Beranda > Santri Creation > Creation 5
Hidayah to Allah #3
Penulis : Entity 02 - 17 Februari 2025
Ilustrasi : Santri/Mercyvano Ihsan
Enam tahun berjalan tanpa terasa setelah Bang Mehmed mengajakku ke pondok pesantren. Kehidupanku seketika berubah 180 derajat dengan kehidupanku sebelumnya sebagai copet. Disini, banyak sekali yang harus kukejar sebelum bisa bergabung dengan teman-teman yang lainnya di kelas. Enam bulan aku dibimbing oleh salah satu Ustadzah bernama Ustadzah Dewi. Kalau meminjam bahasa anak sekarang, dia itu termasuk guru killer yang galaknya minta ampun. Tidak ada kata capek baginya. Semuanya harus terkejar sesuai target. Tak ada hari tanpa marah-marah. Benar-benar memusingkan kepala. Tapi, untungnya, ditengah kondisiku yang begitu terpuruk, Bang Mehmed masih memberi motivasi setidaknya sekali seminggu. Dia bekerja sebagai Musyrif di pondok bagian putra dan hal itu membuatnya tidak bisa sering-sering bertemu denganku. Dan benarlah tentang apa yang pernah Bang Mehmed katakan saat di warung kopi tempat kami mengobrol pertama kali. Pondok itu benar-benar seperti bengkel. Aku bertemu berbagai jenis Santriwati mulai dari yang kelewat alim, sampai yang bandelnya astaghfirullahaladzim ada di sini. Dan sayangnya, aku bergaul dengan teman yang benar-benar salah. Namanya Sapti, dia termasuk kategori yang anaknya itu bandelnya astaghfirullahaladzim. Kami ‘jalan-jalan’ keluar pondok tanpa izin, bahkan sampai tanpa sadar akau telah mengajarinya beberapa DDIP (Dasar-Dasar Ilmu Pencopet). Aku tau itu salah. Tapi…ya…begitulah, sering kali aku memang suka lupa dunia saat bersama Sapti, juga akan nasihat-nasihat bijak yang disampaikan oleh Bang Mehmed seminggu sekali. Seperti hari ini, saat aku kembali ‘jalan-jalan’ di salah satu pasar dekat pondok bersama Sapti
“Sapti!, kamu ngapain?!”
Aku berseru kesal kepada Sapti saat dia datang kepadaku setelah menghilang entah kemana selama beberapa menit. Ditambah, dia membawa dompet hasil copetannya kepadaku
“Aku mempraktekan ilmu yang kamu ajarin Nur, kan Ustadz di kajian pernah bilang ‘ilmu itu untuk diamalkan’”
“Aduh Sapti, jangan gitu juga donk, nanti kalau ketauan gimana?”
Bisikku sembari menepuk dahi, merasa agak menyesal mengajarkan DDIP kepada Sapti
“Santai Nur, toh selama ini kita keluar pondok aja gak pernah ketauan kan? Aku cuma coba tantangan baru”
“Siapa bilang?”
Tepat di ujung kalimat Sapti, suara itu terdengar. Suara yang amat kukenali. Sontak aku dan Sapti menoleh dan mendapati beliau sedang menatap kami berdua tak ubahnya beruang yang marah setelah dibangunkan dari hibernasinya. Ya, siapa lagi kalau bukan guru killer itu.
***
Malamnya, Ustadzah Dewi mengomeli aku dan Sapti panjang lebar. Tapi bukan itu inti masalahnya, kalau itu sih sudah biasa. Melainkan hukumannya. Ustadzah Dewi memberikan kami hukuman untuk membersihkan toilet, menulis seperempat dari satu juz di dalam al-qur’an dan dipanggil orang tuanya. Karna aku tidak punya orang tua, maka Bang Mehmed yang akan menjadi waliku. Dan disitulah letak permasalahannya. Aku tak peduli bahkan jika aku dihukum membersihkan seluruh pondok pesantren yang luasnya hampir lima hektar ini. Pun jika aku dihukum menulis satu Al-qur’an penuh juga tak apa. Asal Bang Mehmed tak tau tentang pelanggaran ini, aku rela melakukan segalanya. Tapi sayangnya, Ustadzah Dewi bergeming tak peduli, Bang Mehmed akan tetap dipanggil besok oleh pihak asrama.
Untuk memikirkannya saja sudah membuat dadaku sesak. Bagaimana kalau Bang Mehmed kecewa?.
Dia telah memberikanku sangat banyak, dia telah membawaku kepada masa depan yang lebih baik, memberikan janji-janji masa depan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dia…dia adalah Cahayaku. Dan aku malah mengkhianatinya dengan pelanggaran berat ini. Aku…aku tidak tau bagaimana cara menghadapinya besok. Aku…aku…
Ilustrasi : Istimewa
Waktu memang begitu kejam, berjalan cepat tanpa peduli pada apapun yang ada disekitarnya. Saat kubuka mata, pagi telah menyingsing. Dan tanpa perasaan waktu menyeretku ke ruang BK. Orang tua Sapti telah dipanggil lebih dulu. Kemudian, semuanya berjalan seolah di skip. Aku tak banyak ingat dengan yang terjadi di ruang BK. Yang kuingat hanyalah Bang Mehmed masuk ke ruang BK dengan wajah datar. Selanjutnya, aku tidak ingat. Dan tau-tau Bang Mehmed telah mengajakku ke rooftop gedung asrama
“Di sini, kamu bisa menangis sepuasnya, dasar, sok kuat”
Bang Mehmed bicara tiba-tiba. Wajahnya tersenyum dengan senyuman lembut menghangatkan seperti senyumnya yang biasa. Seolah-olah hari ini hanya seperti hari-hari dia mengunjungiku seperti biasa. Dan tanpa bisa kutahan lagi, air mataku telah tumpah ruah bagai bendungan yang tak kuat lagi menahan derasnya arus air
“M-maaf Bang…aku…aku gak dengerin nasehat Abang, aku…aku mengkhianati kebaikan Abang selama ini, maaf karna aku gak bisa jadi anak baik kayak yang Abang harapkan…”
Aku menangis sejadi-jadinya di sana. Tangisan yang pertamaku setelah sekian lamanya, Sedangkan Bang Mehmed, tetap tersenyum hangat menatapku seperti biasanya. Tak ada satu pun dari garis wajahnya yang menunjukkan kekecewaan
“Menangislah…
Kan kau juga manusia…
Mana ada yang bisa…
Berlarut-larut…
Berpura-pura sempurna…”
Mendadak, Bang Mehmed menyenandungkan sebait syair. Diikuti berbait-bait syair-syair lainnya sehingga menyulam lagu. Suaranya indah menenangkan. Hingga tanpa sadar isak tangisku terbuai bersama nyanyiannya
“Tidakkah letih kakimu berlari?
Ada hal yang tak mereka mengerti
Beri waktu tuk…bersandar sebentar
S’lama ini kau hebat, hanya kau yang tak di dengar…”
Dan pada akhirnya aku tertidur di akhir lagunya.
Ilustrasi : Santri/Mercyvano Ihsan
***
Terbangun, langit telah gelap. Sekitarku remang, cahaya purnama indah menembus kamarku. Reflek aku menoleh ke sekitar. Apakah aku tertidur selama itu?. Tapi sejenak, mataku menatap heran sepucuk kertas yang tergeletak di atas kasurku. Disana tertulis
Assalamualaikum Nur
Baguslah kalau kamu sudah bangun. Habisnya, kamu lucu banget kalau lagi tidur, saya jadi gak enak banguninnya. Intinya, kamu gak usah sedih lagi. Saya gak kecewa kok. Yang namanya manusia, pasti ada salahnya. Wajar, apa lagi kamu juga baru pertama kali masuk dunia pendidikan. Jadi saya gak kaget kalau kamu melakukan pelanggaran semacam itu. Tapi yang penting, kamu mengambil pelajaran dari kesalahan kamu hari ini. Pokoknya, kamu harus terus semangat belajar. Gak papa kalau kamu belum bisa menjadi anak baik hari ini. Saya akan sabar menunggu.
Salam hangat, Mehmed
Tadinya, aku hendak kembali menangis membaca isi surat tersebut. Bagaimana tidak? Bang Mehmed tetap tidak marah meskipun aku telah melakukan pelanggaran tingkat menengah ke atas. Hatinya begitu lapang menerima anak tak tau diri sepertiku. Tapi batal. Aku tidak boleh menangis lagi. Aku harus tetap semangat seperti yang Bang Mehmed katakan. Dengan segera, kuambil sebuah buku. Dan mulai kukerjakan hukumanku. Dan mulai malam itu juga, aku berikrar pada diriku sendiri. Bahwa aku tak akan melakukan kesalahan seperti yang kulakukan hari ini. Aku tidak boleh mengecewakan Cahayaku.
Karya Ini Hanya Cerpen fiktif semata, jika ada hal yang mirip/terlihat sama, itu hanya sekedar kebetulan.*