Beranda > Santri Creation > Creation 6
Hidayah to Allah #4
Penulis : Entity 02 - 11 Maret 2025
Ilustrasi : Santri/Mercyvano Ihsan
Lepas kejadian di hari itu. Aku memutuskan untuk menjalani kehidupan di tempat ini dengan sungguh-sungguh. Tak ada lagi pelanggaran. Tak ada lagi keluar pondok tanpa izin. Bahkan lebih dari itu, aku memutuskan untuk mengembangkan dan mengasah diriku lebih keras dari siapapun. Seperti saat sedang jam istirahat malam, yang lain tidur, aku fokus untuk mencoba menghafal rumus-rumus yang diajarkan di kelas tadi siang. Juga saat yang lain tertidur setelah shalat Tahajud, aku fokus untuk menyiapkan hafalan qur’anku.
Tapi ternyata, semua itu tak semudah yang aku bayangkan. Lika-liku bagai lembah dan bukit harus kuhadapi. Kantuk sebagai lawan terberat. Lelah sebagai musuh terhebat. Dan sayangnya, meski aku sudah sekuat tenaga dan tabah menghadapi itu semua, takdir tak berjalan semudah membalikkan telapak tangan. Nilaiku tetap yang terendah di kelas setiap ulangan harian. Hafalanku juga macet seperti tak ada perubahan. Dan kian lama, aku kian tak kuat menghadapi semuanya. Seperti malam ini, di salah satu pojokan masjid. Selesai shalat tahajud, di saat santriwati lain lelap tertidur kembali setelah lelah shalat selama tak kurangnya satu jam lebih. Aku justru sedang mati-matian mencoba menghafal surat At-Takwir yang sudah seminggu ini tak juga kunjung hafal. Frustasi memenuhi isi kepala. Rasa bersalah menghantui ku bagai roh gentayangan.
“Kenapa? Kenapa aku tak bisa lebih baik dari ini…”
Bisikku dalam senyap. Tapi, di saat itulah. Di saat aku hampir saja menyerah atas takdir yang begitu kejam. Mendadak seseorang datang menghampiriku. Tangannya lembut mengusap kepalaku yang tertunduk. Yang membuatku dengan segera sadar akan kehadirannya. Mataku yang mulai sembab menatap wajah itu. Wajah yang biasanya galak memarahiku. Wajah yang bahkan tak pernah kulihat darinya
“Assalamualaikum Nur”
Intonasi suaranya juga kini berubah 180 derajat dari yang biasanya kudengar. Lembut dan halus, juga menenangkan hati.
“W-waal”
Bibirku gugup mengucap nama. Apakah yang kulihat di depanku ini memang Ustadzah Dewi? Atau malah malaikat yang sedang menjelma jadi Ustadzah Dewi? Dengan anggun Ustadzah Dewi (jika memang itu benar-benar Ustadzah Dewi) duduk di sebelahku.
“Kamu pasti lagi frustasi kan Nur? Karena setelah mencoba melakukan semuanya, takdir seolah kejam sekali mengkhianatimu”
Tak ada yang bisa kulakukan selain mengangguk, karena memang itulah yang kurasakan, keputusasaan
“Itu berarti kamu salah Nur, takdir tak akan pernah mengkhianatimu, apa yang kamu lakukan sekarang, pasti ada hasilnya di hari berikutnya”
“Tapi…tapi kenapa saya gak juga dapat menyaingi teman-teman saya. Kenapa saya nggak juga berkembang meski saya sudah mati-matian berusaha?”
“Karena memang belum waktunya Nur, semuanya pasti akan indah pada waktunya. Yang terpenting, adalah kita sabar atau tidak menghadapinya”
“Kenapa Ustadzah bisa yakin sekali mengatakannya?”
Ucapku tak terima. Seperti yang semua orang sini tau. Ustadzah Dewi adalah wanita yang sangat pintar dan cerdas. Dia lulus jurusan matematika di universitas luar negeri dengan nilai yang hampir sempurna. Apakah orang sejenius itu pernah merasakan apa yang kurasakan? Merasakan rasanya bodoh. Merasakan hidup jalanan yang tanpa pendidikan. Apakah dia merasakannya?
“Karena saya juga pernah merasakan menjadi seperti kamu, lebih buruk malah. Mehmed sudah cerita kesaya, kamu mantan copetkan? Itu sih masih terbilang keren, bisa mengambil barang orang dalam sekedip mata dan tanpa suara sama sekali. Kalau saya dulu…jauh lebih rendah dari itu…”
Tatapan mata Ustadzah Dewi perlahan berubah redup, ada bekas-bekas penyesalan yang dalam di sana. Sama sepertiku
“M-Memangnya dulu Ustadzah ngapain?”
Mulutku gentar mengeluarkan pertanyaan yang terhitung kurang hajar tersebut. Dan demi mendengar pertanyaan tersebut, mendadak Ustadzah Dewi tersenyum getir. Sepertinya dia benar-benar menyesali apa yang dulu telah ia lakukan
“Suatu saat kamu akan tau Nur. Tapi bukan itu yang menjadi masalah utamanya sekarang, tapi kamu. Saya juga dulu pernah ngerasain apa yang kamu rasakan hari ini. Frustasi, kecewa sama kenyataan dan lain-lain. Tapi percayalah, Allah itu maha adil, Allah itu maha baik. Apa yang kamu tanam hari ini pasti akan berbuah manis di hari kemudian. Percayalah kata-kata itu Nur dan suatu hari nanti, kata-kata itu pasti akan membuktikan kebenarannya”
Lepas perkataannya, Ustadzah Dewi lekas berdiri
“Dua puluh menit lagi adzan subuh Nur, masih ada waktu buat tidur. Tidurlah, hari ini hari libur kan? Masih banyak waktu buat melanjutkan hafalan. Ingat, tidur itu juga penting. Dah, assalamualaikum”
“W-wa’alaikumsalam”
Dan Ustadzah Dewi pun telah pergi meninggalkanku. Sekarang aku kembali berpikir, apakah itu benar-benar Ustadzah Dewi. Tapi kalau itu memang Ustadzah Dewi sungguhan, berarti aku telah sangat salah menilainya selama ini. Ternyata memang benar perkataan yang pernah kudengar tentang bahwa JANGAN MENILAI BUKU HANYA DARI SAMPULNYA. Dan kini kuputuskan, aku akan mencoba percaya dan yakin dengan apa yang dikatakan Ustadzah Dewi barusan. Tak peduli meski tantangan yang akan kuhadapi nanti akan dua kali lipat beratnya dari yang hari ini. Aku tetap akan membuktikan kebenaran dari kata-kata itu.