"Pohon yang megah dan kayu yang terolah—keduanya ada dalam rencana Allah, mengisahkan kejatuhan dan penebusan dalam kedaulatan Ilahi."
Dalam narasi Alkitab, ada dua peristiwa besar yang menjadi titik balik dalam hubungan manusia dengan Allah: kejatuhan manusia melalui Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat di Taman Eden serta penebusan manusia melalui pengorbanan Kristus di Kayu Salib. Meskipun Salib bukanlah pohon secara harfiah, kayu yang digunakan berasal dari pohon, menjadikannya simbol yang kuat dalam sejarah keselamatan.
Pohon Pengetahuan sendiri bukanlah sesuatu yang jahat atau penuh dengan pemberontakan. Sebagai ciptaan Allah, pohon ini merupakan bagian dari kebaikan yang diciptakan-Nya. Yang menjadi permasalahan bukanlah keberadaan pohon itu, melainkan respons manusia terhadap perintah Allah yang melarang mereka memakannya. John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menjelaskan bahwa ujian di Taman Eden adalah bentuk kedaulatan Allah yang memberikan manusia kebebasan untuk memilih ketaatan atau ketidaktaatan. Sementara itu, Timothy Keller menyoroti bahwa dosa pertama adalah masalah ketidakpercayaan manusia pada kehendak Allah, bukan karena pohon itu sendiri membawa kejahatan.
Sebaliknya, Kayu Salib menjadi alat rekonsiliasi, tempat di mana Kristus, dalam ketaatan-Nya yang sempurna, menanggung akibat dari dosa manusia dan membuka jalan bagi pemulihan hubungan dengan Allah. Dengan demikian, perbandingan antara Pohon Pengetahuan dan Kayu Salib bukan tentang dua pohon secara fisik, tetapi tentang dua peristiwa besar dalam sejarah manusia: kejatuhan dan penebusan. Artikel ini akan menggali lebih dalam bagaimana kedua peristiwa ini membentuk narasi keselamatan, serta bagaimana maknanya relevan bagi kehidupan iman orang percaya.
Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat: Awal Kejatuhan
Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat pertama kali disebutkan dalam Kejadian 2:16-17 sebagai pohon yang Allah tempatkan di tengah Taman Eden. Allah memberikan satu perintah yang jelas kepada Adam: mereka boleh makan dari semua pohon di taman kecuali dari pohon ini, karena pada hari mereka memakannya, mereka pasti akan mati.
Tindakan memakan buah dari pohon ini sering dianggap sebagai dosa ketidaktaatan. Namun, lebih dari itu, tindakan tersebut mencerminkan keinginan manusia untuk mengambil kendali atas moralitas dan menentukan sendiri apa yang baik dan jahat, terlepas dari otoritas Allah. Seperti yang dijelaskan oleh Dietrich Bonhoeffer dalam Creation and Fall, tindakan ini bukan sekadar pelanggaran aturan, tetapi tindakan eksistensial yang menunjukkan keinginan manusia untuk hidup tanpa bergantung pada Allah.
John Calvin juga menekankan bahwa ujian ini bukanlah sesuatu yang sewenang-wenang, melainkan cara Allah untuk mengajarkan ketaatan dan ketergantungan kepada-Nya. Ketika Adam dan Hawa memilih untuk memakan buah tersebut, mereka tidak hanya melanggar perintah Allah, tetapi juga mengangkat diri mereka sendiri sebagai hakim atas moralitas, suatu peran yang bukan milik mereka. Ini adalah bentuk keangkuhan spiritual yang mengarah pada keterpisahan dari Allah.
Timothy Keller dalam bukunya The Reason for God menjelaskan bahwa dosa utama yang terjadi di Eden adalah ketidakpercayaan (Trust Issue). Adam dan Hawa lebih mempercayai suara ular daripada suara Allah. Mereka ragu bahwa Allah benar-benar menginginkan yang terbaik bagi mereka, sehingga mereka memilih untuk mengambil kendali atas hidup mereka sendiri. Inilah akar dari semua dosa: ketidakpercayaan terhadap kebaikan dan otoritas Allah.
Kayu Salib: Penebusan Melalui Ketaatan Kristus
Jika dosa manusia bermula dari ketidakpercayaan dan ketidaktaatan terhadap Allah, maka solusi ilahi untuk dosa ini harus melibatkan ketaatan yang sempurna. Kayu Salib menjadi simbol dari ketaatan Kristus yang berbanding terbalik dengan ketidaktaatan Adam. Rasul Paulus dalam Filipi 2:8 menyatakan bahwa Yesus "taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."
Di Taman Eden, Adam memilih untuk melanggar perintah Allah dengan memakan buah dari Pohon Pengetahuan, membawa dosa dan kematian ke dalam dunia. Sebaliknya, di Taman Getsemani, Yesus memilih untuk tunduk sepenuhnya pada kehendak Bapa, meskipun itu berarti penderitaan dan kematian di salib. Peristiwa di Getsemani menunjukkan kontras yang tajam: Adam berkata "kehendakku," sementara Yesus berkata "kehendak-Mu jadilah" (Matius 26:39).
Kayu Salib bukan hanya menjadi alat penghukuman, tetapi juga alat penebusan. Melalui pengorbanan Kristus, tuntutan keadilan Allah atas dosa dipenuhi, dan manusia dapat diperdamaikan dengan Allah. Paulus dalam Roma 5:19 menulis, "Karena, sama seperti ketidaktaatan satu orang, semua orang menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar."
Agustinus dari Hippo dalam karyanya The City of God menjelaskan bahwa Kayu Salib adalah "pohon kehidupan sejati" yang menggantikan kehancuran yang dibawa oleh Pohon Pengetahuan. Ia menyatakan bahwa di mana Adam jatuh melalui pohon, Kristus menang melalui kayu yang berasal dari pohon juga, tetapi dalam bentuk Salib. Dengan demikian, Salib menjadi sumber kehidupan baru bagi umat manusia.
Mari kita perhatikan perbandingannya pada tabel berikut:
Kesimpulan dan Relevansi bagi Kehidupan Orang Percaya
Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat berdiri sebagai ciptaan yang utuh, besar, dan penuh kehidupan, tetapi justru menjadi titik kejatuhan manusia dalam dosa. Sebaliknya, Kayu Salib bukanlah sebuah pohon yang megah, melainkan hanya bagian kecil—sepotong kayu yang digunakan untuk penghukuman—namun melalui itulah Allah menunjukkan kuasa-Nya yang jauh lebih besar dari dosa dan maut.
Apa yang dimulai dengan pemberontakan manusia di hadapan pohon yang rimbun, berakhir dengan ketaatan Kristus di atas kayu yang mati. Di Eden, manusia memilih untuk tidak taat, menolak firman Allah, dan mengandalkan pengertian mereka sendiri. Sedangkan di Golgota, Kristus memilih untuk tunduk sepenuhnya pada kehendak Bapa, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:8). Kontras ini menegaskan bahwa manusia selalu gagal dalam ketaatan, tetapi Kristus telah menggantikannya dengan ketaatan sempurna.
Sebagai orang percaya, kita sering kali mengalami pergumulan yang sama: kita dipanggil untuk taat, tetapi sering kali kita justru memberontak seperti Adam. Kita lebih percaya pada pemikiran kita sendiri daripada firman Allah, lebih memilih kehendak kita daripada kehendak-Nya. Namun, Kayu Salib mengajarkan kita bahwa harapan kita bukanlah pada usaha kita sendiri, melainkan pada Kristus yang telah taat bagi kita. Rasul Paulus menuliskan, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan, pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1 Korintus 1:18).
Jika kejatuhan manusia dimulai dari sebuah pohon yang rimbun, maka penebusan datang melalui kayu sederhana yang dipakai untuk salib. Ini menunjukkan bahwa bukan besarnya dosa yang menentukan akhir, tetapi besarnya kasih dan kedaulatan Allah yang mampu menebus manusia dari maut kepada kehidupan kekal. Oleh karena itu, panggilan bagi kita bukan hanya untuk percaya pada karya Kristus, tetapi juga untuk hidup dalam ketaatan kepada-Nya, belajar menyerahkan diri kepada kehendak Allah seperti yang telah dilakukan Kristus bagi kita.