Side Story 16

Erna mendengar Bjorn kembali, tepat pada waktunya untuk pelajaran berikutnya. Dia menegakkan tubuh ketika dia masuk ke kamar mereka tanpa mengetuk.

Erna sedang konferensi dengan Nyonya Fitz, membahas pesanan dekorasi taman selama festival.

"Baiklah," kata Nyonya Fitz, "kita bisa membicarakan sisanya setelah makan malam."

Nyonya Fitz bisa merasakan ketegangan meningkat dan minta diri secepat pasangannya melakukannya dengan sopan. Bjorn mengangguk menghargai wawasan cerdas pengasuhnya yang dulu. Setelah pintu ditutup, hanya pasangan Ducal yang tersisa.

"Mengapa kamu masuk tanpa izin?"

Bjorn tidak langsung menjawab, dia berjalan melintasi ruangan dan berdiri di meja di sampingnya, sementara Erna berpura-pura gagal mengatur pita di rambutnya. Dia sudah mengenakan pakaian berkudanya.

"Kenapa kamu tidak mengatakan apa-apa?" Kata Erna, rasa frustrasinya sudah memuncak. Bjorn senang dia datang.

Erna tidak terlalu marah pada Bjorn dan meskipun benar, dia merasa kata-katanya tidak pantas. Dia dapat memahami bahwa Bjorn melakukan yang terbaik untuknya, untuk menepati janjinya. Bjorn selalu menyediakan waktu untuknya, bahkan di tengah jadwal sibuknya, lebih dari yang bisa dia katakan untuk dirinya sendiri.

Meskipun dia kurang pertimbangan dan kesabaran, dia melakukan yang terbaik untuk mengajarinya cara menunggang kuda. Itu adalah cinta, tidak salah lagi. Dia tidak lagi meragukan ketulusannya, dia hanya berharap dia sedikit lebih penyayang. Jadi jika dia maju dan meminta maaf seperti ini, dia akan menerimanya.

Bjorn mengulurkan tangannya. "Berhenti pergi ke kelas." Dia memandang Erna dan tersenyum. Dia tenang, seolah dia sudah benar-benar melupakan kejadian kemarin. "Mari kita buat seolah-olah kemarin tidak pernah terjadi."

"Apakah kamu di sini bukan untuk meminta maaf?" Kata Erna sambil meraih ujung gaunnya agar dirinya tidak memegang tangan pria itu.

"Meminta maaf? Aku?"

"Kupikir kamu datang kesini untuk meminta maaf atas caramu memperlakukan istrimu kemarin."

"Oh, aku tidak bermaksud meremehkanmu, kamu langsung mengambil kesimpulan. Aku hanya mencoba menunjukkan bahwa Dorothea memiliki lebih banyak pengalaman dengan pengendara baru daripada dirimu. Itu adalah kebenaran yang nyata adanya."

"Maaf?"

"Kuda bukanlah binatang yang bodoh, Erna, jika aku ingin membandingkanmu dengan orang bodoh, aku tidak akan membandingkanmu dengan kuda." Bjorn melanjutkan penjelasannya, alisnya berkerut seolah semuanya sudah jelas.

Alih-alih meminta maaf, dia mendatanginya seperti dia ingin bertarung lagi, tapi bahkan di tengah-tengah itu, dia tetap tenang dan frustasi. Hal itu membuat Erna semakin kesal.

"Terus? Dorothea bukan hanya pengendara yang lebih baik dariku, tapi dia juga lebih pintar dariku, kan?"

"Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu."

"Lalu apa?"

"Aku mencoba memperbaiki kesalahpahamanmu, sekaligus mencoba menunjukkan bahwa aku memahami dirimu, tetapi kamu sepertinya tidak memahamiku." Senyuman Bjorn terasa menggurui.

Erna merasa dia akhirnya bisa memahami apa yang ingin dikatakan Bjorn. Ini adalah upayanya untuk berdamai, mungkin lebih bijaksana untuk mengatakan bahwa dia pikir dia bisa menyelesaikan masalah ini jika dia memaafkannya.

Sekarang siapa yang lebih bodoh dari seekor kuda? Seorang bankir, yang terkenal karena kecerdasannya dan dengan cepat menjadi raja dunia keuangan, tidak mempunyai bakat atau otak dalam hal percintaan.

Erna memandang orang bodoh yang cerdas itu. Dia berdiri dari pekerjaannya dan perlahan-lahan membawanya masuk. Dia mulai dari sepatu bot berkuda yang sangat halus, hingga kakinya yang panjang dan ramping dan melewati jaket merah. Dia berhenti di wajah tampannya, yang tersenyum padanya.

Dia menatapnya dengan keheranan baru. Wajah tampannya memberinya kegembiraan dan kegembiraan itu memadamkan amarahnya, memberinya kesabaran yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

"Kamu berada di bawah banyak tekanan karena kamu melekat dan terobsesi pada hal-hal tidak berguna yang tidak perlu kamu kelola sendiri. Aku mencoba untuk bersikap adil, bukan?"

Erna menatapnya tanpa berkata apa-apa, menyatukan kedua tangannya dan tersenyum sopan.

"Bisakah kamu meninggalkan kamarku?" Hanya itu yang ingin Erna katakan pada si cantik bodoh ini.

*.·:·.✧.·:·.*

Kerumunan orang dipenuhi dengan antisipasi, menunggu Putra Mahkota tiba dan ketika dia akhirnya menunjukkan dirinya, tidak ada yang tahu harus berkata apa, saat dia tiba dengan seorang wanita muda cantik di lengannya.

Leonid telah menerima banyak spekulasi dan rumor hingga saat ini, karena dia belum pernah terlihat bersama seorang wanita sebelumnya. Beberapa orang bahkan berspekulasi bahwa dia adalah seorang monoteis atau bahkan gay.

Melihatnya bersama seorang wanita untuk pertama kalinya, semua orang diliputi keheranan dan pertanyaan, siapakah wanita ini? Beberapa orang berpikir bahwa dia pastilah seorang bangsawan asing, dan tidak mengenalinya dari kalangan sosial mana pun. Beberapa orang berharap Pangeran tidak akan berani membawa kerajaan asing lainnya ke dalam kelompoknya setelah apa yang terjadi dengan Putri Gladys.

Saat bisikan lembut itu berubah menjadi gelombang rumor yang sangat besar, raja, yang telah mengakhiri pidato pembukaannya, menempatkan Putra Mahkota sebagai pusat perhatian. Wanita itu mempesona saat matahari musim panas menyinari dirinya.

Dia diperkenalkan sebagai Rosette Preve saat Putra Mahkota mengumumkan pertunangannya. Nama itu terucap di bibir semua orang.

*.·:·.✧.·:·.*

Leonid sedang berteduh di bawah pohon di sudut taman, mencari untuk mengatur napas ketika Bjorn menemukannya. Perairannya sekarang diwarnai dengan warna matahari terbenam.

Si kembar berdiri di samping, hanya dibedakan dari pakaian bagus mereka, Leonid sedikit lebih halus, sebagai Putra Mahkota. Cahaya dari lentera kaca yang tergantung di pohon membuat saudara-saudaranya bersinar hangat.

"Kenapa kamu masih memakai kacamata itu?" Jarang sekali melihat Putra Mahkota mengenakan kacamata berbingkai emas, bertengger di hidung, menjaga wajahnya.

"Rosie menyukainya, itu lebih familiar baginya."

"Rosie?" Bjorn menghela nafas melihat nama Rosette Preve yang asing. "Dasar bajingan gila." Itulah satu-satunya hal yang terpikir oleh Bjorn untuk dikatakan.

"Rosie sepertinya cocok dengan Grand Duchess." Kata Leonid sambil mendorong kacamatanya.

Bjorn mengangguk, mempertimbangkan pernyataan kakaknya. Grand Duchess of Schuber dan Putri Mahkota yang baru diumumkan, sedang mengobrol di bawah pohon apel, masih duduk di meja tempat Leonid dan Bjorn meninggalkan mereka. Sepanjang makan malam mereka, Erna dan Rosette memegang kendali penuh atas pembicaraan.

"Grand Duchess adalah orang yang baik, Bjorn." Ekspresi Leonid serius, Bjorn mengangguk sambil menatap istrinya.

Erna tentu saja telah melakukan yang terbaik hari ini. Mulai dari dekorasi bunga, makanan, dan pengaturan tempat duduk, dia telah memperhatikan setiap detail kecilnya. Dia bahkan menghabiskan hari itu dengan berkeliaran di sekitar Putri Mahkota, hampir seperti bayangannya, merawatnya dan memperhatikan kebutuhan terkecilnya.

Dia adalah wanita yang baik hati. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menggambarkan istrinya. Hal ini sangat kontras dengan sikapnya yang galak dan tajam terhadap suaminya.

"Apakah kalian berdua bertengkar?" Komentar Putra Mahkota membuat Bjorn lengah. "Kalian harus berbaikan sekarang, sebelum terjadi banyak kemalangan, seperti musim dingin lalu."

Bjorn tidak mengerti apa maksud Leonid, ketika dia memberikan penekanan khusus pada 'musim dingin lalu'.

"Diam, Leo," Bjorn tersenyum, sekali lagi mengutuk mimpi buruk yang mengerikan itu.

Setelah membungkuk sedikit, Leonid pergi menemui tunangannya yang baru saja selesai berbicara dengan Erna. Bjorn memperhatikannya pergi dengan kegilaan yang tidak seperti biasanya dan tertawa seolah sedang bernyanyi. Leonid tidak pernah berubah.

Bjorn menyimpulkan bahwa tidak ada gunanya mengkhawatirkan Putra Mahkota dan mengalihkan perhatiannya ke Erna, yang sekarang duduk di bawah pohon apel sendirian. Dia mengagumi lentera kaca di pohon apel, seluruh wajahnya menghadap ke atas dan menerima cahaya hangat dari lampu. Dia tampak begitu lembut dan polos.

"Itulah sebabnya aku selalu menjadi Pangeran yang bermasalah." Bjorn tertawa pada dirinya sendiri, merasa sedikit sedih.

Setelah ditolak satu atau dua tingkat, dia tidak lagi mengupayakan rekonsiliasi. Kemarahan yang muncul di benaknya memudar dengan cepat. Dia tidak akan pernah bisa menemukan cara untuk membalikkan hubungan tersebut. Erna masih teralihkan perhatiannya saat memutuskan berkomitmen pada pekerjaannya sebagai suami yang berbakti. Pada saat itu, mata mereka bertemu di hamparan taman, tempat perang dingin mereka terjadi.