Gizi, Sanitasi, dan Edukasi: Kunci Generasi Bebas Cacingan
Cacingan masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang umum terjadi di Indonesia, terutama di daerah dengan sanitasi yang kurang baik. Penyakit ini disebabkan oleh infestasi cacing parasit seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), dan cacing kremi (Enterobius vermicularis) yang hidup di saluran pencernaan manusia. Umumnya, penularan terjadi karena kebersihan diri dan lingkungan yang kurang terjaga, seperti tidak mencuci tangan sebelum makan atau setelah buang air besar, bermain tanpa alas kaki, serta mengonsumsi makanan yang tidak higienis. Akibatnya, tubuh kehilangan berbagai zat gizi penting, seperti protein, zat besi, dan vitamin yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, anemia, bahkan stunting pada anak-anak.
Infeksi cacing juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Ketika tubuh diserang cacing parasit, sistem imun akan memberikan respon inflamasi yang bisa menyebabkan kerusakan jaringan. Kondisi ini membuat tubuh menjadi lebih lemah terhadap infeksi lain dan mengganggu penyerapan gizi. Gejala umum yang sering muncul antara lain perut buncit, berat badan sulit naik, kehilangan nafsu makan, mual, lemas, hingga gatal di area anus pada malam hari. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, prevalensi infeksi cacing di Indonesia mencapai 20–60% pada anak usia sekolah dasar, bahkan di beberapa wilayah bisa melebihi 70%. Faktor lingkungan yang tidak bersih, perilaku hidup tidak sehat, dan rendahnya kesadaran masyarakat menjadi penyebab tingginya angka kejadian cacingan di berbagai daerah. Oleh karena itu, penyakit ini sering dikategorikan sebagai penyakit berbasis lingkungan dan kemiskinan (disease of poverty).
Cacingan dapat menimbulkan berbagai dampak dan resiko bagi kesehatan tubuh. Infeksi cacing memicu respon imun adaptif tipe 2, yaitu reaksi pertahanan tubuh terhadap parasit yang dianggap sebagai benda asing. Proses ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena sistem imun berusaha melawan cacing yang menetap di dalam tubuh. Cacing juga menghasilkan produk ekskretori dan sekretori yang dapat merangsang sistem imun untuk mengaktifkan sel-sel tertentu sebagai bentuk alarm pertahanan tubuh. Selain itu, aktivasi makrofag berperan dalam menghancurkan dan mengeluarkan cacing dari tubuh. Namun, reaksi ini sering kali disertai kerusakan jaringan akibat aktivitas sistem imun yang berlebihan. Dalam beberapa kasus, cacing dapat bermigrasi melalui sistem peredaran darah, menyebabkan respon sistemik yang menyebar ke berbagai organ tubuh. Respon imun tipe 2 di usus juga dapat memicu peradangan dan mempengaruhi organ lain, sehingga sistem kekebalan tubuh menjadi lebih lemah. Akibatnya, penderita cacingan sering mengalami kekurangan gizi karena kandungan gizi dalam makanan diserap oleh cacing. Kondisi ini dapat menghambat pertumbuhan, menyebabkan stunting, menurunkan kecerdasan anak, dan dalam kasus berat bahkan berujung pada kematian.
Penularan cacingan dapat dilakukan melalui diagnosis pasti terhadap infeksi cacing yang memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan parasit cacing, baik dalam bentuk dewasa, telur, maupun stadium larvanya. Cacing dapat ditularkan melalui tanah, terutama pada kondisi tanah yang lembab, yang memungkinkan telur Ascaris dan Trichuris berkembang biak dengan cepat. Tanah berpasir dan gembur di daerah pedesaan atau wilayah pertambangan sangat mendukung pertumbuhan larva cacing tambang. Kebiasaan tidak memakai alas kaki saat keluar rumah atau beraktivitas juga dapat menyebabkan infeksi, karena larva cacing tambang bisa masuk ke tubuh melalui pori-pori kulit. Selain itu, Hymenolepis dapat menular melalui kontak langsung, misalnya ketika tangan yang terkontaminasi telur cacing masuk ke mulut. Tikus juga bisa menjadi inang perantara penyakit hymenolepiasis, sehingga makanan yang terpapar kotoran atau kontak dengan tikus perlu diwaspadai. Sementara itu, penularan Enterobius sangat mudah terjadi karena telurnya cepat matang setelah dikeluarkan oleh cacing betina. Telur dapat masuk ke tubuh manusia melalui tangan atau makanan yang terkontaminasi, bahkan bisa terhirup melalui udara karena ukurannya yang sangat kecil. Dalam beberapa kasus, infeksi dapat berulang (autoinfeksi) ketika telur yang menempel di area anus menetas kembali menjadi larva.
Pencegahan cacingan dapat dilakukan melalui penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar, memotong kuku secara teratur, menggunakan alas kaki saat beraktivitas di luar, serta menghindari konsumsi makanan yang tidak higienis. Selain menjaga kebersihan diri, peran pemerintah dan tenaga kesehatan juga penting dalam memberikan edukasi kepada masyarakat serta melaksanakan program pemberian obat cacing massal setiap enam bulan sekali, terutama bagi anak usia sekolah dasar. Dengan dukungan edukasi, peningkatan sanitasi lingkungan, dan kebiasaan hidup bersih, diharapkan angka kejadian cacingan di Indonesia dapat menurun. Penyakit ini bukan hanya masalah kesehatan individu, tetapi juga cerminan kondisi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga dibutuhkan penanganan terpadu untuk menciptakan generasi yang sehat dan bebas dari cacingan.