Chapter 145

"Bagaimana... bagaimana kamu tahu?" Kata Erna sambil menatap Bjorn dengan tatapan kosong.

"Aku bertanya kepada dokter."

Kenangan suatu sore di akhir musim panas terlintas di benaknya. Keesokan harinya, setelah membersihkan barang-barang anaknya, dia mengunjungi dokter.

Di klinik, Bjorn menanyakan penjelasan rinci tentang segala hal yang mereka ketahui tentang anak mereka, mulai dari konfirmasi kehamilan hingga keguguran yang tidak menguntungkan.

Pada hari itu, dokter memberikan penjelasan menyeluruh, membahas setiap aspek, termasuk jenis kelamin anak mereka yang belum lahir, meskipun Bjorn tidak dapat mengingat detail penjelasan selanjutnya karena keterkejutannya yang luar biasa.

Dokter berulang kali meyakinkannya bahwa keguguran adalah kejadian biasa dan tidak disebabkan oleh kesalahan siapa pun. Ia pun memberikan penghiburan dengan menyebutkan kemungkinan lahirnya anak yang sehat di masa depan tetap ada.

Ini bukan salah siapa-siapa.

Bjorn menerima konfirmasi yang dia cari, menjadikan kunjungan tersebut memenuhi tujuan yang dimaksudkan.

"Anak anak....adalah seorang putri." Bjorn berkata dengan tenang.

"Mengapa?"

Erna mengambil langkah ke arah Bjorn, memegangi tangannya di dada seperti sedang berdoa. Hampir tidak ada jarak di antara mereka, manusia salju di antara mereka, hanya dihiasi dengan tetesan salju. Bjorn bisa merasakan air mata, dia tetap diam dan membuang muka. Ke mana pun dia memandang, semuanya berwarna putih bersih, tertutup salju dan sinar matahari yang cerah menyengat matanya.

"Anak perempuan atau laki-laki, aku tidak tahu yang mana yang kita miliki, jadi aku keluar dan membeli dua boneka," kata Bjorn.

"Sebuah boneka?" kata Erna. Dia dipenuhi air mata yang lebih merah daripada rona beku di pipinya

"Ya, hadiah untuk anak kita, di hari yang sama kita kehilangan dia."

Bjorn hanya bisa tertawa kecil. Kata-kata yang sebelumnya sulit dibayangkan, mengalir sebebas sutra.

"Akh sadar pada hari itu, dari semua hari, semua masalah telah teratasi dan aku akhirnya bisa memahami semua kesalahan yang telahku lakukan, kepada dirimu dan semua orang. Yah, itu hanya satu demi satu, ya?"

"Hadiah untuk anak kita, kamu?" Erna kesulitan mengungkapkan kata-katanya.

"Itu bukan jenis hadiah yang tidak kamu sukai, aku memilihnya secara pribadi, sementara seluruh department store ramai karena kehadiranku."

Bjorn mencoba tersenyum, tapi dia tidak bisa mengerahkan kekuatannya. Rasa haus tiba-tiba menguasai dirinya, seolah-olah amplas sedang mengikis tenggorokannya. Dia merasakan ketidaknyamanan yang mengganggu sarafnya, perasaan tidak nyaman yang biasanya membuatnya meraih cerutu.

"Aku membeli seekor beruang kecil, satu dengan pita biru dan satu lagi dengan pita merah muda. Itu sangat lucu dan lembut, itu mengingatkanku padamu." Meskipun dia tahu dia berbicara omong kosong, Bjorn tidak bisa menahan diri.

Kenangan yang ia coba singkirkan muncul dalam sapuan bulu hangat dan lembut di tangannya, aroma kapas, kilau mata dan hidungnya. Bjorn dapat mengingat detail petugas yang tersenyum padanya, kerumunan orang yang berkerumun bahkan hanya untuk melihatnya sekilas. Selama ini dia tidak menyadari bahwa anaknya telah meninggal.

"Setelah aku membeli boneka teddy tersebut, aku melihat sesuatu yang cantik, sesuatu yang menurutku benar-benar akan dirimu sukai dan aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa aku ingin menjadi suami yang baik dan ayah yang lebih baik. Tapi selama ini, kamu kesakitan, sendirian."

Bjorn mencoba menertawakannya, tapi dia tidak bisa. Dia adalah seorang bajingan bodoh, yang tidak bisa berpaling dari pencarian sia-sia karena dia memiliki begitu banyak hal yang ingin dia berikan. Pada titik ini, hadiah yang bernilai kutukan itu terasa seperti penyebab semua kemalangannya.

"Seharusnya aku pulang saja. Jika aku melakukannya, setidaknya kamu tidak akan sendirian."

Bjorn dengan tenang mengusap tetesan air di pipinya dan menyisir rambutnya ke belakang dengan rapi. Meski kehilangan ketenangannya, dia tetap berdiri tegak dan bangga.

"Bjorn..."

Erna tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia tahu Bjorn tidak akan pernah berbohong dengan cara seperti itu, jadi dia tahu itulah yang sebenarnya dia rasakan. Dia tidak percaya saat ini.

"Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?" Erna mengulurkan tangan padanya dengan tangan gemetar. "Mengapa? Kenapa kamu tidak memberitahuku?"

Bjorn menarik napas dalam-dalam dan membuka matanya. Mengintip melalui poninya yang tergerai, mata abu-abunya memancarkan kilau yang mirip dengan lapangan bersalju yang dingin dan berkilau.

"Aku takut, Erna." Suara Bjorn datar dan tenang. "Aku tidak dapat menemukan kata-katanya dan aku tidak ingin mencari-cari alasan. Aku takut menghadapi kebenaran dan aku hanya ingin mengabaikannya, hidup seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Keguguran adalah hal yang biasa, dan penderitaan kami bukanlah sebuah penderitaan yang unik, jadi ku pikir, pada saatnya nanti, semuanya akan baik-baik saja dan kami dapat mencobanya lagi."

Wajahnya memantulkan cahaya matahari dan tampak cantik, namun sedikit terdistorsi oleh kesedihan di matanya.

"Ironis sekali, anak yang aku akui sebagai anakku, ternyata lahir di luar nikah dari laki-laki lain. Sementara anakku yang sebenarnya, darah dan dagingku yang sebenarnya, hilang dalam kemarahan oleh orang bodoh yang hina."

Bjorn memandang Erna dalam diam sejenak. Pikiran dan emosi kacau yang tadinya asap muncul kembali di benaknya, jernih dan jelas seperti salju yang baru turun.

Dia ingin menghilangkan tanda bahwa ini bukan salahnya, sehingga dia bisa menghilangkan rasa bersalah dan penyesalannya.

Gara-gara dia, Erna mengalami serangkaian kejadian mengerikan yang melemahkan mental dan fisiknya. Semuanya jelas-jelas salahnya sendiri, karena dia tidak menafkahi istrinya seperti suami yang baik.

Tidak ada pelecehan yang dilakukan Walter Hardy, atau kebenaran tentang Gladys yang bisa disalahkan atas kondisi Erna. Dia telah mendorong istrinya hingga mencapai titik puncaknya dan mengabaikan kebutuhannya. Dia telah menimbulkan luka terdalam.

Berpikir bahwa Erna akan terus bertahan adalah hal yang egois dan bodoh. Air mata mengancam akan menggenang lagi dalam dirinya. Yang perlu dia lakukan hanyalah memegang tangan istrinya dan mengatakan padanya bahwa dia mencintainya, sebuah pengakuan perasaan yang cukup sederhana, tetapi pada akhirnya, dia tidak sanggup mengucapkan kata-kata itu.

"Aku seharusnya melindungimu, ketika aku mendengar berita kehamilanmy, jika aku memberi selamat dan meyakinkanmu  bahwa aku akan menangani semuanya, memberi tahumu untuk tidak khawatir, mungkin kita bisa melindungi anak kita. Atau jika aku tidak memelukmu seperti itu pada malam itu. Anak kita mungkin masih hidup. Setiap kali aku memikirkan hal itu, aku merasa seperti menjadi gila."

Bjorn teringat pada malam dia akhirnya melepaskan kerinduannya pada Erna yang ketakutan tak mampu menangis. Dia memandang Erna dan merasakan keinginan yang sangat besar untuk memeluknya erat-erat, untuk merasakan tubuh hangatnya di tubuhnya. Dia ingin menemukan hiburan dalam aroma manisnya. Karena kerinduannya pada Erna, dia melangkah ke arahnya.

"Aku tahu ini semua salahku."

Dia telah membunuh putri mereka.

Bjorn merasa dia akhirnya bisa menghadapi jurang rasa bersalah dan kesedihan yang telah dia kubur jauh di dalam dirinya. Dengan melakukan itu, dia akhirnya mengerti apa yang perlu dia katakan kepada Erna.

"Aku minta maaf."

Bjorn menatap langsung ke mata Erna dan menyampaikan permintaan maaf dengan tenang. Keduanya saling memandang dalam diam untuk beberapa saat, angin lembut menggoyang gaun Erna dan ujung mantel Bjorn.

"Sepertinya aku tidak pernah bisa menebak apa yang harus kulakukan, jadi aku mengubur perasaanku dalam-dalam, seperti seorang pengecut." Bjorn tertawa lagi, hanya untuk menahan tangisnya.

'Maaf'

Erna sepertinya menyadari kata-kata yang dia dengar diucapkannya tadi malam, ketika dia berada dalam pelukannya, bukanlah imajinasinya yang diciptakan oleh badai salju.

"Aku minta maaf karena tidak berduka bersamamu, aku ingin meminta maaf dan berduka, tapi aku takut mengakui itu salahku. Kupikir aku akan kehilanganmu dan, yah, pada akhirnya aku tetap kehilanganmu." Bjorn berusaha mempertahankan ketenangannya, tapi itu semakin sulit.

Erna tertawa. Dia tertawa sampai menangis, seolah-olah dia adalah penjahat dalam suatu dongeng. Dia lebih suka menyembunyikannya selamanya, sehingga dia bisa membencinya sepuasnya, karena dia merasa pantas mendapatkannya, jadi apa yang harus dia lakukan sekarang, dengan hatinya yang terluka seperti itu?

"Aku yakin kamu sudah menyadari hal ini, tapi suamimu, Erna, adalah seorang bajingan, yang ingin percaya bahwa segalanya bisa baik-baik saja dengan uang dan hadiah. Sampai saat ini."

Erna mengamatinya dan tanpa sadar mengatupkan bibirnya. Dia mencengkeram kain roknya dan berdiri kokoh di lapangan salju, manusia salju berdiri sebagai penjaga yang tenang. Dia bertekad untuk tidak terpengaruh lagi oleh cinta beracun pria ini.

"Aku sibuk membeli hadiah-hadiah yang membuat frustrasi itu, jadi aku bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal padanya saat dia meninggalkan kami."

Sinar matahari musim dingin memancarkan cahaya pucat di wajahnya yang tenang. Bjorn memperlambat napasnya yang cepat dan menatap bayi manusia salju putih yang berkilauan.

Bayi manusia salju di tangannya masih berubah menjadi bayi perempuan. Dengan rambut coklat mengalir dan mata biru berkilau. Pita di rambutnya berkibar seperti sayap kupu-kupu saat dia melompat melintasi padang salju. Dan ketika dia memandangnya, anak itu berseru penuh semangat, Ayah! sambil melambaikan tangan mungilnya.

Anak itu memiliki senyum penuh kasih yang sama seperti ibunya dan Bjorn tahu bahwa jika dia memeluk anak itu, dia akan dipenuhi dengan aroma kue hangat.

Bjorn mengangkat tangannya yang bebas dan menyeka air mata dari wajah Erna, lalu dengan lembut menangkup pipinya.

"Tapi aku tidak pernah menganggapnya bukan apa-apa. Dia adalah anak pertamaku dan bayi pertama kita yang berharga. Semua kata-kata dan permintaan maaf ini mungkin terlambat, tapi tetap tulus."

Sudah saatnya mereka berdua terbangun dari mimpinya, melepaskan diri dari mimpi buruk yang mereka ciptakan bersama.

"Jadi Erna.....saat manusia salju mencair, biarkan anak kita ikut bersama mereka, biarkan dia beristirahat. Dengan begitu, sesuai keinginanmu, dia bisa pergi ke tempat yang lebih baik."

Bjorn memandang Erna dengan tatapan lembut seperti sinar matahari musim semi.

"Kali ini, aku akan berada di sana bersamamu, untuk membantumu mengucapkan selamat tinggal."

Saat dia tersenyum, tangisan Erna terdengar di padang salju yang sunyi.