Welcome to English Class MA ARIFAH
" B.J. HABIBIE "
Apa sih personal recount itu? Untuk lebih jelasnya, yuk kita sama-sama simak teks di bawah ini ya!
B.J. HABIBIE
Bacharuddin Jusuf Habibie known as BJ. Habibie was born on 25 June 1936. He was the Third President of the Republic of Indonesia (1998–1999). Habibie was born in Parepare, South Sulawesi Province to Alwi Abdul Jalil Habibie and R.A. Tuti Marini Puspowardojo. His father was an agriculturist from Gorontalo of Bugis descent and his mother was a Javanese noblewoman from Yogyakarta. His parents met while studying in Bogor. When he was 14 years old, Habibie’s father died.
Bacharuddin Jusuf Habibie atau biasa dipanggil BJ. Habibie lahir pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau adalah Presiden Ketiga Republik Indonesia (1998–1999). Habibie lahir di Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya adalah seorang petani dari Gorontalo keturunan Bugis dan ibunya adalah seorang wanita bangsawan Jawa dari Yogyakarta. Orang tuanya bertemu saat belajar di Bogor. Ketika dia berusia 14 tahun, ayah Habibie meninggal.
Following his father’s death, Habibie continued his studies in Jakarta and then in 1955 moved to Germany. In 1960, Habibie received a degree in engineering in Germany, giving him the title Diplom-Ingenieur.
Setelah ayahnya meninggal, Habibie melanjutkan studinya di Jakarta dan kemudian pada tahun 1955 pindah ke Jerman. Pada tahun 1960, Habibie menerima gelar di bidang teknik di Jerman, memberinya gelar Diplom-Ingenieur.
He remained in Germany as a research assistant under Hans Ebner at the Lehrstuhl und Institut für Leichtbau, RWTH Aachen to conduct research for his doctoral degree.
Dia tetap di Jerman sebagai asisten peneliti di bawah Hans Ebner di Lehrstuhl und Institut für Leichtbau, RWTH Aachen untuk melakukan penelitian untuk gelar doktornya.
In 1962, Habibie returned to Indonesia for three months on sick leave. During this time, he was reacquainted with Hasri Ainun, the daughter of R. Mohamad Besari. The two married on 12 May 1962, returning to Germany shortly afterwards. Habibie and his wife settled in Aachen for a short period before moving to Oberforstbach. In May 1963 they had their first son, Ilham Akbar Habibie, and later another son, Thareq Kemal Habibie.
Pada tahun 1962, Habibie kembali ke Indonesia selama tiga bulan dengan cuti sakit. Selama ini, ia berkenalan kembali dengan Hasri Ainun, putri R. Mohamad Besari. Keduanya menikah pada 12 Mei 1962, kembali ke Jerman tak lama kemudian. Habibie dan istrinya menetap di Aachen untuk waktu yang singkat sebelum pindah ke Oberforstbach. Pada Mei 1963 mereka memiliki putra pertama, Ilham Akbar Habibie, dan kemudian putra lainnya, Thareq Kemal Habibie.
When Habibie’s minimum wage salary forced him into part-time work, he found employment with the Automotive Marque Talbot, where he became an advisor. Habibie worked on two projects which received funding from Deutsche Bundesbahn. Due to his work with Makosh, the head of train constructions offered his position to Habibie upon his retirement three years later, but Habibie refused.
Ketika gaji upah minimum Habibie memaksanya untuk bekerja paruh waktu, dia mendapatkan pekerjaan di Automotive Marque Talbot, di mana dia menjadi penasihat. Habibie mengerjakan dua proyek yang mendapat dana dari Deutsche Bundesbahn. Karena pekerjaannya dengan Makosh, kepala konstruksi kereta api menawarkan posisinya kepada Habibie setelah pensiun tiga tahun kemudian, tetapi Habibie menolak.
Habibie did accept a position with Messerschmitt-Bölkow-Blohm in Hamburg. There, he developed theories on thermodynamics, construction, and aerodynamics known as the Habibie Factor, Habibie Theorem, and Habibie Method, respectively. He worked for Messerschmit on the development of the Airbus A-300B aircraft.
Habibie memang menerima posisi dengan Messerschmitt-Bölkow-Blohm di Hamburg. Di sana, ia mengembangkan teori tentang termodinamika, konstruksi, dan aerodinamika yang masing-masing dikenal sebagai Faktor Habibie, Teorema Habibie, dan Metode Habibie. Dia bekerja untuk Messerschmit pada pengembangan pesawat Airbus A-300B.
In 1974, he was promoted to vice president of the company. In 1974, Suharto requested Habibie to return to Indonesia as part of Suharto’s drive to develop the country. Habibie initially served as a special assistant to Ibnu Sutowo, the CEO of the state oil company Pertamina. Two years later, in 1976, Habibie was made Chief Executive Officer of the new state-owned enterprise Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). In 1978, he was appointed as Minister of Research and Technology. Habibie was elected vice president in March 1998. On 21 May 1998, Suharto publicly announced his resignation and Habibie was immediately sworn in as president. Habibie’s government stabilized the economy in the face of the Asian financial crisis and the chaos of the last few months of Suharto’s presidency.
Pada tahun 1974, ia dipromosikan menjadi wakil presiden perusahaan. Pada tahun 1974, Suharto meminta Habibie untuk kembali ke Indonesia sebagai bagian dari upaya Suharto untuk membangun negara. Habibie awalnya menjabat sebagai asisten khusus Ibnu Sutowo, Dirut Pertamina. Dua tahun kemudian, pada tahun 1976, Habibie diangkat menjadi Chief Executive Officer perusahaan baru milik negara Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada tahun 1978 diangkat menjadi Menteri Riset dan Teknologi. Habibie terpilih sebagai wakil presiden pada Maret 1998. Pada 21 Mei 1998, Suharto secara terbuka mengumumkan pengunduran dirinya dan Habibie langsung dilantik sebagai presiden. Pemerintah Habibie menstabilkan ekonomi dalam menghadapi krisis keuangan Asia dan kekacauan beberapa bulan terakhir kepresidenan Suharto.
Since relinquishing the presidency, Habibie has spent more time in Germany than in Indonesia. However, he has also been active as a presidential adviser during Susilo Bambang Yudoyono’s presidency. In September 2006, he released a book called Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (Decisive Moments: Indonesia’s Long Road Towards Democracy). The book recalled the events of May 1998.
Sejak mundur dari kursi kepresidenan, Habibie lebih banyak menghabiskan waktu di Jerman daripada di Indonesia. Namun, ia juga aktif sebagai penasihat presiden selama kepresidenan Susilo Bambang Yudoyono. Pada September 2006, ia merilis buku Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Buku itu mengenang peristiwa Mei 1998.