Belajar Mindfulness di Mini Gathering Keluarga Besar Fakultas Psikologi
Minggu, 27 Oktober 2019 merupakan puncak perayaan hari kesehatan mental sedunia oleh FPsi UTS. Puncak kegiatan yang bertajuk mini gathering ini diikuti oleh dosen, staf dan mahasiswa se-Fakultas Psikologi di Pantai Kencana, Sumbawa Besar. Kegiatan diawali dengan pengenalan teknik mindfulness yang difasilitasi oleh Kartika Mustafa, M.Psi., Psikolog. Dengan mindfulness, peserta mini gathering diajak untuk menjadi pribadi “hari ini dan sekarang”. Hal ini penting untuk meningkatkan rasa syukur atas hidup yang bermakna dan apresiasi pada diri sendiri. Selain itu, para peserta mengikuti berbagai permainan yang seru dan menarik. Acara ditutup dengan simbolisasi pemotongan tumpeng oleh Dekan Fpsi UTS Yossy Dwi Erliana, M.Psi, Psikolog dan Ketua Pelaksana Kegiatan Dimas Teguh Prasetyo, S.Pd., M.Psi.T serta makan siang bersama di tepi Pantai Kencana.
Mahasiswa Minitikan Air Mata di Workshop Dukungan Psikologis Awal
Sabtu, 26 Oktober 2019, Fakultas Psikologi UTS menyelenggarakan Workshop Dukungan Psikologis Awal (DPA) di lingkungan mahasiswa UTS. Kegiatan ini diikuti oleh setidaknya 50 mahasiswa dari berbagai Fakultas di UTS. Workshop yang berlangsung santai di Ruang Publik Terbuka (RPK) ini difasilitasi oleh Kaprodi S1 Psikologi yakni Ayuning Atmasari, M.Psi. Psikolog. Para peserta workshop diajak untuk dapat mengenali tiga langkah dukungan psikologis awal yakni melihat dan mengenali masalah, mendengarkan dan bersikap empati serta menghubungkan ke profesional di bidang kesehatan mental. Para peserta mengaku excited dan menilai kegiatan ini sangat bermanfaat untuk membantu mereka menghadapi masa-masa sulit dalam hidup. Beberapa peserta yang memiliki kesempatan bertanya kepada fasilitator terlihat meneteskan air mata karena merasa sangat membutuhkan bantuan saat menghadapi masa-masa sulit. Kegiatan ini memang diharapkan dapat mencegah terjadi intensi maupun perilaku bunuh diri sebagai bentuk coping strategy dalam menghadapi masa sulit.
Cegah Bunuh Diri di Kalangan Milenial, Fakultas Psikologi "Blusukan" ke SMA-SMA di Sumbawa
Jumat, 25 Oktober 2019, Fakultas Psikologi “blusukan” ke SMA-SMA di Sumbawa. Sebagai rangkaian peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019, Tim dosen dan mahasiswa FPsi berkolaborasi untuk memberikan psikoedukasi terkait pentingnya menjaga kesehatan mental. Psikoedukasi terkait dukungan psikologis awal diberikan di tiga sekolah berbeda yakni SMA Negeri 2 Sumbawa, MAN 1 Sumbawa dan SMK Negeri 1 Sumbawa. Ketiganya difasilitatori langsung oleh para dosen FPsi UTS yang ahli di bidang psikologi yakni Efan Yudha Winata, M.Psi., Psikolog, Kusumasari, K.H.D., M.Si dan Imammul Insan, M.Si. Para peserta di tiga sekolah tersebut terlihat sangat antusias dalam mempraktekan dukungan psikologis awal dalam kegiatan tersebut. Pihak sekolah pun menyambut baik adanya kegiatan positif ini. Mereka menilai bahwa kegiatan semacam ini sebaiknya rutin disosialisasikan agar mampu mencegah perilaku siswa yang cenderung negatif dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya seperti halnya bunuh diri. Kegiatan ini juga sejalan dengan tema besar dari Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019 yakni promosi dan pencegahan bunuh diri.
Survei SAYA PEDULI 2019
Masih dalam rangkaian Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019, Fakultas Psikologi menyelenggarakan mini survei bertajuk SAYA PEDULI 2019. Survei ini dikepalai oleh Kusumasari K.H.D., M.si, seorang staf pendidik di FPsi. Kegiatan ini dilaksanakan selama 1 minggu mulai dari Senin 21 Oktober 2019 dan akan berakhir pada 27 Oktober 2019. Survei ini dinilai dapat menjadi dasar dan gambaran pengetahuan serta perilaku sivitas akademika UTS terkait kesehatan mental. Hasil dari survei ini nantinya akan diseminarkan pada bulan Desember 2019 mendatang. Dari hasil tersebut diharapkan Fakultas Psikologi dapat memaksimalkan layanan kesehatan mental terutama di lingkungan UTS.
Fakultas Psikologi Gelar Tes Psikologi di Dea Malela International Modern Islamic Boarding School
Senin, 21 Oktober 2019, Fakultas Psikologi UTS mengunjungi Dea Malela International Modern Islamic Boarding School di Pemangong, Sumbawa. Kunjungan ini merupakan kegiatan kerjasama antara Fakultas Psikologi UTS dan mengunjungi Dea Malela International Modern Islamic Boarding School dalam kegiatan psikotes pemetaan minat dan bakat serta identifikasi potensi akademik tingkat SMP dan SMA. Adapun kunjungan FPsi UTS ini diwakili oleh Yossy Dwi Erliana, M.Psi., Psikolog (Dekan Fpsi), Ayuning Atmasari, M.Psi., Psikolog (Kaprodi S1 Psikologi) dan Junaidin, M.Psi (Wakil Dekan FPsi). Kegiatan ini diharapkan dapat membantu pengajar khususnya para siswa untuk mengetahui potensi diri sedini mungkin, sehingga dimaksimalkan di masa depan
Sharing Session CAT Tool untuk Menerjemahkan Teks
Jumat, 11 Oktober 2019, bertempat di Ruang kelas gedung Karim, Fakultas Psikologi UTS telah diselenggarakan sebuah kegiatan sharring session penggunaan CAT Tool untuk menerjemahkan teks. Kegiatan ini diikuti oleh para staf pendidik Fakultas Psikologi dan difasilitasi oleh Pratiwi Sakti, M.Hum. Penggunaan CAT Tool memudahkan pekerjaan dalam proses penerjemahan teks dari bahasa sumber (source language) ke bahasa target (target language). Sharring session berlangsung santai dan dirasakan memberikan manfaat khususnya dalam membaca dan menulis artikel ilmiah. (DTP)
"Lebaran" Psikologi 2019
Kamis 10 Oktober 2019 ratusan mahasiswa serta dosen dan staf kependidikan berkumpul memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Peringatan yang biasa dikenal dengan "Lebaran Psikologi" ini bertujuan untuk meningkatkan awareness civitas akademika UTS terhadap pentingnya kesehatan mental. Salah satu kegiatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi UTS adalah kampanye dengan memberikan bunga, balon dan coklat kepada civitas akademika UTS. Dalam kampanye tersebut, Fakultas Psikologi juga memperkenalkan Pojok Curhat yang dapat dimaksimalkan oleh civitas akademika dalam peningkatan kesejahteraan psikologis. (DTP)
Bimbingan Karir Calon Wisudawan FPsi 2019
Kamis, 26 September 2019, Fakultas Psikologi menyelenggarakan kegiatan BIMBINGAN KARIR CALON WISUDAWAN FPSI di Sumbawa Techno Park. Kegiatan ini diikuti oleh para calon wisudawan dan wisudawati Fakultas Psikologi tahun 2019. Dalam kegiatan yang berlangsung seru dan meriah, para peserta memperoleh materi terkait persiapan diri di dunia kerja oleh Ivon Arisanti, S.Pt., M.M, Teknik pembuatan CV dan grooming oleh Fitra Hasri Rosandi, S.Ant., M.PSDM, serta tips dan trik lolos beasiswa S2 oleh Dimas Teguh Prasetyo, S.Pd., M.Psi.T. Dengan mengangkat tema Creating the Chance, Creating the Future, harapannya kegiatan ini dapat memberikan para peserta sebuah gambaran peluang di dunia profesional setelah lulus jenjang sarjana dan mempersiapkannya dengan kemantapan dan soft skill diri yang dimiliki. (DTP)
Mengapa Gen-Z perlu dekat dengan alam sekitarnya ?
Generasi-Z lahir di era digital dan hidup di tengah perkembangan internet yang luar biasa. Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa generasi-Z lebih sibuk menggunakan gawainya untuk mengakses internet hingga lebih dari 2 jam dalam sehari (Katherina, 2016). Para generasi-Z juga dinilai lebih mampu menguasai teknologi dan informasi dibandingkan generasi lainnya (Putra, 2017). Generasi yang lahir mulai tahun 1995 hingga 2010 itu dikenal memiliki karakteristik unik seperti egois, open-minded, setia, perfeksionis, toleransi yang tinggi bekerja berdasarkan minat dan empati yang cukup tinggi (Seemiller & Grace, 2016; Metz, 2017; Curran & Hill, 2017). Namun di sisi lain, ketergantungan generasi ini pada gawai mempengaruhi kehidupan sosialnya (Ozkan & Solmaz, 2015) seperti halnya phubbing atau phone-snubbing (Youarti & Hidayah, 2018) dan kurang peduli terhadap lingkungan dan kesehatan mentalnya (Ahmad & Omar, 2017).
Dengan segala kecanggihan teknologi, para generasi tersebut kini banyak melakukan kegiatan di dalam ruangan atau dikenal dengan backseat generation (Karsten, 2005; Selhub & Logan, 2012). Kurangnya Aktivitas fisik dikhawatirkan menjadi boomerang bagi kesehatan generasi-Z sendiri seperti ancaman penyakit diabetes dan obesitas yang saat ini juga menjadi trend di Indonesia (Puslitbang Kemenkes, 2015). Literatur sebelumnya menyebutkan bahwa faktor personal seperti perasaan dekat dengan alam (nature relatedness) penting untuk diperhatikan dalam menjembatani adanya hubungan antara lingkungan alam dan perilaku manusia (Barton., dkk, 2016).Oleh karena itu, penting untuk mengetahui peran nature relatedness pada generasi-Z dan konteksnya pada isu kesehatan mental hari ini.
Konsep nature relatedness atau keterkaitan dengan alam dipopulerkan oleh Nisbet, Zelenski dan Murphy (2009). Nature relatedness terdiri dari perasaan dan pikiran yang dimiliki individu dilihat dari hubungannya dengan alam. Hubungan dengan alam lebih dari sekedar cinta, melainkan kesadaran dan pemahaman atas semua aspek alam. Nature relatedness dapat dinilai sebagai indikator apakah trait bawaan kita memiliki keterhubungan dengan alam.
Hubungan dengan alam juga dipancarkan melalui pengetahuan, sikap, keyakinan dan perilaku seperti bijaksana dalam penggunaan sumberdaya di alam, mengurangi produksi limbah, cermat dalam mengelola sampah dan sebagainya. Individu yang memiliki nature relatedness yang tinggi bukan berarti harus berasal dari aktivis lingkungan, karena setiap manusia telah terlahir dengan membawa trait ini kedalam kehidupan sehari-hari.
Keberadaan manusia yang lahir dan hidup di tengah alam telah menghasilkan berbagai dampak. Keterpaparan kontak langsung individu dengan alam dapat berhubungan dengan perasaan keterhubungan dengan alam (Nisbet, Zelenski, & Murphy, 2009; Nisbet & Zelenski, 2011). Nisbet (2011) dalam disertasinya pun menguatkan bahwa keterhubungan dengan alam yang lebih besar menyebabkan lebih banyak kontak dengan alam dan pada gilirannya menyebabkan kebahagiaan yang lebih besar, kepedulian lingkungan, dan perilaku yang pro lingkungan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa keterhubungan dengan alam cukup tahan terhadap perubahan, tetapi dapat ditingkatkan dengan kontak alam yang meningkat. Alam juga dinilai dapat menjadi sebuah sumber pembelajaran yang mempromosikan ketahanan pada anak-anak muda dan berefek positif terhadap kesempatan hidup di masa depan (Barton., dkk, 2016).
Lalu, bagaimanakah sebaiknya kita berupaya meningkatkan nature relatedness tersebut? Tidak ada salahnya memulai sejak dini penanaman pendidikan lingkungan di sekolah. Studi oleh Nisbet (2005) menunjukan bahwa peningkatan keterkaitan alam yang dicapai melalui pendidikan lingkungan dapat meningkatkan kesehatan psikologis dan memotivasi perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Selain itu, kita dapat memanfaatkan lingkungan alam di sekitar kita dengan aktivitas fisik seperti jogging, berjalan hingga bersepeda. Aktivitas fisik semacam itu ternyata memiliki hubungan dengan peningkatan nature relatedness (Jansen., dkk, 2017). Atau dapat mengikuti komunitas sosial yang fokus pada isu-isu lingkungan (Prasetyo, Djuwita, & Ariyanto, 2018). Sekarang pilihan tersedia, jika generasi-Z ingin terus sehat mental, tidak ada salahnya untuk mulai melakukan hal-hal positif yang dapat meningkatkan nature relatedness. (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Dimas Teguh Prasetyo, S.Pd., M.Psi.T (Staf Pendidik FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Promosi Kesehatan Mental: Studi Pada Komunitas Supporter Klub Persebaya Bonek Mania
Sepak bola, sebagai olah raga yang digemari seluruh dunia, sanggup menghadirkan rasa antusias yang tinggi terutama dalam hal kegiatan mendukung sebuah tim sepak bola. Suporter olah raga khususnya sepak bola seringkali memiliki rasa kebanggaan dan semangat yang tinggi terhadap tim yang didukung. Tak jarang rasa kebanggaan dan semangat itu sendiri terus berkembang menjadi jiwa membela tim yang seolah mendarah daging.
Rasa kecintaan suporter tim sepak bola mampu mendorong mereka melakukan berbagai macam bentuk ekspresi. Ada pula ekspresi suporter yang sering diinterpretasikan sebagai tindakan kekerasan. Ekspresi yang dinilai sebagai bentuk kekerasan, baik sebelum, selama atau sesudah pertandingan sepak bola. Pada tahun 1970-an di Eropa dikenal cukup umum dan menjadikannnya semacam ritual terus menerus (Roberts dan Benjamin, 2000).
Sikap fanatik sebuah tim sepak bola telah menyatukan individu manusia sehingga mereka berkumpul dan melahirkan kelompok-kelompok, komunitas-komunitas suporter sepak bola itu sendiri. Tujuan yang sama inilah dapat menumbuh suburkan komunitas pendukung sepak bola sehingga memiliki rasa fanatik diluar batas yang diekspresikan dalam perilaku dukungan terhadap klub dan bersikap agresif menyerang komunitas lain yang berbeda klub (Suryanto, 2008).
Kelompok suporter atau suporter (panggilan kelompok suporter sepak bola) memiliki pengaruh positif yang sangat besar terhadap pemain sebuah tim, seperti daya juang, semangat dan konsentrasi pemain meningkat saat para suporter hadir memberikan dukungan langsung. Selain pengaruh positif, pengaruh negatif dari suporter ialah saat terjadi aksi kekerasan. Kekerasan terjadi ketika sekelompok suporter mendukung tim yang di sukai dan berharap menang, namun ketika tim tersebut kalah, suporter seringkali tidak dapat menerima kekalahan pada pertandingan tim sepak bola yang di dukungnya. Tidak hanya menyerang supporter dari tim lawan, sering terjadi pula tindakan hingga melakukan aksi kekerasan pada supporter team lawan (Suryanto, 2008).
Pertikaian antara pendukung sepak bola sebenarnya tidak hanya dilatarbelakangi oleh alasan menang atau kalah dari pertandingan sepak bola. Kesenjangan ekonomi, perseteruan politik, sentimen budaya, bahkan perbedaan agama dan ideologi ikut mewarnai kekerasan antara suporter-suporter sepak bola.
Masalah mengenai perilaku agresi dapat terlihat bahwa masalah ini menimpa beberapa suporter sepakbola sebagian wilayah di Indonesia. Dari hasil penelitian menunjukkan 5,59 persen dari 200 orang subyek adalah bentuk perilaku agresi adalah menyerang secara verbal atau simbolis (Suroso, Dyan dan Aditya, 2010).
Sebuah penelitian di Kota Surabaya menjelaskan bahwa sekitar 65 persen suporter melakukan perilaku agresi yang dikarenakan perasaan frustasi dari kekalahan tim yang mereka idolakan mengalami kekahalahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku agresi pada suporter dapat mengakibatkan bentrok antar suporter, pelemparan barang kedalam lapangan dan dapat merusak failitas pada stadion (Utomo dan Warsito, 2012).
Penonton (supporters) yang mau datang ke lapangan untuk menonton karena tim kesayangannya bertanding adalah massa supporters. Mereka terlalu chauvinistic terhadap timnya dan tidak jarang melakukan tindakan tercela untuk memenangkan tim kesayangannya, seperti meneror, mengintimdasi, dan bahkan menyakiti tim lawan atau siapa pun yang dianggap sebagai penghalang.
Di antara massa penonton yang berpengaruh negatif, massa supporter termasuk yang paling potensial menimbulkan kerusuhan. Mereka rela mengorbankan apa saja demi kejayaan tim yang dibelanya: bukan hanya harta benda, melainkan juga nyawa. Aksi kerusuhan suporter yang terjadi di jagat sepak bola Indonesia hampir melibatkan seluruh pendukung kesebelasan peserta kompetisi, baik itu di tingkat Divisi Utama maupun Liga Super Indonesia. Di antara suporter yang pernah dan sering berbuat kerusuhan dengan aksi brutal, yaitu: Bonekmania pendukung Persebaya Surabaya, Jackmania pendukung Persija Jakarta, Viking pendukung Persib Bandung, Aremania pendukung Arema Malang, Benteng Mania (BM) pendukung Persikota Tangerang, dan Benteng Viola (BV) pendukung Persita Tangerang (Wahyudi, 2009).
Suporter itu merupakan kumpulan individu yang membentuk massa dalam jumlah yang sangat besar, ratusan bahkan sampai ribuan. Ketika orang berada dalam kerumunan, identitas personal bisa hilang berganti dengan spirit komunalisme dengan demikian, orang yang tergabung dalam massa merasa tidak takut lagi melanggar norma-norma yang ada.
Hal-hal yang tersimpan dalam kompleks terdesak yang bersifat laten muncul keluar, merealisasikan dirinya dengan bertindak sesuka hati tanpa kendali (Walgito, 2003).
Promosi kesehatan mental pada suatu komunitas, dalam hal ini adalah komunitas supporter sepak bola diawali dengan tindakan preventif dan promosi. Istiqomah, Dicky dan Erita (2011), menjelaskan bahwa prevensi adalah mencegah timbulnya masalah dan promosi adalah pengembangan kompetensi sosial dalam suatu komunitas. Pencegahan dapat menolong sebelum masalah terjadi. Tindakan pencegahan terhadap perilaku agresif pada supporter sepak bola dapat berupa adanya kesadaran dari masing-masing anggota yang ada di dalam kelompok tersebut untuk menyadari apa yang akan terjadi setelahnya.
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah kewenangan ketua regu supporter untuk menguatkan masing-masing anggota untuk tidak bereaksi berlebihan karena akan berujung pada nama baik dari kelompok supporter tersebut.
Masih menurut Istiqomah, Dicky dan Erita (2011), psikologi komunitas juga memberi penekanan untuk mengembangkan kompetensi sosial, meningkatkan kesadaran masing-masing anggota dalam kelompok akan kekuatan positif yang dimiliki bersama.
Kesehatan mental dalam diri seseorang ketika berada didalam suatu komunitas akan mempengaruhi bagaimana dirinya mampu mengelola kesehatan mentalnya ketika mendapatkan pengaruh dari sesama anggota lain dalam kelompok, dalam hal ini sesama supporter sepak bola. WHO dalam Ottawa Character menjelaskan mengenai definisi promosi kesehatan mental sebagai berikut, “Health promotion is the process of enabling people to increase control over the determinants of health ”. Dalam hal ini, seseorang atau kelompok akan merasa sehat ketika berada didalam suatu komunitas yang memiliki minat yang sama dan ketika berada di luar dari komunitas tersebut mereka akan merasa tidak sehat karena di anggap menyimpang. Menyimpang disini diartikan sebagai ketika salah satu anggota supporter berada didalam wilayah dari supporter dari team lainnya.
Hasil dari konferensi Ottawa Character yang dilangsungkan oleh WHO, menghasilkan 5 aksi promosi kesehatan mental dalam komunitas yang akan menjadi acuan penulis sebagai tujuan dalam promosi kesehatan mental pada komunitas terhadap perilaku agresif supporter sepak bola yaitu :
1. Build Health Public Policy ( Membangun kebijakan kesehatan publik)
2. Create Supportive Environments ( Menciptakan lingkungan yang mendukung)
3. Strengthen Community Actions ( Memperkuat aksi komunitas)
4. Develop Personal Skills ( Mengembangkan kemampuan personal)
5. Reorient Health Service ( Mengorientasikan kembali layanan kesehatan)
Dari kelima hasil yang dicapai melalui forum Ottawa Character yang diselenggarakan oleh WHO, promosi yang layak untuk diaplikasikan sebagai promosi kesehatan mental dalam komunitas yang akan menjadi acuan sebagai tujuan dalam promosi kesehatan mental pada komunitas terhadap perilaku agresif supporter sepak bola adalah Create Supportive Environments (Menciptakan lingkungan yang mendukung), Strengthen Community Actions (Memperkuat aksi komunitas) dan Develop Personal Skills (Mengembangkan kemampuan personal). Dipilihnya 3 dari 5 hasil yang dicapai dalam Ottawa Character karena sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Create Supportive Environments (Menciptakan lingkungan yang mendukung), hasil ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dalam suatu komunitas untuk tidak melakukan lagi perilaku agresif dikemudian hari karena menginggat ada banyak kerugian yang dapat ditimbulkan dari tindakan tersebut.
Strengthen Community Actions (Memperkuat aksi komunitas) dapat dilakukan sebagai tujuan untuk memperbaiki segala sesuatu yang dianggap negative dalam mendukung team kesayangan sebagai wujud dari loyalitas supporter sepak bola. Aksi komunitas yang dapat dilakukan mampu mewujudkan berbagai macam hal-hal yang lebih positif lainnya dengan cara melakukan bakti sosial, ikut serta dalam kegiatan kebersihan kota dan menjaga taman kota setempat, membantu jajaran kepolisian dalam memberantas kriminial dan masih banyak lagi. Hal ini mampu untuk mempekuat keutuhan norma-norma dan aturan yang sering disalah artikan oleh masing-masing anggota dalam komunita supporter sepak bola.
Yang terakhir adalah Develop Personal Skills (Mengembangkan kemampuan personal). Tujuan dari pengembangan kemampuan personal adalah untuk meningkatkan potensi yang ada di dalam diri masing-masing individu dalam komunitas supporter sepak bola tersebut. (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Imammul Insan, S.Psi., M.Si (Staf Pendidik FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Time Management and Say Good Bye to “Stress”
Prof. Barney (1991) dengan resource-based theory-nya berpendapat bahwa organisasi dengan sumberdaya yang value, rare, inimitable, dan not-substitutable (VRIN) akan dapat memiliki competitive advantage yang berkelanjutan. Diantara sumberdaya yang dimilikinya (keuangan, sumberdaya manusia, peralatan, dan lainnya), kita cenderung mengabaikan pengelolaan waktu yang ada. Meskipun waktu itu sendiri telah memenuhi semua kriteria VRIN diatas.
Menurut Forsyth (2009), manajemen waktu adalah cara bagaimana membuat waktu menjadi terkendali sehingga menjamin terciptanya sebuah efektifitas dan efisiensi juga produktivitas. Konsep ini menitikberatkan pada bagaimana memahami jenis kegiatan yang memakan waktu yang banyak, bagaimana mengubah cara mengatur waktu serta bagaimana meningkatkan efisiensi kinerja dalam perencanaan kegiatan harian, membuat skala prioritas pekerjaan, serta melaksanakan pekerjaan yang tak terduga. Dalam bekerja, karyawan akan merasa telah mendedikasikan setiap detik dari waktu yang tersedia untuk memaksimalkan setiap aktifitas yang bersifat strategis bagi institusi tempat mereka bekerja. Hal ini terlihat dari padatnya aktifitas kita sehari-hari, seperti, bergegas dari satu tempat ke tempat yang lain, rapat dengan klien, mengecek dan membalas pesan Whatsapp, Line, SMS maupun email via smartphone mereka, ataupun duduk dihadapan layar komputer dari pagi hingga malam hari. Tidak mengherankan jika mereka mempunyai tekanan yang cukup besar untuk menyelesaikan segala aktifitas yang menjadi tanggung jawab mereka.
Selama pelaksanaan pekerjaan sehari-hari, seorang karyawan menerima berbagai macam tekanan dan banyaknya beban pekerjaan sehingga tidak dapat mengatur waktu dengan efektif. Hal itu tentunya dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan dan juga kualitas kesehatan mental karyawan tersebut. Seorang karyawan atau siapapun akan mudah untuk merasa panik karena banyaknya pekerjaan yang mendesak. Lalu, bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk mengelola waktu dan mengelola stress?
Malayu S. P Hasibuan (2012) stress adalah suatu kondisi ketegangan pada seseorang yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisinya. Mereka yang mengalami stres mengalami gugup, merasakan kekuatiran kronis, mudah marah, agresif, dan tidak bisa relaks. Sedangkan stress kerja merupakan sesuatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan (Rivai, 2004). Stress merupakan reaksi yang normal terjadi, baik pada anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Namun jika seseorang sering kali mengalami stress dan banyaknya hal yang harus dilakukan, hal tersebut akan berdampak negatif terhadap psikis seseorang tersebut. Oleh karena hal tersebut mengelola stress sangat diperlukan.
Seorang karyawan harus mengenali jenis stress yang sedang dialaminya, apakah termasuk stress ringan atau berat. Stress ringan juga dapat memberikan dampak positif, yaitu untuk menantang diri sendiri agar dapat berpikir dan bertindak cepat dalam menyelesaikan tantangan yang dihadapi. Ada sejumlah cara untuk menghadapi stress ringan, seperti menyalurkan hobi yang dimiliki, berolahraga, relaksasi, berkomunikasi dengan orang sekitar, meditasi, mendatangi tempat-tempat hiburan, berlibur bersama orang-orang tersayang, serta menerapkan pola istirahat yang efektif.
Sedangkan untuk mengatur waktu agar ritme pekerjaan dan kegiatan lainnya dapat berjalan dengan efektif, maka seorang karyawan harus dapat membuat skala prioritas dalam kegiatannya tersebut. Memberikan skala prioritas dapat dilakukan dengan cara mengkategorikan pekerjaan dalam posisi penting dan mendesak, penting tapi tidak mendesak, tidak penting tapi mendesak, tidak penting dan tidak mendesak. Dari skala tersebut dapat dijadikan acuan untuk melakukan pekerjaan yang pertama kali harus diselesaikan hingga yang tidak harus diselesaikan. Misalnya, mengelompokkan tugas dalam beberapa tingkatan prioritas, disesuaikan dengan seberapa penting tugas tersebut untuk diselesaikan terlebih dahulu. Setelah mendapatkan kelompok prioritas pekerjaan, dilanjutkan dengan menyusun jadwal atau periode waktu untuk setiap tahapan pekerjaan, lalu tahap berikutnya adalah melaksanakan apa yang telah kita susun itu. Sebaiknya dalam penerapannya, pelaksanaan dilakukan secara bertahap sehingga tidak ada yang terlewati.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek positif dari perilaku mengelola waktu adalah dapat mengatasi stress pekerjaan, performa kerja yang baik serta mendapatkan hasil kerja yang baik. Terkait dengan hasil yang berhubungan dengan stress menunjukkan bahwa manajemen waktu membuat orang lebih merasa memiliki kontrol terhadap waktu, mendapatkan kepuasan kerja, berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik, serta mengurangi ketegangan dan tekanan psikologis. Manajemen waktu juga dapat menjembatani tuntutan pekerjaan yang tinggi, hubungan keluarga, dan emosi (Peeters & Rutte, 2005). Berdasarkan hasil penelitian, tidak perlu diragukan lagi untuk melakukan manajemen waktu sebagai upaya mengelola stress.
Perlu diketahui bahwa tidak semua pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan lancar. Bahkan bisa dikatakan beberapa jenis pekerjaan bersifat dinamis. Kita terkadang dihadapi dengan menumpuknya pekerjaan di saat-saat tertentu. Sebagai contoh, untuk pekerjaan yang sifatnya dadakan atau berdasarkan momen-momen tertentu, tentunya sebagai seorang pekerja harus lebih cermat menyisipkan waktu-waktu tertentu agar tidak memberatkan.
Jangan lupa untuk selali menyisipkan agenda untuk refreshing pikiran didalam perencanaan waktu yang dibuat. Hal ini penting untuk memberi semangat serta mengembalikan mood pada pekerjaan yang kita lakukan. Merencanakan liburan pun bisa menjadi sebuah metode untuk pelepasan rasa stres di tengah padatnya pekerjaan. (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Fitra Hasri Rosandi, S.Ant., M.PSDM (Staf Pendidik FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Suka-suka Aku lah: Meningkatkan Performa Akademik berdasarkan pada Minat yang telah Dipilih
An investment in knowledge always pays the best interest
(Benjamin Franklin)
Pengalaman belajar membuahkan banyak cerita di kalangan mahasiswa. Cerita tersebut bisa berupa cerita yang menyenangkan dan bisa juga menyedihkan. Terkait dengan cerita yang menyenangkan atau pun menyedihkan, proses perkuliahan memang tidak semudah yang dibayangkan ketika awal sebelum engage dengan iklim akademik perkuliahan. Beberapa saat setelah bergelut dalam aktivitas akademik, terdapat beberapa keluhan terkait beban akademik. Selain itu, keluhan juga berkaitan dengan pembagian jadwal yang tumpang tindih dengan aktivitas organisasi dan aktivitas-aktivitas lainnya baik di dalam lingkungan kampus maupun di luar lingkungan kampus. Di sisi lain, beberapa mahasiswa mengasumsikan bahwa meskipun iklim akademis perkuliahan membuatnya tertekan ataupun cemas, namun aktivitas akademis di lingkungan kampus menjadi hal yang menimbulkan ‘addiction’ tersendiri.
Sebelum menelaah alasan di balik mengapa memelajari hal yang baru bisa menimbulkan banyak kontroversi antara merupakan suatu hal yang menyenangkan dan menyebalkan, Semiawan (2017) mengemukakan bahwa 95% dari kinerja otak tertidur (tidak bekerja). Artinya, potensi penduduk dunia hanya mengoptimalkan 5% dari kinerja otak. Kemudian, Semiawan (2017) menegaskan bahwa otak yang sifatnya plastis mengindikasikan bahwa kinerja otak bisa berkembang berdasarkan pada bagaimana manusia meningkatkan fungsi kinerja otak dan interaksi manusia dengan lingkungan. Meningkatkan potensi kinerja otak, salah satunya, dengan membiasakan diri untuk memelajari hal positif dan terbuka terhadap pengalaman baru, meskipun awal memelajari hal baru bukanlah aktivitas yang mudah. Begitu pula sebagai mahasiswa yang baru berpartisipasi dengan aktivitas akademik perkuliahan, untuk awal kalinya, hal itu bukanlah hal yang mudah. Mahasiswa akan merasakan kesulitan dan menemukan beberapa hambatan. Pada saat mahasiswa mengalami kesulitan selama masa awal perkuliahan, dari pendekatan Biokimia, neuron-neuron dalam otak mengalami ‘sinapse activity’, yang mana neuron-neuron tersebut dalam proses saling terhubung dengan lainnya (Stewart, Popov, Kraev, Medvedev, & Davies, 2014). Lebih lanjut, Semakin banyak neuron-neuron yang saling terhubung dengan neuron-neuron lainnya, semakin kompleks perkembangan otak (eskalasi: Pertemuan neuron yang lebih cepat) (Zimmer, 2011). Demikian, kemampuan kognitif mahasiswa semakin meningkat, yang membentuk kemampuan baru yang semula tidak terlihat menjadi terlihat (Semiawan, 2017).
Selanjutnya, Mihalyi (1975) mengungkapkan tentang teori Flow sebagai sensasi holistik yang dimiliki individu ketika mereka bertindak dengan keterlibatan total. Intinya, ketika individu (mahasiswa) memersepsikan bahwa aktivitas akademik yang mereka rasakan sebagai objek di mana terdapat keseimbangan antara beban akademik dan kemampuan mereka (Beard, 2014).
Dapat dipahami bahwa apabila challenge (beban akademik) yang mahasiswa terima terlalu tinggi dengan diikuti oleh rendahnya skill (keterampilan akademik; self-efficacy:
Kepercayaan diri terhadap kemampuan yang dimilikinya terhadap tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas akademik), maka hal itu mengakibatkan mahasiswa merasakan academic anxiety (kecemasan dalam hal akademik). Sebaliknya, jika mahasiswa memersepsikan bahwa challenge yang mereka terima terlalu rendah, sementara skill yang mereka miliki tinggi, maka mereka akan merasakan boredom (bosan). Demikian, mahasiswa yang dihadapkan dengan keseimbangan antara challenge dan skill merasakan flow pada aktivitas akademik mereka. Mereka mampu menikmati aktivitas akademik dan tidak perhatian mereka tidak mudah dialihkan oleh hal-hal lain selain aktivitas akademik mereka (Mihalyi, 1997).
Lebih lanjut, ketika aktivitas akademik mereka berakhir (seperti: setelah menyelesaikan tugas), mereka akan merasakan kepuasan (satisfaction) dan sejahtera (well-being) (Mihalyi, 1997). Meskipun selama menjalani proses akademik, mereka tidak selalu merasakan kebahagiaan, namun dengan flow, semakin mereka merasakan flow pada setiap aktivitas akademik, semakin mereka merasakan kebahagiaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan iklim akademik (Mihalyi, 1997).
Mengacu pada teori flow Mihalyi (1975), agar terdapat kesinambungan antara challenge dan skill yang dimiliki oleh mahasiswa, mereka sangat ditekankan agar memilih bidang peminatan (fakultas dan peminatan bidang) yang sesuai dengan minat mereka. Terdapat sebuah idiom yang mengatakan ‘the right man, on the right place’ (Georgakopoulou, 2003), yang dalam bidang akademik, individu sangat ditekankan untuk mengambil spesifikasi program peminatan berdasarkan pada minat mereka.
Linnenbrink dan Pintrinch (2002) menuliskan bahwa minat yang kuat dari individu terhadap peminatan yang telah dipilih akan berimplikasi terhadap motivasi belajar dan berprestasi mereka. Mahasiswa yang mengenyam proses akademik sesuai dengan minat mereka akan meningkatkan self-efficacy selama menjalankan proses akademik (Linnenbrink & Pintrinch, 2002). Selain itu, minat pada proses akademik yang meningkatkan intrinsic motivation (motivasi intrinsik) yang merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kesuksesan akademik mahasiswa. Setiap individu tidaklah sama (individual differences). Hal itu juga terdapat pada self-efficacy masing-masing mahasiswa. Minat satu mahasiswa dengan yang lainnya tidaklah sama. Sebut saja, mahasiswa A terlihat mempunyai self-efficacy yang tinggi dalam memecahkan persoalan statistik, tetapi self-efficacy terlihat rendah pada bidang filsafat. Hal itu disebabkan oleh pengalaman sebelumnya apakah mereka mengalami kesuksesan atau pun kegagalan pada masing-masing bidang. Demikian, self-efficacy inilah yang akan mengantarkan mahasiswa pada kesuksesan akademik mereka. Sementara itu, Pintrinch dan Schunk (2002) mendefinisikan intrinsic motivation sebagai motivasi untuk terlibat dalam aktivitas akademik atas keinginan sendiri. Penelitian Trevino dan DeFreitas (2014) mengindikasikan bahwa intrinsic motivation secara signifikan mampu meningkatkan prestasi akademik individu. Demikian, mahasiswa dengan indikasi minat yang tinggi terhadap spesifikasi peminatan studi yang telah dipilih akan mempunyai intrinsic motivation yang menyebabkan tingginya tingkat persistensi (keuletan untuk menyelesaikan tugas dan aktivitas akademik) mahasiswa. Singkatnya, keberhasilan mahasiswa dalam bidang akademik disebabkan oleh persistensi mereka. (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Kusumasari K.H.D , S.Psi.I., M.Si (Staf Pendidik FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Problematika Kesehatan Mental Generasi Milenial di Tempat Kerja
Saat ini topik milenial merupakan topik yang hangat untuk diangkat dan dibicarakan oleh banyak pihak baik itu kalangan masyarakat, akademisi bahkan teknokrat. Kemampuan generasi milenial untuk mengaktifkan diri mereka seiring dengan kemajuan teknologi sangatlah pesat di era saat ini dimana semuanya kini berbasis teknologi. Yang menjadi pertanyaan saat ini dan perlu dipahami oleh banyak pihak siapakah sebetulnya generasi milenial ?
Istilah generasi milenial memang saat ini sedang marak di telinga kita . Istilah tersebut berasal dari millennials yang diciptakan oleh dua orang pakar yang merupakan ahil sejarah dan juga penulis yang berasal dari Amerika.Mereka adalah William Strauss dan Neil Howe yang telah menerbitkan banyak buku dimana beberapa bukunya mengangkat Millenial generation atau generasi Y yang juga akrab disebut generation me atau echo boomers.
Millenials yang juga disebut dengan generasi Y adalah suatu kelompok yang lahir setelah generasi X, dimana generasi ini lahir sekitar tahun 1980 sd 2000an. Dengan demikian generasi millennial ini adalah generasi yang berusia antara 17 sampai dengan 38 tahun. Milennial sendiri saat ini dianggap special dikarenakan generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka terampil dalam teknologi, sangat percaya diri, memiliki prestasi tinggi di tempat kerja sehingga membawa harapan tersendiri bagi tempat mereka bekerja.Milenials dibesarkan menerima banyak umpan balik sehingga mereka terbiasa dengan tingkat pujian dan dorongan yang dapat menciptakan kualitas kerja yang produktif di kalangan millennials.
Perilaku mereka, pakaian yang mereka kenakan dan sikap mereka yang terkadang berbenturan dengan budaya perusahaan terkadang menciptakan kebingungan, ketakutan di perusahaan yang memang tidak dapat dihindari.
Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi perusahaan dalam mengelola dan mempekerjakan para generasi millennials saat ini. Karena pendekatan dengan aturan yang sangat ketat bagi generasi ini dapat menciptakan efek yang sangat luar biasa dalam mengekang ruang gerak mereka untuk dapat berkreativitas dan bekerja secara optimal. Konsep ruang kerja yang nyaman dengan tidak mengekang generasi ini untuk berkreativitas serta aturan yang fleksibel dan tetap tegas dapat meningkatkan produktivitas generasi millennials dalam bekerja sehingga dapat menjaga kesehatan mental para generasi millennials .
Kesehatan mental generasi millennials di tempat kerja adalah hal yang dapat mempengaruhi produktivitas generasi millennials. Produktivitas para generasi milenialls yang menurun dapat mengakibatkan para generasi millennials ini mendadak hilang ketika jam kantor atau berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam waktu singkat (turnoff) karena ketidaknyaman mereka dalam bekerja di tempat bekerja mereka saat itu.
Tekanan kerja yang dihadapi oleh generasi millennials saat ini seperti tekanan psikologis jam kerja , kontrak kerja, jenjang karir, penggangguran dan perkembangan ekonomi dapat menimbulkan stress jangka panjang, kecemasan, depresi atau kualitas hidup yang rendah dapat mengakibatkan gangguan kesehatan mental bagi generasi milenials saat ini karena tidak adanya keseimbangan dalam bekerja. Keseimbangan dalam bekerja diperlukan dalam pengelolaan stress kerja, manajemen waktu, dan keseimbangan pekerjaan dengan kehidupan pribadi. (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Ivon Arisanti, S.Pt., M.M (Staf Pendidik FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Usia Remaja dan Tantangan Berfikir Positif
Dewasa ini, permasalahan remaja semakin beragam, dari permasalahan nilai, moral, agama, sosial, kesehatan, penggunaan narkoba sampai dengan munculnya perilaku seks bebas. Permasalahan yang dialami oleh para remaja dikarenakan adanya perubahan yang dialaminya baik dari segi fisik, hormonal maupun emosi bahkan lingkungannya. Kematangan dan kesiapan mereka masih belum sebanding dengan perubahan yang mereka alami, sehingga mereka sering mengalami stress dan tekanan dalam menghadapi segala permasalahan dalam hidup dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Stanley Hall bahwa di usia remaja seorang individu akan mengalami storm and stress.
Permasalahan yang dihadapi remaja seringkali memunculkan penyimpangan ataupun memunculkan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan norma masyarakat, norma agama, nilai moral bahkan pelanggaran hukum. Fenomena ini sering disebut kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang dilakukan ini memunculkn kasus-kasus seperti, perilaku seks bebas, pernikahan usia anak atau usia dini, penyalaguanaan narkoba, seks bebas, bahkan mucikari sebaya, penelantaran anak, kekerasan dalam rumah tangga. Menghadapi kondisi dan kenyataan seperti ini, semua pihak sering saling menyalahkan, seperti masyarakat akan menyalahkan orang tua, orang tua akan menyalahkan sekolah dan sekolah akan menyalahkan lingkungan masyarakat dan masyarakat akan menyalahkan pemerintah. Permasalahan tidak akan terselesaikan ketika berbagai pihak tidak saling bersinergi untuk menemukan penyebab dan menemukan solusinya.
Salah satu penyebab semakin maraknya kasus-kasus remaja adalah adanya pola pikir yang cenderung negatif yang dibentuk oleh pergaulan, kurangnya dasar-dasar keagamaan dan juga stigma-stigma yang diberikan yang ada dimasyarakat. Pola pikir negatif ini tercermin dalam kalimat-kalimat yang dinyatakan oleh remaja seperti “aku seperti ini wajar karena orang tuaku broken”, “kerjaannya berantem”, “aku adalah korban perceraian”, “aku adalah anak yang tidak diinginkan”, “aku adalah anak haram”, “aku menjadi apapun baik / buruk gak akan membuat orang tuaku peduli”, “aku selalu salah di mata semua orang”, “aku sudah hina”, “buat apa aku hidup”, “aku selalu di paksa dan ditekan tidak pernah merasakan kebahagiaan, lebih baik aku mati”.
Dari pernyataan-pernyataan yang sering diungkapkan oleh remaja bermasalah membuat mereka merasa hidupnya tidak berguna dan tidak ada guna untuk hidup. Sebagai pemerhati anak dan remaja kita berusaha menemukan arah solusi yaitu bagaimana kita mampu membentuk pola pikir positif dalam diri dan jiwa anak dan remaja. Bagaimana cara kita untuk selalu berpikir positif dari apa yang kita hadapi dan jalanin. Berpikir positif merupakan
Kecenderungan individu untuk memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan selalu optimis terhadap lingkungan dan dirinya sendiri. Berpikir positif akan menciptakan kepuasan dan rasa senang dalam menghadapi hidup hingga mengantarkan kita kearah kebahagiaan. Ketika setiap kejadian dalam hidup dapat dimaknai secara positif maka kebahagiaan akan menghampiri kita. Kebahagiaan akan tercipta ketika kita mampu melihat segala hal secara positif. (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Yossy Dwi Erliana, M.Psi., Psikolog (Dekan FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Motivasi Spiritual untuk Kesehatan Mental
“Cinta akan mengajarkan tentang nilai spiritual, jika kamu mengenal dirimu maka Kamu akan mengenal Tuhanmu”
Sebuah karya sederhana sebagai goresan untuk memperingati “Hari Kesehatan Mental Dunia” pada tanggal 10 Oktober 2019 dengan membawa misi psikologis untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran Manusia (Masyarakat umum) seluruh dunia terhadap pemahaman tentang kesehatan mental (Mental Health). Perayaan hari kesehatan mental Dunia ini pertamakali dipelopori oleh World Federation Mental pada tahun 1992 dengan tujuan mengadvokasikan pentingnya kesehatan mental bagi setiap individu. Merayakan hari kesehatan mental Internasional tanggal 10 Oktober 2019 mengangkat tema: Mental Health Promotion and Suicide (Promosi Kesehatan Jiwa Dan Promosi Bunuh Diri) sebagaimana yang di kutip dari laman resmi federasi Dunia Untuk Kesehatan Mental (WFHM).
Anda ingin hidup dengan mental yang sehat?
Jangan meremehkan suasana hati.
Sebab kalau sedang dalam kondisi sangat buruk, seseorang bisa saja mengakhiri nyawanya sendiri.
Seorang ilmuwan di Amerika Serikat Dr. Ghanshym Pandey beberapa tahun terakhir ini menemukan bahwa kasus bunuh diri dikalangan remaja banyak diakibatkan suasana hati yang buruk. Temuan yang diterbitkan di jurnal Archives of General Psychiatry menemukan bahwa aktifitas enzim didalam pikiran manusia bisa mempengaruhi mood yang memicu keinginan bunuh diri. Pandey mengetahui fakta tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap 34 otak remaja yang 17 diantaranya meninggal akibat bunuh diri serta memiliki hubungan erat dengan gangguan mood seperti depresi di masa lalu.
Individu yang sehat mentalnya merupakan individu atau pribadi yang secara normal menampilkan tingkah laku yang positif, beretika baik, sesuai dengan relasi personal dan interpersonal serta bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Perkembangan ilmu dan pengetahuan bukan hanya sebuah ancaman terhadap psikologis manusia di jaman modern sekarang, namun mampu menciptakan kondisi atau keadaan lingkungan dunia yang bisa mempengaruhi perubahan proses kejiwaan, mental, maupun pola perilaku manusia di berbagai tempat dimana Manusia berdialektika. Fenomena kondisi mental seperti depresi, cemas, takut, putus asa, dan keadaan psikologis yang abnormal lainnya menjadi sebuah keadaan yang sering banyak dialami oleh masyarakat pada umumnya, baik itu dipengaruhi oleh faktor budaya, ekonomi, sosial, politik, konflik Agama ataupun hubungan interpersonal dan transpersonal dengan Yang Maha Kuasa.
Gerakan kesehatan mental secara optimal dan berkelanjutan penting untuk dilaksanakan dengan tujuan dan harapan agar masyarakat dengan sadar memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kurang sehat mental bagi kehidupannya masing-masing.
Berbagai macam fenomenal sosial baik secara internal maupun eksternal sehingga mengaakibatkan terjadi kasus-kasus mencoba bunug diri, bahkan melakukan bunuh diri akibat kondisi psikologis dan tekanan lingkungan yang tidak mampu dihadapi secara positif.
Kekayaan terburuk bagi manusia adalah apa bila ia tidak menyadari secara positif, semahal apa harga mentalnya...!!!
Dambaan bagi setiap insan manusia adalah “Kebahagiaan”.
Kebahagiaan secara sentral merupakan tujuan akhir dari segalah aktivitas manusia, segala daya upaya, segala pergumulan, dan perjuangan dalam hidup ini. Ini adalah tujuan yang universal dan kekal. Memang pemaknaan tiap budaya, kelompok, ataupun individu tentang kebahagiaan berbeda-beda, juga dapat berubah sejalan dengan waktu. Namun hal ini tidak membuat klaim bahwa kebahagiaan adalah tujuan universal dan kekal, menjadi gugur: karena konseptualisasi formal seseorang tentang kebahagiaan masih kurang penting bila dibandingkan dengan gerakan hati yang tak dapat disangkal sehingga banyak terjadi masalah-masalah psikologis yang pada akhirnya tidak menemukan jalan keluar atau solusi yang akan mengakibatkan secara sadar dengan dorongan egosentrismenya mengakhiri hidupnya sendiri dengan berbagaimacam cara, ada yang minum racun, gantung diri dan sejenisnya yang tidak ditakdirkan Tuhan.
Pribadi yang memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual mereka akan mampu dan berani, tidak mundur dari ancaman, tantangan kesulitan, maupun penderitaan. Ia akan mengatakan apa yang benar sekalipun mendapatkan tantangan. Ia akan bertindak berdasarkan keyakinannya.
“Suara hati murni menjadi pembimbing paling sederhada terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat”.
Artinya, dengan kesadaran dan dorongan kecerdasan spiritualnya manusia telah memiliki radar hati yang tinggi sebagai pembimbing. Suara hati yang murni senantiasa selaras dengan kebenaran nilai-nilai keyakinan dalam konsep Islamnya, dengan kebutuhan dan dibutuhkan manusia. Maka keyakinan dan motivasi spiritual merupakan tuntutan suara hati manusia. Bagi manusia yang menyadari tentang makna kehidupan yang efektif di perlukan nilai kecerdasan spiritula. Kecerdasar spiritual ini untuk mengadapi persoalan makna, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteksmakna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan bidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
“Kalau kamu menyadari bahwa Cinta, Agama dan Pengetahuan itu adalah hidayah, dengan tenang dirimu akan menyadari bahwa Allah akan menunjukan 1000 mutiara dalam pikiranmu menuju pilar kebahagiaannya”.
#Jalan Sunyi (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Junaidin, S.Pd., M.Psi (Wakil Dekan FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Kemampuan Komunikasi dan Kesehatan Mental Di Tempat Kerja
Tempat kerja dan pegawai adalah dua unsur yang tidak bisa dipisahkan. Tempat kerja dan pegawai berinteraksi demi kelancaran administrasi. Dalam berinteraksi dengan kawan sejawat tentu kita tidak terlepas dari komunikasi. Tim kerja yang baik perlu memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik ditunjang oleh kemampuan interpersonal yang baik. Saling menghargai adalah prinsip dasar yang perlu dijunjung tinggi. Tentu hal ini dibutuhkan oleh rekan sejawat, tanpa memandang level pendidikan dan latar belakang pendidikan. Patokannya adalah dalam satu tim kerja kita semua memiliki tujuan yang sama, yakni mewujudkan program kerja.
Dalam sebuah artikel online dilansir dari detik.com bertajuk “komunikasi yang kurang baik dapat tingkatkan masalah kesehatan” disebutkan bahwa kemampuan komunikasi yang kurang baik dapat meningkatkan resiko kesehatan mental. Mereka yang kurang pandai mengekspresikan diri dengan baik di dalam pergaulan rekan sejawat bisa mendapatkan banyak tantangan. Sebagaimana diketahui secara umum kemampuan komunikasi yang baik membantu kita mendapatkan pekerjaan dan memperluas lingkup pergaulan sosial.
Dalam lingkungan kerja, yang dihadapi tentunya manusia yang terdiri dari komponen rasa dan karsa. Di dalamnya ada proses menerima masukan dan diskusi. Lalu kemudian dieksekusi secara bersamaan, namun di dalam tim yang terdiri dari komponen ahli dan komponen struktural. Tentu komponen struktural lebih banyak sebagai pelaksana. Adapun komponen ahli menerima pengaturan penuh dari komponen struktural. Jika ada beberapa hal konseptual yang perlu ditambahkan dan direvisi maka komponen fungsional memberikan saran dan masukan serta solusi yang dapat segera dikerjakan.
Secara umum diketahui bahwa pembicara yang baik adalah pendengar yang baik. Jika tidak, dipastikan pemimpin dan individu-individu dari tim tersebut akan merasa terbebani bergabung dalam tim tersebut. Hal ini sangat diperlukan oleh pemimpin dalam sebuah unit. Ketika pemimpin tidak memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan mengapresiasi aspirasi anggota tim. Mungkin akan terjadi banyak clash salam sebuah tim.
Di era digital yang terus berkembang. Komunikasi antara tim dilakukan tanpa batas, menembus waktu-waktu istirahat yang tidak seharusnya dilanggar oleh ketua pimpinan sekaligus. Bahasa text dan bahasa audio melalui gawai yang kurang mewakili bahasa dan kemampuan komunikasi penutur dilihat kurang memadai. Apalagi jika ketua tim menganggap dirinya lah satu-satunya orang yang memberikan sumbangsih dalam sebuah tim, tanpa memperhatikan jerih payah orang-orang terdahulu sebelumnya dan tim-tim solid dibawahnya. Layaknya sebuah bom waktu, jika hal ini telah terjadi maka tunggu saja kehancuran tim tersebut. Dari awal, saling menghargai bukan hanya sekedar ungkapan manis dibibir yang abai dilaksanakan dalam berinteraksi. Banyak etika-etika dan maksim-maksim komunikasi yang perlu dipertimbangkan dalam interaksi komunikasi di tempat kerja.
Maksim-maksim komunikasi yakni maksim kualitas menyangkut realibilitas antara tuturan dan feedback, maksim kuantitas menyangkut keterefisiensi antara tuturan dan feedback, maksim manner menyangkut etika tuturan yang dapat didengarkan oleh pendengar, apakah berterima atau tidak. Tentu maksim-maksim ini sangat penting diterapkan di dalam komunikasi di dunia kerja. Bertuturkatalah yang benar dan baik di dengar secara etika. Dikarenakan lingkungan kerja adalah lingkungan yang terdiri dari komponen orang-orang yang kompleks. Perasaan merasa diri wah dan oke perlu dihilangkan dalam komunikasi bersama rekan sejawat. Mengedepankan kepentingan tim lebih didahulukan daripada kepentingan bos. Dari pada menjadi bos, yang paling efektif adalah menjadi pemimpin. (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Pratiwi Sakti, S.S., M.Hum (Staf Pendidik FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Cyberbullying membunuhku
Di era serba teknologi saat ini, tentu kita tidak asing dengan yang namanya social media. Yup, social media merupakan wadah untuk memudahkan manusia menjelajahi dunia maya, guna mendapatkan informasi serta dapat berkomunikasi dengan orang lain dari berbagai penjuru dunia. Meskipun banyak manfaat yang diperoleh dengan adanya teknologi tersebut, akan tetapi kita harus waspada akan dampak buruk yang ditimbulkan dari social media. Salah satu dampak yang dapat ditimbulkan ialah intimidasi di dunia maya atau disebut dengan cyberbullying.
Cyberbullying sama bahayanya dengan bullying di sekolah, karena sama-sama merupakan bentuk tindak penindasan atau intimidasi di dunia maya maupun dunia nyata. Bentuk cyberbullying itu sendiri pada umumnya berupa kekerasan verbal seperti, komentar kasar, fitnah, penghinaan, pemerasan, hingga ancaman yang ditargetkan pada satu individu atau kelompok — baik secara langsung pada target bullying atau tidak langsung. Adapun orang yang terlibat dalam cyberbullying baik pelaku maupun korban ialah anak-anak dan remaja. Hal ini berdasarkan hasil penelitian dalam Journal of Medical Internet Research, didapatkan data bahwa cyberbullying rentan terjadi pada anak-anak dan remaja. Data UNICEF tahun 2016 juga menyebutkan bahwa hampir 50 persen remaja Indonesia usia 13-15 tahun pernah menjadi korban cyberbullying.
Banyaknya kasus cyberbullying pada anak dan remaja, merupakan cambukan bagi orang tua dalam mengasuh anak. Kurang tegasnya orang tua menerapkan aturan anak dalam mengakses social media, merupakan salah satu faktor penyebab anak dan remaja cenderung lebih bebas dalam mengekspresikan emosi mereka secara liar melalui social media daripada di dunia nyata. Kesannya remeh, akan tetapi dampaknya dapat berakibat buruk pada kondisi psikologis anak dan remaja.
Dampak psikologis yang muncul akibat bullying di dunia nyata atau cyberbullying, sama saja, bahkan cyberbullying mungkin bisa lebih parah. Diantaranya dapat membuat emosi menjadi tidak stabil, merasa dikucilkan, ada ketakutan yang berlebihan, konsentrasi terganggu, rentan akan depresi ditandai dengan adanya keluhan fisik yang hebat (sakit kepala yang berulang atau badan terasa lelah dan kurang semangat karena pola tidur terganggu) dan parahnya dapat muncul pikiran ingin bunuh diri.
Jika permasalahan psikologis tersebut tidak segera ditangani dengan segera, maka adanya pikiran ingin bunuh diri tidak hanya sekedar wacana, akan tetapi dapat terjadi tanpa menunggu waktu lama. Oleh karena itu bijaklah dalam mengakses social media, dengan menggunakan seperlunya dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Untuk para orang tua, mulailah untuk sering memantau aktivitas anak dalam mengakses social media, agar dapat terkontrol dan anak memanfaatkan teknologi sesuai dengan kebutuhannya. (DTP)
*Artikel ini ditulis oleh Efan Yudha Winata, M.Psi., Psikolog (Staf Pendidik FPsi UTS) dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2019
Pelatihan Penerjemahan dan Penjurubahasaan di FIB LBI UI sebagai Sarana Upgrade Diri Dosen
Untuk menjadi penerjemah dan juru bahasa, tidak diperlukan nilai TOEFL yang tinggi. Yang paling penting adalah kemampuan memahami kebudayaan Indonesia, kemampuan menyampaikan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Kemampuan selanjutnya yakni kemampuan memahami konteks pembicaraan. Pemahaman mendalam tentang tata bahasa, rasa bahasa dari dua bahasa yang sedang diterjemahkan dan dijuru bahasakan adalah dua kunci penting. Pelatihan selama dua hari di LBI FIB UI sungguh sangat spesifik menyasar penerjemah pemula dan juru bahasa pemula yang menggeluti profesi ini sebagai freelancer dan full time. Selain berguna bagi staf dosen yang sering menjamah teks-teks akademik, pelatihan ini sangat bermanfaat bagi juru bahasa yang bisa menjadi juru bahasa di lembaga swasta dan pemerintah.
Khusus penerjemahan, keahlian yang diulik oleh pemateri dari pihak LBI UI adalah penerjemahan teks jurnal dan teks website yang sedang menjadi tren di pasar penerjemahan. Alat yang diperkenalkan adalah beberapa CAT tools (Computer Aided Translation) seperti Trados, Kateglo, Proz, Fastwork. Khusus pelatihan ini, hari pertama hanya diperkenalkan satu alat yakni trados. Peserta diajak beriteraksi sangat intens dengan pemateri. Peserta sangat dikontrol dan dipersilahkan bertanya di depan forum dan secara pribadi tanpa keraguan sedikitpun. Diakhir seminar, dilakukan survey kepuasan peserta dan sekitar 80 persen puas dengan pelatihan. CAT tools membantu hal-hal teknis dalam proses penerjemahan teks.
Hari kedua, pelatihan bertema juru bahasa telah merubah mindset saya pribadi mengenai cara menjadi juru bahasa yang professional. Selama ini ternyata kebanyakan pekerjaan saya sebagai juru bahasa banyak dilakukan dengan teknik konsekutif telah menguras tenaga saya pribadi dengan bayaran yang jauh dari rate penerjemah dan UMR.
Ketika mengikuti pelatihan ini saya mulai percaya diri dan mengetahui dengan pasti bagaimana harus bersikap ketika ada lembaga, organisasi atau instansi yang akan membayar jasa juru bahasa. Selama pelatihan, pengetahuan yang dibagikan oleh pemateri seperti menjaga kerahasiaan topik penjurubahasaan adalah hal yang fatal dalam profesi juru bahasa bahkan berswa ria dengan peserta penyuluhan ketika sedang melakukan penjurubahasaan di kantor desa dan puskesmas adalah hal yang tidak boleh dilakukan oleh juru bahasa. Hal ini dilakukan demi menjaga kerahasiaan topic dan kegiatan yang sedang dilakukan. Bagaimana berpakaian, terminologI tepat waktu dari seorang juru bahasa adalah hal krusial yang menjadi penilaian pengguna jasa seorang juru bahasa. Pakaian yang baik adalah diusahakan menggunakan jas dan tepat waktu yang benar adalah datang satu jam sebelum acara di mulai dalam kegiatan juru bahasa baik ketika menjadi juru bahasa di lembaga sosial dan juru bahasa di instansi.
Khusus juru bahasa konferensi, persiapan yang matang perlu dilakukan seperti menyiapkan pakaian, bertingkah yang sewajarnya, datang satu jam sebelum acara di mulai dan yang paling krusial serta fatal adalah memelajari topiK konferensi minimal satu pekan sebelum kegiatan penjurubahasaan. Memelajari topik ini bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Seorang juru bahasa mengetahui budaya setempat, konteks sosial dalam masyarakat, konten topiK yang akan dijuru bahasakan dan kemampuan interpersonal yang baik dengan orang yang kita juru bahasakan. Selanjutnya, pemahaman yang mendalam mengenai idiolek (gaya bicara, penyampaian dan style pribadi ketika berbicara) dan dialek orang yang sedang kita juru bahasakan. Karena pada dasarnya seorang juru bahasa adalah kunci penting dari komunikasi dua arah dari dua orang yang tidak saling mengerti bahasa satu sama lain. Tugas juru bahasalah yang membuat mereka mengerti. Yang paling penting dipahami oleh seorang juru bahasa professional adalah dia menjurubahasakan alter ego dari dua pembicara yang sedang berbicara. (PS)
Serah Terima Jabatan Pimpinan Baru di Lingkungan Fakultas Psikologi
8 Oktober 2019 bertempat di Gedung Karim Fakultas Psikologi, telah dilaksanakan Serah Terima Jabatan antara pimpinan lama kepada pimpinan baru di lingkungan Fakultas Psikologi. Adapun posisi pimpinan yang terjadi pergantian yakni sebagai berikut :
Pergantian ini diharapkan dapat menambah semangat baru bagi Fakultas Psikologi dalam mewujudkan keberhasilan visi misi dan tujuan Fakultas Psikologi. (DTP)
Dosen Fakultas Psikologi Ikuti Workshop dan Seminar Nasional Psikologi
20-21 September 2019 mungkin merupakan tanggal yang paling ditunggu oleh salah satu staf pendidik di Fakultas Psikologi. Junaidin, S.Pd., M.Psi merupakan salah satu dari ratusan peserta yang terpilih untuk mempresentasikan hasil penelitiannya di forum psikologi tingkat nasional. Dalam kesempatannya mengikuti seminar nasional, Dosen yang akrab disapa Pak Jun ini juga sangat antusias bertemu dengan akademisi psikologi lain dari seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, Pak Jun juga memperoleh pembekalan materi mixed method dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta tersebut. (DTP)
Sharring Session Peningkatan Kualifikasi dan Kompetensi Dosen Fakultas Psikologi
Rabu-Kamis, 22-23 Mei 2019 telah diselenggarakan kegiatan peningkatan kualifikasi dan kompetensi Dosen Fakultas Psikologi. Kegiatan ini difasilitasi oleh Roni Hartono, M.Pd yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang manajemen pendidikan. Bertempat di aula perpustakaan UTS, para dosen memperoleh beberapa materi penting diantaranya terkait profesionalisme dosen, praktek pengisian jabatan fungsional, sertifikasi dosen, dan praktek laporan beban kinerja. Acara yang berlangsung hangat selama dua hari ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dosen khususnya dalam manajemen dan administrasi (DTP)