Chapter 149

Stasiun pusat Kassen ramai dikunjungi orang, semuanya adalah korban kereta yang tergelincir, keluarga korban, atau relawan yang kelelahan. Peronnya kacau balau, kekacauan yang tidak terorganisir, berisi korban luka dan barang bawaan. Itu adalah kekacauan yang membingungkan.

Bjorn turun dari kereta dari Schuber, wajahnya tanpa emosi. Suara bising dan hembusan udara dingin memenuhi telinganya. Mengabaikan itu semua, Bjorn berjalan melewati kerumunan. Pelayannya mengikuti di belakangnya, berusaha mati-matian agar Bjorn tidak hilang di tengah kerumunan.

Meski istrinya mengalami kecelakaan serius, Bjorn tidak tampil sebagai orang yang mengkhawatirkan kesehatan orang yang dicintainya. Dia hanya berjalan melewati kerumunan, mencari kepala stasiun, setelah ditemukan, Bjorn mendengarkan laporannya dengan penuh perhatian.

Kecelakaan itu terjadi ketika tembok tanggul jebol dan menyebabkan tanah longsor menimpa kereta. Beberapa gerbong ada yang tertimbun, sehingga besar kemungkinan ada korban jiwa. Sayangnya, operasi penyelamatan terhambat salju dan kabut tebal.

"Apakah kita masih bisa menggunakan jalur keluar?" Bjorn bertanya, setelah mendengarkan laporan kepala stasiun.

"Ya, ada kereta yang dijadwalkan segera berangkat, tapi..."

Sebelum kepala stasiun dapat berkata apa-apa lagi, Bjorn berbalik dan bergegas mencari kereta yang berangkat. Bjorn melaju melewati kerumunan menuju tempat kereta menunggu. Dia mencoba yang terbaik untuk menghindari menjatuhkan orang, tapi hal itu tidak bisa dihindari dan setelahnya terdengar teriakan protes.

"Pangeran, Pangeran," pelayan Bjorn memanggilnya. "Tolong, tunggu, saya akan memberi tahu Kassen tentang kehadiran Anda, dapatkan bantuan mereka."

"Tidak," teriak Bjorn dari balik bahunya ketika dia menemukan kereta menuju selatan. "Kita tidak punya waktu untuk itu."

Kereta itu penuh dengan perbekalan untuk dibawa ke upaya bantuan. Tanpa ragu, Bjorn mendekati mesinnya.

"Tuan, bolehkah saya duduk bersama Anda?" Bjorn bertanya dengan sopan, sambil berdiri di tangga menuju kompartemen pengemudi. Pria di dekatnya melompat keluar dari kulitnya.

"Hei, anak muda, jika kamu perlu jalan, pergilah ke alun-alun, tahukah kamu apa yang sedang terjadi..."

"Tentu saja, aku ingin kamu membawaku ke lokasi kecelakaan, kamu akan pergi ke sana, bukan? Istri saya... istri saya ada di kereta itu." Matanya yang tadinya tenang kini memohon dan memohon agar pria itu membiarkannya pergi.

Masinis kereta menggaruk bagian belakang lehernya dan tampak malu. Gerobak telah terisi penuh dan siap berangkat, salah satu pengendali melambai untuk menarik perhatian pengemudi.

"Baik, tapi ini akan menjadi perjalanan yang tidak nyaman, ayolah."

Tanpa berpikir dua kali, Bjorn segera menaiki kereta yang berisi kotak P3K. Para pelayannya yang kebingungan dengan cepat mengikuti di belakangnya. Setelah pintu ditutup, gerobak berangkat menuju lokasi kecelakaan, tanpa membuang waktu dalam perjalanannya.

*.·:·.✧.·:·.*

Suara Walikota Kassen terdengar melalui barak, tempat pusat komando upaya bantuan berada. Terkejut dengan berita bahwa Pangeran Lechen berada di lokasi kecelakaan dan terlebih lagi, dia meminta daftar korban yang selamat.

Walikota melangkah keluar dari tenda dan melihat tim sukarelawan menghalangi jalan seorang pemuda yang sangat tinggi, berambut platinum, yang secara fisik berusaha menerobos semua orang.

"Minggir, semuanya, tidak bisakah kalian melihat bahwa dia adalah Grand Duke?"

Setelah mengeluarkan perintah tegas, para relawan menyingkir dan terlihat malu. Pangeran ragu-ragu dan melangkah ke arah Walikota, yang terus menerus menyampaikan permintaan maaf. Dia membimbing Pangeran ke dalam tenda.

"Saya mohon maaf sebesar-besarnya, Yang Mulia, kami telah bekerja tanpa henti untuk menyelamatkan semua orang semampu kami."

"Daftarnya, dimana?"

Bjorn mengabaikan semua formalitas dan menjelaskan bahwa dia tidak punya kesabaran untuk berbasa-basi saat ini. Walikota mengambil papan klip dari asistennya dan menawarkannya kepada Bjorn, dia mengambilnya seperti sedang mengambil barang berharga dari pencopet.

Pandangan Bjorn menyapu daftar itu, matanya bergerak bolak-balik antara kata "penyelamat", "terluka", dan "mati".

"Kami belum membuat banyak kemajuan, Yang Mulia, cuaca membuat segalanya menjadi lebih sulit dari yang seharusnya."

Keheningan menyelimuti pusat komando saat Bjorn melihat semua nama di daftar. Satu-satunya hal yang cukup berani untuk memecah keheningan adalah pergeseran kertas saat Bjorn membolak-balik halamannya. Dia memeriksa daftarnya beberapa kali, tetapi tidak menemukan satu pun nama Erna.

Mengembalikan daftar tersebut kepada Walikota tanpa mengucapkan terima kasih, Bjorn meninggalkan pusat komando dan mengarahkan perhatiannya ke lokasi kecelakaan. Bagian ekor kereta terkubur seluruhnya, artinya masih ada orang yang terkubur hidup-hidup.

Pemandangan gerbong yang hancur dan terbalik membuat jantung Bjorn berdebar kencang. Puing-puing yang terpelintir berfungsi sebagai pengingat akan kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh lumpur dan hujan.

"Yang Mulia, silakan masuk ke dalam," kata Walikota, mencoba mengantar Bjorn kembali ke pusat komando, namun Pangeran tetap tidak bergerak, terpaku pada mimpi buruk di hadapannya.

Tangisan ratapan para relawan bercampur dengan jeritan putus asa para korban. Suaranya menembus udara malam dan dibawa oleh angin dingin. Sesekali terlihat tandu yang bebannya tertutup kain putih seluruhnya, membawa korban untuk bergabung dengan almarhum lainnya. Suasana suram sangat membebani Bjorn, saat ia menyaksikan dampak yang memilukan.

Saat kegelapan turun, salju mulai turun lagi. Cahaya para penyelamat menjadi titik lemah di malam yang mengerikan itu.

"Pangeran ku?"

Pelayan Bjorn menarik perhatiannya untuk menawarinya payung dan memandangnya dengan prihatin. Pada saat itulah Bjorn menyadari orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya, seolah-olah mereka sedang mencari semacam penebusan dosa darinya.

Bjorn berbalik dan kembali ke barak. Dengan setiap langkah yang disengaja, pikirannya semakin dikuasai oleh Erna, pikirannya tentang Erna memenuhi pikirannya.

Dia bisa melihatnya dengan jelas, pada hari dia berangkat ke Schuber, berdiri teguh sampai dia tidak bisa lagi melihatnya dari gerbongnya. Rambut coklat lembutnya dan ujung roknya terbawa angin dan tampak seperti perpisahan terakhir.

Dia mengenang saat-saat mereka di Buford bersama. Kenyamanan malam dan kehangatan persahabatan mereka saat menyaksikan manusia salju mencair. Itu terpatri dalam hatinya dan dia merasa tenang setiap kali memikirkan Erna.

Dia berharap bisa menemukan cara untuk mengekspresikan emosi dalam dirinya, tapi dia ragu-ragu dan sekarang harus menelan kata-kata menantang itu saat dia kembali ke pusat komando. Salju semakin lebat setiap saat. Tidak diragukan lagi ini akan menjadi malam yang penuh tantangan.

Erna. Setiap kali dia menyebut nama itu, napasnya naik. Di suatu tempat di luar sana, dia terbaring berdarah dan kedinginan, di sudut gelap kereta itu. Hati Bjorn berteriak padanya, memanggilnya dan dia mungkin sedang menunggunya, yang tidak akan pernah tiba tepat waktu.

Erna, istrinya, telah menunggunya dan kali ini, dia bertekad untuk selalu ada untuknya. Nafasnya tercekat di tenggorokan seperti tercekik dan amarah membara yang kini memuncak memaksanya untuk tidak bertindak. Dia berdiri dari tempat duduknya dengan tiba-tiba, menyebabkan orang-orang di sekitarnya terkesiap kaget.

Mengabaikan suara protes mereka, Bjorn meninggalkan pusat komando, tidak bisa berdiam diri lagi. Dia menerobos salju dan berlari menuju kereta, tempat tim penyelamat dengan susah payah bekerja untuk membebaskan para korban. Meskipun dia bisa mendengar suara orang-orang di belakangnya yang memintanya untuk kembali, Bjorn tetap melanjutkan.

Dia tahu bahwa kesabaran adalah kunci dalam situasi ini, dia mengerti bahwa sangat kecil kemungkinannya dia bisa menemukan Erna, sendirian, di tengah kekacauan ini, tapi tidak mungkin dia membiarkan dirinya berdiam diri, sementara orang lain bekerja begitu rajin. Erna ada di luar sini, di suatu tempat.

Satu alur pemikiran itu melenyapkan semua pemikiran lain. Dia harus mencobanya, meskipun itu sia-sia. Jika dia hanya duduk dan menunggu, bagaimana dia bisa hidup dengan dirinya sendiri?

"Yang Mulia, Anda tidak boleh..." Para pelayan Bjorn buru-buru mencoba menghentikannya, tapi satu tatapan tajam dari Bjorn membuat pelayan itu mundur.

Bjorn berhenti sejenak, mengamati kereta, mencoba mencari tahu di mana Erna berada, tetapi tidak ada petunjuk yang jelas, jadi dia menuju gerbong pertama. Dia naik ke gerbong yang terbalik, memegang erat batang besi yang disediakan oleh tim penyelamat.

"Pangeran."

Bahkan ketika pelayan itu memanggil Bjorn, dia menggunakan batang besi untuk menghancurkan jendela kereta dan melompat ke dalam kegelapan.