Suku Ngalum ialah salah satu dari tujuh suku yang mendiami lembah di bagianSuku Ngalum ialah salah satu dari tujuh suku yang mendiami lembah di bagian selatan barisan Pegunungan Jayawijaya, tepatnya di lembah Oksibil, wilayah Pegunungan Bintang, Papua. Kata Oksibil dalam Ngalum weng (bahasa Ngalum) terdiri dari dua kata, yakni Ok yang artinya air, dan Sibil berarti dekat. Ngalum sendiri mengandung arti timur, yang menyiratkan orang Ngalum adalah orang-orang yang tinggal di daerah timur.
Bagi masyarakat Ngalum Ok, air adalah sumber kehidupan yang mengandung makna filosofi, teologi, ekologi, juga ekonomi. Orang Ngalum Ok melihat bahwa air (ok) menciptakan dan mendatangkan kehidupan yang hakiki, memberikan kesuburan dan kemakmuran bagi manusia, menyuguhkan kesejukan, kedamaian, ketenangan, ketentraman, kesucian, kedewasaan, keselamatan, dan mengajarkan nilai-nilai hidup lainnya. Oleh karena itu, Suku Ngalum Ok menerapkan filosofi hidup seperti air. Mereka tidak suka mencari keributan dan senantiasa damai dengan lingkungan sekitarnya, termasuk dengan alam.
Kebanyakan orang-orang Ngalum Ok hidup berdekatan dengan air, seperti sungai dan mata air. Oleh karena itu, mereka kerap disebut sebagai “manusia air” karena hidupnya selalu mencari air.
https://econusa.id/id/ecoblog/mengenal-kehidupan-suku-ngalum-ok-manusia-air-dari-pegunungan-bintang/
Wolani (disebut juga Wodani atau Woda) adalah kelompok etnis di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah (sebelumnya Irian Jaya) dari Papua Barat (bagian barat pulau New Guinea).
Berjumlah sekitar 5.000 orang pada tahun 1992, mereka adalah petani yang tinggal di dataran tinggi tengah timur laut Danau Paniai, di sepanjang sungai Kemandoga dan Mbiyandogo. Banyak dari orang Wolani yang menganut Kekristenan, tetapi seperti di tempat lain di Indonesia, mereka mempertahankan agama tradisional mereka. Mereka berbicara bahasa Wolani, yang berafiliasi dengan cabang barat bahasa Trans–Nugini,[2] mirip dengan bahasa Ekari dan bahasa Moni di dekatnya.
Tidak jelas apakah Wolani adalah subkelompok dari orang Lani. Ada beberapa ketidaktepatan dalam klasifikasi suku di wilayah ini, seperti orang Lani sering diidentikkan dengan kelompok yang lebih besar, orang Dani.
https://rimbakita.com/suku-papua/
Suku Migani (juga dikenal sebagai Miga Mene, Moni), suku ini adalah penduduk asli di Intan Jaya, Papua Tengah, yang mendiami wilayah Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga, Weandoga (Paniai) dan Duma-Dama Serta Domondoga, Indonesia. Mereka berbicara bahasa Migani/Moni. Mereka menghormati kangguru pohon besar hitam dan putih bersiul sebagai leluhur yang disebut Bondegzeu (dingiso). Bondegzeu tidak diketahui oleh komunitas ilmiah sampai zoologis Tim Flannery menggambarkannya pada 1995
Kata "Migani" berasal dari kata Miga yang artinya asli, murni, tulen dan Ni yang artinya orang, manusia. Sehingga arti Migani adalah "manusia sejati". Istilah "Moni" pertama kali digunakan tahun 1970-an oleh Bupati Nabire (1969-1972), Karel Gobay. Saat itu situasi dilanda konflik antar suku dan penyebabnya diketahui adalah suku Migani. Bupati Gobay yang berusaha mengatasi masalah ini menghadapi watak Orang Migani yang keras, karena itu ia kecewa sehingga mulai menyebut dengan nama Suku Moni.
Kata "Moni" berasal dari kata bahasa Mee, Nomo atau Mou yang berarti keladi (yang dimakan menyebabkan gatal) dan Ni, kata bahasa Migani berarti orang. Makna ini berarti negatif karena hendak mengatakan bahwa Orang Migani itu sama dengan keladi yang sudah tidak bisa dikonsumsi lagi oleh manusia karena menyebabkan gatal, tidak enak dan seterusnya. Generasi setelah 1970an lebih sering menggunakan kata Moni karena sudah lebih populer dan generasi sebelumnya menggunakan kata Migani. (Pater Kleopas Sojuna Sondegau, 2021)
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Suku_Moni
Suku Marind Anim juga merupakan salah satu suku asli yang mendiami kawasan di Provinsi Papua Selatan, tepatnya di Kabupaten Merauke.
Permukiman Suku Marind Anim ada di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Muting, Merauke, dan Kabupaten Okaba. Makanan pokok Suku Marind Anim adalah sagu. Bahkan, sagu di sana dulunya tumbuh subur secara liar di rawa-rawa.
Dalam berkomunikasi, suku Marind Anim memiliki bahasa sendiri yang disebut dengan bahasa Marind Anim.
https://www.kompas.com/stori/read/2023/03/22/200000179/suku-suku-di-papua-selatan?page=all