Pengaruh Stres terhadap Kondisi Gizi dan Gaya Hidup Mahasiswa yang Berpotensi Menyebabkan Obesitas
Pada umumnya, stres dikaitkan dengan penampilan tubuh seseorang yang sangat kurus. Akan tetapi, ternyata stres juga dapat berisiko untuk menimbulkan obesitas. Penanganan stres dan masalah mental health tidak dapat dilakukan secara mandiri, tetapi perlu dilakukan secara komprehensif. Respon stres biasanya rentan terjadi pada mahasiswa dan muncul pada saat menghadapi ujian, masalah akademik dan nonakademik serta pemicu stres yang lainnya. Untuk itu pada DISKAMAGI 1 kali ini kita akan membahas terkait “Pengaruh Stres terhadap Kondisi Gizi dan Gaya Hidup Mahasiswa yang Berpotensi Menyebabkan Obesitas”
Definisi stres pada intinya merupakan suatu adaptasi dari sesuatu yang belum pernah dialami dan apabila tidak bisa diselesaikan akan menimbulkan kecemasan dan kesedihan. Stres menjadi sebuah reaksi seseorang baik secara fisik maupun emosional akibat perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang untuk menyesuaikan diri. Stres juga merupakan sistem homeostasis pada seseorang, yakni pada saat stres seringkali terjadi sebuah penolakan perasaan atau denial terhadap kondisi kemudian bisa menerima dan melakukan kompensasi terhadap stres dengan adanya suatu solusi.
Menurut Ibu Agustiana Dwi Indiah Ventiyaningsih, S.KM, M.Biomed, prevalensi stres berada di peringkat ke-4 penyakit tertinggi di dunia dengan peningkatan gangguan mental emosional tahun 2013 - 2018 sebanyak 6% menjadi 9,8%, sedangkan prevalensi depresi di Indonesia sebesar 3,7% dengan prevalensi stres mahasiswa Indonesia yang relatif tinggi, yaitu sebesar 36,7-71,6%. Prevalensi stres pada mahasiswa termasuk relatif tinggi karena mahasiswa berada pada peralihan kehidupan dari remaja akhir ke dewasa awal yang dituntut untuk belajar, merencanakan, dan memutuskan sebuah keputusan sendiri, sedangkan saat SMA semuanya masih dalam bimbingan.
Kondisi tubuh saat stres membutuhkan lebih banyak energi, oksigen, dan cairan untuk hidrasi, maka dari itu stres dapat menimbulkan rasa lapar dan perasaan gelisah karena aliran darah yang memasok oksigen ke otak meningkat. Ketika stres, tubuh juga akan mengeluarkan hormon kortikoid dan kortisol yang tinggi. Hormon tersebut akan merangsang hormon ghrelin untuk menyebabkan rasa lapar yang berlebih dan memilih asupan makan tinggi gula. Asupan makan yang tinggi gula dapat mengakibatkan resisten insulin sehingga penerimaan rasa lapar menjadi tidak maksimal dan menimbulkan rasa ingin makan terus menerus meskipun sudah makan dalam jumlah besar. Pilihan makanan yang sering dikonsumsi saat stres biasanya karbohidrat simpleks, makanan beraroma dan berasa ekstrem, makanan manis, dan kafein. Hal tersebut menjadi pemicu obesitas atau kegemukan apabila tidak segera diatasi dengan mengubah pola makan.
Selain itu, stres juga dapat menyebabkan eating disorder dan respon negatif pada pencernaan. Kondisi ini menimbulkan tidak nafsu makan, mual, dan pencernaan yang tidak nyaman. Hal yang biasa terjadi apabila seseorang mengalami stres adalah sulit tidur, tidak mau makan, bahkan dapat makan dengan porsi yang besar dalam satu waktu. Dampak stress pada mahasiswa juga akan menyebabkan pembelajaran tidak efektif, inadequate interpersonal communication, dan kreativitas serta kompetensinya tidak berkembang. Selain dampak negatif, ternyata dengan adanya stres seseorang juga bisa terpicu untuk menjadi lebih produktif, misalnya stres tuntutan dari tugas yang dapat membuat kita menjadi belajar tentang materi tersebut sehingga berusaha untuk menyelesaikannya. Diperlukan waktu yang lebih dalam dan tepat saat menangani stres, penanganan yang tidak tepat dapat mengakibatkan penurunan kesehatan mental, bahkan dalam kondisi yang pebih serius dapat menyebabkan suicide. Contohnya negara Jepang yang memiliki tingkat stres tinggi, tetapi produktivitas masyarakatnya tetap tinggi sebagai bentuk hasil dari stres itu sendiri.
Salah satu cara untuk mengatasi stres adalah dengan mengurangi kortisol. Hormon kortisol adalah hormon yang berperan dalam memengaruhi respon tubuh terhadap stres. Trend kortisol setiap orang berbeda-beda, namun biasanya kadar puncak hormon kortisol terjadi pada pukul 6 hingga 10 pagi dan berangsur turun hingga malam hari. Melakukan aktivitas doa, beribadah, olahraga, mendengarkan musik, dan rehat sejenak di pagi hari dapat menekan kortisol yang tinggi saat pagi hari. Selain itu, stres juga bisa diatasi dengan cara manajemen diri dalam mengatur asupan makan yang dipilih bisa cemilan dengan rendah kalori, tetapi tetap memenuhi kecukupan zat gizinya. Contohnya saat makan telur lebih baik diolah dengan cara direbus dibandingkan dengan cara digoreng.