TERTIB ARSIP MENJAGA MEMORI KOLEKTIF BANGSA
PROFIL LEMBAGA KEARSIPAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN
KEBUMEN TEMPO DULU
Susana Kota Kebumen pada Era Kolonial.(Foto;SB/Dok)
Testimoni Tahun 1868
Michael Theophile Hubert Perelaer, penulis buku Baboe Dalima or The Opium Fiend (1888) menuliskan dalam salah satu bukunya yang berjudul, Twaalf Honderd Palen Door Midden Java (Seribu Dua Ratus Pal Melintasi Jawa), (Breda: Broese, 1868) dan memberikan deskripsi mengenai Kebumen sebagai berikut:
Keboemen adalah tempat yang indah (een allerliefst plaatsje), tempat Asisten dan keluarga tersayang menambah penerangan dan kehidupan. Banyak, sangat banyak yang dibawa untuk membuat saya menangkap sinar matahari yang cerah, melihat Keboemen di siang hari yang begitu indah, karena dua saudara perempuan Asisten Residen pernah tinggal di sana.
Testimoni Tahun 1936
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh H.C. Zentgraaff dengan judul, Er is een Tijd van Komen en Gaan (Ada Saat Tiba dan Berpisah) memberikan sebuah penegasan perihal kinerjanya yang membuat perbedaan signifikan saat mana memulai tugasnya sebagai bupati hingga menjelang paripurnanya tugas dengan menuliskan,“Dia membuat perbedaan antara Kedu Selatan hari ini dan periode pertama jasanya” (De Locomotief, 3 Februari 1936).
Salah satu prestasi Arung Binang VII (Maliki Soerjomihardjo) adalah perbaikan infrastruktur. Saat awal menjabat, 50% desa tidak mudah ditempuh dengan kereta kuda. Namun di masa dirinya menjabat bupati dari 208 desa, sebanyak 192 dapat ditempuh dengan lebih mudah (Teguh Hindarto, Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Era Arung Binang VII, Yogyakarta: Deepublish 2020:30-31)
Demikianlah beberapa testimoni mengenai Kebumen di era kolonial. Baik melalui sejumlah surat-surat pribadi, ulasan artikel koran, laporan berita, roman-roman bertema sejarah dan lainnya. Saat memberikan kesannya mengenai suasana kota dan jalanan yang rindang di Kebumen.
ASAL USUL NAMA KEBUMEN DAN SEJARAH TERBENTUKNYA
Tugu Lawet tempo dulu
Sejarah awal mula Kebumen tidak terlepas dari sejarah Mataram Islam. Mataram membawa pengaruh terhadap terbentuknya kebumen. Kebumen adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia dengan ibukotanya adalah Kota Kebumen. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara di Utara, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo di Timur, Samudra Hindia di Selatan, serta Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas Berdasarkan penelusuran penelitian, penetapan hari jadi Kebumen ditetapkan pada 21 Agustus 1629 didasarkan pada peristiwa bersejarah yang dapat dijadikan keteladanan. Maka peristiwa dimana Kiai Bodronolo membantu penyediaan dan perbekalan pasukan Sultan Agung dalam menyerang Batavia merupakan suatu peristiwa penting yang bisa dijadikan sebagai teladan. Selain diyakini oleh masyarakat Kebumen sendiri, cerita mengenai peran Ki Maduseno, Nyi Pembayun (Keluarga Ki Bodronolo) termasuk Ki Bodronolo dalam membantu Sultan Agung menyerang VOC Belanda di Batavia juga diyakini kebenarannya oleh masyarakat Tapos, Depok, Jawa Barat dalam Babad Tuk Kali Sunter dan cerita tuturnya. Dalam konteks kebangsaan saat ini, apa yang dilakukan oleh Ki Bodronolo dalam membantu Sultan Agung memerangi VOC Belanda merupakan perwujudan bentuk nasionalisme. Berdasarkan penelusuran dan penelitian sejarah, dokumen dan studi komparasi dengan pendekatan yuridis normatif, maka hari jadi Kabupaten Kebumen ditetapkan tanggal 21 Agustus 1629 berkaitan dengan peran Ki Bodronolo membantu Sultan Agung dalam melakukan penyerangan terhadap Belanda di Batavia. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu menetapkan Peraturan Daerah mengenai Hari Jadi Kabupaten Kebumen yang ditetapkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2018 Sejarah awal mula Kebumen tidak telepas dari sejarah Mataram Islam.
Mataram membawa pengaruh terhadap terbentuknya Nama Kebumen konon berasal dari kabumian yang berarti sebagai tempat tinggal Kyai Bumi setelah dijadikan daerah pelarian Pangeran Bumidirja atau Pangeran Mangkubumi dari Mataram pada 26 Juni 1677, saat berkuasanya Sunan Amangkurat I. Sebelumnya, daerah ini sempat tercatat dalam peta sejarah nasional sebagai salah satu tonggak patriotik dalam penyerbuan prajurit Mataram pada zaman Sultan Agung ke benteng pertahanan Belanda di Batavia. Saat itu Kebumen masih bernama Panjer. Salah seorang cicit Pangeran Senopati yaitu Bagus Bodronolo yang dilahirkan di Desa Karanglo, Panjer, atas permintaan Ki Suwarno, utusan Mataram yang bertugas sebagai petugas pengadaan logistik, berhasil mengumpulkan bahan pangan dari rakyat di daerah ini dengan jalan membeli. Keberhasilan membuat lumbung padi yang besar artinya bagi prajurit Mataram, sebagai penghargaan Sultan Agung, Ki Suwarno kemudian diangkat menjadi Bupati Panjer, sedangkan Bagus Bodronolo ikut dikirim ke Batavia sebagai prajurit pengawal pangan. Adapun selain daripada tokoh di atas, ada seorang tokoh legendaris pula dengan nama Joko Sangrib, ia adalah putra Pangeran Puger / Pakubuwono I dari Mataram, dimana ibu Joko Sangrib masih adik ipar dari Demang Honggoyudo di Kuthawinangun. Setelah dewasa ia memiliki nama Tumenggung Honggowongso, ia bersama Pangeran Wijil dan Tumenggung Yosodipuro I berhasil memindahkan keraton Kartosuro ke kota Surakarta sekarang ini. Pada kesempatan lain ia juga berhasil memadamkan pemberontakan yang ada di daerah Banyumas , karena jasanya kemudian oleh Keraton Surakarta ia diangkat dengan gelar Tumenggung Arungbinang I, sesuai nama wasiat pemberian ayahandanya.
Dalam Babad Kebumen keluaran Patih Yogyakarta, banyak nama di daerah Kebumen adalah berkat usulannya. Di dalam "Babad Mataram" disebutkan pula Tumenggung Arungbinang I berperan dalam perang Mataram/perang kendang/Perang Pangeran Mangkubumi, saat itu ia bertugas sebagai Panglima Prajurit Dalam di Karaton Surakarta.[8] Peran utama Tumenggung Arungbinang I sesungguhnya adalah sebagai utusan rahasia antara Sinuhun PB II maupun PB III dengan Sri Sultan HB I (P.Mangkubumi) dan juga utusan rahasia Sinuhun PB II maupun PB III dengan P.Sambernyawa (KGPAA Mangkunegoro I). Posisi yang sangat strategis ini tentu jangan sampai ketahuan pihak Belanda. Hal ini tercatat dalam naskah-naskah yang tersimpan di Reksopustoko Mangkunegaran maupun di Sasono Pustoko Keraton Surakarta, dan juga di Museum Radyapustaka Solo. Jabatan tertinggi yang dicapai Tumenggung Arungbinang I saat itu adalah sebagai Senapati/Panglima Besar Prajurit Keraton Surakarta. Sebenarnya beliau menjadi kandidat Patih Keraton Surakarta, karena ada yang "membocorkan" kiprah beliau sebagai penghubung rahasia antara Keraton Surakarta dengan Keraton Ngayogyakarta maupun Kadipaten Mangkunegaran maka pihak Belanda amat sangat berkeberatan.
Alun - alun Kebumen tempo dulu (foto: dokumen KITLV)
Alun-alun kebumen adalah sebuah lapangan seluas kira-kira enam kali lapangan sepakbola. Di bagian tepinya dibuat lebih tinggi dengan lebar kira-kira 4 meter yang dilapisi beton. Di bagian tepi itulah warga bercampur baur dengan pedagang makanan, penyewaan motor dan mobil mainan, penyewaan roller skate, kolam pemancingan buatan dan banyak lagi jenis hiburan.
Alun-alun sejatinya adalah jantung sebuah kota, tempat di mana warga berinteraksi dengan pemimpinnya. Berinteraksi dengan sesamanya, bercanda, bertukar kabar dan salam.
Jembatan Luk Ulo jaman Belanda
Lembah Lukulo di sebelah barat Pasar Hewan lama ini ternyata mempunyai nilai sejarah tinggi karena sebelum 1945 jembatan pada foto gambar ini adalah jalur rakit untuk menghubungkan dukuh Penambangan, desa Kedawung dengan Tamanwinangun, kecamatan Kebumen, kalau ditarik garis perdagangan pada jaman Belanda. Jalur ini menghubungkan jalur Simpanglima Kebulusan melalui jalur dpan SMPN Pejagoan ke kota pasar hewan lama Tamanwinangun yang kini pindah di pasar hewan Wonosari. Tak hanya itu tempat ini merupakan tempat pembunuhan ratusan manusia hampir setiap hari. Cerita Mbah Masitu 60 tahun Warga Kedawung dahulu pada jaman Belanda, tempat ini menjadi lokasi pembunuhan massal pribumi yang ‘melawan’ Belanda. Setelah jembatan Penambangan ini ambruk gethek (rakit/perahu dari bambu) menjadi alat transportasi yang menghubungkan Tamanwinangun dengan Kedawung.
Bupati Kebumen, Dra. Hj.Rustriningsih,M.Si, bersama Muspida, Kodam IV Diponegoro, Komandan Secata Go mbong, dan pihak ketiga PT Indo Power Gombong Bapak Sumbono, meninjau benteng Van Der Wijck yang akan dipugar sekaligus mengelola sebagai objek wisata Tahun 2000. Benteng yang terletak di Gombong, sekitar 19 km dari pusat kota Kebumen ini, merupakan benteng peninggalan Kolonial Belanda yang memiliki keunikan.
Keunikan benteng Van Der Wijck terletak pada bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu bata. Bahkan atap benteng berbentuk segi delapan ini juga terbuat dari batu bata yang kokoh dan dibuat menyerupai bukit-bukit kecil, sehingga sangat ideal sebagai tempat pertahanan sekaligus pengintaian.
Upacara ngunduh sarang burung walet di Karangbolong juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini, tahap yang pertama selamatan di paseban (pendapa) kantor Dipenda Karangbolong. Kemudian tahap pementasan wayang kulit di Goa. Dilanjutkan tahap melarung sesajen di Pantai Karangbolong.
Tahap selanjutnya adalah kenduri atau selamatan di rumah mandor pengunduh sarang burung walet. Terakhir tahap selamatan di pos penjagaan sarang burung walet.
Sebagai catatan, upacara ngunduh sarang burung walet di daerah Karangbolong dilaksanakan empat kali dalam satu tahun yang jatuh pada mangsa karo sekitar bulan Agustus (unduhan pertama), mangsa kapat sekitar bulan Oktober (unduhan kedua), mangsa kepitu sekitar bulan Januari (unduhan ketiga), dan mangsa kasanga yang jatuh sekitar bulan Maret (unduhan keempat).
INOVASI DISARPUS KEBUMEN