Apakah kehidupan adalah tentang baik dan buruk, indah dan jelek? Tidak, keduanya tidak secara inheren saling terkait. Kehidupan terbentang sebagai hamparan mentah tanpa naskah—momen-momen sukacita tidak bergantung pada kesedihan untuk ada, pun kemegahan matahari terbenam tidak memerlukan ancaman badai untuk bersinar. Mereka memang berdampingan, tetapi benang-benang mereka tidak terjalin karena suatu keharusan.
Namun, dalam seni, ceritanya berubah. Di sini, baik dan buruk, indah dan jelek, sering kali menari bersama dalam keselarasan yang halus, bukan sebagai lawan tetapi sebagai nuansa yang memperdalam jiwa kanvas.
Kehidupan dan karya Vincent van Gogh menerangi perbedaan ini—dan batas-batasnya—mengungkapkan bahwa esensi seni tidak terletak pada nilai-nilai moral atau estetika yang mutlak, tetapi pada keunikannya yang menantang.
Semasa Van Gogh hidup, lukisannya asing dari pujian. Sapuan oker dan kobalt yang berputar-putar, ladang yang menyala dengan emosi, malam berbintang yang berdenyut dengan kegelisahan kosmik—ini bukanlah harta karun bagi orang-orang sezamannya. Bahkan Paul Gauguin, teman dan sesama seniman, tidak melihat kejeniusan di dalamnya; waktu yang sulit mereka lalui bersama di Arles berakhir dengan perselisihan, bukan kekaguman. Van Gogh meninggal pada tahun 1890, seorang papa di usia 37 tahun, kanvasnya diabaikan, ditumpuk di sudut-sudut atau dijual dengan harga murah. Setelah kematiannya, keheningan tetap ada—tidak ada kerumunan yang berkumpul, tidak ada kritikus yang merenung.
Siapa yang pertama kali melihat lukisannya dengan cermat? Kemungkinan besar Theo, saudaranya, pendukung setia yang menyimpan surat-surat dan karya-karya Vincent, meskipun Theo sendiri tidak dapat memicu gerakan apa pun selama masa hidupnya. Mata dunia tetap tertutup.
Namun, sesuatu berubah. Semakin banyak orang berbicara tentang seni Van Gogh—janda saudaranya, Johanna, melestarikan dan membagikannya; kolektor awal seperti Helene Kröller-Müller yang melihat sekilas apinya—semakin banyak citra mental yang berakar.
Awalnya, mereka membingungkan: "Aneh," bisik orang-orang. "Berbeda." Impasto tebalnya, garis-garis bergerigi, dan warna-warna demam bertentangan dengan realisme yang dipoles pada masa itu. Tetapi keanehan melahirkan rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu melahirkan pengakuan. Pada awal abad ke-20, karya-karyanya—yang dulunya tak terlihat—menjadi unik. The Starry Night bukan hanya langit; itu adalah badai pikiran. Sunflowers bukan sekadar flora; itu adalah ledakan semangat hidup yang fana. Hari ini, nama Van Gogh membangkitkan kekaguman, tetapi bukan karena seninya secara universal "baik" atau "indah" dalam beberapa pengertian objektif.
Bandingkan ini dengan mengagumi Caravaggio, yang chiaroscuronya mengiris bayangan dengan ketepatan ilahi, atau Edward Hopper, yang restoran sepinya berdengung dengan melankoli yang tenang. Cahaya lembut Denmark Anna Ancher memandikan subjeknya dalam kejelasan lembut, sementara potret Rembrandt mengintip ke dalam jiwa dengan kedalaman tanpa kompromi. Americana Norman Rockwell bersinar dengan kehangatan nostalgia—masing-masing seniman berbeda, karya-karya mereka tak salah lagi. Mengagumi Van Gogh tidak seperti mengagumi para maestro ini karena tidak ada seniman yang mencerminkan seniman lain. Nilai mereka tidak bergantung pada skala baik versus buruk, indah versus jelek. Ini tentang perbedaan—seni sebagai sidik jari, bukan penilaian.
Dalam kehidupan, baik dan buruk tidak membutuhkan satu sama lain untuk memegang makna. Tawa seorang anak tidak lebih kaya karena air mata sebelumnya; luka tidak membuat matahari terbit lebih bersinar. Mereka adalah arus yang terpisah, mengalir berdampingan. Seni, bagaimanapun, bermain dengan interaksi mereka.
Keindahan Van Gogh—kuning cerah dan biru berputar-putar itu—mendapatkan keunggulan dari perjuangannya yang jelek: kemiskinan, kegilaan, penolakan. Kekacauan sapuan kuasnya mencerminkan kekacauan pikirannya, namun bukan "kebaikan" atau "keburukan" mereka yang bertahan. Untuk lukisan, ketegangan ini menambah kedalaman, dialog cahaya dan bayangan. Tetapi pada akhirnya, seni melampaui label-label ini.
Beberapa orang menyukai energi mentah Van Gogh; yang lain menganggapnya sumbang. Beberapa lebih menyukai drama Caravaggio atau kenyamanan Rockwell. Preferensi bervariasi—lebih untuk beberapa orang, kurang untuk yang lain—tetapi ini bukan tentang ukuran universal.
Kisah Van Gogh membuktikan hal ini. Tak terlihat dalam kehidupan, lukisannya menunggu suara untuk menyebut mereka "unik."
Penamaan itu, pencitraan mental itu, mengubah ketidakjelasan menjadi warisan. Seni bukanlah pertempuran indah versus jelek, juga bukan buku besar baik dan buruk. Ini adalah cermin, teriakan, bisikan—dapat dibedakan, tunggal, dan bebas. Kehidupan mungkin tidak mengikat benang-benangnya bersama, tetapi seni terkadang melakukannya, hanya untuk menguraikannya menjadi sesuatu yang lebih besar: visi yang berdiri sendiri.