Chapter 148 (END)

Taman di pusat kota Ratz cukup luas untuk menampung danau dan hutan, memberikan suasana damai bagi penduduk dan pengunjung kota. Tempat yang bisa menjadi tempat penyembuhan dan pribadi bagi seseorang, jauh dari pandangan dunia.

Bagian barat taman, dengan perpaduan danau dan hutan yang paling indah, adalah favorit Leylas. Pemandangan dari sana sekilas mirip Arvis. Tempat ini memicu banjir kenangan, bisa dikatakan penuh dengan rasa sakit, namun tempat ini tetap menjadi tempat yang paling indah dan dirindukan di dunia meskipun semua rasa sakit dan penderitaan telah diberikan padanya.

Tempat itu masih menjadi bagian dari dirinya...

Sepotong yang tidak akan pernah dia lupakan...

Leyla membuka lipatan selimut, membentangkannya, di bawah naungan pohon, dan mengeluarkan kotak bekal makan siang bayi. Piknik pertama yang dia jalani bersama Felix, hanya mereka berdua, namun penuh dengan perhatian dan kelembutan.

Dia tidak keberatan bahwa momen ini mungkin tidak ada dalam ingatannya, karena dia masih muda, tetapi dia yakin bahwa dia akan selalu membawa kenangan indah masa kecilnya bersamanya, dan momen ini akan menjadi momen yang dia hargai selamanya. dalam hidupnya.

Leyla memiliki banyak hal yang ingin ia berikan kepada anaknya, antara lain momen bahagia bersama ibunya, kata-kata baik, sentuhan lembut, dan senyuman. Hal-hal yang dia inginkan dari ibunya tetapi tidak pernah menerimanya. Dia ingin memberi tahu anaknya bahwa ada seseorang di dunia ini yang akan mencintainya apa pun yang terjadi, seseorang yang akan selalu ada untuknya dalam segala rintangan.

Seperti yang dilakukan Paman Bill untuknya.

Dia akan melakukan segalanya untuk bayinya.

Leyla akan melakukan dua pekerjaan sampai dia kembali, makan enak, banyak tertawa, dan ceria. Dia tidak akan pernah menjadikannya seorang anak yang setengah disayangi tanpa seorang ayah.

Tidak pernah.

Leyla membuka kotak makan siang Felix sebelum mengambil kotak makan siangnya sendiri. Dia memperhatikannya, bahagia dan puas, saat dia bermain dengan riang setelah makan. Fokusnya membantunya karena dia bisa makan dengan tenang tanpa perlu terburu-buru.

Anak itu merangkak ke arahnya ketika dia mengambil sepotong buah persik segar, yang dia beli untuk hidangan penutup, manis dan lezat. Dia memiringkan kepalanya, menatap ibunya melalui mata biru besarnya, setiap kali ibunya menggigit dan mengunyah buah persik.

Leyla menatapnya, mata birunya menatap ke belakang, dengan linglung. Dia melihat wajah laki-laki yang familiar itu menatap ke belakang, ingatan tentang laki-laki yang ditumpangkan di wajah anak itu menjadi semakin besar dan jelas.

Yang bisa dia lihat hanyalah dia... mata biru yang sama yang pernah menatapnya dengan penuh harapan.

"Aku akan kembali. Untuknya."

Dia membuat janji, janji itu, dia menunggu untuk dipenuhi.

"Aku mencintaimu."

Pengakuan yang belum dia jawab. Dia tidak tahu kenapa tapi saat dia menatap mata biru itu, bibirnya terbuka, saat dia mengucapkan kata-kata yang sama yang pernah diucapkan pria itu.

"Aku mencintaimu..."

Leyla mengangkat kacamatanya dan menaruhnya di atas selimut, sebelum menoleh ke arah anak itu dan berbisik.

"Aku sangat mencintaimu."

Saat dia mengaku, dia merasa asing seperti ada sesuatu yang berubah. Mungkin, karena dia bisa mengucapkannya dengan tulus, dan bersungguh-sungguh dalam setiap kata.

Anak itu terkikik, mungkin dia senang mendengar pengakuan ibunya. Senyum terbentuk di bibirnya, matanya berkaca-kaca, saat dia menggendong putranya dengan hangat dan protektif.

Aroma manis bayi itu menyentuh ujung hidungnya saat anak itu memberikan kebahagiaan kepada ibunya dengan cekikikan bahagia. Dan Leyla memeluknya lebih erat lagi, merasa puas dengan putranya dalam pelukannya.

*.·:·.✧.·:·.*

Dua kaki berhenti di depan pintu masuk sebuah apartemen, lelaki itu menatap ke arah pintu. Dia mengangkat tangannya, mendekatkannya ke pintu, untuk mengetuk.

"Hei, apa kamu..." Baru saja melewati rumah tetangganya, wanita itu menatap pria itu dengan tatapan curiga yang aneh. Dia berhenti, terganggu oleh sebuah suara, saat dia menoleh ke arahnya. "Apakah kamu datang menemui ibu bayi yang tinggal di rumah ini?" Pertanyaannya, yang disuarakan dengan ekspresi lega, diwarnai dengan ketertarikan yang waspada. Pria itu, dengan hati-hati, mengalihkan perhatiannya padanya.

"Ya." Dia menjawab singkat.

"Ibu bayi kecil berambut pirang berkacamata. Apakah itu benar?" Pertanyaan lain, dia bertanya.

"Ya."

"Oh, kamu pasti seorang ayah bayi yang pergi berperang! Benar?" Dia yang sedang menatap wajah pria itu dengan hati-hati, berteriak kegirangan.

Dia pasti ayah bayinya. Astaga...

Wanita itu berpikir, alisnya terangkat, tanpa menunggu jawaban, dia mengamatinya dan segera mulai ribut. "Apa yang harus saya lakukan? Suaminya kembali dari medan perang dan dia keluar."

"Apakah rumahnya kosong?" dia bertanya, suaranya dalam dan serius, sambil melirik ke pintu.

"Dia pergi keluar dengan bayinya tadi. Kudengar mereka akan pergi piknik di taman." Dia bertepuk tangan dengan penyesalan. Bahkan pada saat itu, pandangannya tertuju pada wajah pria itu, yang mengangkat alisnya, menatap kembali ke wanita itu.

'Jadi Leyla benar ketika dia mengatakan bahwa putranya tidak mirip dengannya. Tapi, wajahnya tampak familiar. Di mana aku pernah melihat pria itu sebelumnya?' Dia pikir. "Yah, ibu bayi itu sering pergi ke taman. Biasanya muncul kembali sekitar matahari terbenam. Mengapa kamu tidak menunggu di rumahku sampai saat itu tiba karena kita akan mendapat masalah jika jalan bersilangan?"

"Tidak terima kasih." Pria itu menolak tawaran tersebut, melihat ke arah taman sebentar, dia menuruni tangga dan berhenti di depannya. "Terimakasih Nyonya." Pria itu mengangguk dan melewatinya tanpa melihat ke belakang. Sebuah mobil hitam sedang menunggu di tepi jalan, dan ketika dia semakin dekat, seorang penumpang buru-buru membuka pintu belakang

Dia jelas bukan Joe biasa. Dia menghabiskan waktu lama menatap mobil yang melaju pergi, tidak bisa lepas dari rasa penasarannya yang tidak terpuaskan.

"Ini jelas pertama kalinya aku melihatnya." Angin sore yang membawa gumamannya menerpa jalanan sore akhir pekan yang sepi.

*.·:·.✧.·:·.*

Anak itu, yang seharian bersenang-senang makan dan bermain, tertidur dengan wajah bidadari di samping ibunya. Leyla memperhatikan putranya, berbaring berhadap-hadapan saat dia tertidur. Dia mengangkat tangannya dan membelai kepalanya.

Rambut anak itu berantakan dan dia dapat melihat dengan jelas, sidik jari yang tertera di kacamata, melalui penglihatannya yang kabur. Leyla dengan hati-hati mendekati ujung selimut. Dia mulai memperbaiki kacamatanya dan menyekanya, lalu mengendurkan rambutnya yang berantakan.

Tampaknya anak itu mempunyai kesukaan yang sama terhadap rambutnya seperti ayahnya. Bukan hanya penampilannya saja yang mirip dengan ayahnya; dia tampaknya telah mengadopsi banyak kebiasaan ayahnya. Tentu saja anaknya lebih agresif dalam pendekatannya.

Dia mungkin menemukan sesuatu yang menarik tentang rambut pirangnya yang mempesona, jadi ketika Leyla memeluknya, dia menjambak rambutnya dan menariknya. Dia bahagia dan tersenyum manis tapi dia merasa kasihan dengan helaian rambut lepas yang ditarik-tarik tanpa ampun di tangan gemuknya. Ada suatu masa ketika dia benci jika seseorang secara tidak sengaja menarik rambutnya. Dia tidak pernah berpikir suatu saat akan tiba, dia akan senang dengan rambutnya yang dicabut.

Dengan senyuman di wajahnya, Leyla mulai dengan lembut mengurai rambutnya yang berantakan menggunakan jari-jarinya sebagai sisir. Tidak ada gunanya mengikat atau mengepangnya, jadi dia pikir dia lebih suka memotongnya pendek, tapi dia tidak menyukainya. Rambut pirang halus tergerai di bahu dan punggungnya, menghiasi kecantikannya, dibalut kerah gaun putih.

Untuk sesaat, Leyla berhenti memperhatikan kepangan rambutnya dan malah menatap kosong ke arah sinar matahari sore yang menyinari sela-sela dedaunan hijau. Air danau yang tenang juga diwarnai dengan warna emas cemerlang seiring dengan lembutnya ombak yang bermain-main dengan cahaya.

"Cantik."

Sedikit rasa kagum keluar dari bibirnya melihat bagaimana dunia ini terlihat; tenang dan indah, seperti sesuatu yang keluar dari lukisan, seolah-olah hari-hari mengerikan ketika peluru turun dari langit dan suara tembakan terdengar, hanyalah mimpi sekilas.

Leyla duduk diam dengan lutut ditekuk ke dada, matanya melayang ke atas danau dan burung-burung melayang dengan malas di atasnya. Semak mawar liar mengembuskan aroma harumnya tertiup angin saat bertiup melintasi taman. Gemerisik dedaunan tebal yang tertiup angin mengingatkan kita pada rantai sepeda.

Itu adalah hari musim panas yang sangat indah, namun entah kenapa...

Rasanya sangat aneh...

Tidak familier.

Kenangan tentang pria bermata biru memenuhi hatinya.

'Bagaimana dia bisa melakukan ini padaku?'

'Dia tidak di sini. Dia tidak akan kembali.'

Matanya menyipit menatap alam saat tangisan anak itu menyadarkannya. Dia memandang Felix yang baru bangun tidur, melihat ke udara dan menangis. Dia segera menyadari mengapa anaknya begitu kesal: Balon yang tadinya diikatkan pada pegangan kereta dorong, terbang tertiup angin dan tergantung di antara dahan pohon. Talinya sepertinya terlepas.

"Tidak apa-apa, Felix!" Leyla menenangkan anak itu dengan suara yang kuat, sambil membelai pipi tembemnya. "Jangan menangis! Semuanya baik-baik saja!"

Mungkin karena terkejut dengan keberanian ibunya, balita itu berhenti menangis. Setelah menyeka wajah putranya yang berlinang air mata, Leyla melompat berdiri dan berlari ke pohon tempat balon itu dipasang.

"Tunggu sebentar! Aku akan mengambilkannya untukmu!"

Sesuai dengan kata-katanya, dia akan melakukan apa pun demi kebahagiaan anaknya.

*.·:·.✧.·:·.*

Menemukan Leyla itu mudah. Dia merasa aneh karena dia tidak percaya dia menemukannya di taman besar ini, dengan satu petunjuk samar bahwa dia ada di suatu tempat.

Tapi dia melakukannya.

Dia menemukannya sedang duduk di atas selimut di bawah naungan pohon, sambil menyaksikan pemandangan hutan dan danau dengan tenang. Tempat yang sulit ramai karena terlalu terpencil. Meskipun dia menunjukkan keberaniannya, dia tahu burung cantiknya sebenarnya cukup pemalu.

Matthias kemudian mengenali keberadaan orang lain, anaknya. Selagi ia masih memperhatikan putranya, Leyla mulai pergi ke suatu tempat dengan langkah yang kuat.

Ditinggal sendirian, anak itu memiringkan kepalanya dan menatap punggung ibunya. Matthias mengambil satu langkah lagi ke arahnya. Saat dia sampai di sisi selimut, Leyla sudah sampai di sebuah pohon yang berdiri tidak jauh darinya.

Tepat ketika dia mulai bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan, Leyla mulai memanjat pohon itu. Matthias memperhatikan balon yang tergantung di dahan yang rendah, dan akhirnya menyadari apa yang dia coba lakukan.

Dia tertawa pelan, pelan, dan anak yang duduk diam di selimut itu mengangkat kepalanya. Matthias mengikuti pandangan anak itu dan menoleh ke arahnya. Anak itu mengangkat alisnya dan mengedipkan matanya dengan lembut.

Matthias memandang putranya, sebelum mengalihkan perhatiannya ke Leyla, yang sedang duduk di dahan dan bersiap menangkap balon.

Dan dia mulai mengambil langkah tanpa ragu ke arahnya.

*.·:·.✧.·:·.*

Meskipun sulit bagi Leyla untuk mencapai balon tersebut, dia hanya mampu menangkap tali melalui dahan pohon yang tipis dan menjulang. Dia tersenyum pada dirinya sendiri atas pencapaiannya saat dia turun, mendarat di tanah dengan selamat.

"Felix! Lihat ini! Mama..."

Leyla, yang menoleh karena suara yang tiba-tiba itu, terdiam. Dia tidak bisa membentuk pemikiran yang masuk akal, apalagi berbicara saat tatapannya bertemu dengan mata biru.

Seorang pria berdiri tidak terlalu jauh dari pohon itu.

Dia menatapnya saat dia berdiri waspada, dengan punggung tegak, dan satu lengan di belakang punggungnya. Mata mereka bertemu dan dia memiringkan kepalanya, seolah-olah mengundang. Gerakannya yang agak bengkok dan lucu, sangat kontras dengan penampilannya yang elegan.

Leyla tersentak. Tadinya dia curiga, tapi sekarang dia yakin.

Itu dia.

Dia telah kembali.

Jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya, berjuang untuk melompat ke pelukannya. Namun kepalanya tetap kosong saat dia menatapnya. Sungguh konyol bagaimana pikirannya menyangkal, namun hatinya bereaksi terhadap kehadirannya.

Itu dia, secara wujud – tidak ada keraguan.

Tidak mungkin orang lain selain dia.

Dia ada di sini.

Leyla menatapnya, masih memegang balon. Dia meletakkan tangannya di pohon itu sebagai penyangga, dan pohon itu terus bergetar seperti daun saat dia berdiri dalam keadaan kesurupan. Mata birunya yang seperti manik-manik berkerut di dekat sudut ketika mereka terus menatap ke arah Leyla, menunjukkan senyuman.

Tanpa berkata-kata, dia sedikit mengangkat tangan yang ada di belakang punggungnya. Ada pita yang diikatkan di lengan jaket dan kemeja, dan berkibar ditiup angin malam yang lembut.

Itu sangat indah, tapi tetap saja...aneh...

Dia memimpikan momen ini setiap hari tanpa henti, memunculkan fantasi saat mata mereka bertemu lagi. Dia punya cukup waktu untuk memikirkan setiap skenario berulang-ulang: bagaimana dia akan menyambutnya, membungkusnya dengan kasih sayang sampai mereka berdua sulit bernapas.

Dia sudah merencanakan semuanya, jadi kenapa?

Mengapa kakinya membeku?

Mengapa pikirannya kosong sekarang, padahal dia sudah lama tidak memikirkan hal lain?

Mungkin, tidak ada jawaban, dia tidak menginginkannya, atau dia membutuhkannya.

Leyla menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan air mata yang mengalir di matanya, dan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menatapnya. Seringai khas Matthias menghiasi wajahnya saat dia perlahan membuka lengannya, tidak yakin apakah itu langkah yang tepat.

Dia tidak dapat memahami apa yang terjadi selanjutnya, dan bahkan ingatannya tentang beberapa menit berikutnya kabur, detailnya redup.

Yang dia ingat hanyalah kakinya menginjak tanah, air mata mengalir di pipinya, dan berlari ke arahnya. Penglihatannya mungkin kabur, tapi hatinya bisa melihat dan merasakan dengan sangat jelas.

Rambut emasnya tergerai saat dia berlari ke arahnya, semakin cepat, seolah dia akan menghilang jika dia berhenti sejenak untuk bernapas.

Jantungnya terus berdebar tak menentu dan tak terbendung. Dia mungkin tersedak oleh kata-kata yang telah dia persiapkan untuknya, namun kata-kata itu menolak untuk keluar dari bibirnya.

Saat dia akhirnya mendarat di pelukannya, tangisan lembut keluar darinya, tidak seperti suara anak kecil yang akhirnya menemukan benda kesayangannya setelah sekian lama mencari.

Semua pidato dan pernyataannya sia-sia. Satu kata saja sudah cukup. Satu-satunya kebenarannya: Matthias.

"Leyla," gumamnya, memeluknya erat-erat, menariknya lebih dekat seolah-olah mereka bisa melebur menjadi satu. Sebuah balon, yang dia lewatkan, terbang tinggi bersama angin. Talinya meniru pita yang diikatkan di pergelangan tangan Matthias.

Anak itu memandangi balon cantik yang melayang-layang, dengan mata yang mirip dengan mata ayahnya. Dia menyaksikan balon itu melayang menjauh, cemberut dan meringis seolah air matanya mempunyai kekuatan untuk mengembalikannya. Ibunya tentu saja melakukannya.

Balon tersebut terbang lebih tinggi menuju langit matahari terbenam dan akhirnya menghilang dari pandangan. Mata sang anak yang berbinar penasaran menoleh ke arah ibu dan ayahnya yang masih berpelukan, meski ibunya terus menangis.

Anak itu terus menoleh ke kiri dan ke kanan, tampak kesakitan, seolah tidak bisa memutuskan apakah akan menangis seperti ibunya atau tidak. Akhirnya dia tersenyum lebar.

Danau itu tenang dan jernih saat burung-burung perlahan-lahan berputar-putar di atas air yang tenang, langit di atas mereka dipenuhi palet warna merah, jingga, dan warna-warni cerah.

Burung itu kembali.

Itu adalah malam musim panas yang panjang dan menyenangkan tanpa banyak kegiatan, dan mereka pasti akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

...

Next Update adalah Epilog + Side Story