Landasan Teks: Lukas 24:13–35
Pendahuluan: Perjalanan yang Tidak Diharapkan
Dua murid Yesus sedang berjalan ke Emaus. Bukan karena mereka diutus, tapi karena mereka kecewa. Mereka bukan sedang mencari, melainkan sedang meninggalkan. Lukas dengan sangat jujur menuliskan kisah ini sebagai momen kelam yang kemudian berubah menjadi momen penuh terang. Dalam perjalanan ini, kita melihat tidak hanya dua murid, tapi juga wajah gereja yang sering bingung, ragu, dan lamban mengenali karya Kristus. Namun justru dalam narasi ini, kita juga menangkap tiga ritme kehidupan murid sejati: mengenal Kristus, bersekutu dengan-Nya, dan menghasilkan buah dalam kesaksian.
Narasi perjalanan ke Emaus ini telah banyak ditafsirkan sebagai salah satu kisah kebangkitan yang paling eksistensial dan personal, sekaligus liturgis dan misioner. Dalam terang ini, kita akan menggali bagaimana Lukas menenun ketiga tema besar kita (dalam Persekutuan GKT PPI Nganjuk) – Mengenal, Bersekutu, dan Berbuah – dalam satu kisah penuh perubahan hati dan arah hidup.
1. Mengenal Kristus: Ketika Mata Tertutup oleh Kekecewaan
“Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia.” (Luk. 24:16)
Perjalanan ini dimulai dengan ketidaktahuan. Mereka tidak mengenal Yesus, bahkan ketika Ia berjalan bersama mereka. Hal ini bukan hanya karena tubuh kebangkitan Yesus berbeda, melainkan karena mata rohani mereka tertutup oleh pengharapan yang salah. Mereka berharap Mesias adalah pemimpin politik yang membebaskan Israel secara lahiriah (ay. 21), tetapi salib telah mengguncang iman mereka. Mereka tahu fakta tentang Yesus, namun belum mengenal kebenaran tentang Dia.
Yesus, Sang Guru, tidak langsung membuka mata mereka, melainkan menuntun mereka melalui Kitab Suci. Ia menafsirkan seluruh kisah dari Musa hingga para nabi dan menunjukkan bahwa penderitaan adalah bagian dari rencana Mesias (ay. 27).
Seperti ditulis oleh N. T. Wright,
“What they needed was not just to see Jesus, but to understand the story – the story of God, of Israel, and how Jesus fulfills it.”
(Luke for Everyone)
Dalam perjalanan iman kita pun, pengenalan akan Kristus tidak cukup dari perasaan atau pengalaman rohani, tapi harus ditopang oleh narasi besar Allah dalam Alkitab. Pengenalan yang sejati akan Kristus selalu dimulai dengan pengajaran dan pemahaman akan Firman.
2. Bersekutu: Ketika Mata Terbuka di Meja Perjamuan
“Ketika Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkan dan memberikannya kepada mereka.” (Luk. 24:30)
“Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia.” (Luk. 24:31)
Setelah pengajaran, Yesus tidak langsung menghilang. Ia masuk dalam persekutuan. Di meja makan, Yesus menjadi tuan rumah – Ia yang mengambil alih peran memecah roti. Tindakan ini mengingatkan pada dua hal penting:
Perjamuan Kudus (Luk. 22:19) – momen kesatuan dengan Kristus.
Mujizat lima roti dua ikan – momen penyataan kemuliaan-Nya.
Di sinilah mereka akhirnya mengenal Dia. Persekutuan yang intim membuka mata rohani. Tindakan memecah roti adalah lebih dari sekadar makan; ini adalah penyataan diri ilahi dalam relasi yang dekat.
Henri Nouwen menuliskan dalam With Burning Hearts:
“The table is the place where we remember, recognize, and are reconciled. It is the place where the broken body of Christ becomes food for our broken lives.”
Dengan kata lain, bersekutu dengan Kristus dan sesama bukan hanya aktivitas sosial, tetapi ruang kudus di mana kebenaran menjadi nyata, dan pengenalan menjadi personal. Persekutuan sejati adalah jembatan antara pengajaran dan pengutusan.
3. Berbuah: Ketika Langkah yang Mundur Berbalik Menjadi Misi
“Kata mereka seorang kepada yang lain: 'Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?'” (Luk. 24:32)
“Mereka pun segera berangkat dan kembali ke Yerusalem.” (Luk. 24:33)
Pengalaman mengenal Kristus dan bersekutu dengan-Nya tidak berhenti menjadi pengalaman privat. Ia menjadi katalis bagi tindakan. Lukas mencatat bahwa mereka “segera” berangkat kembali ke Yerusalem – di malam hari, menempuh jalan yang sama namun dengan hati yang berbeda. Dari pelarian menjadi pengutusan.
Inilah buah sejati dari perjumpaan dengan Kristus yang bangkit:
Hati berkobar (transfigurasi batin)
Kaki melangkah kembali (transformasi arah hidup)
Mulut bersaksi (transmisi kabar Injil)
Dietrich Bonhoeffer menulis dalam Discipleship:
“The encounter with Christ does not leave a person unchanged. The call to follow is a call to die – and to live anew.”
Buah itu bukan hanya dalam bentuk pelayanan besar, tetapi dalam ketaatan sederhana: kembali ke komunitas, membawa kabar, dan menjadi saksi dari apa yang telah dialami.
Penutup: Emaus sebagai Cermin Gereja dan Pribadi
Kisah Emaus adalah ikon dari perjalanan rohani kita semua. Kita sering kali berjalan menjauh dari panggilan kita karena kecewa, bingung, atau salah harap. Tapi Kristus yang bangkit menyusul kita, menafsirkan kembali hidup kita melalui Firman, mengundang kita ke meja persekutuan, dan akhirnya mengutus kita kembali ke dunia dengan hati yang berkobar.
Di dalam satu narasi ini, kita melihat:
Pengenalan yang dibentuk oleh Firman
Persekutuan yang membuka mata
Kesaksian yang dilahirkan dari hati yang dibakar oleh kebenaran
Narasi Emaus bukan sekadar cerita pasca-Paskah. Ia adalah kerangka kehidupan murid Kristus sepanjang masa.
Refleksi Pribadi
Apakah aku sungguh mengenal Kristus, atau hanya tahu tentang-Nya?
Apakah aku hidup dalam persekutuan yang membuka mata, atau hanya dalam kebersamaan yang kosong?
Apakah hatiku berkobar karena firman-Nya, dan langkahku berubah karena kasih-Nya?
Kiranya kita semua mengalami perjalanan Emaus kita sendiri, hingga kita berkata seperti dua murid itu:
“Bukankah hati kita berkobar-kobar?”
Dan berani melangkah kembali ke dunia, menjadi saksi dari Sang Hidup yang bangkit.