Bayan Terakhir (Akheri) oleh Hazrat Jee Yusuf (Rah.)
1 April 1965, di Masjid Bilal Park, Lahore, Kamis malam
[Catatan: Keesokan harinya, pada 2 April 1965, setelah shalat Jumat, Hazrat Jee (Rahmatullah alaihi) wafat dari dunia ini. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.]
Apapun yang Allah Ta’ala ciptakan di seluruh alam semesta ini, semuanya bersifat sementara. Lapar dan haus, kehormatan dan kehinaan, hidup dan mati, semuanya bersifat sementara. Kesehatan yang baik hanya untuk waktu yang singkat, kesenangan hanya sesaat; begitu pula dengan kesabaran dalam menghadapi kesedihan dan kesulitan, serta pemenuhan kebutuhan, semuanya bersifat sementara. Namun, Allah Ta’ala telah memberikan manusia sebuah sumber daya yang dengannya ia bisa mendapatkan kehormatan sementara dan kehormatan abadi, kedamaian sementara dan kedamaian abadi. Dengan sumber daya ini, di satu sisi manusia dapat sukses di dunia ini, dan di sisi lain, ia bisa sukses setelah kematian, selama-lamanya. Oleh karena itu, nilai kekayaan manusia ini lebih besar daripada tujuh langit dan bumi. Jika kekayaan ini hancur, maka kerugian ini tidak bisa diganti dengan seluruh alam semesta.
Langkah pertama dari sumber daya mulia ini adalah dengan mengucapkan “Allah”. Ucapan “Allah” adalah kekayaan yang begitu kuat, sehingga hanya dengan berkahnya (Barakah), seluruh alam semesta masih tetap ada. Selama masih ada satu orang di muka bumi ini yang mengucapkan “Allah”, maka selama itu pula tujuh langit dan bumi akan tetap tegak. Namun, ketika tidak ada lagi satu pun orang yang menyebut “Allah” di alam semesta ini, maka pada hari itu, seluruh alam semesta ini akan hancur berkeping-keping.
Salat, puasa, haji, zakat—jika seseorang tidak memiliki semua itu, tetapi hanya memiliki satu sumber daya berupa ucapan “Allah” yang diucapkan secara lahiriah, maka hanya dengan berkah dari ucapan ini, langit dan bumi tetap berdiri kokoh. Namun, jika satu-satunya sumber daya ini lenyap, maka meskipun ada lima miliar manusia di permukaan bumi, semuanya akan hancur dalam sekejap. Semua makhluk di darat dan laut, bukit dan gunung, hutan dan pepohonan, bintang dan planet di langit akan lenyap dalam sekejap mata.
Allah adalah Rabb kita, yaitu Pemelihara kita. Ini bukan sekadar kata-kata, tetapi sebuah usaha. Jika seseorang mengatakan bahwa ia memperoleh rezekinya dari toko, pertanian, pekerjaan, politik, atau kerajaan, maka ini bukan sekadar ucapan, tetapi mengacu pada usahanya untuk memperoleh rezeki. Setelah itu, ia harus membeli tanah, bajak, benih, dan ternak. Singkatnya, begitu kata itu diucapkan, usaha besar dalam hidupnya pun dimulai.
Begitu pula ketika seseorang berkata, “Rabb-ku adalah Allah,” maka ucapannya itu bukanlah akhir, tetapi awal dari sebuah perjuangan besar. Artinya, jika Allah adalah Rabb-ku, maka keyakinan bahwa ada selain Allah yang memberi rezeki harus dicabut dari hati. Usaha pertama yang harus dilakukan adalah meyakini bahwa rezekiku tidak berasal dari bumi, langit, atau sesuatu di antaranya, tetapi hanya berasal dari Allah. Setelah itu, dengan berusaha dan berjuang melalui perantaraan Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam), keyakinan ini harus ditanamkan dalam hati, pembuluh darah, dan saraf kita.
“Aku hanya diberi rezeki oleh Allah”—untuk menjadikan hakikat dan makna pernyataan ini tertanam dalam hati kita, bukanlah dengan mengejar kerajaan, kekayaan, atau bisnis. Sebab, jika usaha kita terfokus pada hal-hal duniawi, maka keyakinan “Allah adalah Rabb-ku” akan keluar dari hati dan hanya menjadi ucapan di mulut. Oleh karena itu, usaha seluruh nabi dan Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah untuk menanamkan keyakinan ini di dalam hati umat manusia.
Apapun yang ada di dunia ini terbatas dan akan musnah, tetapi apapun yang ada di sisi Allah akan kekal dan abadi. Jika rezekiku berasal dari Yang Kekal, maka aku harus berusaha sesuai dengan cara Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam). Dengan menjadikan Allah sebagai Ma’bud (sembahan) dan menyembah-Nya, kita akan memperoleh rezeki. Jika usaha dilakukan melalui ibadah, maka keyakinan ini akan tertanam di hati.
Salat adalah ibadah yang sejati. Salat bukanlah hanya gerakan lahiriah semata. Untuk memperoleh manfaat dalam pertanian, seseorang harus berusaha dengan cara bertani. Untuk mendapatkan keuntungan dalam perdagangan, ia harus berusaha di bidang bisnis. Untuk sukses dalam pemerintahan, ia harus berjuang di bidang politik. Namun, apa itu Salat? Salat bukan berasal dari usaha manusia, tetapi berasal dari khazanah tak terbatas dari Sang Pencipta, Allah Ta’ala. Cara memperoleh segala sesuatu dalam kehidupan ini dan di akhirat, di kedua dunia, disebut sebagai Salat.
Allah Ta’ala adalah satu-satunya yang memberi rezeki kepada kita. Dalam hal ini, kita harus berusaha mengikuti cara Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam). Pada hari hijrah, di Gua Tsur, bagaimana Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) mendapatkan perlindungan dari musuh di sekitarnya? Dengan hanya segelintir sahabat yang tidak bersenjata di medan perang Badar, bagaimana Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) memperoleh kemenangan melawan pasukan bersenjata? Dalam perang Khandak, bagaimana perlindungan diberikan dari serangan gabungan seluruh Jazirah Arab?
Jawaban dari semua pertanyaan ini adalah bahwa Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan terus-menerus mendirikan Salat. Oleh karena itu, Allah Yang Maha Kuasa menyelesaikan segalanya.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) melaksanakan Salat dengan waktu yang sangat lama, hingga tubuhnya menjadi kurus seperti kantong kulit yang kering. Karena berdiri dalam waktu yang panjang saat Salat, kedua kakinya sampai bengkak. Jika seorang sahabat yang pemberani berdiri untuk melaksanakan Salat sunnah di belakang Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam), maka ia akan merasakan sakit di tubuhnya sepanjang hari. Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) membaca lima hingga enam juz Al-Qur’an dalam setiap rakaat. Demikian pula, beliau menghabiskan waktu yang sama lamanya dalam ruku, sujud, i’tidal, dan duduk di antara dua sujud. Beliau menyelesaikan empat rakaat Salat dengan cara ini.
________________________________________
Siapa pun yang biasa berdiri di belakang Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) mengalami kesulitan yang sangat besar. Di pagi hari, Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) biasa berkata, “Seandainya aku tahu, maka aku akan memperpendeknya sedikit.” Dengan terus-menerus melaksanakan sholat, beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam) membuat Mowala-e-Karim Allah Ta'ala ridha. Allah Ta'ala pun berfirman, "Mintalah apa yang engkau inginkan dariku." Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) berdoa agar umatnya tetap teguh hingga Hari Kiamat, sehingga tidak ada musuh yang bisa menghancurkan mereka hingga akar-akarnya. Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) telah memastikan keputusan mengenai pengampunan dan keselamatan umatnya di akhirat. Terakhir, beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam) berdoa agar umatnya tidak bertengkar dan berselisih di antara mereka sendiri. Allah Ta'ala pun berfirman bahwa hal ini akan tetap terjadi. Namun, hukuman bagi para pelaku kejahatan akan ditimpakan di dunia ini. Pada hakikatnya, Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) telah mendapatkan solusi untuk segala macam permasalahan dunia dan akhirat.
Dengan cara apa hal itu dicapai? Bagaimana itu bisa terjadi? Hanya melalui sholat. Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) melakukan sholat dengan cara yang membuat Mowala-e-Karim membuka khazanah rahmat-Nya. Ketika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) menangis untuk umatnya dalam sholatnya, tanah menjadi basah oleh air matanya. Allah Ta'ala pun memanggil Jibril ('Alaihis salam) dan berfirman, "Pergilah dan tanyakan kepada kekasih-Ku, mengapa dia menangis begitu banyak." Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) menjawab, "Aku menangis hanya untuk umatku." Kemudian datanglah jawaban: "Jangan menangis lagi, Aku akan memuaskanmu tentang urusan umatmu." Bagaimana hal ini bisa terjadi? Hanya melalui perantaraan ibadah dan sholat.
Suatu hari, Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) sujud begitu lama hingga para Sahabat mengira bahwa beliau telah wafat. Setelah itu, Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) berkata dengan penuh kepuasan bahwa keinginannya telah terpenuhi: kabar gembira tentang pengampunan bagi umatnya telah diperoleh, dan sebagai ungkapan syukur atas hal itu, beliau sujud begitu lama.
Suatu ketika, Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) menahan lapar selama tiga hari. Tanpa menyampaikan kebutuhannya kepada para sahabat tercintanya, beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam) langsung pergi ke masjid dan berdiri untuk sholat. Beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam) memohon kepada Allah, "Ya Allah! Berilah aku rezeki berupa roti." Setelah pulang ke rumah, beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam) bertanya kepada Ummul Mukminin Aisyah (Radiallahu 'anha), namun jawabannya adalah belum ada makanan yang datang. Beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam) kembali ke masjid dan melaksanakan sholat. Beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam) melakukan hal ini tiga hingga empat kali, hingga akhirnya ketika pulang, Ummul Mukminin Aisyah (Radiallahu 'anha) berkata bahwa Allah Ta'ala telah memberikan rezeki, yakni Utsman bin Affan (Radiallahu 'anhu) datang membawa roti sambil menangis, seraya berkata, "Mintalah apa pun yang dibutuhkan dari rumahku." Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) pernah bersabda, "Berdoalah kepada Allah Ta'ala bahkan untuk tali sandal yang putus." Karena Allah Ta'ala adalah Rabb kita, maka hakikat pengenalan kepada Rabb adalah menyelesaikan semua masalah melalui perantaraan sholat. Jika tidak, semuanya hanya akan menjadi ucapan di bibir saja. Roti, keturunan, tempat tinggal, kesehatan, kehormatan, dan kedamaian—semuanya dapat diperoleh melalui sholat. Kebutuhan individu dapat dipenuhi dengan sholat individu, sedangkan kebutuhan masyarakat dan negara dapat dipenuhi melalui sholat berjamaah. Oleh karena itu, semua permasalahan individu, sosial, atau desa harus diselesaikan melalui sholat. Inilah upaya pengenalan kepada Rabb. Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) membimbing seluruh Sahabat untuk melaksanakan upaya ini.
Kisra dan Kaisar pada masa itu seperti Rusia dan Amerika di masa kini. Semua kekayaan dan harta dari dua blok kekuasaan itu jatuh di bawah kaki orang-orang yang melaksanakan sholat. Bahkan seorang Badui dari desa Arab bisa menjadi gubernur. Semua ini menjadi mungkin hanya karena sholat.
Selama masa kekhalifahan Umar bin Khattab (Radiallahu 'anhu), ekspansi Islam berkembang dengan pesat. Suatu ketika, Madinah dilanda kelaparan yang parah. Orang-orang dari segala penjuru datang berbondong-bondong ke Madinah. Untuk memastikan tidak ada yang mati kelaparan, Umar bin Khattab (Radiallahu 'anhu) membuat pengaturan besar. Beliau mengirim surat kepada gubernur Mesir, Amr bin Ash (Radiallahu 'anhu), agar segera mengirimkan persediaan makanan dari Mesir. Amr (Radiallahu 'anhu) membalas, "Aku mengirim kafilah unta yang begitu besar, sehingga unta pertama telah sampai di Madinah sementara unta terakhir masih berada di perbatasan Mesir." Setiap hari, sekitar empat puluh ribu orang makan di dapur umum Umar (Radiallahu 'anhu), dan makanan dikirimkan ke rumah-rumah yang jauh. Namun, kelaparan terus meningkat.
Suatu ketika, seorang Sahabat menyembelih seekor kambing, tetapi selain tulang, darah, dan kulit, tidak ada sedikit pun daging di tubuhnya. Sang Sahabat pun berteriak, "Aduhai! Di mana masa Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam)?" Dengan dada basah oleh air mata, ia tertidur. Dalam mimpinya, ia melihat Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), yang menyampaikan salam kepada Umar dan berkata, "Engkau dulu sangat cerdas, apa yang terjadi padamu sekarang?" Setelah bangun, ia segera menemui Umar (Radiallahu 'anhu) dan menyampaikan pesan tersebut. Umar (Radiallahu 'anhu) pun terguncang ketakutan. Segera, beliau mengumpulkan seluruh penduduk Madinah dan bertanya, "Katakan! Apa yang berubah dalam hidupku? Dengarkan apa yang dikatakan oleh orang ini." Semua orang memahami maksudnya, kecuali Umar (Radiallahu 'anhu). Maksudnya adalah: jika sholat dan doa kalian diterima di hadapan Allah, mengapa kalian malah sibuk dengan pengaturan duniawi yang besar? Mengapa kalian tidak mengangkat tangan untuk berdoa?
Segera, Umar (Radiallahu 'anhu) mengangkat tangannya dan berdoa memohon hujan kepada Allah Ta'ala. Doanya singkat. Sebelum tangannya menyentuh wajahnya, hujan pun turun. Semua manusia dan hewan mendapatkan kembali kehidupannya. Para penduduk desa berkata, "Kami mendengar suara dari awan yang berkata, 'Omar, engkau telah berdoa meminta hujan, maka hujan pun turun.'"
Allah adalah satu-satunya Rabb. Untuk memahami hakikat bahwa Allah adalah Pemberi rezeki yang sebenarnya, kita harus berusaha dalam sholat seperti yang dilakukan Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam). Kita harus memahami keutamaan dan hukum sholat, wudhu, serta tata cara menjadi imam dan makmum. Jika sholat belum sesuai, maka usaha harus dilakukan untuk memperbaikinya, agar lahiriah dan batiniah sholat menjadi benar. Hanya dengan menegakkan sholat seperti Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), umat manusia akan mencapai kemuliaan.
Kita tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi Allah Ta'ala yang akan menjadikannya kenyataan.
Dengan meninggalkan konsep mencari rezeki melalui toko dan pertanian, upaya harus dilakukan dalam Salat untuk memperoleh rezeki dari Allah Ta'ala.
Ini adalah medan perjuangan dinamis pertama: "Tidak ada yang berhak disembah selain Allah Ta'ala." Setelah itu, Salat harus dilakukan dengan cara yang memperluas jalan "Allahu Rabbuna"; Salat harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kematian dalam keadaan Iman, keselamatan dari azab kubur, dan cahaya dalam kegelapan Hari Kiamat dapat diperoleh.
Dengan meluangkan sedikit waktu dari waktu mencari nafkah, keyakinan penuh kepada Allah Ta'ala harus dibangun. Hanya dakwah ini yang harus disampaikan; keagungan dari perbendaharaan tak terbatas milik Allah Ta'ala harus dijelaskan, dan ini harus didengar hingga keberadaan-Nya terasa hadir di hadapan mata kita. Oleh karena itu, telah disebutkan, "Sembahlah Allah Ta'ala seolah-olah engkau melihat-Nya."
Melalui Zikir dan Ikhlas, tujuan dari manfaat Kalimah dan Salat harus dicapai. Usaha harus dilakukan untuk mencapainya dalam diri sendiri dan orang lain. Pencurian, perampokan, penjarahan, kecurangan, dan penipuan akan lenyap jika kita menghidupkan kembali amal-amal masjid sesuai dengan cara Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam). Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) memulai amal masjid bahkan dalam keadaan lapar dan haus. Tubuh menggigil karena dingin yang luar biasa, tetapi halaqah pengajian di masjid tetap berlangsung.
Hazrat Abu Sa’id Al-Khudri (Radiallahu anhu) berkata bahwa saat itu Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) datang, mengenali beliau, lalu duduk dan berkata, "Wahai Muhajirin fakir yang asing! Selamat atas kabar gembira; kalian akan masuk surga 500 tahun sebelum orang-orang kaya."
Dalam Salat, usaha harus dilakukan untuk Imamah, Iqtidah, kekhusyukan, barisan yang lurus, dan kesungguhan. Melalui Salat semacam ini, Allah Ta'ala akan membawa perubahan yang menghapus perbuatan keji dan mungkar. Namun, syaratnya adalah lingkungan Salat harus diciptakan; hanya dengan demikian keindahan kekuatan Salat akan tampak. Jika kita menyadari bahwa "Allah Ta'ala adalah Rabb," maka Dia akan mencukupi kita hanya dengan Salat dan pengajaran Salat. Melalui Salat itu pula, kesehatan akan diperoleh dan hutang akan terlunasi. Dari pengajaran tentang keutamaan, kita akan mengetahui bahwa karena orang-orang yang selalu mendatangi masjid, orang-orang di luar mendapatkan perlindungan. Jika tidak, tidak ada cara lain untuk mendapatkan perlindungan dari azab dan hukuman Allah Ta'ala. Ini adalah sabda dari Hadis, sabda dari manusia paling jujur, Muhammad Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam).
Di mana kita mencari kehormatan, perlindungan, dan ketakutan? Semua ini hanya bisa ditemukan dalam Salat. Keyakinan penuh harus ada dalam dakwah, tilawah, dan zikir, baik di dalam maupun di luar Salat. Setelah mengucapkan "Allahu Akbar," bacalah "Subhanakallahumma," lalu "Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin," yang berarti hanya Allah Ta'ala yang memelihara seluruh alam semesta; Allah akan mencukupi kita hanya dengan ibadah. Jika Ruku’, Sujud, Qira'ah, dan menghadap Kiblat dilakukan sesuai dengan cara Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam), maka hanya melalui itu Allah Ta'ala akan mencukupi kita. Dalam tasbih Ruku' dan Sujud, kata-kata yang sama bergema. Jika kepala, punggung bawah, dan punggung atas sejajar seperti cara Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam), maka Allah Ta'ala akan mencukupi kita melalui itu.
Bagaimana Salat dapat disempurnakan? Dengan membangun keyakinan, niat, tampilan, semangat, dan kekhusyukan dalam diri, lalu berusaha mengajak orang lain. Jawlah harus dilakukan di daerah sendiri maupun di daerah lain. Tidak boleh ada satu orang pun yang meninggalkan Salat, baik di kota maupun di desa; dengan cara ini, usaha harus dilakukan untuk seluruh dunia. Setelah menerima kenabian, Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak mengadopsi cara lain untuk memperoleh sesuatu dari manusia. Beliau memperbaiki Salat penduduk Thaif, Tabuk, Yaman, Hadhramaut, dan Najd. Salat yang dilakukan dengan keyakinan terhadap Kalimah akan mengubah sistem dunia. Salat harus diperbaiki dari dalam; urusan hukum terkait dengan aspek batiniah. Ketika Salat benar, maka berdasarkan Salat, tiga aspek kehidupan harus diperbaiki: kehidupan keluarga, cara mencari nafkah, dan interaksi sosial.
Cara mencari nafkah yang diberikan kepada Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah metode yang harus diadopsi. Ada cara dalam mengelola rumah tangga dan mencari nafkah dalam metode Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam). Ada juga struktur buatan manusia dalam mengelola rumah tangga dan mencari nafkah. Rezeki berasal dari Sang Pemberi Rezeki, artinya jika Sang Pemberi Rezeki tidak bergantung pada penghasilan, maka mengapa kita harus merasa butuh mencari nafkah? Dengan menaati perintah Allah Ta'ala, peroleh rezekimu. Namun, setelah Salat, ada dua jalan: mencari nafkah atau tidak. Jika meninggalkan jalan mencari nafkah dan hanya melalui Salat ingin meminta dari Allah, itu diperbolehkan, tetapi dengan syarat: meninggalkan pekerjaan, seseorang tidak boleh menyalahgunakan harta orang lain.
Jangan mengungkapkan kesulitan hidup kepada orang lain, jangan meminta, jangan terlalu banyak bertanya tentang orang lain, jangan mengeluh atas kesulitan, dan dalam segala keadaan, ridha kepada Allah. Jika ini dapat dicapai, maka tidak ada lagi kebutuhan untuk mencari nafkah. Contohnya adalah para wali dari empat tarekat, Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) sendiri, Nabi Isa (Alaihi Salaam), para Ashab Suffah, dan ribuan nabi serta wali yang mendapatkan rezeki hanya melalui Salat. Jika mencari nafkah harus dilakukan, maka harus sesuai dengan hukum syariat yang ketat. Jika tidak bekerja, maka tidak boleh ada pencurian, perampokan, meminta secara terang-terangan atau tersembunyi, kegelisahan, dan keresahan. Jika harus bekerja, maka dengan memperbaiki keyakinan, jika metode Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) diikuti dan Salat ditegakkan, maka Allah Ta'ala akan mencukupi kita.
Saya tidak menjalankan bisnis untuk mencari uang; sebaliknya, dalam mencari nafkah, saya telah mengadopsi metode untuk menegakkan sunnah Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) di dunia. Dan untuk menghidupkan fakta bahwa bekerja adalah salah satu perintah Allah Ta'ala, itulah alasan bisnis saya. Keyakinan saya sepenuhnya pada Allah Ta'ala yang Maha Mutlak, bahwa hanya Dia yang akan mencukupi saya.
Kami tidak akan menjual novel atau buku drama yang berisi gambar dan keburukan. Kami tidak akan mencari nafkah dengan cara haram. Ada dua cara untuk mencari nafkah yang halal: pertama, melalui metode yang halal; kedua, melalui metode yang haram. Makan babi, anjing, kucing, dan sebagainya adalah haram; makan kambing, sapi, kerbau, ayam jantan, dan rusa adalah halal. Namun, di antara semua itu, ada yang bisa menjadi halal atau haram tergantung pada cara penyembelihannya. Menyembelih dengan mengucapkan "Bismillah Allahu Akbar" menjadikannya halal; jika tidak, maka haram.
Intinya adalah bahwa mencari nafkah bukan untuk uang atau mata uang, tetapi untuk menegakkan metode Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) di dunia dan untuk mendapatkan ridha Allah Ta'ala. Carilah rezeki dengan niat memperoleh keutamaan dan disiplin hukum. Oleh karena itu, apa yang telah dikatakan tentang Salat juga berlaku dalam mencari nafkah. Kini, penghidupan, bisnis, pertanian, dan semua bidang lainnya harus dikaitkan dengan Allah Ta'ala yang Maha Mutlak.
Ketika tahap ini tercapai, maka Anda akan melihat kemajuan dan keberhasilan dunia. Dalam kondisi ini, selama terjadi gempa bumi, gelombang pasang, bahkan pemboman berat, sehelai rambut pun di toko, rumah, dan tempat tinggal tidak akan bengkok. Karena ini adalah Tarika sang kekasih (Mahbub), dan dengan Tarika sang kekasih, bahkan jika sebuah toko dibangun dari lumpur, itu akan lebih kuat daripada bom atom. Setelah itu, dalam Tarika mencari nafkah ini, kehidupan keluarga harus dijalani.
Beberapa pakaian adalah Haram dan beberapa Halal; beberapa perilaku ada dalam Tarika Haram, beberapa dalam Tarika Halal; dengan meninggalkan semua ini, keyakinan harus dibuat bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb kita. Dalam Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), kita akan membelanjakan uang; pakaian dan pengaturan makanan akan sesuai dengan Tarika beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam); maka Allah Ta'ala akan mencukupi kita. Sebuah gubuk dalam Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih baik daripada benteng terlindungi milik Kesrah. Itu lebih baik daripada istana yang dibangun dengan ratusan ribu Rupee oleh orang-orang musyrik, fasik, dan fajir. Bahkan, ketenangan yang dapat diperoleh dari sebuah gubuk yang dibuat dengan lima Rupee dalam metode Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), tidak dapat ditemukan dalam istana mewah yang dibangun dengan lima juta Rupee oleh Yahudi dan Nasrani. Dalam Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), kenikmatan dari pakaian seharga lima sen tidak dapat ditemukan dalam pakaian seharga seratus ribu Rupee dalam metode orang-orang Nasrani. Inilah yang disebut Iman.
Jika kita mengadopsi Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), Allah Ta'ala akan mencukupi kita; Dia akan membinasakan kita jika kita mengikuti Tarika Yahudi dan Nasrani. Jika struktur rumah-rumah dibangun dalam Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), dalam Tarika Abu Bakar Siddiq (Radiallahu 'anhu) dan Awliya-e-akram, maka Allah akan mencukupi kita; jika tidak, Dia akan membinasakan kita. Dalam pernikahan dan pesta pernikahan, pengobatan dan resep medis, kehidupan dan kematian, dalam semua sektor, Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) harus diadopsi. Tarika yang didasarkan pada keinginan harus diubah. Jika struktur rumah-rumah dibangun dalam Tarika Yahudi dan Nasrani, maka dengan sedikit goncangan lumpur, itu akan hancur berkeping-keping. Tetapi jika struktur dibangun dalam Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), maka bahkan bom atom pun tidak dapat menghancurkannya.
Menggunakan logam atau batu untuk masjid tidak ada gunanya. Ya! Yang berharga adalah Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam). Tarika yang keluar dari tubuh suci Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), itulah yang berharga. Jika perintah Allah Ta'ala dan Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) ditegakkan, maka bahkan sunnah dalam menggunakan toilet sesuai dengan cara Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih berharga daripada dunia penuh dengan bangunan yang dihiasi dengan berlian dan mutiara.
Ketika baik penghasilan maupun pengeluaran dilakukan sesuai dengan Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), maka kita tidak perlu bergantung pada siapa pun. Rusia dan Amerika serta seluruh kerajaan dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dua rakaat shalat Fajr. Seseorang pergi ke Afrika dengan menghabiskan lima ribu Rupee. Berkat itu, banyak orang di sana menjadi ahli shalat. Selamat untuk bisnis ini; di Inggris dan Prancis banyak masjid telah dibangun; oleh karena itu, orang-orang kaya harus pergi ke sana dan menginfakkan hartanya. Jika hidup dijalani dengan sederhana, maka semangat kita untuk mencari nafkah akan berkurang.
Bahkan hingga hari ini, semangat untuk mencari nafkah tidak mengikuti pola Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), Abu Bakar Siddiq, Umar Faruq, dan Utsman (Radiallahu 'anhum). Sebaliknya, kita mencoba mengikuti cara Qarun, Syaddad, Firaun, pemabuk, dan pezina. Ketika kita belajar bagaimana mencari nafkah sesuai dengan Tarika Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam), maka kita akan melihat bahwa cukup banyak uang dan waktu tersisa dalam kelimpahan. Ketika orang kaya dan miskin bisa disatukan, maka itu akan menjadi anugerah besar bagi kemanusiaan di seluruh dunia. Allah Ta'ala akan memberi ganjaran dengan tangan-Nya sendiri. Sebagai ganti setiap shalat, bisa diperoleh surga yang luasnya seperti tujuh langit dan tujuh bumi. Setelah itu, perhatian harus diberikan pada kehidupan praktis dan sosial dengan keadilan dan kepedulian.
Beberapa dari kita akan tinggal di istana bernilai ratusan ribu Rupee, tetapi ratusan ribu hamba Allah Ta'ala tidak memiliki gubuk kecil atau tempat berteduh untuk beristirahat. Ini adalah penindasan ekstrem terhadap kemanusiaan, dan tidak lain adalah kezaliman. Yahudi dan Nasrani menghisap darah orang lain demi kenyamanan mereka sendiri, dan dengan mengikuti mereka, kita merasa puas. Sedangkan, Nabi yang tercinta, bukan karena kebutuhan, tetapi demi kemanusiaan, rela menahan kelaparan berulang kali. Demi kemuliaan kita, beliau meneteskan darahnya sendiri. Hari ini, kita tidak menyukai Tarika beliau.
Untuk ini, Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wasallam) telah menetapkan Tartib untuk waktu juga. Para sahabat Madinah biasa keluar di jalan Allah Ta'ala dengan harta mereka sendiri selama empat bulan setiap tahun, dengan niat menciptakan lingkungan ibadah di dunia. Delapan bulan sisanya, mereka menghabiskan setengah hari di masjid dan setengah hari untuk perdagangan dan bisnis; mereka juga menghabiskan setengah malam di masjid dan setengah malam di rumah. Ketika sekelompok orang siap dengan Tartib dan pola Sahabat Madinah, maka agama akan dipropagandakan dan diperluas.
Ini adalah Tartib kelas atas; Tartib kelas bawah adalah empat bulan berturut-turut sekali seumur hidup, empat puluh hari dalam setahun, tiga hari dalam sebulan, dua kali Jawla dalam seminggu, pengajaran harian dan dzikir yang teratur, serta menghadiri pertemuan mingguan. Ini seperti memiliki nama tertulis di antara para syuhada dengan hanya memotong jari. Ketika Tartib ibadah ini ditegakkan, maka shalat kita akan kuat dan Allah Ta'ala akan membuat kita bersinar di jalan ini.
Sekarang, katakan siapa yang siap mengejar Tartib mana?