2. METODE PENGUKURAN DALAM ASTRONOMI
2.1. SISTEM MAGNITUDO
Magnitudo adalah tingkat kecemerlangan suatu bintang. Skala magnitudo berbanding terbalik dengan kecemerlangan bintang, artinya makin terang suatu bintang makin kecil skala magnitudonya. Perbandingan magnitudo semu bintang dapat menggunakan rumus-rumus berikut:
2.2. MAGNITUDO MUTLAK
Magnitudo mutlak (M) adalah perbandingan nilai terang bintang yang sesungguhnya. Seperti yang Anda ketahui, jarak antara bintang yang satu dan bintang yang lain dengan Bumi tidaklah sama. Akibatnya, bintang terang sekalipun akan nampak redup bila jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu, dibuatlah perhitungan magnitudo mutlak, yaitu tingkat kecerlangan bintang apabila bintang itu diletakkan hingga berjarak 10 parsec dari Bumi.
Perhitungan jarak bintang, magnitudo semu dan magnitudo mutlak (absolut) adalah:
Jadi, magnitudo semu (m) dan magnitudo absolut (M) sebuah bintang dengan jarak (d) dalam parsek dapat dihubungkan oleh persamaan
Jika magnitudo absolut dan magnitudo semunya diketahui, jaraknya dapat dihitung. Kuantitas m – M dikenal sebagai modulus jarak. Adapun hubungan antara magnitudo mutlak dan luminositas (daya) bintang, L dapat diterapkan berdasarkan rumus Pogson
2.3. IRADIANSI, FLUKS DAN DAYA BINTANG
Iradiansi atau energi radiasi adalah jumlah energi yang dipancarkan bintang per detik yang melewati satuan luas permukaan
Fluks adalah jumlah energi yang dipancarkan suatu bintang yang diterima oleh suatu daerah luas. Fluks dari suatu daerah berbentuk lingkaran dinyatakan dalam:
Dengan R radius daerah yang menerima pancaran. Satuan dari Fluks adalah Watt per detik.
Adapun luminositas bintang (L atau P[daya]), umur bintang(t) dan massa bintang(m) memiliki perbandingan :
2.4. MAGNITUDO BIRU
Magnitudo Biru (mB (B) dan MB) adalah magnitudo suatu bintang dihitung berdasarkan panjang gelombang biru (3500 Å). Rumus Pogson untuk magnitudo biru dan visual adalah
CV dan CB adalah suatu konstanta yang sedemikian rupa sehingga mV = mB. Bintang Vega dengan kelas spektrum A0 dipilih sebagai standar, yaitu mV Vega = mB Vega.
Kuantitas CB dan CV ini dirumuskan sebagai B-V (indeks warna), sehingga diperoleh V = B – (B-V). Disebut indeks warna karena nilai B-V ini menunjukkan warna bintang, makin biru bintang (makin panas), makin negatif indeks warnanya begitu pula sebaliknya makin merah bintang (makin dingin) makin positif indeks warnanya.
Selain magintudo biru dikenal pula magnitudo lain. Dalam sistem UBV dari Johnson dan Morgan dikenal 3 macam magnitudo menurut kepekaan panjang gelombangnya (panjang gelombang efektif), yaitu magnitudo ungu (U), magnitudo biru (B), dan magnitudo visual (V). Jadi indeks warna pada U – B dan B – V dapat dihitung dengan membandingkan energi radiasi pada masing-masing panjang gelombang. Perbandingan ini dapat dicari dengan fungsi Planck, dan memberikan hasil:
Rumus aproksimasi indeks warna dan temperatur yaitu:
2.5. MAGNITUDO BOLOMETRIK
Magnitudo bolometrik adalah magnitudo rata-rata bintang diukur dari seluruh panjang gelombang. Rumus Pogson untuk magnitudo bolometrik adalah :
Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet, sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC – nya bernilai besar, sedangkan untuk bintang-bintang yang temperaturnya sedang, yang mana sebagian besar radiasinya pada daerah visual) harga BC – nya kecil, seperti pada Matahari ( +- 5 300 Å).
Hubungan antara BC dan B – V untuk deret utama dapat digambarkan dalam grafik berikut:
2.6. TEMPERATUR EFEKTIF
Temperatur efektif merupakan temperatur permukaan suatu bintang.. Temperatur efektif dapat dicari dengan menggunakan rumus :
2.7. ADSORBSI CAHAYA BINTANG
ADSORBSI OLEH ATMOSFER BUMI
Sebelum cahaya bintang tertangkap oleh pengamat, cahaya tersebut akan melewati atmosfer Bumi terlebih dahulu. Partikel gas dalam atmosfer akan menyerap cahaya tadi sehingga cahaya yang sampai pada pengamat di Bumi akan berkurang dan bintang akan nampak lebih redup, Dengan begitu, dengan metode terdahulu kita tidak dapat mengukur magnitudo bintang-bintang maupun benda langit lainnya dengan teliti.
Perbedaan sudut menyebabkan perbedaan ketebalan atmosfer yang berada pada garis lurus antara mata dengan bintang, sehingga besarnya penyerapan dapat diukur dengan perbandingan terang suatu bintang yang sama (bintang standar) yang diukur dari jarak zenit (sudut) yang berbeda. Dengan begitu, terang sebenarnya bintang-bintang lain (bintang program) dapat ditentukan.
ADSORBSI OLEH MATERI ANTAR BINTANG (MAB)
Ruang antar bintang tidaklah kosong, tetapi berisikan materi antar bintang. Materi antar bintang dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu debu antar bintang dan gas antar bintang. Debu antar bintang dapat berbentuk kumpulan besar yang disebut nebula gelap seperti horsehead nebulae. Nebula gelap mengakibatkan terhalangnya cahaya bintang, terutama pada panjang gelombang pendek (biru-ungu) yang lebih mudah dihamburkan. Akibatnya cahaya bintang tampak menjadi lebih merh dari aslinya akibat penyerapan cahaya biru ini. Kejadian ini disebut efek pemerahan.
Gas antar bintang tersusun atas kebanyakan Hidrogen dan sedikit Helium. Gas antar bintang dapat terlokalisasi dan menjadi cukup rapat hingga kerapatan 105 atom per cm3 (normalnya 1 atom per cm3 ). Lokalisasi gas antar bintang ini disebut nebula, dan merupakan dapur pembentukan bintang. Bintang-bintang muda dalam kawasan nebula ini mengalami efek penyerapan oleh gas dalam nebula. Radiasi bintang dapat mengionisasi atom hidrogen dalam nebula sehingga nebula manjadi berpendar, contohnya nebula orion.
Cahaya bintang yang diserap oleh MAB ini mengakibatkan perhitungan magnitudo harus dikoreksi. Koreksi untuk penyerapan ini diberi simbol AV, yakni pengurangan magnitudo tiap parsec. Sebelumnya kita telah mengenal indeks warna (B – V), yaitu selisih antara magnitudo biru dan magnitudo visual. Selisih itu sebenarnya diperoleh dari pengamatan di Bumi (setelah penyerapan) adapun nilai B – V ini sebelum penyerapan (B – V)0 disebut warna intrinsic. Adapun perbandingan (selisih) antara (B – V) dan (B – V)0 disebut ekses warna (E(B-V) atau EBV) .
Besarnya koefisien adsorbsi MAB (R) umumnya adalah 3,2. Besarnya intensitas cahaya yang terabsorbsi juga tergantung dari intensitas asli bintang itu, sehingga :
Selisih antara magnitudo semu visual (mV atau V) sesudah dan sebelum penyerapan adalah
dengan V0 adalah magnitudo sebelum penyerapan dan V adalah magnitudo sesudah penyerapan. Adapun magnitudo semu biru sebelum penyerapan (B0) adalah
Sedangkan untuk magnitudo mutlak sebelum pemerahan dapat dihitung dengan cara biasa, hanya saja V atau B diganti dengan V0 atau B0.
Dan untuk penghitungan sistem magnitudo ungu dapat dihitung dengan:
2.8 PENGUKURAN JARAK
Metode penentuan jarak dalam astronomi umumnya dinyatakan dalam meter, kilometer, Astronomical Unit (Satuan Astronomi), light year (tahun cahaya) dan parsec (parsek). Adapun dalam astrofisika, jarak sering dinyatakan dalam sistem cgs, yaitu sentimeter. Satu Satuan Astronomi (AU atau SA) adalah radius orbit rata-rata Bumi. Satu AU bernilai 1,495 978 92 . 1011 meter, atau sering dilafalkan 150 juta kilometer. Satu tahun cahaya didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh cahaya dalam ruang hampa selama setahun. Karena kecepatan cahaya dalam vakum sama dengan 2,997 924 58 . 108 m s-1 , berarti jarak yang ditempuh cahaya selama satu detik adalah 299 792 458 meter. Sehingga didapatkan panjang satu tahun cahaya sekitar 9,461.1015 meter.
PARALAKS BINTANG
Dalam perhitungan jarak bintang dekat, sering digunakan metode paralaks, yaitu pengamatan pergeseran posisi bintang terhadap bintang latar bila dilakukan dengan membandingkan posisi bintang pada bulan Januari dan Juli (atau bulan-bulan lainnya yang berselang setengah tahun). Dengan mengetahui nilai R adalah 149 600 000 km, maka jaraknya dapat dihitung. Adapun definisi satu parsec adalah jarak bintang yang memliki paralaks satu detik busur. Karena satu detik busur = 1/3600 derajat, maka 1 parsek adalah:
2.9 ABERASI PARALAKSIS
Dalam bagian tentang aberasi cahaya bintang telah isebutkan bahwa cahaya dapat ‗dibelokkan‘ akibat gerak revolusi Bumi. Aberasi ini berpengaruh dalam pengamatan paralaks. Misalkan pengukuran deklinasi bintang saat 21 Juni dan 22 Desember didapatkan perbedaan deklinasi sebesar 2p , dan secara teori pada 21 Maret dan 23 September bintang tepat berada di deklinasinya. Sebenarnya akibat vektor kecepatan Bumi dalam arah meridian langit menyebabkan posisi bintang tidak benar sesuai dengan deklinasinya, melainkan berselisih sebesar