https://rb.gy/7nymp4
Suku Kerinci[1] atau disebut Uhang Kinci atau Uhang Kincai dalam bahasa Kerinci (bahasa Kerinci: Kincai atau Kinci; ejaan lama: Kerintji atau Kerinchi; Jawi: كرينچي) adalah suku bangsa atau kelompok etnik pribumi Sumatra yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Kerinci dan sekitarnya. Secara administratif saat ini berada di wilayah kota Sungai Penuh, kabupaten Kerinci, Merangin dan Bungo. Selain itu, etnis Kerinci juga merantau ke Semenanjung Tanah Melayu sejak abad ke-19 Masehi.[1] Nenek moyang Suku Kerinci diperkirakan berasal dari para penutur Austronesia awal yang bermigrasi sejak 3500 tahun yang lalu. Bukti-bukti arkeologis kedatangan nenek moyang orang Kerinci seiring dengan migrasi Austronesia seperti beliung persegi, tembikar tataplandas dan slipmerah, rumah panggung, pertanian padi, megalitik Batu Silindrik, dan Tempayan Kubur.
Suku Batin (Melayu: Batin atau Bathin; Jawi: باتين) adalah suku Melayu di provinsi Jambi di bagian pedalaman pulau Sumatra, Indonesia. Ada sekitar 72.000 (2005) orang Batin yang tinggal di pedalaman Sumatra tengah bagian selatan. Mereka menuturkan bahasa Melayu dengan dialek Jambi. Suku Batin kebanyakan beragama Muslim, tetapi menganut sistem matrilineal. Orang Batin suka hidup berpindah-pindah dan berjiwa gotong royong. Orang batin berasal dari orang yg mendiami daerah pegunungan yg terletak disebelah baratnya, seperti orang kerinci yang mendiami dataran rendah disebelah timurnya. Berasal dari sebelah barat pegunungan Bukit Barisan. Mereka menggunakan tutur bahasa Melayu dengan dialek Jambi, dan ada sedikit campuran dialek bahasa Minang. Kebudayaan orang Batin merupakan kebudayaan berunsur Melayu dan beberapa mengalami perpaduan dengan budaya Minangkabau
Suku Penghulu merupakan sebutan bagi seorang pemimpin di beberapa kawasan. Penghulu dalam bahasa Melayu Kuno, sama dengan paˆhulu,[1] dalam Bahasa Minang, sama dengan panghulu, di mana secara maknanya orang yang disebut dengan penghulu berkedudukan setara dengan raja atau sama juga dengan datuk. Setelah masuknya pengaruh Islam, sebutan penghulu juga digunakan untuk seseorang yang bertugas atau berwenang dalam legalitas suatu pernikahan dalam agama Islam atau Penghulu Nikah sebutan lainnya Tuan Kadhi.[2]. Pada awalnya sebutan penghulu, digunakan dalam susunan struktur pemerintahan nagari di wilayah Minangkabau, di mana seorang penghulu juga merupakan pemangku adat dan bergelar Datuak, selanjutnya dalam susunan sebuah nagari terdapat struktur kekuasaan, yang dimulai dari Panghulu, Malin, Manti dan Dubalang.[3] Selanjutnya dari struktur tersebut, kemudian disatukan dengan istilah Urang Ampek Jinih (Empat orang dengan fungsi masing-masing). Dalam suatu nagari, malin atau kadang kala disebut juga dengan imam, merupakan seseorang bertugas dalam urusan agama di dalam suatu suku, dan bertanggung jawab dalam permasalahan adat yang terkait dengan agama (Islam).
Menurut sejarah, kisah suku Anak Dalam diawali sejak masa Kerajaan Jambi di tahun 1624.
Pada saat itu, terdapat pertikaian antara Kerajaan Jambi dan Kesultanan Palembang. Pertikaian itu memicu adanya pertempuran yang terjadi di hutan rimba Air Hitam pada tahun 1629.
Nah, masyarakat yang tersisa dari pertempuran ini pun tetap hidup di hutan rimba dan terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok ini tetap disebut dengan suku Anak Dalam dengan ciri fisik, bahasa, hingga kebiasaan yang berbeda.
Ada suku Anak Dalam yang tinggal di wilayah hutan Musi Rawas dan berbicara menggunakan bahasa Melayu. Ada pula masyarakat suku Anak Dalam yang hidup di hutan Jambi dengan ciri fisik berupa kulit sawo matang, rambut ikal, serta mata yang menjorok ke dalam.