Di tengah sorak-sorai penuh sukacita dan gelombang daun palma yang melambai-lambai, terucap satu kata penuh makna: Hosana! Kata yang seharusnya menjadi seruan iman yang penuh harap akan keselamatan Allah (seringkali disalah-mengerti sebagai pujian seperti Haleluyah), berubah menjadi gema dari ekspektasi yang keliru terhadap siapa Mesias itu dan apa yang seharusnya Ia lakukan.
Minggu Palma bukan hanya peringatan akan arak-arakan menuju Yerusalem, tetapi juga cermin yang mempertanyakan bentuk iman kita: Apakah kita percaya kepada Yesus karena kita tahu siapa Dia, atau karena kita berharap Dia akan melakukan apa yang kita inginkan?
1. Ekspektasi Mesianik di Zaman Yesus
Orang-orang Yahudi abad pertama berada di bawah tekanan besar dari kekuasaan Romawi. Mereka merindukan Mesias yang datang dengan kuasa seperti Yudas Makabe, seorang pemimpin gerakan pembebasan yang hidup sekitar 160 tahun sebelum Kristus. Yudas Makabe memimpin pemberontakan melawan kerajaan Seleukid dan berhasil memulihkan kekudusan Bait Suci. Ia dielu-elukan sebagai pembebas dan pahlawan nasional.
Maka, ketika Yesus memasuki Yerusalem, banyak orang mengira bahwa inilah saatnya seorang pemimpin seperti Makabeus — bahkan lebih besar — akan menggulingkan penjajahan Romawi. Mereka menyambut-Nya dengan seruan yang diambil dari Mazmur 118:25-26:
"Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!"
Kata Hosana (הוֹשִׁיעָה נָּא, hoshi‘ah na) secara harfiah berarti “tolong selamatkanlah kami”. Dalam konteks Mazmur, ini adalah permohonan kepada Tuhan untuk bertindak, menyelamatkan umat-Nya dalam kesesakan. Namun pada masa Yesus, teriakan ini telah bergeser menjadi lebih bersifat politis dan penuh harapan nasionalis.
2. Yesus yang Datang dengan Cara yang Berbeda
Yesus memang menggenapi nubuat tentang kedatangan Mesias, namun bukan seperti yang mereka bayangkan. Zakharia 9:9 telah bernubuat:
“Bersorak-sorailah, hai puteri Sion! Lihat, Rajamu datang kepadamu; Ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor anak keledai betina yang muda.”
Menunggangi keledai betina rasanya sudah menjadi budaya penobatan raja pada Sejarah Israel kuno, seperti yang bisa kita lihat juga Raja Salomo pun saat dinobatkan dengan menaiki keledai betina yang biasa ditunggangi oleh Raja Daud, ayahnya (1 Raja-raja 1:33). Dalam budaya Timur Tengah kuno, kuda adalah kendaraan militer, digunakan untuk perang, sedangkan keledai adalah simbol kendaraan sipil atau diplomatik. Seorang raja yang datang dengan kuda menunjukkan ia datang untuk perang, tetapi yang datang dengan keledai menunjukkan ia datang untuk berdamai. Dengan sengaja, Yesus memilih cara ini untuk menyampaikan bahwa kerajaan-Nya tidak seperti kerajaan dunia. Namun orang-orang tidak menangkap pesan itu. Mereka tetap berpegang pada ekspektasi bahwa Yesus akan memimpin revolusi. Yesus datang bukan dengan kuda perang, melainkan dengan keledai—simbol damai. Ia tidak mengangkat pedang, melainkan memanggil murid-murid untuk memikul salib.
N.T. Wright menulis:
“Orang-orang menginginkan seorang nabi, tetapi nabi ini akan mengatakan bahwa kota mereka berada di bawah penghakiman Allah. Mereka menginginkan seorang Mesias, tetapi yang ini akan ditinggikan di atas salib kafir. Mereka ingin dibebaskan dari kejahatan dan penindasan, tetapi Yesus akan membebaskan mereka dari diri mereka sendiri.”
(Jesus and the Victory of God)
3. Iman dan Penyerahan: Menyelaraskan Diri dengan Rencana Allah
Paradoks Minggu Palma menjadi pelajaran abadi bahwa iman sejati bukanlah soal mengatur Tuhan sesuai rencana kita, tetapi menyerahkan diri kita ke dalam rencana-Nya. Mereka berseru “Hosana!” tetapi hanya beberapa hari kemudian, kerumunan yang sama berteriak, “Salibkan Dia!,” ekspektasi yang tidak terpenuhi berubah menjadi penolakan.
Dietrich Bonhoeffer pernah berkata:
“Allah tidak menggenapi semua keinginan kita, tetapi Ia menggenapi semua janji-Nya.”
(Letters and Papers from Prison)
Doa dan iman bukanlah sarana untuk memaksa kehendak kita kepada Tuhan, tetapi untuk membuka hati agar kehendak Tuhan terjadi atas hidup kita. Inilah esensi doa yang Yesus sendiri ucapkan di Taman Getsemani:
“Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” (Lukas 22:42)
Inilah paradoks besar dalam iman: bahwa Allah tidak selalu bertindak sesuai dengan ekspektasi kita, tetapi selalu bertindak sesuai dengan rencana penebusan-Nya.
Kesimpulan
Seruan Hosana adalah seruan permohonan iman yang tulus, tetapi bisa dengan mudah disalahartikan ketika dibalut dengan harapan yang salah arah. Iman bukanlah kontrak dagang dengan Tuhan, melainkan penyerahan diri pada kasih dan rencana-Nya.
Minggu Palma mengajak kita merefleksikan:
Apakah kita mengikuti Yesus karena kita mengenal-Nya, atau karena kita mengharapkan sesuatu dari-Nya?
Ketika Yesus tidak memenuhi ekspektasi kita, akankah kita tetap menyebut-Nya “Terpujilah yang datang dalam nama Tuhan?”
“Dia datang bukan dengan kemegahan atau pertunjukan militer, tetapi dengan kelembutan hati, membawa keselamatan — bukan melalui senjata tetapi melalui kebenaran dan damai.”
-St. Cyril dari Alexandria dalam Commentary on Zechariah-