Semua untuk Hindia merupakan kumpulan cerita pendek yang seluruh kisahnya terjadi saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Kisah-kisahnya merentang dari masa kedatangan Cornelis de Houtman pada 1596 hingga masa-masa awal Indonesia merdeka. Masing-masing diceritakan dari sudut pandang tokoh-tokoh utamanya yang beragam seperti wartawan perang, polisi, tentara, pastor, administratur perkebunan tembakau, dokter tentara, hingga seorang Nyai. Yang membuat kisah-kisah dalam buku ini menjadi menarik adalah hampir semua konflik yang terjadi pada tokoh-tokohnya terkait dengan peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah yang pernah terjadi pada masa kolonialisme. Seperti pada cerpen Semua untuk Hindia yang dijadikan judul buku ini. Di cerpen ini, pembaca akan disuguhi sebuah kisah tentang wartawan Belanda yang bersahabat dengan gadis kecil keluarga Puri Kesiman yang kelak menewaskan diri dalam Perang Puputan di Bali. Di cerpen ini dikisahkan bagaimana si Wartawan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tragis dan dahsyatnya Perang Puputan.

Selain peristiwa perang puputan di Bali, Iksaka Banu juga menyuguhkan kisah berjudul Bintang Jatuh, berlatar pemberontakan etnis Tionghoa terbesar di Hindia Belanda pada 1740. Dikisahkan, tokoh utama, seorang perwira menengah Hindia mendapat tugas rahasia untuk membunuh Gustaff van Imhoff, saingan gubernur Jenderal Hindia Belanda, Adriaan Valckenier. Di cerpen ini pembaca tidak hanya mendapat gambaran bagaimana konflik batin tokoh utama dan bagaimana pemberontakan entis Tionghoa dapat terjadi, melainkan juga gambaran kondisi politik di Hindia Belanda pada masa itu, dimana terjadi persaingan dan perseteruan dua kubu elite Belanda antara Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dengan saingannya, Gustaaf Willem van Imhoff.


Download Untuk Apa Hindia


Download File 🔥 https://urluso.com/2y4J37 🔥



Kisah lainnya masih berbalut sejarah Indonesia di zaman kolonial dapat kita temukan dalam ketigabelas cerpen yang masing-masing judul diberi ilustrasi hitam putih karya Yuyun Nurrachman. Selain tentang peperangan, ada juga kisah humanis menyentuh seperti kisah administratur perkebunan tembakau Deli yang terpaksa mengusir gundik dan anak-anak yang dicintainya menjelang kedatangan istrinya (Racun untuk Tuan), kisah Nyai yang disayang Tuannya namun berselingkuh (Stambul Dua Pedang), dan lain-lain.

Tidak ada masyarakat di dunia yang memiliki pengetahuan atau kesadaran sejarah sepenuhnya, dalam pengertian pemahaman secara lengkap, rinci dan secara faktual tepat atas peristiwa-peristiwa terpenting dalam beberapa generasi pendahulunya. Setiap peristiwa terlalu rumit dan kaya untuk direkam dan disusun dalam kata-kata, bahkan dengan bantuan gambar dan gambar-bergerak. Tidak bisa tidak sejarah dituturkan dan dimasyarakatkan dalam pola yang berbatas, berpihak, dan terfokus pada hal-hal tertentu, dengan mengorbankan sedikit atau banyak hal-hal lain yang dianggap kurang atau tidak penting oleh elit yang sedang berkuasa pada masa penulisan sejarah itu. Dengan demikian, sejarah tidak secara mutlak berbeda dari penuturan cerita dalam ragam yang lain, entah itu warta-berita, laporan penelitian, atau sastra fiksi.

Dengan mempertimbangkan latar belakang seperti itu, buku Semua Untuk Hindia ibarat petir yang menggelegar ketika jumpai pertama kali. Ini bukan buku sejarah dan tidak dimaksudkan untuk memberikan pelajaran sejarah. Semua isi buku itu berupa cerita rekaan, yang disusun dengan latar belakang sejarah kolonial Hindia Belanda, sebelum disebut Indonesia. Cerita-cerita dalam buku itu bukan saja mengisi sebagian yang lowong dan ruang gelap dalam sejarah baku atau resmi dan populer (non-resmi) di Indonesia. Yang lebih penting, ia secara radikal menggelitik kesadaran baru tentang sejarah, tentang kolonialisme, juga tentang Hindia Belanda, yakni cikal bakal Indonesia.

Seharusnya sudah jelas bahkan bagi para siswa sekolah dasar: betapa sedikitnya jumlah orang berkulit-putih yang mau dan mampu berlayar mengarungi samudra, menempuh jarak separoh bola bumi selama berbulan-bulan, dan kemudian tinggal di Hindia Belanda selama masa penjajahan. Bahkan seandainya ada beberapa kali lipat lebih banyak orang Belanda yang berbondong-bondong meninggalkan tanah airnya, dan tiba dengan selamat di kepulauan Hindia Belanda ini, jumlahnya tidak akan pernah cukup untuk mengatur pemerintahan di wilayah jajahan seluas ini. Ternyata sebagian besar roda pemerintahan penjajahan Hindia Belanda dapat berjalan dengan lancar dan berpuluh tahun, berkat jasa penduduk lokal berkulit cokelat pada pemerintahan kolonial yang memeras penduduk di kawasan kepulauan ini. Hal ini semestinya sudah jelas bagi saya dan kawan-kawan seusia saya sejak di sekolah dasar. Tetapi karena tidak banyak dikemukakan dalam buku dan kelas pelajaran sejarah, atau pidato atau novel atau film, hal itu seakan-akan terabaikan dalam berbagai diskusi tentang Hindia Belanda.

Dalam beberapa tahun belakangan, kita saksikan maraknya usaha dari berbagai kalangan untuk menggali kembali sejarah kaum peranakan Tionghoa yang sempat dibungkam pada masa Orde Baru. Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru, berbagai seminar telah diselenggarakan dan penerbitan buku diupayakan untuk menemukan kembali dan menyisipkan peran beberapa tokoh dari masa lampau ke dalam sejarah Indonesia. Upaya semacam itu menambahkan informasi baru (nama-nama dan tanggal-tanggal) ke dalam sejarah nasional yang ada, tanpa menggugat kerangka sejarah itu sendiri dan dasar-dasarnya. Mereka membantu menyempurnakan kerangka berpikir kolonial, dan etno-nasionalisme ala Orde Baru. Yang kita butuhkan saat ini adalah gugatan mendasar terhadap kerangka kesejarahan semacam itu.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Tur yang dilakukan Aletta memang diniatkan untuk menyaksikan dan mengevaluasi kondisi sosial-politik perempuan di berbagai wilayah. Hindia Belanda, tempat Charlotte tinggal sejak 1884, masuk dalam daftar kunjung Aletta.

Aletta sampai di Hindia pada 1912. Dalam kunjungan itu, ia sempat bertemu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg pada 18 April. Dalam buku hariannya, seperti dikutip Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market, Aletta menceritakan obrolannya ketika bertemu Idenburg. Aletta sempat bersikukuh agar pemerintah mulai menerima anak perempuan untuk mengikuti program pelatihan dokter.

Menurutnya, keberadaaan dokter perempuan amat penting untuk melayani pasien perempuan. Ia bahkan mengusulkan agar gadis-gadis pribumi diterima di sekolah kedokteran supaya dokter Jawa perempuan hadir di masyarakat. Ia juga mengkritik akal-akalan pihak sekolah menolak perempuan jadi murid dalam sekolah medis.

Dana itu dialamatkan pada mahasiswa kedokteran dan untuk membiayai pelatihan perawat. Marie Thomas diterima sebagai siswi pertama pada September 1912. Dua tahun kemudian Anna Warouw, siswi kedua, diterima sebagai mahasiswa kedokteran. Keduanya orang Minahasa. Marie Thomas di kemudian hari menjadi dokter spesialis bidang ginekologi dan kebidanan Indonesia pertama, sementara Anna spesialis THT.

Selain membukakan jalan untuk kelahiran dokter perempuan Indonesia, Aletta juga aktif dalam perjuangan hak pilih perempuan. Laman atria.nl mencatat Aletta menduduki kursi pimpinan Vereniging Voor Vrouwenkiesrecht (VVV) selama 16 tahun (1903-1919). Aletta turun dari jabatan presiden VVV setelah tuntutan para perempuan Belanda untuk mendapat hak pilik aktif dikabulkan pada 1919. Dua tahun sebelumnya, mereka hanya menikmati hak pilih pasif.

Di dalam Pakta Empat Negara itu, terdapat resolusi yang dibuat "untuk menghormati hak-hak Belanda terkait kepemilikan kepulauan mereka di Samudra Pasifik". Maka, AS tidak mengikuti urusan Belanda dan pulau-pulau koloninya, secara politis. Namun, kondisinya akan berubah setelah Perang Dunia II.

Akibatnya, impor Hindia Belanda dari Jepang meningkat pesat, dan menurun drastis kepada Belanda dan Inggris pada 1930-an. Kondisi ini mendorong Belanda untuk mengontrol koloninya untuk membatasi pengaruh Kekaisaran Jepang.

Pada 24 Juli 1941, Duta Besar Jepang untuk AS bertemu dengan Presiden F.D Roosevelt, Hull, dan Laksamana Harold Stark di Gedung Putih. Roosevelt mengecam invasi terhadap Asia Tenggara dan tidak akan lagi mengabaikan baik ancaman maupun tindakan Kekaisaran Jepang di Pasifik.

Kesadarannya akan banyaknya masalah di dunia saat inilah yang membuatnya merasa putus asa dan pasrah terhadap hidup, sebab ia merasa tak bisa berbuat banyak untuk merubahnya. Ia merasa tak bisa berbuat banyak akan masalah-masalah yang ada, sebab ia merasa ia bukanlah siapa-siapa di tengah permasalahan ini semua.

Kelebihan dari novel ini adalah penulis menulis cerita pendek ini dengan latar belakang yang baru yaitu yang bertemakan sejarah. Novel ini menunjukkan sudut pandang baru dari orang Belanda terhadap Hindia (Indonesia) saat itu. Bahasa yang digunakan bisa dimengerti untuk pembaca yang tidak terlalu memahami sejarah. Namun sayangnya kosakata asing dalam novel ini kurang banyak. Hal tersebut bisa saja menyebabkan pebaca kesulitan untuk memahami cerita dengan utuh.

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.

Selain dalam bidang pendidikan, kebijakan politik etis telah menghasilkan usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa pribumi, seperti misalnya pembuatan irigasi, pendirian bank-kredit untuk rakyat, subsidi untuk industri pribumi dan kerajinan tangan. Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya. e24fc04721

zip file to iso converter free download

restart ucell

candy crush saga download android

wii system menu 4.3 wad download

autocad higher version to lower version converter software download