Chapter 99

Dengan lembut, dia membuka pintu dan mendapati ruang tamu dipenuhi dengan semua hadiah yang telah dibelikannya kepada Erna. Hadiah-hadiah itu diletakkan secara sembarangan dan membuat ruangan menjadi kacau balau.

Nyonya Fitz menyarankan untuk memanggil tukang pelapis untuk merapikan ruangan sedikit. Bjorn merasa tidak perlu, ini bukan ruang tamu dan dia senang melihat Erna dikelilingi oleh hadiah yang dibelikannya.

Bjorn bersandar pada kusen pintu saat dia mengamati pemandangan itu. Erna sedang duduk di mejanya, samar-samar terdengar suara ketukan tombol saat dia bekerja dalam diam. Dia terhibur dengan kenyataan bahwa istrinya menyelinap keluar di tengah malam untuk berlatih mengetik. Dia mempelajari salah satu dari beberapa buku pelajaran yang tersebar di atas meja dan seekor gajah emas besar berdiri di sampingnya, seolah sedang bertugas jaga. Bjorn terkekeh.

Nyonya Fitz mempunyai kata yang tepat untuk gajah itu, 'merusak pemandangan' dan dia berargumen keras agar patung itu disingkirkan. Dia tidak mau harus melihatnya. Erna bersikeras untuk menyimpannya, mengatakan bahwa itu adalah hadiah dan dia akan menemukan kegunaannya.

Bjorn berjalan melintasi ruangan dengan langkah panjang, tidak menyangka Erna akan menoleh ke arahnya. Dia sibuk mengetik, memercayai pandangan gajah yang waspada. Dia tidak mengangkat kepalanya sampai dia berhenti di meja.

"Bjorn," kata Erna terkejut.

"Kupikir kamu bilang kamu lelah, apa yang kamu lakukan di sini?"

"Saya bangun pagi-pagi dan tidak bisa tidur lagi, seharusnya saya tidak tidur siang."

Saat dia berbalik untuk berbicara dengannya, dia bisa mencium aroma manisnya lebih kuat, lalu menyadari dia sedang menghisap permen dan melihat toples kaca di sebelah mesin tik. Erna memperhatikan ke mana Bjorn melihat.

"Oh, ini?"

Erna menjadi paranoid karena Bjorn akan memarahinya karena bertingkah seperti anak kecil, tapi dia hanya tersenyum manis padanya. Dia menelan ludahnya dengan keras, menekan rasa bersalahnya. Dia bereaksi berlebihan, dia menyadari bahwa dia menjadi sedikit sensitif akhir-akhir ini. Dia mendapati dirinya menjadi lebih waspada terhadap orang-orang di sekitarnya dan bahkan dengan suara tawa sekecil apa pun, dia tidak dapat menahan diri untuk berpikir bahwa mereka sedang menertawakannya.

"Apakah kamu benar-benar berencana menjadi juru ketik?" Bjorn berkata sambil menyodok buku-buku di meja.

"Aku tidak mengira orang yang memberiku hadiah ini akan mengatakan hal seperti itu."

"Memang benar, tapi kupikir kamu hanya akan memainkannya secukupnya," kata Bjorn sambil menekan tombol acak di mesin tik.

Erna mengerutkan alisnya karena kesal karena kesalahan ejaan di selembar kertas, tetapi rasa frustrasinya hilang saat Bjorn tertawa.

Emosi Erna yang tajam memudar dan dia bertanya-tanya apakah ada yang bisa dilakukan pria ini yang benar-benar bisa membuatnya marah. Yang dia rasakan hanyalah kenyamanan manis untuknya dan tawanya selaras dengan tawanya.

"Karena masih git dari anda, saya berusaha memanfaatkannya sebaik mungkin. Memang masih agak janggal dan kikuk, tapi menurutku akan menyenangkan bisa menulis dengan cepat, setelah aku terbiasa. Saya belum bisa menulis surat."

"Mengapa?" Bjorn terdengar sangat tertarik.

"Mereka mengatakan bahwa surat seperti tanda terima, yang ditulis pada mesin seperti ini, merusak martabat seorang wanita."

"Nyonya Fitz?"

"Ya." Senyum Erna memudar, seolah dia masih bisa menerima teguran wanita tua itu. Ekspresi Bjorn meniru ekspresi Erna saat dia mengingat kenangan serupa. Mereka berbagi momen bersama dan Bjorn dapat merasakan hubungan yang lebih dalam dengan Erna berakar dalam dirinya, karena itu, Erna menemukan sedikit keberanian.

"Jika aku belajar mengetik, bolehkah aku menulis surat kepadamu dengan ini?"

"Surat?"

"Ya, kamu suka tanda terima."

Meskipun Bjorn berbicara dengan serius, dia tidak bisa menahan tawa pada saat itu. Suasana hati yang baik di ruangan itu dipecahkan oleh bunyi jam Kakek yang tiba-tiba di lorong.

"Sudah larut," Bjorn mengulurkan tangannya. "Menurutku kamu harus menunda mimpimu sampai besok, juru ketik kecilku."

Erna menatapnya dan meraih tangannya yang besar dan ramping. Semua kekhawatiran dan kepahitan hilang darinya. Dia merasa bersyukur telah menjadi istri yang baik. Dengan hanya kegembiraan dan cinta di hatinya, dia memegang tangannya erat-erat.

*.·:·.✧.·:·.*

"Bacalah, Pangeran."

Sepertinya Erna berhasil menarik Nyonya Fitz ke dalam rencana kecilnya, menjadikannya kaki tangan. Ternyata istrinya punya bakat menyihir nenek. Dia membuka surat itu dengan pembuka surat dan membacanya.

'Bjorn tersayang.

Terima kasih atas hadiah yang luar biasa. Saya akan menghargainya selama sisa hidup saya. Patung gajah itu memang agak menakutkan, tapi saya rasa saya akan terbiasa jika melihatnya dalam waktu lama.

Saat musim panas berganti musim gugur, sepertinya sudah setahun sejak kami menikah. Aku bertekad menepati janjiku sebagai istri yang baik untukmu, tapi aku minta maaf karena aku masih harus banyak belajar. Meski begitu, saya akan terus bekerja keras.

Saya sangat senang menikah dengan Anda. Berkatmu, aku menyadari bahwa tembok yang mengelilingi dunia kecilku sebenarnya adalah pintu. Saya tidak akan pernah melupakan banyaknya pintu yang telah kita buka bersama selama setahun terakhir dan dunia setelahnya.

Seperti apa tahun lalu bagi Anda?

Saya harap kamu bahagia.

Saya ingin tahu apakah momen yang berharga bagi saya juga memiliki arti yang sama bagi Anda.

Apakah kami pasangan yang baik?

Akankah kami bisa berbuat lebih baik di masa depan?'

Bjorn membaca serangkaian pertanyaan, dia merasa seperti dia benar-benar bisa mendengar suara Erna menanyakannya tepat di belakangnya. Dia hampir bisa melihat kerutan serius yang selalu dia tunjukkan ketika dia khawatir, menekan tombol tanda tanya dengan kuat.

"Saya harap kita bisa terus membuka banyak pintu bersama di masa depan. Suatu hari nanti, saya akan bekerja lebih keras lagi untuk menjadi orang yang bisa memberikan segalanya kepada Anda.

Terima kasih sudah begitu sabar menghadapiku. Saya berharap yang terbaik untuk Anda, untuk hari-hari mendatang.

Istrimu, Erna Dniester.'

Tanda tangan Erna yang ditulis tangan ditambahkan di bagian bawah surat, menambahkan sentuhan pribadi pada pesan tersebut. Mata Bjorn terpaku lama pada tulisan itu.

Istri.

Dia memutar kata-kata itu di lidahnya untuk waktu yang lama, menikmati manisnya kenangan yang ada di dalamnya.

Istri, istriku Erna.

Nyonya Fitz berdiri di sisi lain meja, mengamati ekspresi Bjorn yang berubah dan menyadari arti khusus di baliknya. "Bagaimana kalau menulis balasan, Yang Mulia?"

Dia sadar betul betapa kerasnya Erna mengerjakan surat itu dan betapa dia ingin membalas pemberian suaminya dengan kata-kata yang tulus. Dia berharap Bjorn bisa membalasnya, tapi dia menggelengkan kepalanya dengan santai.

"Nanti," bisiknya pada dirinya sendiri.

"Yang mulia?"

"Kita tinggal serumah, jadi kenapa?"

Bjorn tersenyum dan melanjutkan ke surat berikutnya, sementara Nyonya Fitz, yang mengetahui kekeraskepalaan sang pangeran, menahan diri untuk tidak melanjutkan masalah ini lebih jauh.

Bjorn benci menulis surat, sesuatu yang bertahan sejak masa kecilnya. Guru-gurunya mengatakan bahwa dia akan pandai menulis surat, di masa perang, kepada musuh-musuhnya. Tentu saja, sebagai seorang pangeran, dia memiliki kemampuan untuk menulis sejumlah surat yang baik hati, jika dia mau melakukannya, tetapi Bjorn tidak memiliki pikiran untuk melakukannya.

Pada akhirnya, Keluarga Kerajaan menggunakan penulis untuk orang lain untuk menulis surat apa pun yang diharapkan dari Bjorn dan karena itu, beredar rumor bahwa Bjorn adalah salah satu penulis surat terbaik di negeri itu.

"Keluarga mana yang mengadakan piknik besok?"

Bjorn mendongak dari surat terakhir yang dibacanya. Nyonya Fitz menghela nafas dan memperlihatkan ekspresi yang terlihat tidak sabar.

"Rumah tangga Duke Heine, Yang Mulia, keluarga Putri Louise."

"Ini akan menjadi hari yang sangat panjang," kata Bjorn dengan sedikit kegembiraan.

Nyonya Fitz berbalik sambil menghela nafas, dia berharap dia tidak bertemu Erna di aula sekarang. Dia harus kembali padanya dengan berita yang mengecewakan. Tidak diragukan lagi dia akan memiliki tatapan mata rusa betina, saat dia menunggu kabar dan balasan dari suratnya dengan penuh harap.

*.·:·.✧.·:·.*

Dia menatap pemandangan itu. Piknik keluarga Heine menandai acara awal musim sosial yang akan dia hadiri. Suatu peristiwa yang belum pernah ia alami sejak bulan madu bersama Putri Gladys, lima tahun lalu.

"Saudaraku," Louise menyambutnya sambil tersenyum. "Saya pikir kamu tidak akan pernah datang. Ini suatu kehormatan."

"Kamu harus berterima kasih kepada Erna," kata Bjorn sambil menuntun istrinya ke hadapannya. "Itu hanya karena istri saya sudah menerima undangan tersebut."

Louise mengeras mendengar kata-kata Bjorn, tapi sadar akan semua pandangan menghakimi di sekelilingnya, Louise menoleh ke Erna dengan senyum ramah.

"Terima kasih telah hadir dan membawa adikku bersamamu, Grand Duchess."

"Tidak, saya juga mendapat banyak bantuan dari Anda, Putri," Erna mengucapkan salam yang telah lama dilatihnya. "Saya sangat bersyukur Anda diundang ke tempat yang begitu indah..."

Kata-kata itu tersangkut di tenggorokan Erna saat dia menyadari wajah yang dikenalnya.

Paulus.

Saat dia menggumamkan nama itu sambil mendesah, Bjorn dan Louise mengalihkan pandangan mereka dan memperhatikan ke mana Erna melihat.

"Ah, aku juga mengundangnya. Saya melihat potret Grand Duke dan istrinya, saya melihat bahwa dia adalah pelukis yang sangat berbakat. Jadi, hari ini saya menugaskan dia untuk menggambar anak-anak kami. Kalau dipikir-pikir, bukankah kamu mengatakan bahwa Grand Duchess dan Pavel Lore berbagi kota asal yang sama?"

"Ya, ya, benar," kata Bjorn.

Erna memandang Bjorn dengan mata gugup. Bjorn tidak menyukai Pavel. Pada sesi melukis terakhir, Erna sangat menyadari fakta tersebut. Dia memperhatikan Bjorn menatap pemuda itu, dengan ekspresi tenang dan acuh tak acuh seperti yang selalu dia tunjukkan.

Pavel juga melihat mereka. Menekan sakit perut yang tiba-tiba, Erna menahan napas dan tangannya mulai sedikit gemetar. Dia memegang payungnya sekuat yang dia bisa.