Program MBG (Makan Bergizi Gratis): Menelaah Kontroversi Keamanan
dan Mutu untuk Generasi Gizi Profesional
Program MBG (Makan Bergizi Gratis) adalah program strategis Badan Gizi Nasional yang bertujuan untuk pemenuhan gizi dan peningkatan pengetahuan gizi bagi peserta didik dan non peserta didik. Program ini mendukung terwujudnya generasi emas menuju Indonesia 2045 dengan memanfaatkan bonus demografi yaitu pemanfaatan masa puncak populasi usia produktif dengan memastikan generasi muda tumbuh dengan sehat dan mengatasi masalah gizi kronis seperti stunting dan anemia yang masih mengancam produktivitas jangka panjang. Kemudian ada pendekatan multisektor yang melibatkan berbagai pihak dari sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga sosial.
Tujuan utama dari program MBG (Makan Bergizi Gratis) adalah memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan akses terhadap makanan bergizi dan pengetahuan gizi yang luas, sehingga mereka memiliki konsumsi makan yang bergizi dan bertanggung jawab. Program ini bertujuan untuk meningkatkan asupan gizi dan pengetahuan gizi kelompok sasaran, serta meningkatkan akses makanan bergizi, pola makan sehat, dan mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Selain itu, program ini diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi belajar peserta didik dan menciptakan peluang kerja serta mendukung pertumbuhan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), menjadikannya sebagai strategi pembangunan dan pemanfaatan sumber daya manusia serta ekonomi secara menyeluruh.
Menurut kak Nur Widyaning R., S.Gz, Dietisien program ini dirancang untuk dapat memberikan dampak yang nyata pada berbagai aspek di kehidupan masyarakat, seperti diharapkan mampu menurunkan prevalensi stunting dan gizi buruk, meningkatkan semangat belajar anak-anak, menguatkan ekonomi lokal melalui keterlibatan UMKM pangan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi. Sedangkan, beberapa dampak negatif yang akan terjadi apabila program ini dilakukan tanpa adanya pengawasan dan evaluasi yang matang meliputi adanya resiko keamanan pangan, ketergantungan masyarakat tanpa edukasi yang memadai, pemborosan anggaran, dan menurunnya kualitas makanan jika vendor tidak kompeten.
Dampak negatif yang mungkin terjadi jika program ini tidak diawasi dengan baik yaitu resiko keamanan pangan, ketergantungan masyarakat tanpa edukasi yang memadai, dan menurunnya kualitas makanan. Kualitas menu makanan harus sesuai dengan prinsip gizi seimbang, namun kenyataannya, menu yang disajikan sering kali tidak memenuhi standar tersebut. Selain itu, standar keamanan pangan juga belum sepenuhnya dipenuhi, dan belum ada SOP terstandar untuk semua SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi).
Sasaran utama dari program MBG terdiri dari peserta didik dan non peserta didik, termasuk anak usia dini, pendidikan dasar, dan ibu hamil. Penerapan sasaran ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjangkau seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Diharapkan tidak ada anak yang tertinggal dalam pemenuhan gizi, serta program ini dapat menurunkan prevalensi stunting dan gizi buruk.
Rekomendasi untuk meningkatkan program MBG dapat dilakukan dengan melibatkan ahli gizi di setiap level program, menggunakan sistem digital untuk tracking kualitas menu, dan melakukan edukasi gizi secara gencar. Selain itu, perlu dilakukan audit mutu pangan secara berkala, menentukan target yang jelas, dan menyusun prioritas program pada daerah 3T. Intervensi program harus disesuaikan dengan sumber daya daerah dan memperhatikan kearifan lokal dalam penyediaan menu makanan.
Program MBG menuai kontroversi di masyarakat karena beberapa faktor termasuk jumlah tenaga ahli gizi yang terbatas di SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) dan kekhawatiran terhadap kualitas makanan yang diproduksi secara massal. Terdapat juga kasus keracunan yang menambah kekhawatiran orang tua. Tantangan dalam implementasi program ini meliputi kurangnya ahli gizi yang memadai yang berperan penting dalam penyusunan menu dan evaluasi status gizi, serta kesulitan dalam distribusi bahan pangan sehat. Meskipun regulasi sudah melibatkan ahli gizi, dalam praktiknya mereka hanya berfungsi sebagai pelaksana tanpa peran aktif dalam perencanaan. Selain itu, belum ada SOP terstandar untuk menjamin mutu makanan, yang bergantung pada vendor. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan ahli gizi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap program ini. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah dan organisasi profesi gizi untuk meningkatkan efektivitas program dan memastikan keamanan pangan.