[Komunikasi Produktif Keluarga Adaptif]

Tim yang mempelajari dan berbagi tentang komunikasi produktif bersama generasi digital native


Mission of the project

Menyelesaikan masalah komunikasi yang sering terjadi antara orang tua dan anak

Identifikasi Masalah

Masalah-masalah yang terkait dengan komunikasi bersama anak

Riset

Melakukan riset berupa survei masalah komunikasi yang diinginkan anak untuk usia SD - SMA


Media Sosial

Membuat akun media sosial sebagai etalase menuliskan dan menyebarkan edukasi tentang komunikasi produktif

Highlights & Key updates

Menyusun tema-tema konten yang dituliskan pada media sosial

Content creator

Menuliskan konten edukasi tentang komunikasi produktif

E-Book

Menyusun ebook yang berisi kumpulan pengalaman menjalankan komunikasi produktif

Questions?

timkaizen2021@gmail.com

Penyebab anak malas ngomong jujur

ke orang tuanya

Mengapa komunikasi produktif penting untuk diterapkan

Berkomunikasi adalah salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Saling berinteraksi, bertukar kata, berkirim pesan secara langsung merupakan bagian dari sosialisasi.

Tak jarang muncul hambatan dalam berkomunikasi, khususnya antara orang tua dan anak. Sehingga menimbulkan selisih paham, miskomunikasi, ketegangan, bahkan sampai tahap frustrasi.

Padahal, yang namanya anak masih sangat membutuhkan pengayoman dan bimbingan dari orang tuanya. Sekat-sekat penghalang komunikasi menjadi pembatas antara keduanya.

Di sisi lain, orang tua pun perlu mengetahui pola pikir, perasaan, dan kecenderungan anaknya. Agar tepat memberikan nasehat dan saran demi kebaikan si anak.

Tentunya orang tua tidak menginginkan buah hati kesayangannya malah lebih terbuka dengan teman untuk hal-hal penting, ketimbang dengan ibu yang melahirkan.

Maka agar tidak terjadi sesuatu yang di luar kontrol dan kadung sulit dikendalikan, suka tidak suka orang tua wajib menerapkan komunikasi produktif pada anak.

Sebelum melakukan komunikasi produktif dengan benar, orang tua, (apalagi jika ibunya, Ipers), mempelajari kembali kaidah-kaidah komunikasi produktif sebagaimana yang pernah diajarkan Ibu Septi Peni Wulandani di Kelas Bunda Sayang.

Penyebab Anak Malas Ngomong Jujur Ke Orang Tuanya

Sebagai orang tua yang ingin memahami anak, semestinya tak henti mencari tahu, penyebab anak malas ngomong jujur padanya. Sebaiknya tidak menggampangkan hal ini. Namun juga tidak sampai berlebihan menyikapinya.

Sebenarnya sesuai fitrah anak, mereka itu pada dasarnya jujur. Berkata apa adanya sesuai kenyataan yang dialami. Namun ada kalanya mereka punya kesulitan tersendiri sehingga malas ngomong jujur pada orang tuanya.

Berikut beberapa hal yang menyebabkan anak malas ngomong jujur ke orang tuanya, antara lain:

  1. Takut dimarahi

Berdasarkan bincang-bincang dengan anak sendiri, saya bertanya, mengapa kadang-kadang anak malas berterus terang pada ibunya.

Anak saya menjawab, dia pernah tidak sengaja memecahkan mug, kebetulan mug itu memiliki kenangan khusus. Dia tahu betul jika mengakui bahwa pelakunya adalah dirinya, takut saya marahi.

Padahal dalam kaidah 7:38:55 dari Albert Mehrabian, 7% diksi yang digunakan, 38% intonasi suara, dan 55% gestur tubuh saat menyampaikan pesan.

Maka jika anak dan ibu sama-sama memahami kaidah komunikasi produktif ini, persoalan gelas pecah, anak malas ngomong jujur dan ibu marah, tidak sehoror yang dibayangkan sebelumnya.

  1. Tak ingin mengecewakan orang tuanya

Penyebab anak malas ngomong jujur ke ibunya, tidak melulu karena alasan negatif. Bisa jadi karena tak ingin mengewakan orang tuanya.

Misalnya anak menyembunyikan nilai ulangan yang tidak sesuai ekspektasi orang tua alias rendah. Alih-alih berkata apa adanya, anak malah mengatakan nilai palsu, yang tinggi, agar ibunya tersenyum bangga.

Hal ini harus menjadi perhatian orang tua. Mengatakan yang bukan sebenarnya adalah sebuah kebohongan, dan dusta adalah sifat tercela. Anak dipahamkan lagi bahwa lebih baik mengatakan kejujuran daripada kepalsuan.

I'm responsible of my communication result adalah kaidah komunikasi produktif yang relevan dengan poin ini. Apapun yang dikatakan anak, ia harus belajar memahami bahwa ia bertanggung jawab atas perkataannya. Bagaimana respon yang diterima penerima pesan jika ia mengatakan suatu hal., apakah respos tersebut positif atau sebaliknya.

Orang tua menunjukkan ketertarikan meski nilai anak rendah. Transfer semangat yang tak putus kepada anak, memotivasi terus menerus, dengan cara yang dapat diterima anak, adalah solusi agar anak leluasa ngomong jujur ke ayah dan bundanya.

  1. Orang tua kurang punya waktu untuk mendengarkan anak

Nah, ini menjadi PR bagi para ayah dan bunda di zaman serba-hectic seperti sekarang ini. Bukan saja ibu-ibu yang berkarya di ranah publik, namun juga ibu yang berkarya dari rumahnya. Dia ada di rumah, fisiknya tidak ke mana-mana, namun disibukkan dengan gawainya, hingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendengarkan curhat anak.

Jangan sampai keinginan anak sudah menggebu-gebu untuk berkomunikasi dengan ibunya, lantas dimentahkan dengan alasan klise. "Sebentar ya, Kak... ini ada orderan masuk, kakak nanti aja ngomongnya ya, tunggu Bunda selesai, rekap pesanan."

Setelah selesai melayani customer online, adiknya pun menangis dan bunda beralih pula pada kesibukan mengurusi si adik. Akhirnya kakak batal ngomong jujur ke bunda. Semangatnya bagai menguap ditelan angin.

Tak ada yang salah di sini. Bunda juga pastinya tak punya niat mengesampingkan si kakak. Keadaanlah yang memicu komunikasi produktif tidak dapat diterapkan dengan baik.

Kaidah komunikasi produktif untuk hal ini adalah Choose the right time. Sepakati dengan si kakak, kapan ibu dan anak bisa ngobrol sepuasnya tanpa distraksi dari luar. Jika telah ketemu waktu yang tepat, penuhi janji, jangan ditunda lagi.

Pasang niat untuk membina hubungan komunikasi yang produktif dengan anak. Sehingga tak ada lagi alasan anak untuk malas ngomong jujur ke orang tuanya.

Demikian ulasan kami kali ini, nantikan artikel berikutnya ya, sampai jumpa! Ikuti postingan di akun Instagram @timkaizen terima kasih.

#komunikasi produktif keluarga adaptif

(mi)




Mengapa komunikasi pada anak digital native menjadi perhatian kami

Mengapa komunikasi pada anak digital native menjadi perhatian kami, empat ibu member Tim Kaizen, mahasiswi Bunda Saleha Batch 1 Institut Ibu Profesional (IIP).

Fakta yang dihadapi sehari-hari

Cerita 1:

"Kak, sudah mau azan tuh, ke masjid gih..."
"Hmm, iya, Nda" Fikri bergerak lamban.
Padahal tadi udah mau berangkat ke masjid, karena pegang HP baca pesan singkat dari teman, dikira Bunda main games kali ya, lagian Bunda masih nyuruh lagi, kan udah siap-siap nih, kok mendadak jadi berat ya, ke masjidnya.

Cerita 2:

"Wah, masih banyak kolom jawaban yang kosong, nih, Dek... udahan dulu nonton Youtube-nya..."

"Iya, Nda... kan emang mau diselesaikan semuanya, Bunda kok khawatir gitu... tenang aja deh."

Cerita 3:

"Kenapa ya bundaku kayak maksain semua-mua mesti diceritain. Kadang akunya pingin woles ajah, gitu." curhat Rania ke sahabat sekolah daringnya via aplikasi obrolan.

***

Cerita di atas mungkin terasa familier di keseharian kita. Bahkan tak jarang komentar dengan istilah-istilah ajaib kerap terlontar dari anak-anak tercinta.

Sebutan-sebutan yang biasa ber-sliweran di linimasa media sosial zaman sekarang. Baik yang dipopulerkan pemengaruh (influencer), public figure, maupun di kalangan teman-teman anak sendiri.

Orang tua, yang hidupnya berkutat dengan pekerjaan keseharian, mengurus rumah tangga, berinteraksi dengan orang-orang yang sama, sebagai karyawan, sebagai ayah/bunda, memiliki alasan yang logis ketika ia kurang up to date dengan istilah-istilah yang akrab di telinga anak-anaknya.

Di satu sisi, anak ingin orang tuanya asyik diajak ngobrol. Senyaman kalau bercakap-cakap dengan sahabatnya yang terpisah jarak karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Jika mempertahankan egoisme masing-masing, yaitu bunda kekeuh dengan pendapatnya. Bahwa anak mestinya memahami kesibukan orang tua dan gaya berbahasa dengan yang lebih tua itu harus sesuai norma yang berlaku.

Sementara anak tetap ingin bundanya mengerti dia dengan segala keinginannya, inilah yang menjadi masalah dalam berkomunikasi antara orang tua dan anak. Yang jika tidak diselesaikan akan berlarut-larut dan menjadi bom waktu, membawa problem yang lebih besar lagi.

Orang tua pernah menjadi anak-anak, sedangkan anak belum berpengalaman menjadi orang tua. Maka sudah sepantasnyalah orang tua yang terlebih dahulu mengambil sikap untuk menemukan solusi dan akar permasalahan ini.

Sebagai langkah awal, ayah dan bunda harus mengenali dulu sebaik-baiknya tipikal anak digital native.

Siapakah Anak Digital Native?

Digital native adalah istilah untuk generasi yang lahir dan tumbuh berkembang dalam dunia digital, di mana mereka berinteraksi secara teratur dengan teknologi sejak usia dini.

Bisa dibilang, anak-anak yang telah dikelilingi gadget sedari mereka terlahir ke dunia. Buktinya bunda sendiri sudah mendokumentasikan perkembangan anak dari hari ke hari dalam jurnal tumbuh kembangnya. Ada yang mengunggahnya di media sosial, ada pula yang menulisnya dalam blog pribadi.

Dilansir dari blog UB, Andrew mengatakan bahwa ada 7 ciri anak digital native yang membedakannya dari generasi di atasnya, yaitu Generasi Y atau Generasi Milenial.

Sebenarnya Gen Y ini pun disebut juga sebagai digital native generasi pertama, sebab sudah terhubung juga dengan internet dalam kesehariannya, meski tidak dari lahir sebagaimana digital native zaman sekarang.

Berikut Tipikal Anak Digital Native:

  1. Bebas, tidak mau terkekang

  2. Bermain, bukan hanya bekerja

  3. Cepat, enggan menunggu

  4. Mencari, bukan menunggu instruksi

  5. Unggah, bukan hanya unduh

  6. Interaktif, bukan komunikasi searah

  7. Berkolaborasi, bukan hanya berkompetisi

Dari informasi di atas, bunda bisa menentukan cara yang tepat untuk bisa lebih dekat dan melakukan komunikasi produktif dengan anak digital native.

Memahami kaidah-kaidah dalam komunikasi produktif amatlah penting, untuk masuk ke dunia mereka. Bukan berarti bunda menjadi terpengaruh dan larut kembali menjadi menyerupai orang seusia mereka. Namun mencari cara dan memahami kondisi emosional anak digital native, agar komunikasi bisa terjalin sesuai dengan harapan.

Kesimpulan

Komunikasi produktif kepada anak digital native menjadi perhatian kami karena menyadari sepenuhnya betapa pentingnya menjaga hubungan yang nyaman dengan anak digital native.

Tentunya tidak diinginkan jika anak sudah tumbuh dewasa, melakukan komunikasi kontraproduktif, sebagai lawan dari komunikasi produktif.

Sebab telah menjadi kebiasaan yang dibawa anak hingga ia tua kelak. Kita memulai hal ini sejak sekarang, insyaallah implikasi positifnya dapat menjangkau ke masa depan, anak, cucu, dan juga generasi mendatang.

Demikian sharing saya kali ini, nantikan artikel berikutnya ya, sampai jumpa! Baca konten edukatif kami setiap harinya di akun Instagram @timkaizen. Jangan lupa follow dan like-nya ya.

#komunikasi produktif keluarga adaptif

(mi)

Referensi:
https://blog.ub.ac.id/andews/2019/03/03/generasi-digital/https://sites.google.com/view/komunikasiproduktifbersamaanak/home#h.23kotn4hb06t

https://lldikti8.ristekdikti.go.id/2021/01/25/4-jenis-komunikasi-beracun-yang-perlu-anda-hindari-dan-penangkalnya-untuk-membangun-komunikasi-yang-produktif/

Alasan kami

mendalami isu

komunikasi pada anak

Assalamu'alaikum, Bunda semua... semoga selalu sehat di manapun berada ya. Bertemu lagi di artikel kami, Tim Kaizen yang concern mempelajari dan mendiskusikan tentang komunikasi produktif kepada anak digital native.

Kenapa isu komunikasi pada anak sangat penting untuk didalami?


Mari kita baca terjemahan kalimat bijak yang menjadi foto ilustrasi artikel ini. "Kurangnya komunikasi merusak segalanya, karena alih-alih mengetahui perasaan orang lain, kita hanya berasumsi."

Jika dikaitkan dengan fokus bidang ini adalah komunikasi pada anak digital native, maka bisa diurai terlebih dahulu, mengapa terjadi kondisi kurangnya komunikasi dengan anak, khususnya para generasi emas di tahun 2045, yang sedang dibesarkan di rumah-rumah kita.

Komunikasi yang kontraproduktif dapat terjadi baik karena salah satu pihak, maupun keduanya. Karena komunikasi pastinya melibatkan antara orang tua dan anak.

Dari sisi ayah bunda:

  1. Kesibukan orang tua; Berdasarkan hasil penelitian di masa pandemi Covid-19 ini, menunjukkan bahwa peran orang tua dalam mendampingi anak, jauh dari harapan. Faktor penyebabnya adalah kesibukan bekerja, mengerjakan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan anak.

  2. Tidak menguasai seni berkomunikasi dengan anak; Komunikasi adalah ilmu sekaligus seni, sebab komunikasi menuntut keahlian dan kecerdasan dalam merancang, mengemas, dan menyampaikan pesan secara bernas dan cerdas.

  3. Niat dan ikhtiar untuk memperbaiki keadaan masih kurang; Separuh keberhasilan suatu upaya adalah niat. Jika niat belum sekokoh baja atau setegar karang di tepi pantai, maka jangan harap ketrampilan mendekati anak digital native dengan komunikasi produktif, akan dapat dimiliki. Sebaiknya orang tua berusaha meraih seni berkomunikasi. Bisa lewat majelis ilmu, sharing session dengan praktisi, membaca artikel tentang bidang ini, dan sederetan cara lainnya.

Sementara itu di sisi lain, kurangnya komunikasi ini juga muncul dari anak kita sendiri.

Dari sisi anak:

  1. Adanya anggapan bahwa orang tua "nggak nyambung" bila diajak bicara. Padahal anak belum membuka diri sepenuhnya, sehingga muncul rasa malas ngomong. Orang tua dan anak lahir dan hidup di zaman yang berbeda. Dan yang menyatukan keduanya adalah masa sekarang. Fokus membicarakan hal yang terjadi saat ini jauh lebih produktif.

  2. Banyak PR dari sekolah sehingga anak ingin dimengerti lebih banyak. Pembelajaran tatap muka yang mulai diberlakukan plus tugas-tugas sekolah yang tidak sedikit, membuat anak merasa harus dimengerti oleh ayah bundanya. Tanpa harus menyampaikannya. Faktanya, orang tua hanya melihat anak sedang rebahan. Tidak menyaksikan bahwa pada malam harinya anak begadang demi menuntaskan PR. Mestinya hal ini dikomunikasikan dengan orang tua, agar tahu dan memaklumi kondisi anak.

  3. Adanya kekhawatiran akan disalahkan. Anak memilih diam seribu bahasa sehingga mengakibatkan kurang komunikasi dengan orang tua, bisa jadi karena ia berasumsi sendiri ayah/bunda bakal marah, ia takut disalahkan. Misalnya, telanjur menghabiskan uang jajan seminggu dalam satu hari. Anak memahami bahwa tindakannya salah, namun gentar menghadapi pertanyaan orang tua. Mestinya hal ini tidak perlu terjadi, sebab ada semacam garansi dari ayah bunda bahwa berkata jujur (meskipun pahit), lebih baik daripada menutupi masalah.

Masih banyak hal menarik yang bisa didiskusikan dengan mengeksplor gaya komunikasi orang tua dengan anak, khususnya anak-anak digital native generasi Alpha, yang akan memegang tampuk kepemimpinan Indonesia di masa depan.

Kesimpulan

Inilah salah satu alasan kami kenapa mendalami isu komunikasi pada anak. Hal yang tak habis-habisnya untuk dibicarakan. Terutama untuk diterapkan pada anak-anak generasi emas di dalam rumah sendiri.

Syukur-syukur bila langkah kecil kami ini dapat pula menginspirasi dan memecahkan persoalan komunikasi orang tua lainnya dengan anak-anak mereka.

Sampai jumpa lagi di artikel berikutnya ya...
Wassalamu'alaikum, W.W.

#KomunikasProduktifKeluargaAdaptif

(mi)

Referensi:

https://bdkpalembang.kemenag.go.id/upload/files/Web%20MIskiah%2020.pdf

https://perpustakaan.kasn.go.id/index.php?p=show_detail&id=220&keywords=


ANAKKU

SANG PROBLEM SOLVER

Acara mini workshop yang diadakan oleh Tim Kaizen pada hari Sabtu, 27 November 2021 lalu Alhamdulillah terselengggara dengan baik. Narasumber Izza Imania, M.Psi., Psikolog, memberikan materi yang sangat menarik dan menjawab keingintahuan para orang tua yang hadir menjadi peserta mini workshop.

Sebuah Refleksi Komunikasi Orang Tua Bersama Anak

Tujuan besarnya untuk memampukan anak memecahkan masalahnya sendiri. Komunikasi bagaikan oksigen dalam suatu hubungan. Jika tidak ada komunikasi ataupun ada namun tidak produktif, maka suatu hubungan tak akan berjalan dengan baik. Membesarkan anak itu harus dengan komunikasi verbal, agar terjalin dengan efektif.

Apa itu komunikasi efektif?

Komunikasi efektif itu proses berbagi informasi yang mengarah pada hasil yang diharapkan. Jika orang tua berkomunikasi dengan anak namun anak malah membanting pintu masuk kamar, berarti ada suatu masalah komunikasi antara orang tua dengan anaknya.

Ketrampilan yang dibutuhkan dalam komunikasi:

Komunikasi non-verbal > komunikasi verbal > attentive/listening/menyimak > memahami dan mengelola emosi

Pemilihan kata, gesture, dan intonasi bunda saat berbicara dengan anak harus diperhatikan. Berkata-kata namun penekanannya dengan nada tinggi sama saja tidak produktif.

Anak lebih menangkap intonasinya bunda ketimbang pesan yang ingin disampaikan. Bunda penting untuk terlihat menyimak saat berkomunikasi dengan anak, dan mampu mengelola emosi dengan anak.

Cara Mengidentifikasi Kesulitan dalam Berkomunikasi dengan Anak

Anak usia 3-4 tahun masa emosi dan neuron-neuron di otaknya sedang berkembang pesat, dan puncaknya tantrum.

Anak usia 10 tahun sudah beranjak remaja, hormon sedang naik turun

Kesulitan dalam Menerapkan Komunikasi dengan Anak

Penyebabnya:

  1. Luka pengasuhan; orang tua dahulu mengasuh dengan pola asuh tertentu sehingga menghadapi anak jadi kurang tepat

  2. Manajemen diri; mengidentifikasi dan meregulasi emosi, punya strategi mengatasi emosi, manajemen waktu, manajemen energi

  3. Kurang pengetahuan mengenai perkembangan anak; harus mengetahui informasi perkembangan anak

  4. Skill komunikasi belum terasah; bisa dilatih, orang yang introvert saja bisa menjadi pemimpin, berarti dia bisa mengasah keterampilan berkomunikasinya.

Gunung Es (Iceberg) sebagai Orang tua

Di puncak gunung yang ditampilkan orang tua adalah: behaviour - word and actions: ANGER

Sementara bagian tak terlihat yang terendam di bawah air, sebagai berikut:

Parent's Feelings:

1. Rejected/Abandoned
2. Powerless

3. Unrecognized/Voice not heard
4. Disrespect
5. Anxiety

6. Failure

7. Hopeles

8. Fear

9. Inadequacy

Mengenali gunung es kita perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab sebenarnya mengapa kata-kata dan sikap yang keluar pada saat berkomunikasi dengan anak itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Atau malah marah-marah yang keluar.

Bagaimana jika tipe pengasuhan pasangan berbeda?

Suami yang bahasa kasih atau bahasa pengasuhannya adalah pelayanan. Sementara bunda inginnya anak terlatih memecahkan masalahnya sendiri, mampu mengerjakan pekerjaannya secara mandiri.

Idealnya secara teori suami dan istri harus sama tipe pengasuhannya, menerapkan pola asuh yang sama ke anaknya. Namun bisa dilakukan pengenalan gunung es masing-masing. Mengikat janji bersama pasangan artinya berkomitmen untuk mengedukasi pasangan juga. Lewat iceberg kita jadi tahu luka pengasuhan pasangan.

Berkomunikasi dengan inner child sendiri agar jangan keluar saat ketemu sama anak. Salurkan ke waktu dan tempat yang lain agar tidak terlampiaskan saat ketemu anak.

Usia 7 tahun pertama, anak meng-capture figur sang ibu, sehingga sangat perlu hadir bersama anak. Rasa puas, nikmat disayangi, ibu punya peran besar. Agar ibu stabil emosinya, itulah perlu peran ayah, menjaga emosi ibu

7-12 tahun idealnya peran ayah masuk langsung mengajari anak. Makanya dalam Islam ayah sebagai imam, tidak semuanya dibebankan pada ibu semata.

Melatih Anak Menjadi Problem Solver Melalui Komunikasi Produktif

Pertanyaan reflektifnya: Kapankah bunda menyaksikan sendiri anak bisa menyelesaikan sendiri masalahnya?

Problem solving adalah proses menemukan solusi untuk menghadapi permasalahan, spesifik sesuai situasi dan konteks, sesuai tahap perkembangan, menemukan masalah dan menyederhanakannya. Bisa memakai formula design thinking:

  1. Empathize; empati

  2. Define; membantu mendefinisikan masalah

  3. Ideate; mendesain solusi

  4. Prototype; dicoba dulu

  5. Test, mengetesnya

Misalnya anak 3-4 tahun masih bisa fokus dengan satu hal, menggunakan simbolik. Yang ingin dilatihkan adalah autonomy.

Remaja, sudah bisa diajak berpikir abstrak, berpikir metakognisi (sudut pandang orang lain).

Define problem: Bisa menggunakan 5W dan 1H

Menyimak cerita anak, memberi pertanyaan, dan merumuskan kembali cerita anak, merefleksikan perasaannya, barulah berbicara mengenai kebutuhan anak

Ideate; Memberikan pertanyaan reflektif (question), memberi masukan dan bertanya (suggestion), dan membantu memilih ide-idenya (direction).

Prototype & Test; percaya, mendampingi, refleksi/evaluasi (question), Kalau kamu masih mau nanya lagi, Bunda ada di sini ya", "Kamu sudah cukup puas belum dengan hasilnya?"

Quality time 30 menit cukup bersama anak untuk bikin bonding dengan anak. Tanpa gangguan HP atau yang lainnya, benar-benar "turn in"

Sebaiknya bertanya pada anak tentang hasil usahanya, jadi tidak asal memuji dan anak jadi labil. Bunda memuji sesuai dengan yang diusahakan anak, genuine saja.

Agar anak tidak mengeluh ketika dimintai bantuan, harus diatur lagi strateginya. Biasanya anak meniru gaya bersikap orang tuanya. Anak merefleksikan yang dilihatnya dari orang tua. Bunda harus memahami gunung esnya anak. "Apa yang menyebabkan kamu merasa kamu terus yang disuruh?"

Mengkomunikasikan dengan anak apa yang bisa dilakukan agar anak tak lagi merasa dia terus yang disuruh. Semisal anak mengungkapkan ketidaksukaannya dengan suatu sikap bunda, maka sepakati bersama agar tidak terjadi lagi hal yang sama.

Usia 0-5 tahun: Untuk anak yang suka manjat-manjat, selama aktivitas tersebut tidak membahayakan dirinya tidak masalah. Pakai pengalihan yang dramatis, misalnya ada boneka yang bisa bicara. Tidak bisa langsung dikomunikasikan secara verbal, sebab usia ini anak masih kaya imajinasi.

Usia remaja yang minta HP baru, biarkan anak bercerita dulu tentang keinginannya. Bunda menanyakan harga HP, gali terus informasinya, tunggu jawabannya, hingga ketemu hal yang disepakati.

Mengenai bangun tidur, dari malamnya harus ada kesepakatan dengan sadar, besok paginya bunda bisa ketuk pintu dulu, membuka jendela kamarnya, setelah lima menit harus ada konsekuensinya.

Misalnya: karena telat bangun pagi, anak jadi terburu-buru ke sekolah dan lupa meletakkan buku PR nya. Lalu karena jam sudah harus mengharuskan pergi ke sekolah, anak tetap berangkat tanpa buku PR.

Jika anak protes tentang tidak adanya buku PR, bunda bisa menyampaikan bahwa anak sebaiknya tidak bangun telat kalau buku PR nya tidak ingin keselip lagi.

Pembahasan dan Kesimpulan

C before C Connection before Correction. Membangun koneksi dulu baru koreksi

Pertanyaan reflektif "Menurut kamu gimana..."

Membangun critical thinking anak

Mendampingi anak dalam membuat rencana aksi yang konkret bahkan hingga usia 25 tahun

Refleksi dan Konsekuensi "Kalau begini berhasil tidak?"

Kapan Melatihnya?

  1. Saat bermain, misalnya permainan tradisional, banyak filosofi problem solving-nya.

  2. Saat membaca buku, jangan langsung balik buku ke halaman berikutnya.

  3. Saat menonton bersama, tanya anak bagaimana cara menyelesaikannya

  4. Saat mengalami masalah nyata, masalah nyata itu seperti lautan, maka anak harus dilatih di kolam-kolam sebelumnya.

Pesan-pesan untuk orang tua yang ingin anaknya menjadi problem solver:

Melatih anak menjadi problem solver dapat menggunakan formula design thinking. Empati, define, ideate, prototype, test.

Beri anak kesempatan berpikir bagi dirinya sendiri, agar percaya diri bahwa ia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

Jadilah orang tua panutan, maka kemampuan orang tua untuk problem solving pada masalah sendiri sangat diperlukan, jika punya masalah pribadi, jangan meluapkannya pada anak. Ingat, anak akan meneladani orang tuanya.

***


Demikian resume dari mini workshop ANAKKU PROBLEM SOLVER persembahan dari Tim Kaizen, semoga bunda sekalian dapat melatih ananda tercinta menjadi anak-anak yang mampu memecahkan masalahnya sendiri serta masalah di sekitarnya.

(Tim Kaizen)