Baiturrahman, 09 Oktober 2025
Oleh: Fahry Raisu
Banyak dari kita merasakan hal yang sama. Kita sering merenungkan tujuan pendidikan yang terasa terputus dari kehidupan nyata. Namun, jawaban atas kegelisahan ini sebenarnya telah lama dirumuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Banyak dari kita mungkin membayangkan Ki Hajar Dewantara sebagai sosok sesepuh Jawa tradisional yang mengajarkan budi pekerti luhur. Kenyataannya, ia jauh dari citra itu. Ia adalah seorang aktivis jenius yang di masa mudanya mendapat beasiswa di sekolah kedokteran Belanda, vokal mengkritik pemerintah kolonial, hingga akhirnya diasingkan ke Belanda. Di sanalah ia justru mempelajari gagasan-gagasan modern dari pemikir pendidikan dunia. Gagasan-gagasannya bukanlah warisan kuno, melainkan sintesis cemerlang antara pemikiran global dan kebutuhan bangsanya.
Lebih dari sekadar semboyan "Tut Wuri Handayani" yang kita kenal, beliau memiliki gagasan mendalam tentang tujuan dan cara belajar yang sangat relevan untuk kehidupan modern. Artikel ini akan mengupas tiga filosofi inti Ki Hajar Dewantara yang jarang diajarkan di sekolah, namun sangat berguna untuk hidup Anda.
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan akhir dari pendidikan adalah untuk "memerdekakan manusia". Namun, apa artinya menjadi manusia yang merdeka? Beliau merumuskannya ke dalam dua poin utama yang sangat mendasar:
Selamat Raganya: Kemampuan untuk bertahan hidup dan aman secara fisik.
Bahagia Jiwanya: Kemampuan untuk mencapai kebahagiaan dan pemenuhan secara batin.
Konsep ini sangat kontras dengan fokus pendidikan modern yang seringkali hanya berorientasi pada nilai, ijazah, atau mendapatkan pekerjaan. Padahal, "selamat dan bahagia" adalah tujuan universal yang dicari setiap manusia, didukung oleh berbagai disiplin ilmu mulai dari filsafat hingga psikologi modern. Ironisnya, cara untuk mencapai kedua hal ini jarang sekali diajarkan secara eksplisit di bangku sekolah.
"Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia... Apa itu manusia Merdeka menurut Ki Hajar? Poinnya ada dua: satu, selamat raganya; dua, bahagia jiwanya. Selamat dan bahagia. Survive and happy."
Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan memiliki tiga peran yang saling terhubung dalam filosofi yang disebut Tri Rahayu:
Memajukan dan menjaga diri.
Memelihara dan menjaga bangsa.
Memelihara dan menjaga dunia.
Inti dari filosofi ini adalah keyakinan bahwa "segalanya terhubung" (everything is connected). Proses ini dimulai dari individu. Memerdekakan satu orang adalah langkah awal memerdekakan satu keluarga. Memerdekakan keluarga adalah langkah awal untuk memerdekakan daerah, dan memerdekakan daerah adalah langkah awal untuk memerdekakan bangsa. Bangsa yang maju pada akhirnya akan berkontribusi secara positif bagi dunia.
Ini dapat dipandang sebagai sebuah positive-sum game, di mana kebahagiaan dan kesuksesan satu orang turut mengangkat kesejahteraan orang lain, bukan zero-sum game yang mengharuskan ada pihak yang kalah agar ada yang menang. Perspektif ini sangat kuat karena membingkai pengembangan diri bukan sebagai tindakan egois, melainkan sebagai langkah fundamental untuk kemajuan peradaban.
Untuk mencapai kemerdekaan tersebut, Ki Hajar Dewantara menguraikan tiga prinsip belajar yang efektif dan relevan sepanjang hayat, yang dikenal sebagai filosofi Tri Kon:
Kontinu (Berkelanjutan): Belajar adalah proses seumur hidup yang tidak pernah berhenti. Diri kita hari ini adalah akumulasi dari apa yang telah kita pelajari di masa lalu. Filosofi ini menekankan pentingnya perbaikan terus-menerus, bahkan jika hanya menjadi 1% lebih baik setiap hari, dampaknya akan luar biasa dalam jangka panjang.
Konvergen (Terbuka pada Sumber Lain): Pengetahuan harus dicari dari berbagai sumber, termasuk dari luar zona nyaman kita. Jika kita hanya belajar dari lingkungan yang itu-itu saja, kita akan mandek. Ki Hajar Dewantara sendiri mencontohkan prinsip ini dengan mempelajari gagasan dari para pemikir pendidikan dunia seperti Maria Montessori, Frobel, atau Rabindranath Tagore.
Konsentris (Sesuai dengan Konteks): Meskipun kita harus belajar dari dunia luar, semua pengetahuan tersebut harus diadaptasi agar sesuai dengan identitas dan konteks lokal kita. Ki Hajar tidak menelan mentah-mentah ilmu dari luar. Ia mengolahnya agar relevan dengan kondisi bangsa yang saat itu "masih dijajah" atau dalam keadaan "amburadul" di awal kemerdekaan. Menggunakan istilah "memerdekakan manusia" adalah contoh nyata adaptasi ini, karena kemerdekaan adalah kebutuhan paling mendesak bagi bangsa Indonesia pada zaman itu.
Ironisnya, meskipun prinsip-prinsip ini dirumuskan hampir seabad yang lalu, dan kini kita hidup di era internet dengan akses informasi tak terbatas, implementasinya dalam sistem pendidikan formal kita masih terasa kurang.