Catatan Durban: Antara Asap Industri dan Nyala Perlawanan
Pertengahan tahun 2024, saya—untuk pertama kalinya, menginjakkan kaki di Durban, Afrika Selatan. Ini adalah sebuah kota pelabuhan yang super sibuk, penuh aktivitas industri, dan menyimpan sejarah panjang ketimpangan serta perlawanan rakyat.
Selama sepekan, bersama sesama pegiat isu-isu lingkungan dari kawasan Asia, Eropa, dan Amerika Latin, kami menyusuri kawasan industri Durban Selatan, tempat kilang minyak dan gas, pabrik kertas, serta pabrik agrokimia berdiri saling berdekatan, mencemari udara dan air yang setiap hari dihirup dan digunakan warga.
Kawasan ini menjadi tempat tinggal lebih dari 300 ribu orang, mayoritas kelas pekerja dan berpenghasilan rendah, yang pada masa apartheid dipindahkan secara paksa ke wilayah ini. Mereka dijadikan tenaga kerja murah demi menopang laju industrialisasi. Seiring waktu, kawasan ini pun dijuluki “lembah kanker”—bukan tanpa alasan. Tingginya angka penderita kanker, asma, dan bronkitis menjadi konsekuensi langsung dari pencemaran yang tak terkendali selama puluhan tahun.
Kami juga mengunjungi Pelabuhan Durban, terminal pengiriman barang terbesar di Afrika. Namun, di balik geliat perdagangan dan logistik, tersimpan ancaman nyata: rencana ekspansi pelabuhan akan menggusur ribuan warga, tanpa jaminan kompensasi yang adil. Pelabuhan yang menjadi simbol konektivitas ekonomi global ini justru menyingkirkan warga yang telah hidup di sekitarnya selama beberapa generasi.
Yang paling berkesan dari kunjungan ini adalah pertemuan kami dengan warga dan komunitas lokal—bukan di ruang-ruang nyaman atau di rumah-rumah mereka, melainkan langsung di sekitar tapak-tapak pabrik, saluran limbah, dan pagar-pagar pelabuhan. Di titik-titik panas pencemaran itu, mereka menyambut kami, menunjukkan luka-luka yang tersembunyi di balik jargon pembangunan.
Mereka bukan sekadar korban, tapi juga petarung yang militan. Warga di Durban Selatan telah membangun gerakan kolektif yang berakar kuat di komunitas. Salah satu tokoh sentral dalam perjuangan itu adalah Desmond D’sa, pendiri South Durban Community Environmental Alliance (SDCEA). Bersama aliansi yang ia bentuk sejak 1995 dan kini beranggotakan 19 organisasi lokal, Desmond berhasil menunda ekspansi pelabuhan selama lebih dari satu dekade. Ia juga memimpin warga dalam mendesak penutupan tempat pembuangan limbah beracun yang telah lama mencemari lingkungan hidup mereka.
Namun perjuangan ini tidak tanpa risiko. Rumah Desmond pernah dibom hingga terbakar. Ia mengalami luka bakar, dan keluarganya mengalami trauma yang mendalam. Kondisi itu yang memaksa Desmond hidup terpisah dengan keluarganya demi keselamatan bersama. Ancaman dan teror masih terus menghantui, tetapi tak membuat langkah mereka surut. Justru dari tekanan itulah muncul kekuatan solidaritas yang kokoh.
Di bawah bayang-bayang cerobong asap dan suara kapal-kapal kargo, warga Durban Selatan memperlihatkan bentuk perlawanan yang luar biasa. Mereka bercerita dengan ketenangan yang menggetarkan: tentang anak-anak mereka yang sakit karena udara kotor, tentang perjuangan hukum yang panjang, tentang unjuk rasa yang dibalas represi, dan tentang bagaimana mereka terus bertahan dan bergerak.
Militansi mereka terasa bukan hanya dalam unjuk rasa besar, tapi juga dalam hal-hal kecil namun konsisten: mengarsip data pencemaran, mengorganisir diskusi lingkungan, menyusun petisi warga, dan mengawal pertemuan dengan pihak pemerintah. Mereka tahu bahwa yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar lahan atau rumah, melainkan hak dasar untuk hidup sehat dan bermartabat.
Durban bukan hanya kota industri. Ia juga kota perlawanan. Dan selama sepekan di sana, saya menyaksikan bagaimana di tempat-tempat yang paling teracuni sekalipun, ada nyala keberanian yang tak padam. Nyala itu hidup dalam napas warga yang menolak tunduk, yang memilih bertahan dan melawan demi masa depan bersama.
Dari Atakore, Suara Tanah yang Tak Pernah Tidur
Di penghujung tahun 2024, saat Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur meletus, saya dan rombongan kecil bertolak dari Lewoleba, ibu kota Lembata, menuju Desa Atakore di Kecamatan Atadei. Kami datang bukan sebagai pelancong biasa, melainkan sebagai peziarah dalam semangat solidaritas.😉
Dalam rombongan itu ada dua anak muda dari Poco Leok dan seorang lelaki dari Mataloko—dua wilayah di Flores yang kini menghadapi ancaman mata bor panas bumi.
Kami tentu tidak sendiri. Bersama kami ada para saudara seperjuangan, beberapa jurnalis, dan aktivis yang selama ini bersuara bagi lingkungan hidup dan keadilan ekologis di Lewo Tanah.
Kami tiba di Atakore saat langit sudah gelap. Jalan yang kami lintasi kadang mulus, kadang berlubang. Begitulah wajah pembangunan hari ini: tambal sulam dan tak merata.
Di tengah kampung, Gereja St. Yosef berdiri megah dalam kesederhanaannya. Ia menyambut kami dalam diam yang meneduhkan.
Kami bermalam di sana, diterima dengan hangat oleh warga, seolah kami adalah keluarga lama yang akhirnya pulang.
Malam itu, obrolan kami berlangsung dalam lingkaran-lingkaran kecil, saling berbagi cerita tentang bagaimana tanah dipetakan tanpa izin, bagaimana aparat datang atas nama negara, dan bagaimana janji-janji kesejahteraan justru membungkus luka yang lebih dalam.
Di Atakore, kami belajar bahwa perlawanan bukan semata soal menolak tambang panas bumi. Ini adalah tentang merawat hubungan yang sakral—dengan tanah, leluhur, dan sesama.
Atakore memiliki Dapur Alam—sebuah kawasan keramat yang dijaga turun-temurun. Ia bukan tempat wisata biasa. Ia adalah ruang hidup spiritual, tempat manusia hidup berdampingan dengan alam dan yang tak kasat mata.
Konon, ada penjaga tak kasat mata yang tak pernah tidur. Jika ada yang mengusik, alam sendiri akan memberi tanda. Tempat ini adalah penanda keyakinan mendalam bahwa alam bukan objek eksploitasi, melainkan bagian dari tubuh bersama.
Beberapa tahun silam, alat-alat eksplorasi panas bumi sempat masuk ke wilayah ini. Tapi warga bergerak cepat. Dengan tegas dan berani, mereka mengusir para penjejak itu. Mereka tahu, jika Dapur Alam dilukai, bukan hanya bencana alam yang datang, tapi juga kehancuran spiritual dan sosial. Atakore, tampaknya bukan wilayah yang mudah ditaklukkan, sebab di sini nilai dan iman menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Meski Atakore adalah wilayah yang masih kesulitan air, tanah mereka subur dan keyakinan mereka kuat. Di tengah kelangkaan air, mereka justru menolak janji palsu “energi hijau” yang dibawa para pemodal. Mereka lebih percaya pada tanah mereka sendiri, dan pada anak-cucu yang akan mewarisinya.
Yang paling menyentuh adalah semangat para orang tua di Atakore. Di usia yang seharusnya dinikmati dengan tenang, mereka justru tampil sangat progresif. Mereka tak ingin meninggalkan anak-cucu mereka dengan tanah yang telah ditandai oleh korporasi. Mereka ingin mewariskan tanah yang utuh, yang hidup, dan yang suci.
Perjumpaan kami malam itu menyambung banyak hal: luka, harapan, ketakutan, dan keberanian. Kami saling menguatkan, saling mengingatkan bahwa perjuangan ini tak bisa sendiri. Poco Leok, Mataloko, Sokoria, Wae Sano, Atakore—dan masih banyak kampung lainnya—terhubung oleh rasa yang sama: bahwa hidup harus dilindungi dari kerakusan yang berbaju pembangunan.
Perjalanan ini memberikan pesan mendalam: dari kampung-kampung yang selama ini dianggap pinggiran, suara-suara penting sedang tumbuh. Suara yang berkata, “Kami akan terus menjaga tanah, karena di sinilah hidup bermula, tumbuh, dan semestinya diteruskan tanpa direnggut.”