CORAM DEO
Dari Tatap Langit ke Tanggung Jawab di Bumi
CORAM DEO
Dari Tatap Langit ke Tanggung Jawab di Bumi
Ketika Langit Mengambil Fokus Kita
Kita semua mengerti kisah kenaikan Tuhan Yesus ke Surga, coba bayangkan sejenak suasana di bukit itu—Yesus, yang telah bangkit dari maut, kini perlahan naik ke surga. Mata para murid tertuju ke atas, menyaksikan awan menyembunyikan-Nya dari pandangan (Kisah Para Rasul 1:9–11).
Namun, justru di tengah keterpukauan itu, datang teguran yang mengejutkan:
“Hai orang-orang Galilea, mengapa kamu berdiri melihat ke langit?” (Kis. 1:11)
Teguran ini nampaknya bukan larangan mengagumi kemuliaan Kristus, pasti jika saya disana pun akan terdiam kagum melihat Tuhan naik ke langit di atas sana dalam kemuliaan-Nya. tetapi panggilan untuk bergerak: meninggalkan kekaguman kosong, dan memulai tanggung jawab misi. Kagum pasti ada, namun Firman Tuhan selalu mengingatkan kepada kita, ketika hati kita berjumpa Tuhan Yesus dan diubahkan, maka kita tidak akan tinggal diam begitu saja.
Dalam pemahaman teologi Reformed, ini adalah momen kunci untuk memahami bagaimana kenaikan Kristus menuntun umat untuk hidup coram Deo – di hadapan Allah, dengan kesadaran penuh, dalam seluruh aspek kehidupan.
I. Kenaikan Kristus: Awal Pemerintahan, Bukan Akhir Kehadiran
Dalam Alkitab, kita dapat melihat bahwa kenaikan Kristus bukanlah ketidakhadiran, melainkan pengangkatan:
Yesus naik ke surga bukan untuk menjauh, melainkan untuk memerintah sebagai Raja atas segala sesuatu (Efesus 1:20–22).
Herman Bavinck menyatakan dalam Reformed Dogmatics:
“Kenaikan Kristus adalah transisi dari kerendahan kepada kemuliaan ... Ia tidak berhenti menjadi manusia, tetapi sebagai manusia Ia kini memerintah atas semua ciptaan.”
(Reformed Dogmatics, Vol. 3)
Banyak orang Kristen secara tidak sadar menganggap bahwa Yesus "berhenti menjadi manusia" saat Ia naik ke surga, atau bahwa kemanusiaan-Nya "ditanggalkan" ketika Ia kembali kepada Bapa. Namun ini bertentangan dengan iman gereja mula-mula dan kisah yang tertulis di dalam Alkitab. Kristus bangkit dengan luka di tangan dan lambung yang masih nampak mengindikasikan bahwa tubuh-Nya saat bangkit sama seperti saat sebelum Dia mati. Ia tidak mengambil tubuh manusia hanya untuk sementara waktu (dari Natal sampai Kenaikan), melainkan selama-lamanya. Kenaikan Kristus adalah eksaltasi (peninggian), bukan "penghilangan" tubuh manusia-Nya. Jadi, dalam kenaikan, Kristus: Masih sebagai manusia sejati (yang kini telah dimuliakan) dan memerintah dunia sebagai manusia yang ditinggikan, menjadi perwakilan kita di hadapan Allah Bapa. Seperti dijelaskan Bavinck dalam kelanjutannya:
“Kristus yang naik itu tidak hanya sebagai Allah, tapi sebagai manusia... Ia sekarang adalah Kepala yang hidup, dan tubuh-Nya, yaitu gereja, sedang dipersiapkan untuk menyatu dalam kemuliaan.” (Reformed Dogmatics, Vol. 3)
Ingat, bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang berinkarnasi, Allah yang menjadi manusia, bukan dibalik manusia yang kemudian naik derajat menjadi Tuhan. Dari sini kita memahami, walau Kristus tidak tampak lagi dalam fisik-Nya di dunia ini, Ia sangat hadir—sebagai Tuhan atas sejarah, Gereja, dan hidup pribadi kita. Kita tidak hidup sendirian. Kita hidup dalam dunia yang dikuasai oleh Raja yang telah naik, dan inilah dasar dari panggilan hidup coram Deo.
II. Coram Deo: Menghidupi Kesadaran Hadirat Allah di Dunia Nyata
Istilah coram Deo berarti: hidup di hadapan wajah Allah.
Ini bukan sekadar kesadaran rohani saat berdoa, tetapi sebuah kerangka totalitas hidup. Seperti dikatakan oleh R.C. Sproul:
“To live coram Deo is to live one’s entire life in the presence of God, under the authority of God, to the glory of God.”
(The Holiness of God)
Kenaikan Kristus justru memperdalam realitas ini:
Karena Kristus naik dan kini berkuasa, maka seluruh hidup manusia—di dapur, kantor, ladang, pasar, dan layar HP atau komputer—berada dalam wilayah pemerintahan-Nya.
Bavinck juga sama menegaskan:
“Tidak ada satu bidang pun dari kehidupan manusia yang dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan Kristus.”
(Reformed Dogmatics, Vol. 1)
Inilah yang menjembatani spiritualitas dan tanggung jawab duniawi. Menatap langit penting, tetapi menjawab panggilan di dunia adalah wujud sejati dari penyembahan.
III. Dari Langit ke Ladang di Bumi: Coram Deo dalam Tanggung Jawab Harian
Teguran malaikat di Kisah 1:11 mendorong kita untuk kembali melihat ke dunia di sekitar kita. Kita tidak dipanggil untuk menghindari dunia, melainkan untuk melayani di dalamnya. Dalam Bahasa teologi Reformed, ini dikenal dengan konsep vokasi—bahwa setiap pekerjaan yang sah adalah pelayanan kepada Allah.
John Calvin menyebut dunia ini sebagai “panggung kemuliaan Allah” (theater of God’s glory), dan manusia diberi peran masing-masing untuk memuliakan Tuhan dalam pekerjaan dan tanggung jawab mereka:
“Pekerjaan sehari-hari orang kudus, betapapun sederhana, adalah bagian dari penyembahan kepada Allah.”
(Institutes of the Christian Religion, III.X.6)
Jadi, hidup coram Deo berarti:
Guru yang mengajar dengan integritas,
Petani yang menanam dengan iman,
Pengusaha yang berdagang dengan kejujuran,
Ibu rumah tangga yang membesarkan anak dengan kasih Kristus.
Semua ini adalah ekspresi penyembahan kepada Raja yang tak terlihat—karena kita tahu Dia melihat kita. Mempersembahkan hidup kita untuk melayani Tuhan harus benar-benar nampak dalam kenyataan hidup, bukan hanya menjadi pemanis yang keluar dari lidah (hanya omong kosong).
IV. Gereja yang Tidak Terpaku ke Langit
Gereja yang hanya menatap ke langit (surga) akan kehilangan dunia.
Tetapi gereja yang hidup coram Deo akan menjadi tubuh Kristus yang hadir di tengah dunia.
Abraham Kuyper pernah berkata:
“Tidak ada satu inci pun dalam kehidupan manusia yang tidak diklaim Kristus sambil berkata: Itu milik-Ku!”
Kutipan ini merangkum esensi hidup coram Deo pasca-kenaikan: kita hidup di dunia dimana Kristus memerintah, maka haruslah kita jadikan semua ruang hidup sebagai ruang pelayanan. Gereja bukan tempat untuk menunggu surga, tetapi komunitas yang bergerak membawa surga ke bumi melalui kasih, keadilan, penginjilan, dan kerja nyata.
Penutup: Melihat ke Langit, Melayani di Dunia
Yesus telah naik ke surga. Tapi itu bukan tanda absen atau kekosongan pemerintahan-Nya, melainkan awal dari pemerintahan-Nya yang tak tampak namun sangat nyata.
Bagaimana dengan kita? Kita tidak tinggal diam memandang awan.
Kita hidup coram Deo:
dengan mata yang tahu ke mana kita menuju, tetapi dengan tangan yang bekerja bagi dunia yang sedang diperbarui-Nya.
Kenaikan Kristus memanggil kita untuk:
Menyembah-Nya sebagai Raja,
Melayani dunia dengan cinta,
Menghidupi iman bukan dalam pelarian dari dunia, tetapi dalam keterlibatan penuh untuk memuliakan Allah.
Soli Deo Gloria.