Penemuan struktur DNA oleh Watson dan Crick pada tahun 1953 merupakan peristiwa besar dalam dunia sains, yang melahirkan disiplin ilmu baru dan memengaruhi arah perkembangan banyak bidang yang telah ada sebelumnya. Pemahaman kita saat ini mengenai penyimpanan dan pemanfaatan informasi genetik sel didasarkan pada hasil penelitian yang dimungkinkan oleh penemuan ini. Gambaran umum tentang bagaimana informasi genetik diproses oleh sel kini menjadi syarat dasar untuk membahas topik apa pun dalam biokimia.
Dalam bagian ini, fokus kita adalah pada struktur DNA itu sendiri, peristiwa-peristiwa yang mengarah pada penemuannya, serta pemahaman terkini yang lebih rinci. Struktur RNA juga akan diperkenalkan.
Seperti halnya struktur protein, kadang-kadang berguna untuk menggambarkan struktur asam nukleat berdasarkan tingkatan hierarkis kompleksitas, yaitu:
Struktur primer: struktur kovalen dan urutan nukleotida dalam asam nukleat.
Struktur sekunder: bentuk-bentuk reguler dan stabil yang dibentuk oleh sebagian atau seluruh nukleotida dalam molekul asam nukleat. Seluruh struktur yang dibahas dalam bab ini termasuk dalam struktur sekunder.
Struktur tersier: lipatan kompleks dari kromosom besar dalam kromatin eukariotik atau nukleoid bakteri.
Penelitian biokimia terhadap DNA dimulai oleh Friedrich Miescher, yang melakukan studi kimia sistematis pertama terhadap inti sel. Pada tahun 1868, Miescher berhasil mengisolasi suatu zat yang mengandung fosfor dari inti sel nanah (sel leukosit) yang diperoleh dari perban bekas operasi, dan ia menamainya “nuklein”. Ia menemukan bahwa nuklein terdiri dari bagian yang bersifat asam—yang kini kita kenal sebagai DNA—dan bagian yang bersifat basa, yaitu protein. Miescher kemudian menemukan zat asam serupa di kepala sel sperma ikan salmon. Meskipun ia berhasil memurnikan sebagian nuklein dan mempelajari sifat-sifatnya, struktur kovalen (primer) DNA (seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 8–7) belum diketahui secara pasti hingga akhir tahun 1940-an.
Miescher dan banyak ilmuwan lainnya menduga bahwa nuklein (asam nukleat) berkaitan dengan pewarisan sifat seluler, namun bukti langsung pertama bahwa DNA membawa informasi genetik muncul pada tahun 1944 melalui penemuan Oswald T. Avery, Colin MacLeod, dan Maclyn McCarty. Mereka menemukan bahwa DNA yang diekstraksi dari strain virulen (penyebab penyakit) bakteri Streptococcus pneumoniae (juga dikenal sebagai pneumokokus) mampu mentransformasikan secara genetik strain nonvirulen menjadi bentuk yang virulen (lihat Gambar 17). Avery dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa DNA dari strain virulen membawa pesan genetik yang dapat diwariskan untuk sifat virulensi tersebut.
Namun, tidak semua ilmuwan menerima kesimpulan ini karena ada kemungkinan bahwa kontaminasi protein dalam ekstrak DNA bisa menjadi pembawa informasi genetik. Kemungkinan ini akhirnya disingkirkan setelah ditemukan bahwa perlakuan DNA dengan enzim proteolitik (penghancur protein) tidak menghilangkan kemampuan transformasinya, sedangkan perlakuan dengan deoksiribonuklease (enzim penghancur DNA) menghentikan aktivitas transformasi tersebut.
Eksperimen penting kedua yang memberikan bukti independen bahwa DNA membawa informasi genetik dilakukan pada tahun 1952 oleh Alfred D. Hershey dan Martha Chase. Mereka menggunakan pelacak radioaktif fosfor (³²P) dan belerang (³⁵S) untuk menunjukkan bahwa ketika virus bakteri (bakteriofag) T2 menginfeksi sel inangnya, Escherichia coli, hanya DNA virus yang mengandung fosfor yang masuk ke dalam sel inang dan memberikan informasi genetik untuk replikasi virus—bukan protein virus yang mengandung belerang (lihat Gambar 18).
Eksperimen-eksperimen awal yang penting ini, bersama dengan banyak bukti lainnya, telah menunjukkan bahwa DNA adalah satu-satunya komponen kromosom yang membawa informasi genetik pada sel-sel hidup.
Petunjuk penting dalam mengungkap struktur DNA berasal dari penelitian Erwin Chargaff dan rekan-rekannya pada akhir tahun 1940-an. Mereka menemukan bahwa empat basa nukleotida dalam DNA terdapat dalam perbandingan yang berbeda-beda pada DNA dari organisme yang berbeda, namun jumlah beberapa basa memiliki hubungan yang erat. Data yang dikumpulkan dari DNA berbagai spesies ini mengarah pada kesimpulan aturan Chargaff sebagai berikut:
Komposisi basa DNA umumnya bervariasi antar spesies.
DNA yang diisolasi dari jaringan berbeda dalam satu spesies memiliki komposisi basa yang sama.
Komposisi basa DNA dalam satu spesies tidak berubah oleh usia, kondisi nutrisi, atau lingkungan yang berubah.
Dalam semua DNA seluler, terlepas dari spesiesnya:
Jumlah adenosin (A) selalu sama dengan jumlah timin (T) → A = T
Jumlah guanosin (G) selalu sama dengan jumlah sitosin (C) → G = C
Dengan demikian, jumlah purin (A + G) = jumlah pirimidin (T + C)
Hubungan kuantitatif ini, yang dikenal sebagai "Aturan Chargaff", kemudian dikonfirmasi oleh banyak peneliti lain. Aturan ini menjadi kunci dalam menentukan struktur tiga dimensi DNA, dan memberikan petunjuk bagaimana informasi genetik dikodekan dalam DNA dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Untuk memperdalam pemahaman tentang struktur DNA, Rosalind Franklin dan Maurice Wilkins menggunakan metode difraksi sinar-X untuk menganalisis serat DNA. Pada awal tahun 1950-an, mereka menunjukkan bahwa DNA menghasilkan pola difraksi sinar-X yang khas (lihat Gambar 19). Dari pola ini disimpulkan bahwa molekul DNA berbentuk heliks dengan dua periodisitas sepanjang sumbu panjangnya: 3,4 Å (primer) dan 34 Å (sekunder).
Tantangan berikutnya adalah merumuskan model tiga dimensi DNA yang tidak hanya menjelaskan data difraksi sinar-X tersebut, tetapi juga kesetaraan pasangan basa A = T dan G = C yang ditemukan oleh Chargaff, serta sifat kimia DNA lainnya.
Pada tahun 1953, Watson dan Crick mengusulkan model struktur DNA tiga dimensi yang menjelaskan semua data yang tersedia. Model ini terdiri atas dua rantai heliks DNA yang melilit pada sumbu yang sama membentuk heliks ganda berpilin ke kanan. Tulang punggung DNA yang terdiri dari deoksiribosa dan gugus fosfat bersifat hidrofilik dan menghadap ke luar, sementara cincin furanosa pada setiap deoksiribosa berada dalam konformasi C-2 endo.
Basa purin dan pirimidin dari kedua untai tersusun bertumpuk di bagian dalam heliks ganda dengan struktur cincin yang planar dan hidrofobik, tersusun tegak lurus terhadap sumbu heliks. Susunan tidak sejajar sempurna dari kedua untai ini menciptakan alur besar (major groove) dan alur kecil (minor groove) di permukaan heliks (lihat Gambar 20). Setiap basa pada satu untai berpasangan dalam bidang yang sama dengan basa komplementernya di untai lain.
Watson dan Crick menemukan bahwa ikatan hidrogen paling stabil terbentuk antara:
Adenin (A) dengan timin (T) → membentuk dua ikatan hidrogen
Guanin (G) dengan sitosin (C) → membentuk tiga ikatan hidrogen
Inilah dasar dari aturan Chargaff (A = T, G = C), dan juga menjelaskan mengapa semakin tinggi rasio pasangan G≡C, semakin sulit memisahkan kedua untai DNA.
Jarak antar pasangan basa yang bertumpuk secara vertikal adalah 3,4 Å, dan dalam satu putaran lengkap heliks terdapat sekitar 10 pasangan basa, menghasilkan jarak pengulangan sekunder sekitar 34 Å. Dalam larutan air, DNA memiliki 10,5 pasangan basa per putaran heliks.
Seperti ditunjukkan dalam gambar di samping, dua untai polinukleotida dalam heliks ganda DNA bersifat antiparalel (berlawanan arah) dan komplementer satu sama lain: jika di satu untai terdapat adenin, maka di untai lainnya terdapat timin; jika ada guanin, maka pasangannya adalah sitosin.
Heliks ganda DNA distabilkan oleh dua gaya utama:
Ikatan hidrogen antar pasangan basa komplementer
Interaksi tumpukan basa (base stacking) — interaksi ini bersifat nonspesifik dan merupakan penyumbang utama kestabilan struktur heliks.
Ketika Watson dan Crick membangun model mereka, mereka harus memutuskan apakah kedua untai DNA harus sejajar atau antiparalel. Orientasi antiparalel menghasilkan model yang paling meyakinkan, dan bukti eksperimental dari kerja DNA polimerase serta analisis sinar-X kemudian mengonfirmasi hal ini.
Model struktur ini segera menyarankan mekanisme pewarisan informasi genetik. Fitur pentingnya adalah komplementaritas dua untai DNA, yang memungkinkan proses replikasi:
Kedua untai dipisahkan
Setiap untai lama digunakan sebagai cetakan untuk mensintesis untai baru yang komplementer, mengikuti aturan pasangan basa.
Eksperimen selanjutnya berhasil membuktikan prediksi ini dan memulai revolusi dalam pemahaman kita tentang pewarisan sifat biologis.
DNA merupakan molekul yang sangat fleksibel. Terdapat cukup banyak rotasi yang memungkinkan di sekitar beberapa ikatan dalam rangka gula-fosfat (fosfodeoksiribosa), dan fluktuasi termal dapat menyebabkan pembengkokan, peregangan, dan pemisahan (pelelehan) untai DNA. Dalam DNA seluler ditemukan banyak penyimpangan penting dari struktur DNA Watson-Crick, yang sebagian atau seluruhnya dapat berperan penting dalam metabolisme DNA. Variasi struktur ini umumnya tidak memengaruhi sifat dasar DNA sebagaimana didefinisikan oleh Watson dan Crick, yaitu:
Komplementaritas untai,
Arah antiparalel,
Pasangan basa spesifik A=T dan G≡C.
Variasi struktur dalam DNA mencerminkan tiga hal:
Konformasi berbeda dari gula deoksiribosa,
Rotasi pada ikatan-ikatan yang menyusun rangka fosfodeoksiribosa (lihat Gambar 22a),
Rotasi bebas pada ikatan C-1 dan basa melalui ikatan N-glikosidik (lihat Gambar 22b).
Karena keterbatasan ruang (sterik), purin dalam nukleotida purin hanya bisa berada dalam dua konformasi stabil terhadap deoksiribosa, yaitu sin dan anti. Sementara itu, pirimidin umumnya hanya berada dalam konformasi anti karena adanya gangguan sterik antara gula dan gugus karbonil pada C-2 pirimidin.
Struktur DNA Watson-Crick juga dikenal sebagai DNA bentuk B (B-DNA). Bentuk B merupakan struktur yang paling stabil untuk molekul DNA dengan urutan acak di bawah kondisi fisiologis, dan karena itu menjadi standar acuan dalam studi sifat DNA.
A-DNA disukai dalam larutan dengan kadar air rendah. DNA tetap membentuk heliks ganda berpilin ke kanan, tetapi heliksnya lebih lebar, dan terdapat 11 pasangan basa per putaran, bukan 10,5 seperti pada B-DNA. Bidang pasangan basa dalam A-DNA miring sekitar 20° terhadap sumbu heliks. Perubahan struktur ini memperdalam alur besar dan membuat alur kecil menjadi lebih dangkal. Reagen yang digunakan dalam kristalisasi DNA biasanya menghilangkan air, sehingga DNA pendek cenderung mengkristal dalam bentuk A.
Z-DNA merupakan perubahan yang lebih ekstrem dari struktur B. Ciri paling mencolok adalah pilinan heliks ke kiri. Terdapat 12 pasangan basa per putaran, dan strukturnya tampak lebih ramping dan memanjang. Tulang punggung DNA membentuk pola zigzag. Beberapa urutan nukleotida—terutama yang berselang-seling antara pirimidin dan purin, seperti C dan G atau 5-metil-C dan G—lebih mudah membentuk heliks kiri Z-DNA. Untuk membentuk heliks kiri Z, purin berpindah ke konformasi sin, bergantian dengan pirimidin dalam konformasi anti. Dalam Z-DNA, alur besar hampir tidak terlihat, dan alur kecil sangat sempit dan dalam.
Meskipun keberadaan A-DNA dalam sel belum pasti, terdapat bukti bahwa beberapa segmen pendek Z-DNA terdapat di sel prokariotik maupun eukariotik. Segmen Z-DNA ini kemungkinan berperan dalam pengaturan ekspresi gen atau rekombinasi genetik, meskipun perannya masih belum sepenuhnya dipahami.
Dua varian struktur DNA lainnya yang telah dikarakterisasi melalui kristalografi adalah bentuk A (A-DNA) dan bentuk Z (Z-DNA). Ketiga konformasi DNA ini ditampilkan dalam Gambar 23 beserta ringkasan propertinya.
Berbagai variasi struktur DNA yang bergantung pada urutan telah terdeteksi dalam kromosom yang lebih besar dan mungkin memengaruhi fungsi serta metabolisme segmen DNA di sekitarnya. Misalnya, lekukan (bending) dapat terjadi pada heliks DNA ketika terdapat empat atau lebih residu adenin secara berurutan dalam satu untai. Enam adenin berturut-turut dapat menyebabkan lekukan sekitar 18°. Lekukan yang dihasilkan oleh urutan seperti ini mungkin berperan penting dalam pengikatan protein tertentu ke DNA.
Salah satu jenis urutan DNA yang cukup umum adalah palindrom, yaitu kata atau frasa yang tetap sama jika dibaca dari depan maupun belakang (misalnya: ROTATOR atau KATAK). Dalam DNA, istilah ini merujuk pada urutan basa dengan pengulangan terbalik dan simetri dua arah pada dua untai DNA (lihat gambar di atas). Urutan ini bersifat saling komplementer dalam satu untai, sehingga dapat membentuk struktur jepit rambut (hairpin) atau struktur silang (cruciform) (lihat gambar di bawah).
Jika pengulangan terbalik terjadi dalam satu untai saja, maka disebut cermin (mirror repeat). Mirror repeat tidak dapat membentuk struktur jepit rambut atau cruciform karena tidak memiliki pasangan komplementer dalam untai yang sama. Jenis-jenis urutan ini ditemukan hampir di semua molekul DNA besar, mulai dari hanya beberapa pasangan basa hingga ribuan. Seberapa sering struktur cruciform benar-benar terbentuk dalam sel masih belum diketahui, meskipun telah terbukti terjadi secara in vivo pada E. coli.
Urutan self-complementary (komplementer dengan dirinya sendiri) dapat menyebabkan untai tunggal DNA atau RNA melipat membentuk struktur kompleks yang terdiri dari banyak hairpin.
Beberapa struktur DNA yang tidak biasa melibatkan tiga atau bahkan empat untai DNA. Variasi struktur ini penting untuk dipelajari karena sering muncul di lokasi tempat berlangsungnya peristiwa penting dalam metabolisme DNA, seperti replikasi, rekombinasi, dan transkripsi.
Basa nukleotida yang terlibat dalam pasangan basa Watson-Crick (lihat Gambar 16) juga dapat membentuk ikatan hidrogen tambahan, terutama dengan gugus fungsi yang berada di alur besar (major groove). Misalnya, sitosin (yang terprotonasi) dapat berpasangan dengan guanin dalam pasangan G≡C, dan timin dapat berpasangan dengan adenin dalam pasangan A=T (lihat gambar di bawah). Posisi N-7, O6, dan N6 dari purin yang terlibat dalam ikatan hidrogen pada struktur DNA tripel (triplex DNA) disebut sebagai posisi Hoogsteen, dan pasangan basa non-Watson-Crick ini disebut pasangan Hoogsteen, sesuai nama Karst Hoogsteen yang pertama kali mengemukakan potensi pasangan ini pada tahun 1963.
Pasangan Hoogsteen memungkinkan pembentukan DNA tripel. Struktur tripel ini paling stabil (Gambar 27a, b) pada pH rendah karena pasangan tripel C≡G•C memerlukan sitosin terprotonasi. Dalam tripel ini, pKa sitosin berubah dari nilai normal 4,2 menjadi sekitar 7,5. Tripel ini juga lebih mudah terbentuk pada urutan panjang yang hanya terdiri dari pirimidin atau purin pada satu untai. Beberapa tripel DNA mengandung dua untai pirimidin dan satu purin; yang lain mengandung dua purin dan satu pirimidin.
Empat untai DNA juga dapat saling berpasangan membentuk tetrapleks (quadruple helix), tetapi ini hanya terjadi pada urutan DNA yang sangat kaya akan guanin (lihat Gambar 27c, d). Struktur ini dikenal sebagai tetrapleks guanin (G-tetrapleks) dan sangat stabil dalam berbagai kondisi. Orientasi untai dalam tetrapleks ini dapat bervariasi seperti ditunjukkan pada Gambar 27e.
Salah satu struktur DNA yang paling unik adalah H-DNA, yang ditemukan dalam urutan polipirimidin atau polipurin yang juga mengandung mirror repeat. Contoh sederhananya adalah urutan panjang T dan C yang berselang-seling (lihat Gambar 28). Struktur H-DNA membentuk tripel heliks, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 27 (a, b), di mana dua dari tiga untai mengandung pirimidin dan satu untai mengandung purin.
Dalam sel hidup, banyak lokasi yang dikenali oleh protein pengikat DNA spesifik urutan tersusun sebagai palindrom. Urutan polipirimidin atau polipurin yang dapat membentuk tripel heliks atau H-DNA juga ditemukan di daerah yang terlibat dalam regulasi ekspresi gen pada eukariota.
Secara teoritis, untai DNA sintetis yang dirancang untuk membentuk tripel DNA dengan urutan tersebut dapat digunakan untuk mengganggu ekspresi gen, dan pendekatan ini kini tengah dikembangkan secara komersial untuk aplikasi medis dan pertanian.
Simak video di bawah ini untuk mempermudah pemahaman anda tentang struktur dan fungsi DNA!