Lima adalah sebuah film antologi drama Indonesia tahun 2018 yang disutradarai oleh lima sutradara Indonesia diantaranya Lola Amaria, Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo. Film ini dirilis pada 31 Mei 2018.

Fara (Prisia Nasution), Aryo (Yoga Pratama), dan Adi (Baskara Mahendra) baru saja ditinggal wafat ibu mereka, Maryam (Tri Yudiman), yang juga dirasakan oleh pembantu mereka, Ijah. Sebuah perdebatan mengenai upacara pemakaman Maryam terjadi di antara ketiga anaknya, mengingat Maryam adalah seorang muslimah dan hanya Fara yang seagama dengan ibunya. Walaupun perdebatan dapat diselesaikan, tetapi ini merembet ke masalah lainnya: Fara, yang merupakan pelatih renang, selalu menentukan atlet yang dikirim ke pelatihan nasional tanpa mempertimbangkan unsur SARA. Namun, Fara harus menghadapi tantangan dari pemilik klub Fara, padahal muridnya tak pernah mempermasalahkan warna kulit mereka. Adi yang sering dirundung teman sekolahnya harus melihat peristiwa yang tak berperikemanusiaan. Aryo harus menjadi pemimpin dalam persoalan warisan sebagai anak laki-laki tertua di keluarga. Ijah terpaksa pulang kampung untuk menuntut keadilan bagi keluarganya. Hanya satu penyelesaian yang dibutuhkan Fara, Aryo, Adi, dan Ijah: Pancasila yang terdiri dari sila mengenai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.


Download Film Lima (2018) Full Movie


DOWNLOAD 🔥 https://tiurll.com/2yGcbW 🔥



Film Lima ditayangkan di seluruh bioskop di Indonesia pada 31 Mei 2018, satu hari sebelum Hari Lahir Pancasila.[3] Namun, film ini terlebih dahulu ditayangkan 6 hari sebelumnya, 25 Mei, di Universitas Gadjah Mada.[4]

Walaupun tema film Lima mengenai Pancasila, tetapi film ini diklasifikasikan untuk .mw-parser-output .tooltip-dotted{border-bottom:1px dotted;cursor:help}17+. Ini menyebabkan 38 komunitas yang tergabung dalam Pancasila untuk Generasi Muda mengadakan mediasi dengan Lembaga Sensor Film terkait dengan keputusan lembaga tersebut. Turut melibatkan juga produser film Lola Amaria dan anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat seperti Charles Honoris, Dave Laksono dan Arvin Hakim Thoha.[5] Tujuan mediasi tersebut adalah mengatur ulang klasifikasi film ini agar mendapatkan klasifikasi yang lebih rendah, yaitu 13+. Setelah melalui mediasi, LSF tetap pada keputusannya untuk mengklasifikan film ini sebagai film untuk 17+.[6]


Join us for a film screening of Ciudad Infinita, Voces de El Ermitao (2018) and a conversation between Dr. Kathrin Golda-Pongratz and Prof. Caroline Moser on urban longitudinal research methodology through film.

The documentary visualises the contemporary challenges of El Ermitao by reactivating the memory of its origins and of its multiple identities produced by migration. At the same time, it alerts on current problems, the loss of a sense of community and the high risk for dwellers in unstable hill invasions, the unique ecosystem of the Lomas and for unprotected archaeological sites in the area. The protagonists of the documentary give evidence of how important public policies are for those sectors of Lima, where organized land-trafficking and uncontrolled urban expansion has become a serious issue. The documentary seeks to inspire tactics and policies for participatory interventions in self-built neighbourhoods and to collectively improve their quality of life.


Prof Caroline Moser is an urban social anthropologist and social policy specialist. She has more than forty years working on the interrelationship between theory and practice around the three main urban development themes of gender, asset accumulation and violence and conflict. Caroline was one of the producers of the film Calle K. 152ee80cbc

download my baby 39;s beat

binary options course download

dj sound check marathi mp3 song download 2023