Chapter 126

Louise menyapa Erna dengan senyuman hangat di bibirnya yang bergetar. Itu adalah senyuman yang sangat dikenali Erna dan setelah membungkuk sopan sebagai salam, dia menoleh ke pria yang berdiri di samping Louise.

Rambut platinumnya disisir rapi, membingkai wajahnya, dan matanya berwarna abu-abu dingin yang tajam.. Erna terkejut dengan penampilannya yang bermartabat, seperti...

"Ah...Halo Yang Mulia, Putra Mahkota."

Erna menyapa Leonid sebelum dia sempat menjelaskan, tapi meski tanpa kacamata, dia masih mudah dibedakan dari Bjorn.

Menghadapi Louise lagi, Erna tersenyum pelan, "Putri, sudah lama tidak bertemu."

*.·:·.✧.·:·.*

Mereka duduk dan Lisa membawakan minuman dan tanpa basa-basi, Leonid memutuskan untuk menjelaskan apa yang terjadi antara Lars dan Lechen serta perjanjian yang dibuat secara rahasia. Erna melakukan yang terbaik untuk memahaminya.

Dia dapat sepenuhnya memahami apa yang ingin Bjorn dapatkan sebagai imbalan karena melindungi aliansi antar Keluarga Kerajaan. Namun, urusan kenegaraan ini tidak lagi menjadi perhatian Erna dan tidak menyentuhnya secara berarti.

"Tidak apa-apa, Yang Mulia, Anda tidak perlu terus-terusan meminta maaf," Erna menghadap Leonid dengan senyuman di wajahnya. "Itu adalah perjanjian rahasia antara dua negara dan keselamatan monarki dipertaruhkan. Saya mengerti."

"Itu adalah ide Bjorn, untuk melindungi sang Putri. Dia memimpin negosiasi dan menyelesaikan perjanjian. Aku merasa dia mengambil terlalu banyak tanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya dengan baik."

"Saya mengerti," kata Erna, tetap menjauhkan diri.

Leonid menoleh ke Louise dengan ekspresi kosong dan Louise hanya menghela nafas, seolah tidak ada ujung tajam yang tersisa untuk dikikir. Erna benar-benar berbeda dari apa yang mereka duga, begitu berbeda hingga mereka tidak yakin ini adalah Erna yang asli.

"Louise," Leonid memanggil adiknya saat dia berjuang melawan kecanggungan.

Kecanggungan semakin parah dan Louise meletakkan cangkir tehnya. Dia menghela nafas lagi, sebelum mengangkat kepalanya untuk menghadap yang lain.

"Akusadar bahwa kata-kata dan tindakanku telah merugikan dirimu," kata Louise dengan percaya diri, "dan memang demikian, karena memang demikian adanya. Bisa dibilang itu karena aku tidak mengetahui kebenaran tentang Gladys, tapi itu hanya alasan saja. Faktanya adalah jika bukan karena Gladys, aku tidak akan pernah memendam perasaan seperti itu." Louise memandang Erna dengan acuh tak acuh. "Pada titik tertentu, aku pikir kamu tidak cukup baik untuk Grand Duke, bahkan mengira saudara laki-lakiku telah menjadi pangeran yang bermasalah. Tidak adil bagi saya untuk menghakimi dirimu berdasarkan rumor jahat dan reputasi yang tidak terbukti. Keinginanku terlalu lemah untuk mencari kebenaran bagi diriku sendiri."

Leonid mengerutkan kening pada adiknya, bertanya-tanya apakah kata-katanya tulus atau lebih mendekati ironi. Meskipun dia berjanji untuk meminta maaf, dia tidak tahu apakah dia tulus.

"Aku tidak tahu menahu atas tindakan Gladys dan hanya berharap temanku kembali ke posisinya. Aku percaya kita sedekat saudara perempuan dan aku membencimu karena menggantikannya. Setelah mengetahui kebenarannya, diriku menyadari bahwa itu hanyalah alasan untuk berperilaku kurang terhormat." Suasana hati Louise menjadi gelap saat dia terus berbicara, "Aku memendam kebencian terhadap kakakku karena menyembunyikan hal ini dariku, tidak diragukan lagi kamu juga melakukan hal yang sama, dan aku juga merasa menyesal karena telah ditipu, seperti apa yang aku bayangkan pasti kamu rasakan juga. Kita berdua harus bertekad untuk memaafkan saudaraku dan memahami posisinya, tapi ketahuilah bahwa aku tidak akan terus-terusan mengungkitnya untuk memaksa pengampunanmu."

Louise berdiri dengan kepala terangkat tinggi, seolah berjemur di bawah sinar matahari sore.

"Aku salah menggunakan Gladys sebagai alasan untuk melecehkan dirimu, menyebabkan luka yang tak terhapuskan yang sangat aku sesali."

"Putri..." Erna memulai sambil tersenyum.

"Alu minta maaf, Grand Duchess, atas kesombongan dan kecerobohan  diriku. Aku akan mengerti jika ku tidak ingin memaafkanku dan aku akan menghormati keputusanmu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu dan hanya meminta dirimu kembali, sebagai Grand Duchess." Louise menatap Erna dengan tatapan jernihnya, matanya memohon, "saudaraku sangat merindukanmu dan dia menunggumu."

*.·:·.✧.·:·.*

"Itu bukan salahnya," kata orang-orang ketika mendengar rumor tersebut.

"Putra keluarga Heinz selalu menjadi masalah dan Pangeran hanya bertindak untuk membela kehormatan istrinya."

Berita tentang pertarungan itu telah menjadi berita utama di tabloid-tabloid sepanjang hari, Grand Duke hidup sesuai dengan julukan yang memalukan, Pangeran Bermasalah Menyerang Lagi. Hanya saja kali ini, moniker tersebut digunakan untuk membebaskan Bjorn dari tuduhan sebagai seorang ksatria putih yang membela Putrinya.

Keluarga Heinz tetap bungkam mengenai masalah ini, tidak mau membuat pernyataan apa pun terkait aib ini. Atau mungkin mereka merasakan pembenaran seperti yang dilakukan Bjorn, Robin Heinz telah menjadi sumber penghinaan terhadap Grand Duchess dan menyebarkan rumor keji. Sebagian besar menyimpulkan kemungkinan besar Robin telah dikucilkan dari daftar keluarga Heinz.

Bahkan ada sedikit anonim tentang seseorang yang mendengar Bjorn memanggil nama istrinya saat dia memukuli Robin Heinz. Itu seperti sesuatu dari puisi cinta yang indah.

"Apakah ini giliranku?" Seorang pelayan muda berkata sambil mengambil koran itu.

"Mereka bilang kamu mungkin terkena neurosis dari Pangeran," kata Karen sambil tertawa ketika dia melihat seorang pelayan sedang memotong foto Pangeran.

"Fotografi tidak menggangguku," jawab pelayan itu.

Bel panggilan berbunyi, menandakan kembalinya Pangeran dan semua pelayan dan pelayan bergegas menuju pintu depan, merapikan seragam mereka saat mereka pergi. Saat mereka berbaris, kereta berhenti.

Pangeran turun dari kereta dengan senyum lembut di bibirnya. Suasana hatinya jauh lebih baik minggu ini, tidak diragukan lagi karena kepuasan membalas dendam pada istrinya.

Saat Pangeran berjalan melewati aula dengan langkah anggun, semua pelayan melirik Pangeran tampan itu. Tidak peduli siapa yang pertama kali mengatakannya, kebenarannya tidak dapat disangkal, Pangeran mencintai istrinya.

Itu adalah kisah cinta yang dihargai oleh seluruh kota dan telah mengakar di Istana Schuber.

*.·:·.✧.·:·.*

"Tolak semua undangan yang aman untuk dilakukan," kata Bjorn.

Nyonya Fits terkejut sesaat, dia merasa yakin bahwa dia setidaknya akan menerima beberapa undangan, mengingat kebiasaannya baru-baru ini.

"Ya, Yang Mulia."

Melalui perubahan kebiasaan yang tiba-tiba, Nyonya Fitz tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima perintah Pangeran. Tidak perlu menimbulkan gesekan yang tidak perlu.

"Aku juga berpikir untuk segera melakukan perjalanan," kata Bjorn.

"Perjalanan?"

"Ya, jalan-jalan," jawab Bjorn dengan tenang, sambil tetap menatap potret di atas perapian. "Jadwal pastinya masih harus dikonfirmasi, tapi ku perkirakan minggu depan."

Bjorn ingin mengatakan lebih banyak, tapi itu berarti menyebutkan namanya. Gagasan untuk menghabiskan hari ulang tahunnya di suatu tempat di selatan, di antara bunga-bunga yang mekar sepanjang tahun, tampaknya merupakan prospek yang menyenangkan. Hal itu tentu akan menghapus bencana ulang tahun tahun lalu.

Meskipun mungkin memerlukan banyak usaha untuk membuat pengaturan tepat waktu dan menyebabkan awal tahun baru yang agak sibuk, itu adalah harga kecil yang harus dibayar. Masalah terbesarnya adalah memastikan bahwa debitur besar itu berada di tempat yang semestinya.

"Aku perlu memikirkan detailnya lebih lanjut, tetapi aku akan memberi tahukanmu pada waktunya."

Bjorn menyalakan cerutu. Baru-baru ini dia hanya merokok sekitar setengah dari biasanya. Mungkin karena rasa aman yang dia rasakan setelah kembali ke keadaan normal. Dalam keadaan ini, dia merasa siap menyambut kembali istrinya.

Saat dia merasa dirinya kembali melankolis saat dia menatap potret itu sekali lagi, seorang pelayan datang membawa pesan.

"Yang Mulia, Duchess Heine datang berkunjung."