Efek Domino
Efek Domino.....
Saya tidak tahu siapa yang dulu pertama kali menciptakan istilah itu, Saya juga tidak mengerti, mengapa ada saja orang yang menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari, menyusun ratusan balok domino, untuk kemudian menjatuhkannya.
Namun gambaran mengenai efek domino itu kembali muncul saat Saya merenungkan apa yang saat ini dialami oleh sahabat Saya, Ben.
“Mil apa kabar?” sapa Ben.
“Luar biasa baik Ben... udah sampe kantor?” Tanya Saya, melirik jam di sudut layar laptop yang menunjukkan jam 7.38 dan mengingat kebiasaan Ben yang tak akan menggunakan handphone di jalan.
Ben terdiam sebentar, lalu terdengar jawabannya : “Belum Mil, gw masih di rumah” Sahutnya.
“Oh... “ Saya memindahkan handphone ke telinga kiri Saya, lantas menyeruput Jasmine Tea Saya yang masih mengepulkan asap.
“Ada apa Ben?” Tanya Saya kemudian, sambil memindahkan kembali handphone ke telinga kanan.
“Open Position GM SCM yang di Bandung itu masih open?” Tanyanya.
“Masih... masih... loe ada kandidat? Send aja ke gw, tapi via email elo ya, biar gw tahu itu referensi elo.” Jawab Saya.
“Ya pasti dari email gw lah Mil....” Tukas Ben.
Saya mengerenyitkan alis.
“Kan kandidatnya itu Gw.” Lanjut Ben lagi.
Saya diam, tetapi alis Saya tambah berkerenyit.
“Iya.... gw tahu loe pasti marah, tapi gw udah gak tahan lagi Mil, gw udah resign, gw udah gak kerja lagi dari minggu lalu” Jelas Ben.
Jawaban Ben itu membuat Saya menghirup Jasmine Tea Saya lagi, sampai setengahnya.
“Gw tahu loe marah karena gw gak dengerin nasihat lo waktu itu” Sambung Ben hati-hati.
Saya memainkan Stirrer Merah Muda di gelas Saya.
Bulan lalu Saya memang sempat ketemu Ben di salah satu pusat perbelanjaan, bersama dengan Nina, salah satu sahabat Saya yang lain, kami ngopi bersama (Saya ngeteh, mereka yang ngopi).
Saat itu Ben menceritakan bagaimana capeknya dia bekerja di perusahaan barunya, lokasi kerja yang di daerah Pulo Gadung, memaksa dia menempuh perjalanan hampir 2,5 jam setiap kalinya.
“Kayaknya gw mau resign deh Mil, capek...” Ucapnya.
“Loe gak mau coba transportasi yang lain dulu Ben? Naik Busway atau kereta gitu?” Tanya Saya.
“Ah penuh Mil.... males gw desak-desakannya.” Sahutnya.
“Ya udah berangkat lebih pagi.” Saran Nina. “Kalau berangkat jam 5 dari rumahlo, juga belum macet lagi.... loe juga masih bisa bawa mobil.”
Ben tidak menjawab hanya menyeringai.
Saya dan Nina berpandangan sambil menggeleng-geleng.
“Cowok kok Manja...” Ledek Nina
“Bukan gitu Nin, loe tahu lah, gw punya baby di rumah. Gw sering bangun tidur malam-malam, kalau gw ngantuk di jalan kan lebih bahaya lagi.” Alasan Ben.
“Ya, apapun itu, loe harus gentle hadapin akibat keputusan loe sendiri Ben. Sebelum loe pindah ke perusahaan ini kan, loe juga udah tahu kalau lokasinya di Pulo Gadung” Tembak Saya.
Ben meminum Cappucino nya. “Iya sih Mil, tapi gw gak nyangka akan secapek ini.”
Saya dan Nina kembali berpandangan.
“Jangan cemen ah Ben!” Omel Nina.
“Ben, coba deh loe kasih tubuh loe waktu untuk beradaptasi, awalnya mungkin memang berat, tapi pasti akan ada jalannya, asalkan loe mau commit” Nasihat Saya.
“Ini udah sebulan lho Mil...”
“Baru sebulan!” Potong Saya sengit. “Sebulan sih belum ada apa-apanya Ben, apalagi bagi perusahaanloe, belum ada sesuatu hal yang loe kontribusi in kesana, ya kan?”
Ben terpaksa mengangguk.
“Bangun pagian Ben, setel weker 3 biji!” Usul Nina.
Saya tertawa. Tapi Ben tidak, ia benar-benar Stress nampaknya.
Saya menghentikan tawa Saya, menatap Ben dengan serius.
“Ben, percaya deh ama gw, kalau loe pindah sekarang, itu juga gak bagus buat elo, buat CV loe.” Ucap Saya sambil menatap pada matanya.
“Sekalipun kalau gw bisa rekomendasiin elo, kira-kira apa yang akan gw katakan ke client gw, kalau dia tanya:” kenapa ni orang baru satu bulan pindah?” ” Tanya Saya.
“Ya loe bilang aja kenapa gitu.” Pinta Ben.
Saya menggeleng, Nina di samping Saya menggeleng lebih keras, seakan-akan Dia yang lebih Head Hunter dibandingkan Saya.
“Kalau enggak, gak usah cantumin masa kerja gw yang di Pulo Gadung di CV gw. Beres kan?” Tanya Ben.
Saya tak mau menjawab lagi, cuma menggaruk-garuk dahi Saya.
Nina yang angkat suara. “Loe kira mereka orang goblok apa?” Semprotnya.
“Emang mereka gak mungkin punya temen di Perusahaan loe yang dulu? Emang mereka gak mungkin punya kenalan di perusahaan loe yang sekarang? Think baby Think!” Nina menunjuk-nunjuk pelipisnya dengan jarinya.
“Kalau loe ketahuan berbohong, akibatnya akan lebih parah lagi” Lanjut Nina lagi.
“Ah itu kan masalah kecil Na...”
“Justru itu! Konyol kan kalau loe jadi gak dipercaya, cuma gara-gara loe bohong di masalah yang loe bilang kecil?” Sindir Nina.
Saya mendekatkan Gelas Kopi Hitam Nina ke dekat tangannya.
“Minum dulu Bu, kopinya dingin.” Ujar Saya.
Nina meminum kopinya, tapi lantas langsung terdengar lagi suaranya. “Lagian loe mo suruh si Milka bohong?” Nina mencibir secibir-cibirnya.
Saya merangkul Nina dengan cepat “Gigi loe item Bu, ada bekas kopinya” Bohong Saya.
Nina menunjukkan wajah terkejut, mengambil cermin kecil dari dalam tasnya “Masa sih?”
Saya tertawa, Nina menimpuk Saya dengan bantal kecil di ujung Sofa.
Pertengkaran kami kemudian berlanjut, tapi kali ini antara Saya dan Nina :D
Ben lebih banyak diam di akhir malam itu, menyadari hal itu Saya memilih berjalan menemaninya ke Parkiran sebelum kami berpisah.
“Ben, please think carefully. “ Pinta Saya. “Jangan buat keputusan apapun di saat elo lagi Stress, pulihin diri loe dulu, buat diri loe tenang. Kalau udah tenang, baru loe bisa ambil keputusan yang bener.” Nasihat Saya.
Ben cuma mengangguk. Ia melambai sebentar sebelum menghilang ke balik tikungan.
Dan pagi ini ia mengabarkan kalau ia sudah resign, sudah tidak kerja lagi dari minggu lalu.
“Kenapa Ben?”Tanya Saya.
“Capek Mil.” Sahutnya.
“Kita udah bicarakan hal ini kan waktu itu?” Reminder Saya.
“Iya gw tahu mil.”
“Come on Ben, gw tahu emang capek kena macet di jalan, emang capek loe mesti bangun tengah malem, because you have a baby. Tapi seinget gw, loe lebih tough dari itu.” Ujar Saya.
“Iya Mil....” Suara Ben terdengar agak kesal.
Agak lama ia terdiam, sebelum kemudian terdengar ia menghela nafas “masalahnya memang bukan cuma soal jarak, atau macet” Ungkapnya pada akhirnya.
“Terus Kenapa?” Tanya Saya
“Gw ngerasa gak ada Chemistry nya sama atasan gw.” Jawab Ben.
“Kan loe baru 2 bulan Ben disana”Tukas Saya. “Butuh waktu lah.... jangan samain semua atasan kayak Pak Hambudi” Saya menyebut ‘atasan terbaik’ versi Ben, yang juga Saya kenal.
“Ya enggak lah Mil, gw juga tahu. Cuma kali ini gw bener-bener mati gaya, mau begini salah, mau begitu salah.”Ucap Ben.
“Akar masalahnya apa?”
“Gw juga gak tahu Mil, gw juga merasa aneh dengan diri gw sendiri.”
“Trus loe buat keputusan untuk resign sebelum loe dapet pekerjaan baru? Loe buat keputusan dalam kondisi loe sendiri tahu bahwa diriloe lagi aneh?” Tanya Saya.
Ben tidak menjawab, tapi Saya rasa dia mengangguk di ujung sana.
Saya menghela nafas. “Ben... Ben.... suatu keputusan yang salah akan membawa kita sangat dekat ke keputusan salah lainnya. Loe harus bangun, bersihin pikiran loe, hentikan efek dominonya! "
"Jadilah tenang, jangan ambil keputusan apapun dalam keadaan stress atau marah.” Sambung Saya lagi.
“Gw kira dengan resign gw bisa tenang Mil”
“Kenyataannya?”
Ben kembali tidak menjawab, tapi Saya tahu kali ini ia menggeleng di ujung sana.
“Ben, sorry kalau gw keras, tapi keputusan loe resign gak membuat masalah loe hilang, loe cuma melarikan diri dari masalah loe. Cara untuk menghilangkan masalahloe Cuma Satu, loe harus menghadapinya.” Ujar Saya.
Terdengar Ben menghela nafas di ujung sana.
Lama kami terdiam sebelum terdengar lagi suaranya: “Jadi soal GM SCM di Bandung itu, loe gak mungkin rekomendasiin gw ya Mil?”
Saya menggaruk-garuk dahi Saya. “Sorry Ben, loe tahu gw, gw tahu elo, loe pinter; soal logistic, apalagi warehousing, elo lah jagonya, tapi menurut gw, loe gak cukup matang, apalagi untuk level seorang GM” Terus terang Saya.
“Oh come on Mil, Loe tahu kan istri gw udah gak kerja lagi sesudah melahirkan, dan gw punya 2 anak kecil” Bujuknya.
“You supposed to be think carefully about it before you submit your resignation letter.” Tegas Saya, meski dengan suara agak bergetar.
Ben terdiam.
Selanjutnya, obrolan kami dilanjutkan dengan basa basi, Saya tahu Ben sudah tidak terlalu tune in lagi dengan percakapan kami. Jadi Saya putuskan untuk segera mengakhiri pembicaraan.
“Udah dulu ya Ben, gw ada jadwal Phone Interview” Pamit Saya.
“Oh Okay” Jawabnya.
“Salam ya buat Dessy.” Saya menyebut nama istrinya.
“Salam juga buat Pak Matthew” Balasnya.
Saya menutup hubungan telepon. Merenungkan apa yang terjadi pada Ben.
Sebenarnya tidak enak, sungguh tidak enak berkata “No” kepada Sahabat sendiri. -konon itu adalah salah satu tugas terberat bagi seorang Recruiter-. Tapi Saya melakukan ini bukan semata-mata untuk kebaikan Saya, atau kebaikan bisnis konsultan yang sedang Saya bangun, bukan juga cuma untuk kepentingan klien yang Saya layani. Saya juga lakukan ini untuk Ben, Sahabat Saya.
Saya yakin ada potensi yang besar di dalam dirinya, Saya yakin suatu saat dia bisa jadi seorang Direktur Logistik yang hebat, tapi untuk menuju hal itu ia harus bisa mengatasi dirinya sendiri. Setiap orang punya masa sulit, dan ada kalanya, seorang Sahabat seperti Saya harus membiarkan sahabatnya untuk menghadapi masa sulitnya, sendiri. Agar dia bisa mengambil hikmah dari semua hal yang dia alami, agar bisa belajar bertanggung jawab atas keputusan yang telah ia ambil sendiri.
Saya sendiri juga mendapatkan hikmah dari apa yang dialami Ben, Saya melihat bahwa setiap keputusan pasti ada konsekuensinya, dan konsekuensi itu akan dapat menimbulkan konsekuensi yang lain, konsekuensi yang belum tentu kita lihat sebelumnya, konsekuensi yang baru itu akan dapat menimbulkan konsekuensi yang lain lagi, seperti efek domino, seperti efek domino.....
Handphone Saya berdering.
......Nina.
“Mil, Si Ben udah telpon elo?”
“Udah” Jawab Saya.
“Loe gak ngasih kerjaan kan sama dia?”
“Enggak... eh belum” ralat Saya.
“Iye... biar die tobat dulu. Biar belajar dari kesalahannya” Saran Nina.
“Iye Buuuu” Sahut Saya.
“Ya udeh ye.” Pamit Nina.
“Loe telpon gw cuma mau ngomong gitu?”
“Laporan payroll gw belum selesai.” Nina menutup telponnya.
Saya menggeleng-gelengkan kepala, lantas membuka email untuk memastikan File kandidat phone interview Saya, sementara Saya melakukan hal itu, satu pop up email muncul....
Dari Ben...
Tanpa attachment CV seperti yang Saya kira.
Isinya cuma tiga kata :
“ Mil.... Thank You”
Saya tidak membalasnya, hanya mengucap doa, karena meskipun saat ini tidak ada yang bisa Saya lakukan untuknya, Saya tahu siapa yang bisa.
Be Blessed Ben... Be Blessed Great People.
Have a Great Day
Milka Santoso
Great to Great Consultant