Chapter 94

Sekarang setelah dia mabuk, Erna menjadi lebih periang dari biasanya. Dia bukan peminum yang buruk, dia masih berbicara dengan cara yang sama, meskipun lebih lambat dan dengan mata murung.

"Tahukah kamu bahwa hari ini adalah peringatan satu tahun kita?" Ucap Erna tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dari kebiasaannya bermain rumah-rumahan waktu kecil. "Hari dimana kita bertemu tepat satu tahun yang lalu, di pesta pendiri."

"Yah, kamu memiliki ingatan yang cukup bagus untuk seorang pemabuk."

"Tidak, aku tidak mabuk," kata Erna, wajahnya menjadi kaku dan merah padam.

Bjorn tertawa dan mengisi gelasnya sekali lagi, dari sebotol anggur segar. Apakah ini benar-benar sudah setahun?

Bjorn menatap hutan lama sekali, sambil berpikir. Sinar keemasan sinar matahari menembus kanopi pepohonan. Udara dipenuhi melodi burung tak dikenal yang tak terhitung jumlahnya. Semuanya tampak tidak realistis.

Seorang wanita yang tumbuh di tempat terpencil, tiba-tiba didorong ke pasar pernikahan dalam semalam. Ketika dia memikirkan hal ini, semuanya masuk akal, pertemuan mereka setahun yang lalu, mengapa dia ada di festival. Dia mungkin juga memiliki tanda 'dijual' di lehernya. Dia tiba-tiba tertawa pada hari-hari terakhir dan meskipun itu adalah kesalahpahaman, dia senang akan hal itu, karena pada akhirnya dia menang.

"Terima kasih Bjorn," dia pikir dia sedang berbicara tentang anggur. "Kamu benar-benar menyelamatkan hidupku," mungkin dia tidak sedang membicarakan anggur.

"Apakah begitu?" dia berkata.

"Anda memberi jaminan kepada saya dua kali. Saat makan malam di Marchioness Harbour dan pada hari perlombaan. Anda juga tidak pernah mengajukan klaim atas piala Anda yang hilang."

Itu karena kamu adalah piala yang jauh lebih berharga. Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata itu. Tenggorokannya sakit, seperti ada sesuatu yang membengkak di dalam, disertai rasa mudah tersinggung yang aneh. Tampaknya hal itu lebih sering terjadi akhir-akhir ini dan selalu ketika dia memikirkan Erna.

"Bahwa kamu memintaku untuk menikah, kamu sangat berarti bagiku. Saya bisa lepas dari ayah saya yang kejam dan lepas dari pernikahan yang buruk. Saya bisa menjaga keamanan Baden Mansion. Aku berutang padamu yang semakin bertambah."

"Erna..." Dia memanggil namanya dengan tergesa-gesa, tapi kehilangan apa yang ingin dia katakan.

Senang rasanya dia tidak perlu berpikir terlalu keras tentang Erna. Dia seharusnya dibebani dengan begitu banyak tugas sebagai Grand Duchess, tapi dia tidak menginginkan hal itu untuknya, dia ingin dia tetap seperti rusa yang cantik. Tenang, tidak berbahaya, dan indah. Hanya seseorang yang membawa kedamaian dan cinta ke dunianya.

Jadi apa yang berubah? Pikiran cemasnya terganggu.

Alur pemikirannya terganggu oleh suara kaca di atas kaca. Bjorn memandangi istrinya, yang berjalan di depannya dan menyentuh gelas anggurnya dengan gelas anggurnya. Dia tersenyum padanya dengan malu-malu. Masuknya dia secara dramatis ke dalam dunia minuman sangatlah menarik.

"Kamu pasti mabuk sekarang, Erna," kata Bjorn.

Dia telah mengosongkan gelasnya dan menggoyangkannya di depannya, menunggu isi ulang. Jika dia minum lagi, dia akan tertidur.

"Kamu harus berhenti minum, pemabuk."

Bjorn mengambil gelas itu dan meletakkannya di satu sisi, lalu mendorong Erna kembali ke bantalnya sambil mencondongkan tubuh dan menciumnya. Dia meraih pinggangnya dan menariknya mendekat.

Kicauan burung di kejauhan terdengar.

Erna menghela nafas pasrah dan tubuhnya lemas. Dada Bjorn yang menempel di dadanya terasa keras dan hangat. Dia mencengkeram pinggangnya dengan kuat. Tubuhnya yang tadinya terasa sejuk, kini sehangat sore musim semi. Jika ini karena dia mabuk, dia merasa mengerti mengapa orang minum begitu banyak.

"Sepertinya aku mengerti kenapa kamu minum banyak, rasanya enak sekali," kata Erna. "Kamulah alasannya, aku juga mencintaimu." Pipinya merah padam karena alkohol.

"Apakah begitu?"

"Ya, meskipun terkadang aku membencimu, secara keseluruhan aku menyukaimu. Aku ingin menyimpanmu di toples kueku."

Bjorn hanya tertawa. Terkurung dalam wadah kue Erna yang lama kedengarannya tidak terlalu buruk. Dia menyukai semua sampah mencolok yang dia simpan di toples itu seperti perhiasan bagus.

"Ngomong-ngomong, Bjorn, apakah suku bunga tabunganku akan naik banyak?" Wajah Erna tiba-tiba berseri-seri karena kegembiraan.

Pemabuk pada dasarnya acak, tampaknya dan Erna sepertinya hanya memainkan stereotip itu. Tawa riang Bjorn bergabung dengan paduan suara kicauan burung.

"Jangan khawatir, kami melakukan yang terbaik untuk menjaga suku bunga tetap tinggi."

Namun, Erna berseri-seri seperti mercusuar, itu mungkin saja anggur yang membuat kulit pipinya bersinar.

"Apa yang akan kamu lakukan dengan semua uang dari bunga itu?" Bjorn bertanya, menenangkan diri dari kegembiraannya.

"Saya belum tahu."

"Lalu kenapa kamu begitu terobsesi?"

"Hanya saja, aku ingin memastikan tabunganku bertambah," kata Erna, senyum miringnya membentuk lesung pipit di pipinya.

Bjorn memandang istrinya, yang tersenyum seolah-olah sedang bermimpi indah. Bjorn ikut tersenyum pada Erna. Dia adalah seorang gadis materialistis, meski tumbuh di pangkuan alam. Dia adalah karakter yang sangat menarik.

"Kalau tabungan bungaku sudah cukup, aku akan membelikanmu hadiah," kata Erna, tiba-tiba menjadi serius.

"Oh, wow, suatu kehormatan, buket raksasa lagi?"

"Nah, hadiah apa yang kamu inginkan?"

"Selain daripada itu? Aku tidak tahu."

"Katakan padaku, apa saja, kecuali cerutu, itu buruk bagimu. Alkohol juga."

"Lalu kenapa bertanya padaku apa yang aku inginkan, jika kamu sudah mengambil keputusan?"

"Tidak, aku akan menghormati keinginanmu," Erna melihat sekeliling lapangan, seolah sebuah jawaban akan muncul di benaknya. "Oh, kamu suka kuda, bukan?"

Dasi, sarung tangan, sepatu, kancing manset. Tidak. Ambisi Erna telah meledak menjadi sesuatu yang sangat besar.

"Tapi kuda itu mahal kan dan menyita banyak waktu," kata Erna pasrah.

Bjorn hanya menjawab sambil tertawa, dan nada suara Erna menjadi lebih serius. Dengan depositnya, itu akan menjadi hadiah yang akan dia terima ketika dia sudah tua dan beruban.

"Ada yang lain..."

"Kamu," kata Bjorn.

"Aku?" Erna tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Menurutku, mengalungkan pita di lehermu sudah cukup, kecuali semua barang rumit lainnya yang ingin kamu kenakan, tentu saja," Bjorn meminum anggur terakhirnya saat Erna menatapnya dengan bingung.

Erna berharap perjalanan ini akan menjadi romantis, meski tahu Bjorn tidak mencintainya dan dia tetap merasa kecewa. Dia senang setidaknya Bjorn memang menginginkannya. Dia bertanya-tanya apa nama perasaan aneh ini, perasaan yang mencakup begitu banyak emosi berbeda.

"Kamu benar-benar sulit, Bjorn."

Dia bergeser ke posisi duduk dan menghela nafas. Dia tidak yakin apakah minuman keras itu penyebabnya, tapi terkadang dia kesulitan memahami suaminya.

"Apakah kamu orang yang baik hati, atau orang yang tidak berperasaan? Aku hanya tidak mengenalmu, selain menyebalkan," Erna menatap Bjorn yang ingin menjawab. "Saya hanya tidak tahu. Aku berharap kamu baik hati, maukah kamu bersikap baik?"

"Saya akan lihat apa yang dapat saya lakukan."

Bjorn menghela nafas kecil dan meraih botol anggur. Dia tentu saja minum anggur lebih banyak dari yang dia harapkan dan saat dia mengisi gelasnya, Erna mulai melepas bajunya.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Aku semakin cantik untukmu, kamu bilang padaku bahwa semakin sedikit aku memakai, aku terlihat semakin cantik,"

"Aneh, biasanya saya harus bekerja keras untuk tampil cantik. Kenakan gaun tercantik dan tata rambutku dengan gaya tercantik. Hiasi diriku dengan segala macam hiasan kecil yang cantik. Saya tidak pernah berpikir saya bisa telanjang bulat sebelumnya."

Bjorn berjuang untuk mempertahankan ketenangannya. Dia mengusap pipinya dan melihat ke mana-mana kecuali ke Erna. Menikmati cerahnya sinar matahari musim semi, bunga-bunga indah bertebaran di ladang dan bahkan kicauan burung. Apakah karena dia lebih mabuk dari yang diharapkannya? Dia merasakan rona merah di pipinya saat Erna melepas pakaian dalamnya yang terakhir dan menumpuknya dengan rapi di atas gaunnya.

Bjorn melihat arloji sakunya melalui kabut kemerahan, belum ada yang mencarinya untuk sementara waktu. Dia meneguk segelas anggur yang baru dituangkan. Tidak dapat mengatur pikirannya yang tersebar dan hanya melihat Erna melepas stokingnya, pakaian terakhirnya.

"Ah, pitanya," kata Erna.

Erna mengetuk dagunya dengan jari mungilnya, sambil memikirkan satu-satunya pakaian yang boleh ia kenakan. Dia melepaskan pita dari kepang rambutnya dan mengikatkannya di lehernya.

"Saya kira Anda dapat memiliki saya sekarang," kata Erna. "Sekarang aku telanjang bulat dan cantik untukmu," katanya sambil tersenyum lebar.

"Erna, sekarang kamu..."

"Saat ini," Erna menyela Bjorn. "Aku memberimu hadiah, tanpa bunga, yang bisa aku berikan dengan bebas, jadi kamu harus bersikap lebih baik padaku, oke?" kata Erna.

Dia menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari-jarinya yang belum sepenuhnya lepas dari kepangnya, lalu bergerak tepat di depan wajah Bjorn, melingkarkan tangan mungilnya di sekitar pipi dan dagunya. Bjorn akhirnya memahami kata-kata yang digumamkan Erna dalam tidurnya. Ya Tuhan, dia tidak bisa berpikir jernih.