.
Palmer, Richard E. 2016. Hermeneutika Teori Baru mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmanto, B. 1992, “Menelusuri Jejak Perjalanan Karya-karya Dick Hartoko,” dalam G. Moedjanto et al., Tantangan Kemanusiaan Universal Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah-Politik & Sastra, Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Subanar, G. Budi, SJ. 2007. Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan Yogyakarta : Komunitas Learning Society. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma
Suwondo, Tirto dkk. 2004. “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945-1965.” Yogyakarta : Balai Bahasa Yogyakarta.
Suwondo, Tirto dkk. 2005. “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1966-1980.” Yogyakarta : Balai Bahasa Yogyakarta.
Suwondo, Tirto dkk. 2006. “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1981-2000.” Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
Tanaka, Ronald . 1976. System Models for Literary Macro-Theory. Lisse: The Peter de Ridder Press.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Surat Kabar, Majalah, dan Artikel Internet
“45 Tahun Basis : Jurnalisme Makin Jauh dari Tanah,” Kompas, Selasa, 23/4/1996.
“50 Tahun Majalah Basis : Jakob Oetama: Temukan Kembali Format Indonesia,” Kompas, Minggu, 25/11/2001.
“Basis dan Spiritualitas Intelektual,” Kompas, Sabtu 21/10/1995
“Dick Hartoko 70 Tahun, Pecondro Tanda Zaman,” Kompas, Sabtu 9/5/1992
“Dick Hartoko 75 Tahun: Tanda-tanda Uang…,” Kompas, Sabtu, 10/05/1997.
“Dick Hartoko di Taman Ismail Marzuki Tjurigai Karya-karya Sastra yang Apriori Tonjolkan Tema-tema Keagamaan,” Kompas, 29/11/1970.
“Dick Hartoko: Orang-orang Yogya Terlalu Serius dan Terkekang,” Kompas, 17 Oktober 1970.
“Dick Hartoko-Sutan Takdir Alisjahbana Sastra Indonesia Diharapkan Lahirkan Sastra Bertanggung Jawab,” Kompas, Jumat, 30/10/1992.
“Riwayat Perjalanan Majalah Kecil: Lambang yang Tak Besar, Tak Berduit, dan Tak Berkuasa,” Kompas, Sabtu, 9/06/1984.
Jassin, HB. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Steenbrink, Karel, “ Jesuits in Indonesia, 1546-2015,” http://referenceworks.brillonline.com/entries/jesuit-historiography-online/jesuits-in-indonesia-15462015-COM_192544, diakses pada tanggal 27 Juli 2017.
Suwondo, Tirto. “Sekilas tentang Tradisi Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta,” Majalah Sastra Horison, Februari 2010.
[1] Richard E. Palmer, 2016, Hermeneutika Teori Baru mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 10
[2] Ibid.
[3] Ronald Tanaka, 1976, System Models for Literary Macro-Theory, Lisse: The Peter de Ridder Press, hlm. 49.
[4] Istilah sophisticated reader merujuk pada pernyataan Hans Robert Jauss mengenai tipe-tipe pembaca sastra. Lihat Hans Robert Jauss, 1974, “Literary History as a Challenge to Literary Theory,” in Ralph Cohen (Ed.), New Direction in Literary History, London : Routledge & Kegan Paul.
[5] M.H. Abrams, 1981, A Glossary of Literary Terms, New York : Holt, Rhinehart, and Winston, hlm. 36-37.
[6] A. Teeuw, 1989, Sastra Indonesia Modern II, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, hlm. 73
[7] Tirto Suwondo, “Sekilas tentang Tradisi Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta,” Majalah Sastra Horison, Februari 2010, hlm. 25.
[8] A. Teeuw, Op.Cit., hlm. 49.
[9] Lihat Tirto Suwondo dkk., 2004, “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945-1965,” Yogyakarta : Balai Bahasa Yogyakarta; Tirto Suwondo dkk., 2005, “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1966-1980,” Yogyakarta : Balai Bahasa Yogyakarta; Tirto Suwondo dkk., 2006, “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1981-2000, Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
[10] Tirto Suwondo, Loc Cit., hlm. 26.
[11] Ibid., hlm. 28
[12] Eka Budianta, 1992, “Kata Pengantar: Dari Basis ke Organisasi dan Tradisi Berpikir Indonesia (Kado untuk Pembela Tapak Dara),” dalam Dick Hartoko, Dari Maliho O Borok sampai Seni Sono Pilihan Tanda-tanda Zaman, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. xvi.
[13] Lihat Karel Steenbrink, “ Jesuits in Indonesia, 1546-2015,” http://referenceworks.brillonline.com/entries/jesuit-historiography-online/jesuits-in-indonesia-15462015-COM_192544, diakses pada tanggal 27 Juli 2017.
[14] “50 Tahun Majalah Basis : Jakob Oetama: Temukan Kembali Format Indonesia,” Kompas, Minggu, 25/11/2001.
[15] “Basis dan Spiritualitas Intelektual,” Kompas, Sabtu 21/10/1995
[16] B. Rahmanto, 1992, “Menelusuri Jejak Perjalanan Karya-karya Dick Hartoko,” dalam G. Moedjanto et al., Tantangan Kemanusiaan Universal Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah-Politik & Sastra, Yogyakarta : Penerbit Kanisius
[17] “ Basis dan Spiritualitas Intelektual,” Loc. Cit.
[18] Ibid.
[19] Bdk. F.X. Danuwinata, SJ, 1990, “Prof.DR. N. Driyarkara SJ Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya,” dalam A. Budi Susanto SJ (Editor), Harta dan Surga Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, hlm. 302.
[20] “Riwayat Perjalanan Majalah Kecil: Lambang yang Tak Besar, Tak Berduit, dan Tak Berkuasa,” Kompas, Sabtu, 9/06/1984.
[21] “Dick Hartoko 75 Tahun: Tanda-tanda Uang…,” Kompas, Sabtu, 10/05/1997. Bdk. HB Jassin, 1985, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, hlm.134.
[22] A. Teeuw, Op. Cit., hlm. 52. Tentang kontribusi majalah Basis terhadap kondisi sastra Indonesia, dapat dilihat dalam B. Rahmanto, “Sumbangan Majalah Basis dalam Pengembangan Kritik Sastra dalam Basis,” Basis, Tahun XXXIX, No. 9 September 1990, hlm. 369-379.
[23] Bdk. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Basis
[24] “45 Tahun Basis : Jurnalisme Makin Jauh dari Tanah,” Kompas, Selasa, 23/4/1996.
[25] “Basis dan Spiritualitas Intelektual,” Loc. Cit.
[26] A. Teeuw, Op. Cit.
[27] “Dick Hartoko 70 Tahun, Pecondro Tanda Zaman,” Kompas, Sabtu 9/5/1992
[28] Dick Hartoko, 1986, Tonggak Perjalanan Budaya Sebuah Antologi, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, hlm.27.
[29] Ibid., hlm. 31
[30] Ibid., hlm.32
[31] “Dick Hartoko di Taman Ismail Marzuki Tjurigai Karya-karya Sastra yang Apriori Tonjolkan Tema-tema Keagamaan,” Kompas, 29/11/1970.
[32] Ibid.
[33] Dick Hartoko, Op. Cit., hlm. 49.
[34] “Dick Hartoko-Sutan Takdir Alisjahbana Sastra Indonesia Diharapkan Lahirkan Sastra Bertanggung Jawab,” Kompas, Jumat, 30/10/1992.
[35] Dick Hartoko, Op.Cit., hlm. 134-135
[36] Ibid., hlm. 136.
[37] Ibid., hlm. 138
[38] Ibid., hlm. 63-75.
[39] Ibid., hlm. 64.
[40] Ibid., hlm. 66.
[41] Ibid., hlm. 67.
[42] Ibid., hlm.68.
[43] Ibid.
[44] Ibid., hlm.74.
[45] A. Teeuw, Op. Cit., hlm. 53
[46] G. Budi Subanar, 2007, Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan Yogyakarta : Komunitas Learning Society. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, hlm. 8.
[47] “Dick Hartoko: Orang-orang Yogya Terlalu Serius dan Terkekang,” Kompas, 17 Oktober 1970.
[48] “Riwayat Perjalanan Majalah Kecil Lambang yang Tak Besar, Tak Berduit, dan Tak Berkuasa,” Loc. Cit.
Paulus Heru Wibowo Kurniawan
“Memayu hayuning bawana, ambresta dur hangkara …”
(Dewi Asih)
Mengapa Ketidakadilan Sosial?
Film Sri Asih (2022) yang disutradarai oleh Upi perlu mendapat pujian. Meski tokoh Sri Asih belum sepenuhnya dikenal generasi digital masa kini, Upi mampu menghadirkan tokoh Sri Asih secara kontekstual sebagai superheroine yang lahir dan muncul dari masyarakat yang resah dan tertindas. Keikutsertaan Joko Anwar sebagai salah seorang penulis skrip film ini, tidak dapat dinafikan, memiliki kontribusi yang sangat besar untuk mendukung upaya Upi. Namun, tidak dapat dielakkan, kehadiran Joko Anwar itu secara diam-diam memang membuat film Sri Asih memiliki ambience yang serupa dengan film Gundala (2019) yang disutradarai oleh Joko Anwar. Ambience yang dimaksud itu terlihat pada munculnya isu ketidakadilan sosial dalam unsur naratif film Sri Asih. Kesamaan ambience ini tentu saja berkaitan erat dengan Jagad Sinema Bumilangit yang meluncurkan film-film superhero yang berasal dari komik hero lokal yang dibuat sejak tahun 1960-an. Akan tetapi, mengapa harus berbicara mengenai ketidakadilan sosial?
Isu ketidakadilan sosial sebenarnya merupakan isu yang begitu lumrah dalam narasi dunia superhero. Ketidakadilan sosial, entah yang disebabkan oleh penindasan atau aksi kekuasaan yang eksesif, selalu mengundang kepedulian para superhero untuk bergerak. Boleh dikatakan, hampir sebagian besar superhero selalu dilahirkan dalam masyarakat yang sedang didera oleh penindasan dan kekuasaan nan bengis. Gundala, misalnya, diplot oleh Joko Anwar sebagai superhero yang dilahirkan dalam masyarakat yang tidak mampu bersuara karena aksi kejahatan semena-mena yang dilakukan oleh anak buah Pengkor. Sebelum menjadi Gundala, Sancaka pun turut merasakan suasana terror yang diciptakan mereka setiap saat. Karena itu, keputusan Sancaka untuk menjadi Gundala seolah menjadi jawaban dari doa-doa yang diucapkan masyarakat yang tertindas.
Ambience yang pernah dihadirkan dalam film Gundala itu jelas begitu terasa dalam film Sri Asih. Sri Asih Alana sebagai titisan dari Dewi Asih yang sakti hadir di tengah penderitaan masyarakat yang menjadi korban dari kejahatan yang terencana dan sistematis. Mereka menderita karena dipaksa dan diusir untuk keluar dari tempat tinggal mereka. Mereka dibawa dan dikumpulkan di suatu tempat untuk dipersembahkan sebagai tumbal oleh seorang antagonis yang bernama Roh Setan. Dalam situasi itu, Sri Asih Alana berupaya dengan sekuat tenaga untuk menyelamatkan mereka dan sekaligus mengalahkan Roh Setan yang menjadi biang kerok dari segala kekacauan yang dialami masyarakat.
Sebuah Proses Tiru-Meniru
Kendati memiliki peran penting di dalam naratif film Sri Asih, isu ketidakadilan sosial tidak ditampilkan secara hitam dan putih. Isu ketidakadilan sosial tidak hanya dipahami sebagai penyebab dari derita yang dialami masyarakat. Namun, isu ketidakadilan sosial itu juga dipahami sebagai penyebab mengapa tokoh antagonis melakukan kejahatan yang begitu keji. Hal demikian terlihat dengan jelas pada tokoh yang bernama Jatmiko. Awalnya, ia adalah seorang polisi. Ia berusaha untuk menjalankan pekerjaannya dengan baik. Namun, ia ternyata diperlakukan secara tidak adil baik oleh masyarakat yang ada di sekitarnya maupun pemimpinnya. Masyarakat merendahkan dan memandang Jatmiko sebagai bagian dari polisi korup yang secara sukarela menyediakan dirinya sebagai hamba bagi para penguasa busuk, sedangkan sang komandan justru memperlakukannya sebagai seorang jongos yang selalu siap melayani dan membuatkan kopi untuknya. Kedua kondisi itu menekan batinnya sehingga ia berkeputusan untuk menerima tawaran Ghazul, yang kelak akan menjadi musuh bebuyutan Gundala, untuk mengenakan kalung Roh Setan.
Dengan kalung itu, Jatmiko memang dapat bertransformasi sebagai sosok yang tak tertandingi. Kalung Roh Setan yang ia kenakan membuatnya menjadi makhluk yang dapat menghilang dan memiliki ilmu hitam yang mematikan. Dengan kemampuan baru yang ia miliki itu, Jatmiko pun dapat dengan leluasa membalaskan dendam dan sakit hatinya kepada masyarakat yang telah merendahkannya. Dalam teori Kambing Hitam yang pernah dinyatakan oleh Rene Girard, transformasi yang terjadi pada diri Jatmiko itu sebenarnya tidak hanya berasal dari kekuatan roh jahat yang masuk ke dalam dirinya, namun transformasi itu juga diperolehnya melalui proses mimesis (tiru-meniru) atas sejumlah orang yang dapat menikmati kekuasaan seperti Tuan Prayogo, Mateo Adinegara, dan sang komandan.
Dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka dapat menindas dan mencederai manusia lain dengan seenaknya dan keji. Prayogo dan Mateo kerap meremehkan Jatmiko sebagai polisi yang mudah dibayar, sedangkan sang komandan selalu memperlakukannya sebagai pembantu yang harus tunduk pada perintah dan keinginannya. Gambaran mengenai kekuasaan tanpa batas yang dimiliki orang-orang itu rupanya menggoda Jatmiko untuk bersekutu dengan Ghazul dan Roh Jahat. Dengan begitu, hasrat yang dimiliki Jatmiko secara diam-diam diatur menurut apa yang dihasratkan ketiga orang itu (Sindhunata, 2023). Dalam pengaruh Roh Setan, Jatmiko memutuskan untuk tidak menjadi korban kekuasaan yang pasif.
Rangkaian Sebab-Akibat dan Ramalan Marx
Apa yang dialami oleh Jatmiko alias Roh Setan itu sebenarnya serupa dengan apa yang dijalani oleh Pengkor, nemesis yang begitu licik dan sadis dalam film Gundala. Di balik aksi kejam yang dilakukan Pengkor, tersembunyi kisah yang sangat memilukan. Pengkor merupakan salah satu korban dari ketidakadilan sosial. Sejak kecil ia telah hidup menderita. Ayahnya digantung oleh para pekerja yang marah dan rumahnya dibakar. Ketika berada di rumah yatim piatu, Pengkor juga menjadi korban dari perundungan dan kekerasan yang tidak manusiawi. Dari pengalaman pedih yang ia alami itu, Pengkor belajar bahwa untuk bertahan hidup, ia harus bisa bersikap lebih licik dan kejam. Transformasi tersebut tentu saja ia pelajari. Ia tiru dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Tidak dapat dinafikan bahwa dalam film Sri Asih, ketidakadilan sosial juga dipahami sebagai rangkaian sebab dan akibat. Di satu sisi, Roh Setan adalah pelaku kejahatan yang menghadirkan teror, kecemasan, dan penderitaan bagi masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain, Jatmiko juga merupakan korban yang disebabkan oleh masyarakat yang marah dan frustasi. Ia diperlakukan secara tidak adil dan dipandang sebagai manusia yang kalah. Dalam panorama ini, terjadi proses transformasi dari kaum yang tertindas menjadi kaum yang menindas. Kendati proses transformasi yang dialami Pengkor dan Roh Setan itu tidak diartikulasikan Joko Anwar dan Upi secara sosiologis sebagai kemenangan kaum tertindas terhadap penindasnya, saya melihat adanya bayang-bayang dari perspektif konflik yang lahir dari teori konflik milik Karl Marx.
Dalam perspektif tersebut, Marx menggambarkan konflik antara kaum buruh (proletar) dan kaum pemilik modal (borjuis) sebagai kekuatan yang mendasar dalam perubahan sosial. Konflik di antara keduanya akan terus berlanjut sampai perubahan revolusioner terjadi dalam struktur sosial dan ekonomi. Marx meramalkan bahwa puncak dari perubahan revolusioner itu akan terjadi ketika masyarakat tanpa kelas, masyarakat yang lebih adil dan egaliter, terwujud. Dalam masyarakat itu, berbagai sumber daya akan dimiliki secara kolektif oleh masyarakat sehingga kepemilikan modal tidak lagi dikuasai oleh kaum borjuis. Dengan begitu, tidak ada lagi pembagian kelas dan eksploitasi terhadap kaum proletar.
Ramalan Marx itu menjadi semacam visi mengenai masyarakat yang menolak adanya kesenjangan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan sosial. Visi demikian sebenarnya cukup mendarah daging baik dalam diri Jatmiko maupun Pengkor. Pada dasarnya, kedua-duanya dengan keras menolak praktik kekuasaan yang semena-mena. Mereka tidak ingin rakyat diperlakukan sebagai manusia yang bodoh. Akan tetapi, mereka juga sangat mahfum bahwa dunia akan aman bila rakyat terus dibiarkan bodoh. Kebodohan menjadi prasyarat utama dan jalan masuk yang paling strategis agar masyarakat dapat dikendalikan dan ditaklukkan.
Di sinilah letak ambiguitas moral yang dimiliki Pengkor dan Roh Setan. Keduanya menolak dan sekaligus mengadopsi prinsip bahwa kekuasaan menjadi pintu masuk untuk menciptakan situasi dunia yang lebih baik. Karena itu, alih-alih menciptakan masyarakat tanpa kelas, Pengkor justru menghasilkan masyarakat distopia melalui represi dan teror. Alih-alih membangun kesadaran bahwa tidak semua orang dapat dibeli dengan uang, ribuan orang yang tidak bersalah dikorbankan Roh Setan sebagai tumbal (revolusi). Apa yang dilakukan kedua tokoh ini seolah-olah sedang mengimplikasikan peristiwa-peristiwa historis yang tragis dan keji di negeri ini pasca tahun 1965. Melalui cara-cara yang mereka pilih, Pengkor dan juga Roh Setan menegakkan keteraturan, keamanan, dan ketertiban yang paripurna. Di sini, gema dari slogan rust en orde a la Orde Baru terdengar begitu kencang.
Potret Kongkalikong
Sayangnya, baik Joko Anwar maupun Upi tidak memiliki cara lain untuk mengatasi problem ideologis yang diyakini oleh kedua nemesis itu secara diskursif, selain dengan menyerahkan nyawa mereka kepada Gundala, Sang Putera Petir, dan Alana, titisan Dewi Asih yang sakti, dalam sebuah pertempuran yang mudah ditebak akhirnya. Apakah hal itu berarti bahwa baik Pengkor maupun Roh Setan terlalu pandai untuk ditaklukkan dengan argumen-argumen filosofis atau investigasi jurnalistik sebagaimana ditulis oleh Tangguh, teman Alana? Apakah hal itu juga menunjukkan bahwa dalam film bergenre superhero, sosok villain selalu merupakan seorang jenius dan visioner yang tidak bermoral, sedangkan sosok superhero/superheroine selalu merupakan seorang alpha male/female yang hanya mampu berpikir dalam pola hitam putih?
Dalam film Sri Asih, pola pikir hitam putih itu sungguh terlihat pada kelompok Jagabumi yang dipimpin Eyang Mariani. Kelompok rahasia itu memiliki visi untuk mencegah upaya Roh Setan supaya ia tidak dapat membangkitkan Dewi Api, nemesis sejati dari Dewi Asih, yang pernah dikubur di dalam gunung berapi. Visi demikian terlihat begitu heroik. Namun, dibandingkan kisah getir Jatmiko sebelum bertransformasi sebagai Roh Setan, sepak terjang Alana dan kelompok Jagabumi, menurut hemat saya, terlihat begitu banal. Sebagai pelaku kejahatan, Roh Setan terlalu rendah hati untuk berani menguak kerentanan dan sakit hati yang ia rasakan di hadapan musuhnya ketika hendak bertempur dengan Alana. Jatmiko mengakui bahwa kejahatan yang ia lakukan merupakan cara agar dendamnya kepada masyarakat yang pernah merundungnya dapat terbalaskan.
Sebaliknya, Alana dan kelompok Jagabumi justru sedang membangun citra sebagai sebuah kelompok elit penyelamat kemanusiaan yang sebenarnya sama sekali tidak bersentuhan dengan apa yang disebut sebagai kehilangan dan luka yang dialami masyarakat. Kata Asih – yang berarti kasih -yang dipuja di dalam kelompok memang tampak begitu bertuah, namun kata itu seolah tidak bermakna. Berbeda dengan Sancaka yang harus mengalami penderitaan di masa kecil – tatkala sang ayah dikhianati dan dibunuh serta sang ibu pergi dan hilang entah ke mana, Alana sama sekali tidak memilik ingatan akan tragedi dalam kehidupannya. Alana tampaknya lebih beruntung karena sejak kecil telah diadopsi oleh seorang pelatih tinju yang memberinya kenyamanan hidup, sedangkan Sancaka harus berjuang sendiri mati-matian di jalanan untuk menaklukkan kehidupan yang keras.
Warna Cahaya dan Nondiegetic Sound
Saya tidak dapat menampik bahwa isu ketidakadilan sosial yang ditampilkan Joko Anwar dan Upi dalam naratif film Sri Asih merupakan gagasan yang sungguh membumi. Meski sudah dimulai lebih dahulu pada film Gundala, isu ketidakadilan sosial ini tampak begitu relevan dan kontekstual dengan kehidupan masyarakat kita pada masa kini. Keberanian Joko Anwar dan Upi untuk memotret adanya kongkalikong atau permufakatan jahat antara penegak hukum dengan pejabat dan pengusaha membuat film ini menjadi semacam satire yang cukup pedas. Mereka juga dengan keras mengingatkan kembali betapa pembakaran atau penggusuran permukiman penduduk yang dijalankan penguasa sebagai cara untuk memperluas wilayah kekuasaan itu merupakan tindakan immoral yang tidak termaafkan. Dan selalu dalam situasi yang didorong oleh rasa haus akan kekuasaan itu, masyarakat kecil dan tidak berdaya selalu menjadi korban yang sia-sia.
Secara estetik, gagasan mengenai ketidakadilan sosial itu direpresentasikan secara visual melalui penggunaan warna cahaya. Dalam film Sri Asih, penggunaan warna cahaya seperti merah dan coklat sangat dominan. Penggunaan kedua warna tersebut mengindikasikan suasana khaotik, kecemasan, kemarahan, ketakutan, kengerian, dan ketidakjelasan yang dialami baik oleh tokoh-tokoh cerita maupun kondisi masyarakat yang melatarbelakanginya. Di sepanjang film, hampir sebagian besar penggunaan warna cahaya merah dan coklat itu dilakukan di dalam ruang-ruang yang tertutup sehingga ruang-ruang itu terasa begitu suram dan bahkan menyesakkan. Tidak berventilasi, berjendela, atau memiliki celah udara yang memungkinkan penonton film Sri Asih dapat bernafas dengan lega. Mungkinkah kondisi demikian menjadi cermin dari ketidakadilan sosial? Belum sempat penonton keluar dari rasa sesak itu, film ini menghadirkan penggunaan teknik low key lighting yang menampilkan banyak efek chiaroscuro, efek yang menimbulkan kontras antara area gelap dan area terang. Efek ini tampil dalam adegan-adegan yang mencekam, suram, dan misterius, mirip dengan sejumlah film horor yang dibuat Joko Anwar sejak tahun 2017 seperti Pengabdi Setan (2017), Perempuan Tanah Jahanam (2019), dan Pengabdi Setan 2 : Communion (2022). Tampaknya penggabungan antara unsur-unsur film horor dengan film superhero ini dapat menjadi semacam secret ingriedients bagi industri film superhero selanjutnya di negara kita.
Maka, Alana alias Sri Asih, ditampilkan sebagai seorang superheroine yang dapat menegakkan kembali nilai keadilan sosial yang telah tergerus kekuatan jahat. Kendati persoalan keadilan sosial yang otentik harus terjebak di dalam ruang-ruang yang suram dan mencekam, kehadiran superhero itu haruslah diiringi oleh theme song dan anthem yang keras dan menggema, sebagai representasi dari aksi heroik yang dilakukannya. Dalam Sri Asih, penggunaan nondiegetic sound di dalam sejumlah scene terdengar begitu indah dan megah. Begitu bising dengan distorsi yang menggelegar, tetapi juga begitu indah pada saat yang sama karena alunan orkestra. Bagaimana jadinya, jika sebuah film superhero dihadirkan tanpa ilustrasi musik yang bervolume tinggi dan keras?Penggunaan nondiegetic sound di sepanjang film itu seperti sedang menawarkan sebuah optimisme yang menenangkan bahwa di akhir kisah, kebaikan akan menang melawan kejahatan!
Menjadi Superhero yang Tangguh dan Welas Asih
Tentu saja, alih-alih menawarkan sebuah bentuk realisme yang terjadi di dalam masyarakat, film Sri Asih sedang berusaha menegaskan kembali panggilan etis yang diemban karya seni untuk memerangi ketidakadilan, ketidaksetaraan, atau pelanggaran hak asasi manusia melalui elemen naratifnya. Film ini sedikit banyak memberikan inspirasi untuk secara bersama-sama – sebagaimana ditunjukkan oleh aksi Alana, Kala, dan Tangguh - memutus rantai ketidakadilan sosial yang masih dialami rakyat di berbagai tempat. Setidaknya, seni gambar bergerak seperti film masih dapat memberikan kontribusi yang bersifat etis dan estetis kepada masyarakat.
Karena itu, wajarlah jika saya merekomendasikan film Sri Asih agar dapat ditonton oleh para calon wakil rakyat yang akan berlaga pada Pemilu 2024 mendatang. Sebelum mereka menebarkan janji-janji akan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan sosial, atau apapun dan kemudian bertransformasi sebagai superhero yang menyelamatkan, belajarlah untuk terlebih dahulu menjadi manusia yang baik! Persoalan keadilan sosial yang diharapkan masyarakat niscaya masih terbentur di ruang-ruang yang suram sehingga tidak akan pernah terealisasi jika hasrat dan egoisme pribadi masih menguasai kehendak baik sehingga mendominasi segala keputusan dengan cara yang keliru. Untuk menjadi superhero yang tangguh dan welas asih, para calon wakil rakyat itu pertama-tama harus menapaki jalan kebenaran dengan dada tegak dan keyakinan penuh. Jika sudah menapaki jalan kebenaran itu, mereka pun dapat dengan takzim berkata, “Kalau ada orang yang (me)nindas kamu, lawan!”
*******