Home > Berita Pusaka Nusantara
Memilih Keris Sesuai Kriteria
Penulis : Mazkhusnul R 05 Januari 2023
Home > Berita Pusaka Nusantara
Memilih Keris Sesuai Kriteria
Penulis : Mazkhusnul R 05 Januari 2023
MEMILIH KERIS
Setiap orang tentu memiliki preferensi masing-masing di dalam memilih keris; baik sebagai pusaka, koleksi, maupun hobi. Hal-hal yang menjadi pertimbangan bagi masing-masing tentunya banyak yang bersifat personal dan subjektif. Sudah seharusnya kita belajar untuk menghormati pilihan-pilihan sesama tersebut.
Di sisi lain, kita juga perlu terus mengasah pemahaman pribadi kita, agar pilihan-pilihan kita juga didasari referensi yang kokoh, adhedhasar wewaton yang telah dipakai para leluhur. Karena ketika pilihan-pilihan kita semakin didasarkan pada standar yang objektif, hal ini akan memudahkan orang lain untuk menghormati pilihan kita tersebut.
Dari berbagai sudut pandang yang ada, terdapat irisan satu sama lain yang mengerucutkan kualifikasi dari keris yang menjadi pilihan para sesepuh kita yang memiliki pemahaman mendalam. Salah satu sesepuh perkerisan Indonesia, Alm. Ir. Haryono Haryo Guritno pada akhir-akhir merumuskan 14 hal berikut yang kiranya merangkum berbagai aspek kriteria pemilihan.
"Tuh, Si, Rap, Mor, Puh, Jo, Ngun, Dha, Ta, Ting, Ka, Rah, Mpu, Ngguh."
Yang pertama, Tuh (Wutuh). Keutuhan bilah adalah hal utama. Tidak pugut. Tidak gowang. Tidak gempil. Bagian yang riskan tentu ricikan seperti sekar kacang, sogokan, dan pejetan. Kecuali gonja. Dalam tradisi Yogyakarta, penggantian gonja, semisal disalini gonja wulung di zaman terkemudian dengan maksud tertentu tidak termasuk ketidak-utuhan. Alm. KRT Hastananegara, sesepuh Paguyuban Pametriwiji konon pernah menyatakan, bagaimana pusaka akan diharapkan handayani jika dirinya sendiri saja tidak selamat dari kerusakan.
Yang kedua, Si (Wesi). Besi adalah salah satu unsur inti dari fisik pusaka yang sekaligus menjadi penanda kemaestroan sang Empu. Jika dalam mewasuh, mengolah, dan menguled besi saja belum baik, maka tentu hal-hal berikutnya seperti garap dan pamor menjadi dipertanyakan.
Sri Sultan HB VIII, masih menurut penuturan KRT Hastananegara berpendapat, besi adalah wadah sementara pamor adalah hidangan. Jadah sebagai makanan sederhana jika wadahnya piring keramik berglasur indah akan pantas disajikan kepada Raja. Sementara meski Kue Spekuk yang waktu itu hidangan kalangan atas, jika wadahnya cobek yang berjamur, kotor, dan grumpil tentu tidak pantas disajikan. Ada pula sesepuh yang mengumpamakan besi adalah halaman rumah, sementara pamor itu tanaman-tanaman hiasnya. Jika halamannya penuh sampah, njembrung, banyak rumput liar bosah-baseh; tentu tanaman hias mahal pun jadi tidak menarik. Tapi latar yang bersih dan rapi, sekedar tanaman sederhana pun menjadikannya terlihat asri dan menentramkan.
Secara tarikan, besi pusaka yang baik dalam tradisi para sesepuh di Yogyakarta terbagi dalam 3 kualifikasi; ngglali (seperti jenang gula), nyerat (berserat), dan nyabak (seperti sabak untuk menulis). Ketiga kualifikasi ini harus kita kenali dengan banyak menanting dan mengamati sample-sample yang benar agar terhindar dari besi yang nggrasak, yang mentah, berpori besar, dan lain sebagainya.
Secara tanjeg, aneka jenis besi yang memiliki berbagai karakter dalam tradisi lisan (Purasani, Karang Kijang, Balitung, Walulin, dll) yang telah di-saton diharapkan memiliki watak baru sesuai yang diharapkan dalam doa Sang Empu dan pemilik pusaka. Kemampuan mengenali hal ini kini sudah sangat sukar, sehingga banyak yang memilih mempergunakan 'rasa', seperti apakah kesan besi itu adhem, ngresep, mahanani, atau misalnya galak dan 'panas'.
Wallaahu A'lam. Demikian untuk 2 kriteria awal; insyaallah akan bersambung dengan 12 kriteria lainnya {Rap (Garap), Mor (Pamor), Puh (Sepuh), Jo (Wojo), Ngun (Wangun), Dha (Dhapur), Ta (Tantingan), Ting (Tintingan), Ka (Langka), Rah (Sejarah), Mpu (Empu), dan Ngguh (Mungguh)} di kesempatan yang akan datang. Ilustrasi; gandhik Kyahi K dari depan.