Sumber : https://www.pexels.com/
Istilah sharenting adalah gabungan dari dua kata, share (berbagi) dan parenting (pengasuhan), yang merujuk pada tren di dunia maya di mana orang tua membagikan informasi detail tentang anak mereka di media sosial. Istilah ini pertama kali muncul di internet pada tahun 2013 dan semakin populer, kemudian mulai digunakan dalam publikasi ilmiah sejak tahun 2015. Salah satu bentuk awal sharenting adalah membagikan foto hasil sonogram atau foto-foto lain selama masa kehamilan, dan berlanjut hingga tahap tumbuh kembang anak. Dengan demikian, kehidupan digital seorang anak dimulai bahkan sebelum ia lahir. Berkembangnya tren sharenting juga dipicu oleh meningkatnya popularitas selebgram atau influencer. Selebgram adalah seseorang yang memiliki banyak pengikut di Instagram, meskipun mereka bukan pesohor atau selebritas. Orang-orang biasa ini mampu berinteraksi dengan publik luas, mengumpulkan likes, komentar, shares, dan ribuan pengikut di media sosial yang tertarik mengikuti kehidupan pribadi mereka dan anak-anak mereka di jaringan sosial.
Selain berbagai manfaat yang dirasakan oleh orang tua, berbagai penelitian juga menunjukkan adanya dampak negatif dari sharenting. Dampak negatif yang pertama berkaitan dengan masalah privasi. Westin (1968) mendefinisikan privasi sebagai hak individu, kelompok, atau institusi untuk menentukan kapan, bagaimana, dan informasi apa yang ingin mereka komunikasikan kepada orang lain. Joinson (2001) menyatakan bahwa ada dua aspek yang perlu dipertimbangkan dalam memahami privasi: pertama, kebutuhan untuk menyimpan informasi tertentu, dan kedua, kebutuhan untuk mengungkapkan diri demi menjaga hubungan sosial dengan orang lain. Selain persoalan privasi, sharenting juga dapat memicu eksploitasi anak, salah satunya dapat dilihat dari berkembangnya tren selebgram anak. sharenting juga memiliki berbagai risiko lain, mulai dari tindakan perundungan daring (cyberbullying), kekerasan seksual, hingga penculikan anak. Tait (2016) menyebutkan bahwa sharenting dapat mengekspos anak-anak pada pedofil atau pelaku grooming online.
Dari segi risiko sharenting, khususnya terkait privasi anak, banyak orang tua yang masih menuliskan nama lengkap anaknya di keterangan unggahan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang tua belum memahami informasi mana yang perlu dilindungi dan tidak seharusnya dipublikasikan. Selain itu, ada juga yang mencantumkan lokasi di unggahan, memungkinkan lokasi mereka dilacak oleh pengguna lain. Lebih parah lagi, beberapa orang tua memposting foto anak tanpa busana atau memperlihatkan bagian tubuh pribadi anak. Praktik membagikan informasi berlebihan tentang anak ini dapat digolongkan sebagai oversharenting, seperti yang dijelaskan oleh. Ini menunjukkan kurangnya kesadaran orang tua bahwa tubuh anak perlu dilindungi dan tidak boleh menjadi konsumsi publik. Hal ini dapat mengancam keamanan anak dan mengekspos mereka kepada predator online. Peneliti juga menemukan komentar dari penyelenggara foto yang mengajak orang tua memasukkan foto anak mereka dalam kompetisi foto. Penyelenggara ini sering kali tidak jelas, bukan dari perusahaan resmi, dan tidak ada jaminan bahwa foto anak-anak tersebut tidak akan disalahgunakan. Orang tua yang membagikan foto dan video anaknya di Instagram perlu mewaspadai hal ini.
Referensi : Dwiarsianti, A. (2022). Sharenting dan Privasi Anak: Studi Netnografi pada Unggahan Instagram dengan Tagar #Anakku. Jurnal Komunikasi Global, 11(1), 1–20. https://doi.org/10.24815/jkg.v11i1.24803