Baiturrahman, 10 Oktober 2025
Oleh: Fahry Raisu
Artikel ini bertujuan untuk mengungkap beberapa fakta paling menarik dan tak terduga dari kisah penciptaan manusia pertama, berdasarkan sumber yang ada, yang akan mengubah cara Anda memandang cerita awal mula ini.
Jauh sebelum Adam diciptakan, bumi dihuni oleh bangsa jin. Namun, alih-alih memakmurkannya, mereka justru berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah. Di tengah kekacauan kaumnya, ada satu sosok bernama Azazil. Ia adalah satu-satunya jin yang sangat saleh dan alim, yang tingkat kesalehannya membuat Allah SWT mengangkat derajatnya hingga ia bisa beribadah bersama para malaikat di langit.
Melihat kerusakan yang tak kunjung usai, Allah mengutus Azazil, dibekali dengan tentara malaikat, untuk menertibkan bangsa jin di bumi. Misi itu berhasil. Kedamaian kembali pulih, dan sebagai penghargaan atas keberhasilannya, Azazil diangkat menjadi raja bagi para jin dan diberi amanah agung sebagai penjaga surga (Khazanah tuljannah). Kisahnya adalah pelajaran abadi tentang bagaimana ibadah ribuan tahun dan kedudukan yang mulia dapat sirna seketika. Ia menjadi pengingat yang kuat bahwa makhluk yang paling taat sekalipun bisa jatuh karena satu sifat yang merusak: kesombongan.
Ketika tiba saatnya menciptakan Adam, Allah SWT mengutus malaikat-Nya ke bumi untuk mengambil segenggam tanah. Misi ini ternyata tidak mudah. Pertama, Allah mengutus Jibril, namun bumi menolak dan berlindung kepada Allah agar tanahnya tidak diambil. Jibril pun kembali dengan tangan hampa. Kemudian, Allah mengutus Mikail, dan lagi-lagi bumi menolak dan berlindung, sehingga Mikail pun kembali tanpa hasil.
Akhirnya, Allah mengutus Malaikat Maut (Malakul Maut). Ketika bumi kembali berlindung kepada Allah, Malaikat Maut dengan tegas berkata, "Aku pun berlindung kepada Allah untuk tidak kembali tanpa menjalankan perintah-Nya." Ia pun berhasil mengambil tanah dari berbagai penjuru bumi.
Tanah yang terkumpul tidaklah seragam. Warnanya beragam: ada yang putih, merah, hitam, kuning, dan campuran di antaranya. Dari sinilah, menurut para ulama, asal-usul keragaman warna kulit keturunan Adam hingga hari ini. Lebih dari itu, sifat tanahnya pun berbeda-beda. Ada yang sifatnya baik (Toyib), ada yang jelek, ada yang mudah diambil, dan ada yang susah untuk diambil. Perbedaan sifat dasar inilah yang menjadi cikal bakal keragaman watak manusia—ada yang baik, jahat, keras kepala, dan berhati lembut, yang semuanya kembali kepada materi asal penciptaannya.
Ketika Allah SWT mengumumkan rencana-Nya untuk menciptakan seorang khalifah (pemimpin) di muka bumi, para malaikat mengajukan sebuah pertanyaan. Pertanyaan ini bukan didasari kesombongan, melainkan karena pengalaman traumatis mereka saat menertibkan bangsa jin yang saling membunuh sebelumnya. Dengan penuh kekhawatiran, mereka bertanya:
"Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" (merujuk pada Surah Al-Baqarah: 30)
Mereka khawatir makhluk baru ini akan mengulangi kerusakan yang sama. Namun, Allah memberikan jawaban tegas yang menunjukkan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas:
"Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Allah Maha Mengetahui bahwa dari keturunan Adam kelak akan lahir para nabi, rasul, syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan orang-orang saleh yang derajatnya bahkan bisa melebihi malaikat.
Setelah tanah terkumpul, Allah SWT membentuk Adam dengan Tangan-Nya sendiri. Ada hikmah mendalam di balik ini: agar Iblis tidak bisa sombong di hadapan Adam, karena Iblis tidak diciptakan langsung dengan Tangan Allah. Jasad Adam yang belum bernyawa itu kemudian dibiarkan mengering selama 40 tahun. Selama periode ini, Iblis (Azazil) sering mengitarinya, masuk dari satu lubang dan keluar dari lubang lainnya, sambil meremehkan makhluk baru itu dan berkata di hadapan malaikat bahwa jika ia diberi kuasa atasnya, ia akan menghancurkannya.
Ketika tiba saatnya ruh ditiupkan, Allah memerintahkan seluruh malaikat—dan Iblis yang saat itu ada bersama mereka—untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan. Semua malaikat segera patuh tanpa terkecuali. Namun, Iblis dengan angkuh menolak.
Akar penolakannya bukanlah sekadar ketidakpatuhan, melainkan kesombongan dan perasaan superioritas. Hal ini terungkap dalam dialognya dengan Allah:
Iblis berkata, "Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah." (merujuk pada Surah Al-A'raf: 12 atau Surah Sad: 76)
Penolakan yang didasari rasa angkuh inilah yang tercatat sebagai maksiat pertama yang terjadi di langit. Sebagai konsekuensinya, Allah melaknat dan mengusir Iblis dari surga. Sejak saat itulah dimulai permusuhan abadi antara Iblis dan seluruh anak cucu Adam.
Menurut riwayat yang dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Katsir, fisik Nabi Adam sangat berbeda dengan manusia modern. Ukurannya begitu besar dan megah, yang menunjukkan keagungan ciptaan Allah pada awalnya.
Secara spesifik, disebutkan bahwa tinggi Nabi Adam adalah 60 hasta (sekitar 30 meter) dan lebarnya adalah 7 hasta (sekitar 3,5 meter). Membayangkan postur raksasa manusia pertama ini mengundang rasa takjub akan kebesaran Allah dan mengingatkan kita betapa berbedanya dunia di masa awal penciptaan.
Kisah Nabi Adam bukan sekadar cerita masa lalu tentang manusia pertama. Ia adalah cerminan abadi tentang asal-usul kita, sifat dasar yang melekat dalam diri manusia, dan pengingat tentang siapa musuh sejati kita. Dari kesalehan Azazil hingga keragaman manusia, setiap detailnya mengandung pelajaran yang tak lekang oleh waktu.
Kisah ini mengajarkan bahwa kesombongan mampu meruntuhkan ibadah ribuan tahun dan mengubah penjaga surga menjadi musuh terkutuk. Pertanyaannya bagi kita bukanlah apakah kesombongan itu berbahaya, melainkan di mana ia bersembunyi dalam hati kita hari ini?